Part 10 -The passionate first kiss that turns into a deep shit

Kalo cerita yang sebelumnya banyak yang komplain kalo Nathan kurang bajingan.
Sekarang, kita main ngegas 😆

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

"Gua nggak ikut nonton," ucap Nathan dengan tegas, sambil menatap ketiga teman yang sedang berdiri di depannya.

"Kenapa bisa tiba-tiba lu nggak ikutan? Kan udah kesepakatan bersama kalo ada film terbaru, kita nonton bareng, bisa atau nggak bisa!" celetuk Christian dengan ekspresi tidak suka.

"Gue kelupaan bilang kalo Sabtu kemaren, gue udah nonton," tukas Nathan cuek.

"Heh? Lu udah nonton? Brengsek banget lu kalo udah nyolong start duluan! Sejak kapan lu mau nonton di hari Sabtu gitu?" pekik Wayne kaget.

Sejak adek lu yang minta, jawab Nathan dalam hati.

"Emangnya lu nonton sama siapa? Kok bisa sih, lu nonton duluan tanpa nungguin kita?" kini giliran Adrian bertanya.

Inilah yang tidak disukai oleh Nathan, jika sudah dikerubungi oleh tiga teman yang selalu ingin tahu urusannya. Otomatis dirinya terjebak dalam posisi tanya jawab yang tidak diperlukan.

"Nggak usah kepo. Gue nggak punya keharusan untuk pengumuman sama kalian. Pokoknya gue nggak ikut nonton!" tukas Nathan dengan muka busuknya.

"Ah, gue tahu," komentar Christian dengan seringaiannya yang menyebalkan. "Jangan-jangan, lu pergi kencan sama Shareena. Ckckck... sok-sokan udah nggak kontekan, padahal di belakang kita, diem-diem lu jalan sama dia."

Nathan menatap Christian dengan ekspresi mengeras. "Bacot lu bisa dijaga gak, sih? Punya mulut kayak comberan!"

Christian tertawa keras. "Santai aja kali, Bro. Nggak usah ngegas. Heran banget gue sama lu, hidup lu itu kayaknya kebanyakan tegang, makanya ngoceh mulu."

Adrian ikut tertawa dan Wayne terlihat mengecek ponselnya dengan alis berkerut.

Saat ini, mereka sedang berada di sebuah kafe yang menjadi tempatnya untuk berkumpul setiap minggu. Nathan yang baru saja menyelesaikan pertemuan di sebuah restoran yang tidak jauh dari situ, terpaksa mampir untuk menolak ajakan tiga temannya untuk menonton.

Nathan tahu bahwa dirinya sudah sangat salah karena mendadak membatalkan acara nonton bareng, namun dia juga tidak ingin melakukan hal yang membuatnya terpaksa. Jika dia tidak mau dan tidak nyaman, maka dia akan mengutarakannya secara terbuka.

"Nggak asik banget sih lu, Than! Kita udah sama-sama janji buat nonton film kesukaan bareng dari dulu. Meskipun lu udah nonton, senggaknya temenin kek." Protes Adrian.

Nathan mengembuskan napasnya dengan berat. "Gue capek, Dri. Sorry banget kalo gue nggak bisa ikut. Next time deh."

"Sehabis dari sini lu mau langsung balik, kan?" tanya Wayne tiba-tiba.

Nathan mengangguk.

"Kalau gitu, tolong jemput Lea deh," jawab Wayne kemudian.

Alis Nathan mengerut. "Lea? Emangnya dia lagi di mana?"

"Barusan dia chat gue dan minta dijemput di Bar temennya, karena habis rehearsal buat Jumat ini. Berhubung lu nggak ikutan, dan lu yang mau pulang juga, tolongin gue jemput dia." Ujar Wayne santai sambil terkekeh.

Jika biasanya ada orang yang membutuhkan bantuannya di kala dirinya lelah atau penat, maka Nathan akan langsung menolak. Apalagi jika hal itu membuatnya terlihat seperti orang suruhan semacam supir. Bahkan untuk menjemput ibunya sendiri pun, Nathan malas jika sudah berada di rumahnya. Tapi sekarang?

"Okay! Gue akan jemput Lea." Balas Nathan tanpa ragu.

Christian menatapnya bingung, seakan tidak mengenali dirinya sekarang. Sementara Adrian tampak biasa saja karena masih kecewa dengan pembatalan yang dilakukan Nathan.

"Gue nggak nyangka, kalo lu bisa totalitas banget bantuin temen lu. Mendadak kepengen punya adek, biar lu juga bisa bantu jagain adek gue," ucap Christian dengan nada sindiran.

"Searah dan sejalan, Tian. Nggak usah mikir macem-macem," ujar Wayne membela. "Lagian, Nathan dan Lea udah kayak kakak adik."

Christian menoleh pada Wayne. "Gue ngomong kayak gini, bukan berarti gue menuduh yang nggak-nggak."

"Udah deh, gue duluan. Have fun guys." Tukas Nathan yang sudah begitu malas meladeni mereka, dan langsung berlalu tanpa perlu repot-repot menoleh ke arah mereka.

Jika tadi Nathan mengatakan bahwa dirinya lelah, nyatanya dia merasakan hal yang berbeda saat dia sudah berada di mobilnya. Dia mengirim pesan pada Lea untuk menanyakan keberadaannya, dan wanita itu mengirimkan lokasi dimana dirinya berada. Sungguh. Nathan sampai harus mengebut hanya karena supaya Lea tidak menunggunya dengan lama.

Nathan pun sudah tiba tepat di depan Bar yang sudah dalam tahap penyelesaian untuk eksteriornya. Dia sudah memberitahukan Lea bahwa dirinya sudah tiba. Sekitar lima menit kemudian, Nathan bisa melihat ada dua orang muncul dari arah samping Bar. Disitu Lea datang dengan tampilan mempesona seperti biasanya, juga seorang pria yang terlihat familiar.

Pria itu mengacak rambut Lea dengan gemas, sementara Lea tertawa keras. Entah kenapa, Nathan merasa tidak suka melihat kedekatan mereka yang seperti itu. Terlebih lagi dengan sikap pria itu yang dinilainya begitu lancang.

Ketika Lea menoleh dan tatapannya bertemu dengan Nathan, senyumannya terhenti. Pria itu juga. Keduanya tampak kaget dengan adanya Nathan, yang sedang bersandar di sisi mobilnya sambil menyilangkan tangan, menatap tajam ke arah mereka.

"Kamu udah sampe?" sapa Lea ramah.

Nathan mengangguk sebagai jawaban dan melirik tajam ke arah pria yang memberikan senyuman ramah padanya.

"Ini teman kakak kamu yang jemput?" tanyanya kepada Lea.

"Iya, namanya Nathan. Masih inget nggak? Dulu kayaknya udah pernah kenalan," balas Lea.

Pria itu mengerutkan alisnya, mencoba mengingat-ingat lalu tersenyum saja. "Udah lupa. Kenalan lagi deh. Hai, gue Edward."

Ketika Nathan mendengar nama itu, pikirannya langsung teringat dengan pertemuan tidak disengaja yang terjadi di sebuah kafe, tempat dimana dia harus bertemu dengan kliennya. Saat dimana Lea terlihat begitu cemerlang dan dengan lugas menyampaikan seluruh perasaannya. Damn! Ada rasa yang tidak menyenangkan dalam hatinya, jika mengingat hal itu.

"Gue Nathan," balasnya singkat.

Edward tersenyum. "Thanks udah jemput Lea. Gue sangat berterima kasih."

"Kenapa lu harus berterima kasih? Emangnya lu pacarnya?" tanya Nathan spontan.

Baik Edward ataupun Lea tertegun mendengar pertanyaan Nathan. Bahkan Nathan seakan tidak peduli dengan ekspresi keduanya yang mengartikan lain dari maksud pertanyaannya itu.

"Gue teman baiknya," jawab Edward riang. "Niatnya sih pengen pacarin, tapi ceweknya susah didapetin."

Lea menoleh ke arah Edward lalu memukul bahunya dengan pelan. "Jangan rese. Itu udah lama banget. Nggak usah dibahas."

Edward tertawa renyah, dia hendak mengacak rambut Lea, tapi Nathan sudah lebih dulu menarik Lea menjauh dari jangkauan tangan sialannya itu.

"Nathan..." gumam Lea pelan ketika dia sudah berada di balik tubuh besar Nathan. "Kamu ngapain?"

Nathan menatap Edward dengan tajam. "Kalo cuma teman, ada baiknya jaga tangan lu. Nggak usah pegang-pegang kepala Lea kayak gitu."

Edward menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil melirik bingung ke arah Lea yang juga memberikan tatapan yang sama.

"Sorry, gue nggak maksud buat pegang-pegang. Kita udah temenan lama dan cukup tahu satu sama lain. Lagipula, nggak usah sewot gitu, Bro. Santai aja. Terima kasih banyak kalo lu udah bisa jemput Lea," ucap Edward dengan tulus dan senyuman hangat. "Jumat ini kalo bisa dateng kesini lagi yah, Bar gue mau buka. Kita akan perform."

Nathan hanya mengangguk dan segera mengarahkan Lea untuk masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu, dia kembali menatap Edward dengan penuh penilaian, lalu mendengus pelan.

"Hati-hati bawa mobilnya. Jangan ngebut-ngebut yah." Ucap Edward sambil melambaikan tangannya.

Nathan tidak menjawab lagi, dia segera masuk ke kursi kemudi dan menyalakan mesin mobilnya. Melihat keramahan Edward, membuatnya tidak suka. Pria itu sepertinya begitu dekat dengan Lea dan memberikan perhatian yang tidak biasa, kepada seseorang yang hanya berstatus teman baik. Nathan yakin jika Edward menyukai Lea, terlihat sekali dari gestur tubuh mereka yang sudah sangat nyaman satu sama lain. Damn! Nathan merutuk dalam hati, ada apa dengan dirinya sekarang?

"Kamu... baik-baik aja?" tanya Lea dengan nada ragu.

"Yeah, why?" balas Nathan seadanya.

Mobil sudah keluar dari area Bar dan melaju dalam kecepatan sedang. Jam malam yang baru mendekati pukul setengah delapan masih begitu padat namun lancar.

"Kamu kayaknya lagi bete banget. Apa kamu dipaksa Wayne buat jemput aku? Terus kamu bete karena harus sempetin mampir ke sini? Kalo iya, turunin aku di depan sana, aku bisa naik taksi." Ucap Lea datar.

Nathan langsung menoleh dan menatap Lea dengan tatapan tidak suka. "Kok ngomongnya gitu? Emangnya aku kelihatan bete karena jemput kamu?"

"Kamu daritadi ngegas," balas Lea langsung. "Terus kamu juga pake tegor Edward segala. Aku sama dia tuh temen. Wayne juga tahu kita berdua deket tapi nggak sewot kayak kamu tadi."

"Bukan berarti terus-terusan main kepala begitu. Dengerin aku, semisal kamu nggak suka sama cowok itu, jangan kasih harapan dengan ngebiarin mereka lakuin sesuatu kayak tadi. Itu cuma modus supaya bisa pegang kamu!" sewot Nathan dengan ketus.

"Aku nggak kasih harapan. Kita saling sayang dan murni berteman. Lagian, temen cowok aku itu cuma satu, yaitu Edward. Selebihnya nggak ada. Dia itu cowok paling baik di dunia buatku, selain keluarga sendiri." Sahut Lea judes.

Nathan menoleh ke arah Lea dengan alis terangkat setengah. "Jadi kamu suka sama dia? Kenapa nggak kamu pacaran sama dia? Toh dia kelihatannya baik dan pengertian sama kamu."

Lea mendengus kasar. "Bukan urusan kamu. Dan mendingan kamu diem aja, karena yang bete nggak cuma kamu. Aku juga."

"Kamu marah?"

"Nggak. Aku cuma nggak suka kalo kamu mikir jelek tentang Edward. Jangan cepat menilai orang, hanya karena kamu nggak suka."

"Aku cuma nggak mau dia main sentuh kepala kamu. Becanda juga ada batas."

Shit! What the hell happened to you? Umpat Nathan pada dirinya sendiri. Otaknya sudah mempertanyakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya saat ini, tapi mulutnya terus mengeluarkan ucapan yang membingungkan. Apakah mungkin dia tidak senang karena ada pria lain bersama Lea seperti tadi? Heck!

"Terserah kamu deh, capek kalo ngomong sama cowok sensi." Celetuk Lea dengan nada sindiran.

"Sekarang kamu udah beda yah? Udah berani sama aku dan ngebalikin omongan orang," gumam Nathan pelan.

"Aku bukannya mau kurang ajar, tapi kamu salah. Nggak seharusnya kamu kayak gitu, sama orang yang udah mencoba bersikap ramah sama kamu. Judesnya kamu perlu dikurangin, kalo lagi bete yah diem aja. Kamu sering banget kayak gitu, padahal sebenarnya kamu baik." Ujar Lea menjelaskan.

Nathan terdiam. Dia tidak pernah merasakan emosi yang tidak terkendali hanya karena melihat hal yang masih terbilang wajar. Bahkan jika ada yang mencoba mendekati Shareena pun, tidak pernah ditanggapi Nathan karena itu bukan urusannya. Tapi sekarang? Melihat bagaimana Edward yang begitu lembut pada Lea, dan Lea yang merasa hyaman dengannya, itu membuat Nathan tidak rela. Seolah pria itu yang selalu menemani Lea selama ini.

Nathan melirik Lea yang sedang menatap luar jendela. Wanita itu juga sepertinya sedang dalam suasana hati yang tidak baik, seolah ada pikiran yang mengganggunya.

Mobil sudah memasuki jalan bebas hambatan dan melenggang cepat. Belum ada pembicaraan yang terjadi di antara mereka. Sampai akhirnya, Nathan mencoba mengalah untuk memulai obrolan.

"Kamu udah makan?" tanya Nathan kemudian.

Lea menggeleng. "Belum."

"Kalau begitu sama. Gimana kalau kita makan dulu sebelum pulang?" ajak Nathan.

Lea menoleh ke arahnya dan memberikan cengirannya. "Boleh aku tentuin tempatnya, nggak?"

"Boleh. Kamu tentuin tempat, aku yang bayar." Balas Nathan santai.

Bibir Lea menekuk cemberut. "Kenapa sih harus terus diingetin kayak gitu? Aku tahu kamu udah kerja, tapi bukan berarti aku nggak punya uang meski baru magang."

Nathan tersenyum hambar. "Etika bayar membayar ini udah kita bicarakan dari awal, bukan? Aku bukannya ngeremehin kamu, tapi dalam kamus hidup aku, cowok yang kudu keluar duit setiap kali ngedate sama ceweknya."

"Aku kan bukan cewek kamu," celetuk Lea langsung.

Nathan menoleh pada Lea sekilas. "Barusan itu bukan modus minta ditembak, kan?"

"Eh? Maksudnya?"

Nathan tertawa dan merasa geli dengan ekspresi kaget Lea yang terlihat lucu. Lea memang sudah beranjak dewasa, namun masih begitu polos. Terlebih lagi, jika Nathan menjelaskan beberapa hal padanya dan Lea akan menanggapinya dengan mimik wajah yang begitu serius.

"Kamu itu lucu," ucap Nathan hangat. "Sebelum kamu ngomong, ada baiknya dipikirin dulu. Takutnya orang bakalan mikir yang nggak-nggak."

"Terus lucunya itu dimana?" tanya Lea bingung.

Nathan tersenyum saja. "Kamu mau makan dimana? Aku udah lapar banget."

Lea mengerucutkan bibirnya dan tampak menggemaskan. Hal itu membuat Nathan berpikir bagaimana jika bibir yang menggemaskan itu dilumat olehnya? Apakah akan terasa manis? Shit! Pikiran aneh mendadak muncul, seiring perasaan yang membingungkan.

"Kita drive thru aja, abis itu makan di apartemen. Aku bukan modus mau ngajak kamu berduaan, tapi aku ada siapin sesuatu buat kasih kamu," ujar Lea akhirnya.

Nathan memijat pelan pelipisnya mendengar ucapan Lea barusan. Wanita muda itu benar-benar harus mendapat pengarahan yang lebih dalam.

"Aku tahu kalau ajakan kamu itu bukan modus. Dengan duduk bareng dalam mobil aja, udah bisa dibilang kita berduaan. Tapi... ngajakin cowok makan bareng di jam malam kayak gini di rumah, itu pamali. Kamu nggak bisa sembarangan ngajak cowok datang ke rumah, di saat kamu tinggal sendirian." ujar Nathan dengan tegas.

Seperti biasanya, Lea sedang mendengarkan dengan ekspresi yang begitu serius. Alisnya berkerut seolah sedang mencerna ucapan Nathan.

"Itu adalah aturan selanjutnya buat kamu ingat baik-baik," tambah Nathan sambil menurunkan kecepatan, lalu membuka pintu kaca mobilnya, menempelkan kartu untuk membayar tol, dan kemudian kembali melajukan mobilnya.

"Fyi, aku bukan cewek yang gampang ngajak orang asing main ke rumah. Apalagi cowok. Tapi kalau kamu itu pengecualian, karena udah aku anggap sebagai keluarga. Kayaknya, siapapun yang jadi pacar kamu tuh kasihan," celetuk Lea tanpa beban.

"Huh?"

"Karena kamu terlalu banyak aturan," lanjut Lea sambil memutar bola matanya. "Santai aja kali, Masbro. Kalo soal beginian, nggak usah diajarin, aku juga paham banget. Masalahnya adalah aku bingung mau makan apa, soalnya lagi nggak mood. Bawaannya kenyang kalau udah capek."

Nathan menoleh padanya ketika lampu merah menyala. "Aku bukannya banyak aturan, cuma ingetin. Terus kebiasaan kamu yang suka lupa makan, masih belum hilang. Nanti kalau maag kambuh gimana?"

Lea menghembuskan napasnya dan bersandar dengan malas. Hal itu membuat Nathan menilai Lea saat ini. Wanita itu mengenakan floral summer dress yang membalut pas di tubuhnya, rambut panjangnya diikat sederhana, dan Lea tampak cantik. Hmmm...

Nathan kembali melajukan kemudinya ketika lampu sudah berganti hijau, dan memutuskan untuk memesan makanan di sebuah restoran masakan Padang.

"Kita mau makan Nasi Padang?" tanya Lea sumringah.

Nathan tersenyum tipis. "Masih suka Kari Ayam Paha, pake Telur Bulat, dan kuahnya sedikit di nasi?"

Lea melebarkan matanya dengan antusias, lalu mengangguk dengan cepat. "Pakein Cabe Ijonya banyakan."

Nathan mengangguk dan segera membeli makan malam untuk mereka berdua. Sebelumnya dia tidak pernah memiliki kedekatan terhadap lawan jenis sampai seperti ini, yaitu membeli makanan di resto dan membungkusnya. Heck! Dia malah merasa seperti sedang menjalin hubungan dengan Lea sekarang. Rasanya dia terlalu banyak berpikir aneh hari ini, karena efek lelah dari pekerjaannya.

Kemudian, Nathan menikmati makan malam bersama di apartemen Lea. Mereka berdua tidak banyak berbicara, hanya menekuni makanan masing-masing, dengan Lea yang terus mengoper porsi makanan ke piringnya. Jika biasanya Nathan akan mendesis sinis karena ada yang memenuhi piring makannya, selagi dia sedang makan, kali ini tidak. Dia membiarkan Lea melakukan sesukanya dan menikmati makan malam itu dengan damai.

"Aku punya sesuatu, tunggu sebentar yah," ucap Lea hangat, ketika Nathan hendak pamit pulang.

Lea berlari kecil menuju ke ujung koridor, dan memasuki sebuah ruangan di sana. Nathan menunggu di tengah-tengah apartemen dengan tatapan menilai. Seluruh interior apartemen itu mengambil tema shabby chic yang menjadi kesukaan Lea sejak dulu. So fancy, so girly, and so Lea, pikir Nathan dalam hati.

"Hey..."

Suara Lea membuat Nathan berbalik untuk menatapnya. Lea tampak mendekap sebuah kotak berpita emas dan memberikan senyum yang begitu lebar padanya. Dia terlihat senang.

"Yeah?"

"Ini buat kamu," ucap Lea sambil menyodorkan kotak itu padanya. "Aku buat sendiri, dan aku merasa kalau kamu bakalan suka."

Buatan tangan? Pikir Nathan kaget. Apa yang sudah dilakukannya sampai Lea repot-repot membuatkan hasil karya untuknya? Separuh dirinya tampak begitu antusias mendapatkan kejutan seperti itu, separuh dirinya lagi kebingungan dengan perasaan aneh yang semakin menjalar di hatinya.

Nathan mengambil kotak itu dan segera membukanya. Sebuah leather pouch yang terbuat dari bahan kulit, tampak begitu mewah, dan terdapat sebuah Ipad di dalamnya. What the heck.

"Ini..."

"Aku mau ucapin terima kasih sama kamu, karena udah mau mengurus aku selama di sini. Juga mau ngajarin aku banyak hal. Anggap aja, aku juga lagi belajar kasih hadiah buat pacarku nantinya. Jadi aku bisa tahu apakah barang yang aku kasih ini, akan disukai atau nggak?" ujar Lea menjelaskan dengan antusias.

Itukah alasannya memberikan sebuah hadiah? Lea yang sedang melatih diri untuk menjadi kekasih sempurna bagi siapapun pria brengsek yang akan menjadi kekasih Lea nantinya. Damn! Rasa tidak rela Nathan kembali menguap.

"Apa kamu suka?" tanya Lea cemas, karena Nathan masih bergeming.

Nathan menatap barang pemberian Lea sambil mengusapnya ringan. Sungguh manis jika wanita itu memiliki ide yang sangat brilian, karena jujur saja, Nathan merasa senang. Jika dia berpikir hal seperti ini adalah sebuah pelatihan, maka tidak ada salahnya Nathan juga ingin memberikan sedikit pencerahan.

"Kamu nggak suka, yah?" kembali Lea bertanya dengan lirih.

Nathan tersenyum lalu menaruh hadiah dan kotaknya di meja kaca. Dia pun menegakkan tubuhnya untuk menatap Lea dengan dalam, dan menikmati kegugupan yang ditampilkan Lea sekarang.

"Mmm.. Nathan..."

Tanpa ragu, Nathan mengambil satu langkah untuk mendekat, meraih pinggang Lea dan menariknya dalam pelukan. Pekikan kaget Lea, cengkeraman kedua tangan Lea di bahu, dan payudara Lea yang membentur lembut di dada, membuat degup jantung Nathan berdetak dua kali lebih kencang.

"Nathan, kamu..."

Nathan memiringkan wajahnya dan memberikan sebuah ciuman ringan di bibir Lea. Shit! Bibir itu terasa manis dan Nathan menyukai aroma strawberry dari lipgloss yang dipakai Lea.

Dia tahu jika Lea sangat gugup dan jantungnya bergemuruh cepat, sampai Nathan bisa mendengarnya. Tapi bagaimana lagi? Nathan tidak bisa menahan dirinya dan sudah hilang akal.

Dia tidak peduli jika Lea adalah adik dari sahabatnya. Dia mengabaikan penolakan yang pernah dilakukannya pada Lea. Dia hanya menginginkan momen kebersamaan seperti ini untuk sekali saja. Yeah. Sekali saja. Meski sehabis ini, dia akan terkena tamparan dan Lea akan mengadu pada Wayne atas kelancangannya saat ini.

Nathan masih menunggu, dan semakin mengikis jarak di antara mereka, meski hanya menempelkan bibirnya saja. Kemudian, Nathan mencoba untuk kembali memberikan kecupan. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Dan dia melumat bibir bawah Lea. Hangat dan dalam. Itu adalah ciuman paling hati-hati yang pernah dilakukannya.

Nathan yang tadinya bekerja sendiri untuk ciuman itu, akhirnya mendapatkan balasan. Lea mulai membalas lumatannya dengan membuka bibir, dan membiarkan Nathan mengeksplorasi mulut dengan lidahnya.

"Ahhh..." Lea mengeluarkan desahan lembut dan itu memicu Nathan untuk menaikkan ritme ciumannya.

"Follow my lips, Lea," bisik Nathan di sela-sela ciumannya.

Lea tampak kebingungan dan itu membuat Nathan menggeram pelan. Dia tahu jika ciuman pertama Lea adalah miliknya, karena itu dia ingin memberikan kesan yang tidak terlupakan.

"Kiss and taste me, baby." Kembali Nathan berbisik sambil mengangkat Lea dalam gendongan, agar posisi keduanya sama tinggi, tanpa melepaskan ciumannya.

Lea memberikannya kecupan pelan. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Dan merubah menjadi lumatan yang begitu lembut. Shit! Nathan kembali menggeram mendapatkan kelembutan Lea yang mendominasi pikiran liarnya untuk bertindak.

"Your tongue!" desis Nathan. "Lick it and explore me. Ughhh... just like that, baby."

Lea cepat belajar. Dia melakukan apa yang disuruh Nathan dengan patuh dan seturut dengan keinginan Nathan. Bibir yang saling melumat, lidah yang bertautan, kemudian lepas dan kembali melanjutkan, sampai posisi mereka berubah menjadi Nathan yang duduk di sofa dengan Lea yang duduk di atas pangkuannya. Hal itu terjadi selama beberapa saat, atau ketika Nathan sudah meremas lembut bokong Lea di pangkuannya.

Ciuman itu terhenti ketika Lea menarik diri dan bernapas dengan terengah. Wajahnya memerah dan bibirnya membengkak. Dia tampak dua kali lipat lebih cantik. Nathan menyukainya. Keduanya bertatapan dengan napas yang memburu kasar.

"How it felt?" tanya Nathan serak.

Lea mengerjap bingung dan menangkup dadanya sambil menatap Nathan sayu.

"It was... my first."

"I know," balas Nathan lembut.

"A...aku.."

"Sshhh... jangan panik," ucap Nathan menenangkan. "Ini yang akan kamu dapetin, kalau cowok suka dengan hadiah yang kamu kasih."

Lea terdiam. Dia tampak berpikir selama beberapa saat, lalu mengangguk paham. Dia pun memberikan senyuman hangat dengan kesan lega di wajahnya.

"Kalau begitu ke depannya, aku akan pikir ulang untuk kasih hadiah" ucap Lea dengan wajah merona.

Nathan tertawa hambar. "Why?"

Lea turun dari pangkuannya dengan wajah yang semakin merona, dia membetulkan terusan selututnya dan menatap Nathan malu.

"Aku nggak kepengen ciuman kayak tadi. It feels too much," jawabnya pelan.

"Kamu menyesal?"

Lea menggeleng cepat. "Aku nggak menyesal dengan apa yang terjadi barusan. Kan aku jadi tambah pinter hehehe"

Nathan tertegun. Degup jantungnya kembali berpacu keras seiring dengan perkiraan yang memenuhi pikirannya saat ini. Berawal dari rasa tidak rela, maka Nathan nekat melakukan ciuman itu. Niatnya adalah memberi pencerahan, namun yang dirasakan Nathan lebih dari itu. Bahwa ternyata itu bukan sekedar pelatihan, melainkan timbul dari dalam hatinya, yang menjurus pada rasa ingin memiliki.

"Lea..."

"Thanks for teaching me, Nathan. Aku udah tahu gimana rasanya ciuman sekarang." sela Lea sambil terkekeh.

Dia tersenyum dan mulai mengambil pouch beserta Ipad di meja, memasukkannya kembali ke dalam kotak.

"Aku harap kamu pakai pouch ini. Agak susah loh nyari bahannya. Dari jahitan sampai bordir, itu semua aku yang buat," ujar Lea dengan nada riang sambil menyodorkan barang itu kepada Nathan, ketika sudah terbungkus rapi. "Semoga berguna buat kamu."

Sepertinya kewarasan Nathan semakin berkurang, sebab Lea membuatnya gila. Wanita itu baru saja mendapatkan ciuman pertama, dalam high speed level setara dengan foreplay kiss, tapi masih bersikap begitu santai seolah tidak terjadi apa-apa.

"Apa kamu yakin nggak ada yang perlu kamu tanyain soal barusan? Atau ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Nathan, untuk sekedar memastikan.

Sorot matanya mengawasi ekspresi Lea yang terdiam selama beberapa saat, lalu kembali mengulaskan senyuman penuh pengertian. Membuat Nathan membatin apakah barusan dia melakukan kesalahan? Karena dia yakin sudah melakukan ciuman itu dengan benar dan Lea membalasnya.

"Nggak, Nathan," jawab Lea dengan mantap. "Apa yang terjadi barusan sudah cukup buat aku mengerti, dan pelatihan yang kamu kasih adalah hal baru yang perlu aku ingat baik-baik. So thanks to you, I got my first kiss from a pro."

I'm so goddamn screwed!, batin Nathan.


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Ada yang masih ingat gimana rasanya ciuman pertama? 🙈

Awas! Jangan ingat-ingat!
Nanti yang ada malah ingat mantan 😆
Makin susah move on kalo gitu.


Published : Des 2017 - Feb 2018
New version : 15.04.19 (14.27 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top