Part 12 - The thing gets complicated and make me frustrated
Something changed.
Nathan merasakan perubahan Lea sejak ciuman itu. Dia seperti menjauhkan diri atau menjaga jarak dengannya. Semua itu terlihat dari setiap pesan singkat balasannya, yang tidak lebih dari dua kata yang sama.
Lagi kerja? Iya nih.
Udah makan? Udah.
Lagi sibuk? Iya.
Mau kuar makan bareng sama aku? Sori, aku udah makan.
Ugh! Nathan membanting ponselnya ke meja dengan geram. Sudah terhitung beberapa hari sejak kejadian ciuman itu, dan selama itulah Nathan tidak bisa tidur dengan nyenyak, dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menghadapi Lea yang menjaga jarak seperti ini.
Nathan tidak habis pikir kenapa dirinya harus menjadi uring-uringan hanya karena sikap Lea yang terkesan menjauh. Bukankah dia hanya menganggap Lea seperti adik sendiri, dan memberikan bimbingan konyol soal pacarana, dengan praktek ciuman yang tidak diperlukan? Godamnit! Nathan semakin geram dengan dirinya, dan merasa frustrasi saat ini.
Tok...tok..tok...
Pintu ruangannya diketuk lalu dibuka, Nathan langsung menengadah dan mendapati asisten pribadinya datang memberitahu, bahwa Christian sudah tiba.
Nathan hanya mendengus kasar. Dia menatap Christian yang muncul dengan seringaian gelinya, lalu masuk ke dalam ruangannya dengan senang hati. Pria itu tampak memperhatikan ekspresi Nathan sambil berckckck ria.
"Kayaknya gue ketimpa sial, kalo kudu sendirian ketemuan sama lu di sini," komentar Christian lalu mengambil duduk di kursi kosong, tepat di depan meja kerja Nathan.
"Apa maksud lu?" tanya Nathan ketus. "Dan ngapain lu dateng-dateng ke kantor gue?"
"Jangan keki dulu," jawab Christian santai, "Gue udah kabarin lu via Whatsapp, kalo gue mau ke sini. Wayne lagi ada rapat di daerah Gading, dan Adrian lagi sibuk pedekate."
Alis Nathan berkerut bingung mendengar ucapan Christian barusan. Lirikannya beralih pada Raisa yang masih berdiri di ruangannya, terlihat menyimak percakapan mereka.
"Mau ngapain kamu masih nangkring di situ? Keluar!" usir Nathan sadis.
Christian melebarkan matanya dan menoleh pada Raisa yang mencicit. "Mbak Raisa, makasih banyak kalo udah nganterin ke sini. Bos kamu lagi sensi, keluar aja dulu, minum Aqua banyakan."
Raisa mengangguk dan langsung keluar dari ruangan itu.
"Kelakuan lu masih aja kayak preman, Than. Nyantai dikit jadi orang, bisa gak sih?" celetuk Christian sambil terus memperhatikan ekspresi wajahnya.
"Bukan urusan lu. Ada apa lu kemari? Setahu gue, hari ini lu nggak punya jadwal sama salah satu cewek simpanan lu! Dan lagian, kantor lu tuh di daerah Selatan sana. Ngapain lu bisa nyasar sampe ke sini?" tanya Nathan, lalu menyipitkan matanya dengan curiga. "Kayaknya dari muka lu, abis dapat jatah maksiat."
"Lu memang sangat mengenal gue dengan baik. Yup, gue abis bareng sama Regina Fou, Model baru asuhan gue... she's really something!" ujar Christian dengan matanya yang berkilat senang. "Jadwal Kamis malem bareng dia, kebablasan sampe tadi siang, karena gue cukup ketagihan sama permainannya. Akhirnya gue memutuskan untuk nginep di tempatnya."
"Gue nggak tanya soal urusan ranjang lu!" ujar Nathan tegas.
"Lu kan tadi nanya, kenapa gue bisa nyasar sampai ke sini," balas Christian santai.
"Yah jawab aja kenapa! Lu nggak usah kasih tahu hal yang nggak penting ke gue," sahut Nathan nyolot.
"Ya... ya... ya... terserah lu lah! Capek juga punya temen sensian kayak lu. Intinya gue nginep di rumah Regina, yang ada di Alam Sutera. Dan gue minta dia drop gue ke kantor lu." Ucap Christian masam.
"Kenapa harus ke kantor gue?" tanya Nathan heran.
"Kantor lu paling deket dari rumahnya. Sedangkan gue nggak kepengen dia tahu gue kemana, dan dengan siapa gue bergaul. A big No!" jawab Christian langsung.
"Brengsek lu. Kenapa kantor gue yang lu korbanin? Kalo tiba-tiba dia hamil, dan nuntut lu tanggung jawab sampe kemari, gimana?"
"Eh bangke! Gue main aman yah! Sialan lu. Mana pernah gue hamilin anak orang, amit-amit! Jangan sampe kayak gitu!" umpat Christian kesal.
"Nggak usah sombong. Kebanyakan orang sombong itu, suka kemakan omongan sendiri," ejek Nathan dengan senyuman setengahnya.
Lalu sedetik kemudian, keduanya tertawa keras seolah obrolan mereka barusan adalah lelucon.
Nathan pun meraih ponsel dan memasukkannya ke dalam saku celana. Berniat untuk tidak terlalu banyak berpikir tentang hal yang semakin membuatnya penat. Mungkin dengan Christian, dia bisa melupakan pikirannya sejenak.
"So, how's life? Gue perhatiin kayaknya udah beberapa bulan ini, lu nggak bareng sama Shareena. Putus?" tanya Christian dengan tengil.
"Gue nggak merasa pernah pacaran sama dia. Jadi kata putus kayaknya nggak cocok dalam hal ini," jawab Nathan kemudian.
"Yeah...yeah... whatever. Let says vakum. Why?" tanya Christian lagi, dengan mimik wajah penasaran. Ck!
"Been busy like crazy. Dan juga, gue udah merasa bosan ngejalanin hubungan tanpa status yang cuma nyalurin libido begini aja."
"Bullshit! Lu berniat pacaran? Heck! Sama siapa?" seru Christian dengan alis terangkat tinggi-tinggi. Sorot matanya memberikan ekspresi tidak percaya.
"Gue bosen dengan hubungan begitu, bukan berarti gue berniat pacaran," balas Nathan dengan alis terangkat setengah.
"Jangan bilang kalau sosok adeknya sih Wayne itu, yang bikin lu berubah pikiran," tembak Christian dengan tajam.
Mata Nathan melebar kaget. Shit! Kenapa Christian bisa langsung menembaknya dengan pertanyaan yang begitu sensitif?
"Jangan ngomong sembarangan, Tian!" tegur Nathan ketus.
Christian mengangkat alisnya, sambil memberikan senyuman setengah yang berkilat senang. Dia menaruh sikunya di meja, bertopang dagu sambil menatap Nathan tajam.
"Lu bisa ngebohongin Wayne dan Adrian, tapi lu nggak bisa ngebohongin gue, Than. Lu punya rasa sama Lea," tembak Christian langsung.
"Atas dasar apa, lu berasumsi kayak gitu? Dia memang menarik dan lu pun juga suka sama dia, waktu dia nongol di kafe waktu itu," balas Nathan.
Christian malah tertawa terbahak-bahak. Sial!
"Kalau gue itu, cuma sekedar kagum. Kalau Adrian, mungkin tuh anak naksir sama Lea. Tapi kalau lu? Hey, Man! We're being buddy for a decade! Gue berani bertaruh, kalau lu udah jelas menganggapnya lebih, dan ingin menjadi protector dalam konteks yang berbeda dari Wayne!"
Deg! Nathan tertegun. Dia mencoba mencerna ucapan Christian barusan. Apakah mungkin dia mulai menyukai Lea, sehingga merasa frustrasi dengan sikap Lea yang menarik diri, pasca ciuman itu? Sementara Christian tampak menikmati ekspresi Nathan saat ini.
"Let's make it simple! Tell me more about this little sis," cetus Christian mantap.
"What? No! Buat apa?" elak Nathan langsung.
"Sekedar informasi aja buat gue, barangkali gue tahu gimana caranya buat ngedeketin dia," balas Christian kalem.
"Stop it, Tian! Dia nggak masuk dalam jangkauan lu! Jadi nggak usah nanya yang nggak perlu!" tukas Nathan judes.
"Emangnya kenapa kalau dia masuk dalam jangkauan gue? Dia tipe gue kok. Muda, cantik, segar, dan gue yakin banget dia masih segel! About the last information, no need to argue with me. I can assure you that!" balas Christian dengan wajah serius.
Shit! Christian benar-benar gila. Keahliannya dalam soal wanita memang tidak perlu diragukan, dan Nathan mendadak kesal dengan caranya yang membicarakan Lea, seolah wanita itu adalah makanan siap saji.
"Lu boleh ngomong seenak jidat lu soal cewek lain, tapi nggak ke Lea!" tegas Nathan dengan ekspresi dingin.
Christian menyeringai dan bersandar dengan santai, menikmati reaksi Nathan saat ini, lalu berujar "She definitely didn't seem anything like someone's little sister. Have you get any of this fucking shit, Bro?"
Nathan mengerjap. Damn! Dia baru tersadar jika Christian mencoba menjebak dirinya.
"Sebagai teman baik lu, yang nggak perlu diragukan lagi kadar brengseknya, gue ingin kasih masukan sekedarnya. It's about finding the woman who gets you thinking. She'll be the one who'll change your mind about everything. In this case, Lea! Dan lu tahu apa artinya?" Christian menatap Nathan sambil menyeringai, lalu melanjutkan. "Artinya lu suka sama dia. Hanya lu belum mau mengakui itu."
Pikiran Nathan mendadak kosong seketika. Jantungnya seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik, dengan tatapan kagetnya yang membuat Christian semakin kesenangan.
"Lu salah sangka," kembali Nathan bersuara, tapi kali ini dia terdengar tidak yakin.
"Gue nggak pernah salah sangka. Sekali lagi, lu masih belum sadar," balas Christian jengah, terlihat tidak suka dengan ucapan Nathan barusan. Dia merasa tersinggung.
"She's sweet and young. Gue udah mengenal dia, dari jaman dia masih pake rok merah. Dan dia bukan jangkauan gue karena dia..."
"Adeknya Wayne?" sela Christian cepat, dan Nathan langsung mengangguk.
"Please deh, Than! Kasus lu itu kasus klasik! Bukan hal aneh dengan lu suka sama adik sahabat sendiri, bisa dibilang klise, tahu nggak? Nggak usah lah, kasih alasan bullshit macam begitu. Yang ada, lu malah bakalan kecolongan," celetuk Christian lagi.
"Maksud lu?" suara Nathan mendadak tinggi. Sama sekali tidak suka dengan ucapan Christian barusan.
"Dia cantik dan menarik, juga cukup atraktif. Yang artiannya, bakal banyak cowok yang suka. Let's say kalo emang lu suka sama dia, lu udah bersaing dengan Adrian. Karena berondong Korea itu lagi pedekate sama Lea."
"What?" pekik Nathan kaget.
Christian menyeringai penuh kemenangan. "Dari ekspresi lu, gue yakin lu belum tahu soal Adrian yang lagi jemput Lea, untuk pergi ke Bar yang baru mau dibuka hari ini."
Nathan sama sekali tidak bisa mencerna ucapan Christian lagi. Otaknya kembali menjadi buntu dan dia lebih memilih diam saja. Adrian mendekati Lea, dan wanita itu sama sekali tidak menceritakan hal itu. Pantas saja tidak ada kabar dari Lea, sepanjang hari ini. Namun rasa tidak terima dalam hatinya, membuat Nathan semakin merasa tidak karuan.
Perbincangan mereka pun beralih kepada hal lain, yang membuat Nathan tidak terlalu fokus atau harus menanggapi lebih lanjut. Christian pun seperti memahami keadaan itu, dengan tidak membuka obrolan selama perjalanan mereka menuju ke Bar milik Edward.
Bar sudah cukup ramai dan dipenuhi oleh para undangan. Wayne dan Adrian pun sudah menempati salah satu meja depan, tidak jauh dari mini stage.
"Hey, Dudes," sapa Wayne senang.
"Hey, udah mulai?" balas Christian, sambil mengambil duduk di samping Adrian. Nathan mengambil duduk di samping Wayne.
"Udah. Baru kata sambutan aja, dari yang punya," jawab Wayne kalem, sambil menyodorkan masing-masing satu botol bir kepada Christian dan Nathan.
"Udah dari jam berapa, kalian sampe ke sini?" tanya Nathan ingin tahu, sambil menatap ke arah mini stage, dimana sosok Lea terlihat sedang duduk di kursi keyboard, sambil berbincang dengan Edward.
Lea tampak memukau. Wanita itu mengenakan terusan model halter neck berwarna hijau pastel, dengan wajah yang memakai make up tipis, dan rambut yang ditata dalam braided style ala Elsa. Dia sedang berdiskusi dengan Edward dan Julia, sambil mengarahkan jari-jarinya di atas tuts keyboard dengan terlatih.
"Gue baru aja nyampe. Sih Adrian udah daritadi," jawab Wayne singkat, lalu meneguk birnya.
Christian terkekeh pelan sambil melirik Nathan dan Adrian secara bergantian. Dia terlihat kesenangan. "Gercep juga lu, Dri. Prospek deketin Lea udah jalan nih?"
Nathan tahu Christian berniat untuk menggodanya, namun dia diam saja sambil meneguk birnya. Sama sekali tidak ingin terpengaruh dengan niat Christian yang tidak diperlukan.
Adrian terlihat senang dan memberikan cengiran lebarnya sebagai jawaban. Wayne hanya memutar bola matanya sambil melirik Adrian dengan sinis.
"Gue nggak akan segan buat ngehajar lu, kalo lu niat macem-macem sama Lea," ancam Wayne dengan penuh penekanan.
"Santai aja sih, Bro. Gue baru jemput satu kali begini aja, lu udah curigaan begini," sahut Adrian kalem.
"Gue seneng kalo lu bisa nyolong start kayak gini. Lu bener-bener bikin gue bangga." Ujar Christian sambil merangkul bahu Adrian.
Adrian menoleh pada Christian. "Kenapa gue yang pedekate, tapi lu yang bangga?"
"Karena gue seneng, kalo ada tontonan yang memacu adrenalin. Bosen sama hal yang tenang-tenang kayak gini. Hidup gue kurang seru," balas Christian asal, yang membuat Adrian dan Wayne mengerutkan alisnya dengan ekspresi bingung.
Nathan mendengus kasar sambil melirik sinis ke arah Christian. Sementara yang dilirik hanya tergelak saja. Keempatnya mulai terdiam, ketika mendengar Edward bersuara di depan panggung. Bersamaan dengan itu, tatapan Lea dan Nathan bertemu. Wanita itu tertegun sesaat, lalu memberikan senyuman singkat pada Nathan, dan kembali menunduk menatap tuts keyboardnya.
"That smiling face of hers mean something, Dude," bisik Christian pelan, dengan nada suara yang hanya bisa didengarnya.
Nathan menoleh pada Christian, dan menegurnya pelan. "Shut the fuck up!"
Christian terkekeh sambil mengangkat bahunya. Tatapan Christian mengarah kembali ke arah panggung, dengan sorot mata menilai pada Lea dan teman-temannya. Ekspresinya menjadi serius, layaknya pencari bakat yang memang sering dilakukan, jika bertemu dengan orang banyak.
Lea memainkan keyboard dalam lagu yang terdengar familiar, diiringi dengan petikan gitar yang dimainkan Edward. Tampak keduanya akan duet dalam membawakan lagu itu.
The day we met,
Frozen I have my breathe
Right from the start,
I knew that I found the home
For my heart beats fast,
Colors and promises
How to be brave,
How can I love
When I'm afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow
One step closer...
(Inspired from Glee performance)
Lea terlihat begitu menghayati lagu itu, sambil memejamkan matanya sesaat, lalu membukanya untuk menatap Edward saat mereka mulai menyatukan suara mereka dalam bait lagu yang terdengar harmonis. Tatapan intens mereka, seolah memberikan gambaran hubungan mereka yang begitu dekat. Diam-diam, Nathan mendengus tidak suka.
I have died everyday waiting for you
Darling don't be afraid
I have loved you
For a thousand years
I'll love you for a thousand more
And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for thousand more...
Saat bait terakhir dinyanyikan, Lea kembali menoleh ke arahnya. Tatapan mereka kembali bertemu selama sepersekian detik, lalu Lea memberikan senyuman padanya, dan kembali menunduk pada keyboardnya. Shit! Hal itu sudah terjadi dua kali, dan degup jantung Nathan berdetak semakin cepat sambil menggenggam botol birnya erat-erat.
"Mereka jago nyanyi, punya skill. Kenapa selama ini gue nggak pernah nemu yang beginian sih?" komentar Christian dengan ekspresi serius.
"Edward memang anak band. Biasa lah, band kampus yangs erring dapet undangan buat manggung," ujar Wayne menjelaskan.
"Lu udah kenal banget sama Edward?" kini giliran Nathan bertanya.
"Nggak kenal banget, cuma tahu aja kalo mereka deket. Karena dia juga ngajar di sekolah musik, tempat Lea les piano," jawab Wayne sambil mengangkat bahu.
"Tadi gue sempet ngobrol-ngobrol juga sama Edward, anaknya asik dan memang bakat di musik. Kenapa nggak coba lu rekrut aja, jadi salah satu anak band lu?" usul Adrian kemudian.
"Justru itu yang sedang berjalan dalam otak gue," balas Christian yang masih memberikan ekspresi serius ke arah panggung.
Semuanya kembali menatap ke arah panggung, dimana Lea dan Edward sudah menyelesaikan pertunjukannya. Kini, giliran Julia yang bergabung untuk berduet dengan Edward, sambil memetic gitarnya.
"Gue denger-denger, katanya Julia naksir sama lu?" tanya Adrian sambil menoleh kearah Wayne, dengan tatapan sumringah.
Pertanyaan Adrian membuat alis Nathan terangkat. Sudah menjadi rahasia umum, jika sahabat Lea yang bernama Julia, menyukai Wayne secara diam-diam. Bukan tanpa sengaja, Nathan mengetahui hal itu, namun sikap Julia yang tidak biasa setiap kali berhadapan dengan Wayne adalah kode morse baginya, bahwa Julia memang menyukai Wayne.
Yang mengherankan Nathan adalah bagaimana Adrian bisa mengetahui hal itu? Sebab hal itu hanya diketahui Wayne dan Nathan saja. Sementara Christian dan Adrian tidak tahu menahu soal itu.
"Itu udah basi. Lagian, gue nggak kepengen main sama cewek, yang masih terbilang anak kemarin sore. Nggak bisa turn on juga lah kalo sama Julia. Apa bedanya kayak gue incest sama adek sendiri?" jawab Wayne sambil terkekeh pelan.
"Mana keliatan kayak anak kemaren sore sih, Bro? Cukup lu arahin dan ajarin, nanti juga dia bisa jadi ahli. Kalau lu nggak mau, biar gue aja yang deketin," tukas Christian dengan seringaian mesumnya, dan Wayne langsung mengarahkan tatapan membunuh ke arah Christian.
"Nggak usah macem-macem! Julia bukan jangkauan lu!" ujar Wayne penuh peringatan.
"Termasuk gue juga?" timpal Adrian sambil terkekeh.
Wayne melirik sinis ke arah Adrian. "Dan lu masih punya muka buat nanya, setelah berniat buat ngedeketin adek gue?!"
"Masih pedekate, Wayne. Baru ngajak ngedate Sabtu ini, tapi Lea belum kasih jawaban," celetuk Adrian geli.
Nathan tersedak lalu terbatuk, dan Wayne langsung menyodorkan segelas air putih padanya. Christian mengulum senyum penuh arti padanya.
"Kayak anak kecil aje lu, pake acara keselek begitu, Than," komentar Adrian sambil terkekeh.
"Hari ini lu kenapa, sih? Lu lebih pendiam dan kebutuhan minum lu hari ini, nggak seperti biasanya," ujar Wayne dengan alis berkerut, sambil menatap dua botol kosong bir, dan satu botol yang masih terisi setengah, tepat di depan Nathan.
"Mungkin lagi banyak pikiran," celetuk Christian dengan seringaiannya yang penuh ejekan.
Nathan mengabaikan ucapan tiga temannya karena pikirannya sudah semakin penat. Rasa tidak terimanya semakin menguat, dan Nathan tidak menyukai hal seperti ini. Dia tidak pernah merasa harus ikut campur dalam urusan orang lain, tapi mendengar Adrian yang berniat mengajak Lea kencan, sungguh sangat menganggu pikirannya. Nathan kembali meneguk birnya dalam tegukan cepat, untuk mengusir kekacauan yang bergejolak dalam dirinya.
"Hello."
Sebuah sapaan ramah terdengar dari balik bahu Wayne. Keempat orang itu menoleh, dan mendapati Lea memberikan senyuman lebar pada mereka.
"It's good to see you, Brother," ujar Lea sambil memeluk Wayne.
"You're looking good, Sister. Your performance was amazing," balas Wayne senang, ketika Lea sudah menarik diri dari pelukan.
"Thanks," ucap Lea hangat.
"Suara kamu bagus," ucap Christian dengan penuh arti. "Nggak minat buat jadi penyanyi? Aku bisa bantu untuk ngorbitin kamu."
"No, thanks. Itu cuma hobi," tolak Lea santai. "Mungkin kamu bisa tawarin Edward. Dia jauh lebih berbakat."
"Sure," balas Christian. "Kalau kamu berubah pikiran, silakan ngomong sama aku."
"Lea nggak akan berubah pikiran, Tian! Kalaupun dia berubah pikiran, udah jelas gue yang akan jadi orang pertama untuk ngelarang! Gue sama sekali nggak kepengen nyodorin adek gue, buat dijadiin salah satu korban organizer berjalan lu, setiap kali ada artis baru yang masuk ke perusahaan lu. That's not gonna happen!" tegas Wayne berapi-api.
Christian tergelak lalu menggeleng. Alih-alih meladeni sikap protektif Wayne barusan, dia hanya mengangkat botol birnya ke arah Wayne seolah mengajak bersulang, lalu meneguknya cepat.
"Nggak perlu sekasar itu ngomong sama temen sendiri, Wayne. Dia hanya berniat baik," bisik Lea pada Wayne.
Nathan bisa menangkap suara teguran Lea kepada Wayne, meskipun nada suaranya berbisik.
Kedua kakak beradik itu terdengar seperti berargumen dalam suara pelan, dan Nathan sama sekali tidak berniat untuk menguping. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celana, dan alisnya terangkat ketika melihat ada pesan singkat yang dikirim Lea sekitar sejam yang lalu.
"Adrian just asked me out. What should I do? Because I don't know what to do," tulis Lea.
Nathan terdiam sambil menatap ponselnya selama beberapa saat. Bukankah hal seperti ini yang diinginkan Lea? Wanita itu membutuhkan bimbingan darinya, bahkan mungkin meminta ijin padanya.
Jika sebulan yang lalu, Nathan adalah orang yang tidak peduli dengan urusan orang lain, namun sekarang berbeda. Pikiran Nathan sudah semakin kacau dan terasa kompleks dengan keinginannya yang membingungkan. Yaitu menginginkan Lea hanya untuk dirinya sendiri.
Tapi, Nathan tahu kalau apa yang dilakukannya adalah salah. Dia tahu jelas alasan Lea untuk keluar dari rumah dan tinggal sendiri, adalah semata-mata karena Lea merasa terkekang dengan sikap protektif Wayne. Dia juga tahu bahwa Lea hanya menganggap dirinya tidak lebih dari sekedar pengganti Wayne, dan pembimbing yang mengajarinya hal baru, termasuk cara berpacaran.
Sekali lagi. Nathan kembali mengingatkan dirinya. Bahwa inilah yang dibutuhkan Lea : Teman-teman baru, suasana baru, dan kehidupan baru di luar urusan magangnya. Tentu saja, Nathan tidak berhak menjadi satu-satunya orang baru di dalam hidup Lea, hanya karena dia dipercaya oleh Wayne untuk menjaga Lea, atau keinginan terlarang Nathan untuk menginginkan Lea sebagai hak miliknya.
Sambil mendengus kasar, Nathan mengetik balasan untuk Lea.
"This is called dating. Just accept it and behave yourself."
Setelah itu, Nathan memasukkan ponsel ke dalam saku celana, lalu beranjak berdiri. Semua langsung menoleh padanya dengan tatapan bertanya, termasuk Lea.
"Mau kemana, Bro?" tanya Wayne heran.
Nathan tersenyum sejenak lalu berujar, "Ada urusan mendadak. Gue balik dulu."
Tanpa menunggu balasan dari teman-temannya, Nathan pun segera memutar tubuhnya untuk berjalan keluar dari Bar itu. Yang dia butuhkan saat ini adalah penyegaran diri, supaya tidak menjadi gila dengan pikiran kacaunya yang semakin menjadi.
Satu-satunya yang terbersit dalam ingatannya adalah Shareena. Sepertinya, dia harus menghubungi wanita itu secepatnya, sebagai pengalihan. Dia pun kembali meraih ponsel dan segera menekan angka 4, lalu menempelkan ponselnya ke telinga.
Telepon sudah tersambung, dan langsung diangkat dalam dering pertama.
"Nathan! Finally you call me back, Son of a bitch!" seru Shareen di sebrang sana.
Nathan memutar bola matanya, sambil masuk ke dalam mobilnya.
"Where are you? I need you. Immediately!"
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Apa kabar kalian semua?
Aku lagi ngantuk berat dengan banyaknya kerjaan yang menunggu.
Salah satunya, melanjutkan tulisan buat kamu 🤣🤣🤣
Have a great Monday, genks!
I purple you 💜
Published : Des 2017 - Feb 2018
New version : 22.04.19 (13.05 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top