Chapter 4 : Blue Ruby

Sesuai dengan rencana, keesokan harinya aku pergi ke Bank Exodus dan berusaha untuk meneliti perhiasan yang berada di dalam brankas penyimpanan mereka. Aku tidak akan ceritakan semua hal tentang sistem keamanan di sana, karena terlalu ribet untuk menjelaskan semuanya. Pokoknya, Bank Exodus benar - benar memperhatikan keamanan yang ada di brankas mereka.

Aku tidak sendirian ke sana, karena David ada bersamaku dan dia juga ingin melihat bagaimana keadaan perhiasan yang ada di sana. Sebelum kami pergi ke brankas untuk memeriksa perhiasan - perhiasan yang ada, Pak Andre membawa kami menuju ke pusat data dari Bank Exodus. David mengamati bagaimana pekerjaan para ahli IT di sana, dan sempat mengobrol dengan beberapa di antaranya. Dia bisa mendapatkan salinan dari data secara online terhadap semua perhiasan yang masuk ke brankas beserta dengan detilnya.

Kemudian, di sinilah kami, melangkah masuk ke dalam brankas Bank Exodus, langsung dibimbing oleh CEO - nya. Aku memandang ke depan, dan bisa melihat banyak laci kecil yang berisikan sejumlah perhiasan, yang diamankan dengan kuncinya masing - masing.

"Wow. Butuh usaha yang serius dan rencana yang matang kalau kau mau merampok tempat ini. Pengamanannya yang berlapis tentu tidaklah mudah untuk ditembus. Apalagi di dalam brankasnya masih banyak lemari dan laci yang juga dikunci. Belum lagi sistem keamanannya juga sudah digital, dengan sistem keamanan terkini. Tidak heran kalau Bank Exodus jadi bank yang sangat terkemuka di Inkuria," bisik David, tepat di telingaku.

Aku mengangguk, dan mengikuti Pak Andre dan Pak Idris yang berada di depan kami. Tak lama kemudian, kami sampai di depan sebuah tempat penyimpanan yang terdiri atas laci - laci kaca kecil yang diamankan dengan banyak sekali kunci. Pak Andre berbalik, dan melirik ke arahku dan juga David.

"Ini tempat penyimpanan kami. Kalau kamu mau mengecek, kalian bisa minta dua pria ini membukakan lemarinya untuk kalian. Aku akan kembali dalam waktu setengah jam, karena ada telepon yang harus aku jawab. Kalian tidak keberatan, kan? Toh Pak Idris akan ada bersama kalian," tanya Pak Andre.

"Tidak masalah, pak. Kami akan melihat - lihat dulu, kalau begitu," sahutku.

"Ah, baguslah. Saya akan segera kembali, kalau begitu."

Pak Andre segera saja melangkah ke luar bersama seorang perempuan yang merupakan sekretarisnya. Kini, hanya tinggal aku, David, Pak Idris dan dua pria pemegang kunci yang berada di hadapan lemari kaca itu.

"Phew, at least we didn't have to feel intimidated because of that Stoneface McGee for awhile," bisik David.

Aku tersenyum, berusaha menahan tawaku. Rupanya David juga berpendapat kalau Pak Andre orangnya sangat kaku. Yah, setidaknya kami bisa berada di sini bersama Pak Idris, yang jadi sedikit lebih santai.

Kakiku kini melangkah ke arah lemari kaca itu, dan mengamati isinya. Ada banyak perhiasan, mulai dari kalung, gelang, anting, cincin dan bahkan gelang kaki. Semuanya terlihat berkilauan, dan tentunya mahal. Siapa yang tahu coba kalau ada beberapa di antaranya yang palsu?

David kini ada di sebelahku, dan juga mengamati isi lemari kaca yang ada di hadapan kami. Kemudian, David mengetukkan jarinya ke kaca yang ada di hadapannya.

"Kaca anti anarki, kan? Tahan peluru, dan tidak bisa dipecahkan dengan mudah. Kuncinya juga berbeda antara satu sama lainnya. Aku rasa kalian juga mengganti lemari kaca ini setidaknya setiap setahun sekali, iya kan?" tanya David.

"Tentu saja, semuanya adalah sistem keamanan terbaik yang bisa kami dapatkan. Kunci setiap lemarinya juga cuma satu, dan diamankan dengan baik," kata salah satu pembawa kunci, yang dari tanda pengenalnya dapat terlihat kalau dia bernama Yusuf.

"Tentu saja. Aku bisa lihat dari kacanya ... kelihatannya bisa dipecahkan, tapi sebenarnya tidak. Keamanan kalian hebat."

"Kau kedengarannya tahu banyak soal keamanan ya? Aku saja tidak tahu kalau ini kaca anti anarki, karena aku tidak pernah diberitahu oleh Andre," tanya Pak Idris.

David tertawa, "Ah, jangan takut, aku tidak akan menggunakan pengetahuan itu untuk hal yang tidak benar kok. Aku memang bekerja sebagai ahli IT, seperti yang anda sudah tahu, dan spesialisasiku adalah keamanan. Selain keamanan situs dan server, aku juga belajar tentang keamanan secara umum. Satu keahlian lainnya yang aku miliki adalah menyusup, jadi aku belajar banyak soal kunci dan sistem keamanan, mulai dari yang paling kuno sampai yang termutakhir. Makanya aku bisa lihat tipe kunci dari lubangnya, lalu membedakan kaca biasa dan kaca anti anarki. Sudah bagian dari pekerjaanku untuk mengetahui hal seperti itu, jadi jangan kaget," kata David, lalu terkekeh.

"Wah, menarik. Sepertinya aku bisa coba kaca anti anarki, kebetulan aku harus segera ganti tempat penyimpanan di brankasku."

"Lemari besi kelas atas sebetulnya sudah cukup susah untuk dibuka kok, tapi kalau mau kelihatan lebih keren dan mengecoh perampok, anda bisa coba lemari kaca anti anarki."

Keahlian David itu memang benar adanya. Dia sudah sering membobol server dan juga keamanan banyak tempat. Kadang, kalau dipikir mengerikan juga andai saja David jadi penjahat, karena dia bisa melakukan banyak hal yang membuat para polisi kebingungan. Untungnya, dia tidak pernah bertindak di luar hukum kalau dia tidak perlu.

"Wah, ada banyak sekali yang harus dicek kalau kita memang harus memastikan bahwa semuanya asli. Pak Idris sudah mengecek semua ini kan? Lalu, mana yang menurut bapak mungkin saja palsu?" tanyaku.

"Pertanyaan bagus. Aku sudah mencatat dalam ponselku mana saja yang menurutku bisa jadi palsu, jadi mungkin aku bisa perlihatkan padamu beberapa di antaranya," kata Pak Idris.

Pak Idris meminta salah satu pemegang kunci itu untuk membuka sebuah lemari berisikan sebuah anting perak dengan hiasan berlian kecil. Aku memperhatikannya sejenak, dan Pak Idris memutarnya ke berbagai sisi.

"Aku tahu kalau ini anting, jadi akan sulit untuk menempatkan stempel di sini sebagai bukti keasliannya. Tapi biasanya, setidaknya ada satu stempel di perhiasan yang bisa membuktikan keasliannya. Sekarang, kebanyakan perhiasan yang asli itu pasti memiliki stempel. Aku mencurigainya karena stempel itu tidak ada. Tanggal produksi anting ini sepuluh tahun lalu, kalau kamu lihat sertifikatnya," jelas Pak Idris.

Aku mengangguk, dan mengambil surat sertifikat keaslian yang ada di dalam laci itu. Memang benar kalau tanggal produksinya 10 tahun yang lalu, dan dari kertas lainnya yang berisikan perjanjian peminjaman uang, anting ini diserahkan bulan lalu.

"Kalau orang awam, mungkin mereka tidak akan mengetahui yang mana yang asli dan mana yang tidak. Selama terlihat berkilauan, kurasa semua orang akan menganggapnya asli. Sebagai orang yang tidak mengetahui banyak hal soal perhiasan, aku rasa aku bisa saja mengatakan hal yang sama," komentar David.

"Begitulah. Mata orang awam tidak bisa membedakan mana yang merupakan emas asli dan mana yang palsu, lalu mana berlian yang mana cuma manik - manik yang berkilau. Kalau kau bisa memalsukan pehiasan dengan baik, maka kau akan untung banyak."

"Tapi membedakan mana yang asli dan mana yang tidak itu agak susah. Apakah anda sudah melakukan tes tertentu terhadap perhiasan - perhiasan yang ada di sini?" tanyaku.

"Aku memang ahli perhiasan, tapi aku adalah pekerja tambang, bukan ahli batu mulia. Aku banyak belajar soal perhiasan, tapi untuk menentukan keasliannya, aku sendiri agak kesulitan. Aku sudah membawa beberapa ahli batu mulia dari tempatku, dan mereka juga agak kesulitan untuk membedakan semuanya."

"Begitu? Bagaimana dengan tes asam? Aku rasa kalau kita bisa tahu apakah emas atau perak yang ada di dalam perhiasan ini asli atau tidak, maka kita akan bisa tahu apakah batu mulianya asli atau tidak."

"Kau benar. Tapi tidak mudah untuk membawa perlengkapan tesnya, lalu untuk melakukan subjek tes yang sebanyak ini. Selain itu, aku tidak menerima penjualan dari pihak lain, karena aku membeli semua perhiasan yang ada di tokoku dari orang - orang yang terpercaya. Jadi aku tidak punya peralatan yang begitu lengkap. Tes asam bisa jadi agak berbahaya kalau yang melakukannya bukanlah ahli. Jadi, aku hanya melakukan apa yang aku bisa, seperti menggunakan magnet dan menggosoknya dengan batu khusus. Karena itulah aku masih agak ragu."

"Is Mr. Jameson said he is planning to find a gemologist? Did he actually find them?" tanya David.

"Katanya sih begitu. Pak Jameson bilang kalau beliau akan mencarikan seorang ahli batu mulia untuk membantu dalam tes nantinya. Semoga saja beliau bisa mendapatkannya," jawabku.

"Ah, begitu? James memang selalu berpikir maju, ya? Aku tahu kalau di Inkuria ada beberapa ahli batu mulia yang hebat, tapi aku tidak yakin kalau ada yang bisa membantu dalam urusan seperti ini, apalagi karena ada banyak sekali perhiasan yang harus dites. Tapi, aku rasa James tahu apa yang harus dilakukannya," kata Pak Idris.

Kami melihat lebih banyak lagi perhiasan yang ada di sana. Ada beberapa keganjilan pada beberapa perhiasan, dan kami membahasnya untuk melihat apakah yang patut kami curigai. Sekilas, tidak ada yang aneh dengan perhiasan - perhiasan itu, semuanya terlihat biasa saja. Meski begitu, karena apa yang terjadi, aku tidak heran kalau Pak Andre jadi agak curiga.

Hingga akhirnya mataku tertuju pada sebuah kalung yang menarik perhatian. Warna batu yang ada di kalung itu terlihat seperti warna biru, tapi ketika aku mendekat, aku bisa melihat pancaran warna keunguan dari kalung itu. Selain itu, ada semacam bentuk tergoreskan di batunya, yang membuatnya semakin unik. Rantai perak yang menemaninya membuat kalung itu terlihat semakin berkelas.

Tidak lama kemudian, aku harus menahan diriku untuk tidak terlihat kaget di depan orang lain. Karena apa yang ada di hadapanku ini sama persis dengan kalung yang diperlihatkan oleh Indri semalam. Aku bisa melihat batu rubi yang berkilauan, persis dengan apa yang aku lihat di foto.

"Ah, kulihat kau tertarik dengan kalung batu rubi itu ya? Kalung yang menarik, kalau aku mau bilang. Tidak banyak batu rubi yang berwarna kebiruan seperti itu. Umumnya rubi itu berwarna merah, tapi ada jenis rubi yang berwarna keunguan. Jenis rubi ini namanya Star Ruby, karena bentuk serupa goresan yang ada di batu ini. Biasanya banyak di temukan di Myanmar, yang tertuliskan di dalam sertifikatnya. Batu ini dipoles dengan baik, dan harganya pasti selangit. Apalagi karena warnanya yang terlihat biru kalau dilihat dari jauh. Warna rubi yang paling bagus sebenarnya warna merah darah, tapi yang ini kelihatannya unik. Aku penasaran kenapa ada yang mau menggadaikan kalung seperti ini," kata Pak Idris.

Aku mengangguk. Dalam penelitianku dan sumber dari bacaan yang aku pinjam, ada banyak hal yang aku baca tentang rubi yang satu ini, karena memang batu ini cukup susah untuk didapatkan. Kalau memang begitu, maka tidak heran kalau Pak Idris dan Indri menganggap kalung ini berharga. Selain karena ada makna sentimental dari kalung ini, rupanya nilainya juga cukup tinggi.

"Iya, batu itu kelihatannya cantik. Kalau saja istriku melihatnya, maka dia pasti ingin sekali untuk mendapatkannya. Terutama karena istriku adalah penggemar batu rubi, yang juga merupakan batu kelahirannya," kata Pak Andre, yang sejak kapan sudah ada di sebelahku.

"Wah, aku yakin dia akan iri sekali dengan siapapun yang memiliki kalung ini," sahutku, memancing.

"Tentu saja. Aku tidak banyak melihat batu rubi seperti ini, dan tentunya aku juga ingin punya satu dalam koleksiku jika aku bisa," kata Pak Idris.

Beliau memerintahkan di pemegang kunci untuk membukakan lemarinya. Kalung itu memang cantik, tapi aku merasakan sensasi campur aduk karenanya. Di satu sisi, aku sudah menemukan kalung yang dicari oleh Indri. Tapi di sisi lain, apakah kalung ini asli? Lalu bagaimanakah caranya aku mengembalikannya pada Indri?

Setelah lemarinya terbuka, aku mengambil kertas nota dari perjanjian pinjaman terhadap kalung itu. Aku bisa melihat kalau nota yang aku pegang ini identik dengan fotokopi nota yang diberikan oleh Indri. Semua yang tertulis di sana sama persis, yang mana membuatku jadi agak khawatir.

Kemudian, aku melihat ke arah surat sertifikat kalung itu. Kelihatannya semuanya asli, dan hal ini jadi membuatku berpikir keras. Jadi, bagaimana caranya agar kalung ini bisa kembali pada Indri? Apakah suaminya Indri akan bisa menebus kalung ini kembali? Atau haruskah aku khawatir kalau - kalau kalung ini palsu?

"Menurut anda, apakah kalung ini palsu?" tanyaku, penasaran.

"Dari sedikit tes yang sudah aku lakukan, kelihatannya sih tidak. Tapi aku tidak menemukan stempel. Memang sih, kalau batunya sudah punya sertifikat, biasanya semua komponen perhiasannya sudah bisa diyakini memang asli. Yah, tapi aku kan tidak tahu. Bisa saja karena ini perhiasan edisi lama, makanya tidak ada stempelnya," kata Pak Idris.

Pak Andre melirik ke arah nota yang ada di tanganku, lalu ke kalung yang ada di lemari kaca itu. Beliau mengangguk, lalu melirik ke arah kami.

"Ah, aku tahu siapa yang menggadaikan kalung ini. Pria ini sudah sering kemari, aku hapal dengan dia. Si Albert ini punya bisnis penjualan perhiasan kecil - kecilan, dan dia biasanya menggadaikan beberapa perhiasan bagus, agar uangnya bisa dia gunakan untuk membeli beberapa perhiasan yang lebih murah. Lalu dia akan mengembalikan uangnya, setelah dia mendapatkan keuntungan dari penjualannya," kata Pak Andre.

"Oalah, begitu ya? Aku juga pernah melakukan hal seperti itu. Kalau memang dia pedagang perhiasan, seharusnya sih memang ini asli. Walau agak aneh juga karena dia menggadaikannya. Kalau aku sih, aku akan langsung menjual yang ini, karena ini pastinya akan cepat laku."

"Begitu? Kira - kira, kenapa dia memutuskan untuk menggadaikannya?" tanyaku.

"Entahlah. Bisa saja karena dia menyukai kalung ini dan menolak untuk menjualnya. Atau mungkin karena belum ada yang tertarik, jadi dia memutuskan untuk menggadaikannya dulu."

"Aku jadi penasaran, apakah kalung ini palsu atau tidak."

"Kalau sampai ini palsu, maka aku akan merasa jadi orang paling bodoh di muka bumi ini. Aku akan benar - benar marah, karena rasanya ini terlihat asli untukku."

"Aku rasa juga tidak mungkin begitu. Albert ini dapat dipercaya, jadi rasanya dia tidak akan jadi salah satu orang yang mengedarkan perhiasan palsu itu," tambah Pak Andre.

Aku mengangguk. Kini kepalaku semakin dipenuhi pertanyaan akan kalung ini, entah tentang keasliannya atau tentang bagaimana caranya agar kalung yang satu ini bisa kembali pada Indri. Semuanya terasa membingungkan untukku.

"Baiklah ... aku rasa masih ada banyak hal yang perlu untuk diselidiki. Aku dan David juga harus mengecek data yang kalian berikan. Bolehkah aku menanyai pegawai yang menangani nasabah yang mendapatkan anting palsu itu? Aku ingin tahu bagaimana masalah ini menurut sudut pandangnya," tanyaku.

"Kenapa tidak? Mari, saya akan minta seseorang untuk panggilkan dia."

Aku mengangguk, dan itulah akhir dari kunjungan kami ke brankas Bank Exodus. Kini, kami beralih menuju ke ruang di mana biasanya para pegawai biasanya berkumpul, dan Pak Andre memerintahkan untuk mencari pegawai yang dia maksud.

Pegawai yang menerima permintaan nasabah untuk membeli perhiasan saat itu adalah seorang perempuan muda yang baru satu tahun bekerja di Bank Exodus. Dari apa yang bisa aku lihat, sepertinya dia orangnya agak gugupan. Tapi dia kelihatannya adalah orang yang baik.

Aku dan David menanyai apa saja yang terjadi saat si nasabah mengetahui kalau anting yang ingin dia beli itu palsu. Si pegawai menuturkan kalau semuanya berjalan sebagaimana normalnya. Tidak ada yang aneh, sampai akhirnya si nasabah mengatakan kalau seorang perempuan yang bersamanya adalah ahli batu mulia dan dia ingin agar anting itu dicek. Si pegawai memperbolehkannya, karena tes bisa dilakukan oleh nasabah, kalau memang nasabah bisa melakukannya.

Si ahli batu mulia ini memeriksa antingnya dengan seksama. Dia memulainya dengan mengamati antingnya dari berbagai arah, kemudian dia mengeluarkan sebuah magnet kecil. Setelah memastikan antingnya dengan magnet tadi, dia mengeluarkan sebuah tas kecil. Di dalamnya, ada sebuah sarung tangan karet dan beberapa tabung kecil. Dia mengenakan sarung tangannya dan melapisi permukaan meja tempatnya melakukan tes dengan kertas, kemudian mengeluarkan sebuah batu khusus.

Si ahli mulai dengan menggosokkannya ke bagian anting yang tidak terlalu mencolok, kemudian dia mengambil sebuah pipet dan mencelupkannya ke sebuah tabung yang sudah dia berikan sebuah larutan. Dia mengulangi proses antara menggosok dan meneteskan larutan itu. Setelah beberapa saat, akhirnya si perempuan menatap ke arah si pegawai, lalu ke arah si nasabah. Dia mengatakan kalau anting itu palsu.

Suasananya jadi agak canggung dan agak membingungkan. Di satu sisi, si pegawai tidak tahu harus berbuat apa. Si nasabah merasa dibohongi, dan singkat kata, dia memutuskan untuk pergi dan tidak jadi melakukan transaksi.

Aku mencatat penuturan yang dia berikan sambil memperhatikan si pegawai. Dari wajah kebingungannya, aku rasa dia memang tidak tahu apa - apa soal perhiasan itu, dan tengah sial karena dia harus menghadapi hal seperti itu.

Kemudian, kami beralih ke seorang pegawai yang memiliki pengetahuan soal batu mulia, yang menerima anting itu saat digadaikan. Kejadiannya sudah agak lama, jadi si pegawai ini sudah agak lupa dengan detilnya, tapi dia bisa ingat kalau yang menyerahkannya saat itu adalah seorang wanita. Dia terlihat biasa saja, kemungkinan berasal dari kelas menengah karena dia tidak berpakaian mencolok.

Si perempuan ini menyerahkan antingnya dengan gelagat normal, dan semuanya berjalan dengan biasa saja. Karena ada sertifikatnya, si pegawai hanya melakukan pengecekan biasa. Setelah dia yakin bahwa antingnya asli, langsung saja dia menerimanya dan mencairkan pinjamannya.

Tentunya dia tidak tahu kalau anting itu sebenarnya palsu. Melalu uji magnet yang dilakukannya, si anting tidak menempel ke magnet, yang merupakan tanda kalau peraknya asli. Ketika mendengar berita kalau anting itu palsu, tentu saja dia bingung.

Penuturan mereka tentunya menyatakan kalau beberapa perhiasan palsu ini pastinya sangat menipu. Untuk saat ini, kita tidak tahu apakah hanya satu itu yang palsu, atau ada beberapa yang terdapat pada brankas Bank Exodus.

Aku juga menanyakan apakah mereka sudah mengecek keberadaan alamat perempuan yang tidak bisa menebus antingnya itu. Pak Andre mengatakan kalau mereka tentunya sudah melakukannya, tapi mereka malah tidak bisa menemukan perempuan itu. Alamat yang dia berikan rupanya palsu, begitu juga dengan nomor teleponnya. Seharusnya, setidaknya alamatnya benar, karena mereka mendapatkan alamat itu dari kartu identitas.

Kalau kejadiannya begitu, kemungkinan besar kalau kartu identitas yang dia berikan itu palsu. Jika memang identitasnya palsu, sepertinya yang memberikan anting itu memang seorang penipu yang berusaha mendapatkan uang tanpa perlu repot menebus kembali antingnya. Karena keberadaan perempuan ini tidak bisa dilacak, maka akan susah untuk mendapatkan si penipu ini.

Aku juga sempat melihat anting yang katanya palsu itu. Setelah kuperhatikan ke berbagai sisi, aku tidak bisa menemukan hal yang aneh. Tidak ada bekas goresan apapun, yang membuatku bingung.

Saat itulah aku sadar, kalau si ahli batu mulia tentunya sudah melakukan tes asam secara cepat. Kalau memang dia sudah melakukan tes asam, maka aku harusnya bisa menemukan bekas berwarna keunguan. Perak akan bereaksi dengan asam dan membuat warnanya jadi agak keunguan. Di anting itu, aku tidak bisa menemukan bekas keunguan, yang berarti hal itulah yang membuat si ahli batu mulia ini mengatakan kalau antingnya palsu.

Aku menanyai kembali si pegawai, untuk mengetahui tentang si ahli batu mulia. Sayangnya, si nasabah tidak menyebutkan siapa nama perempuan ini, sehingga aku tidak bisa mengetahui identitasnya. Aku menanyakan hal itu dengan harapan siapa tahu saja aku bisa menemukan si ahli batu mulia ini agar aku bisa menanyainya seputar anting itu, dan mungkin juga seputar perhiasan palsu.

Sayangnya, identitasnya tidak diketahui, sehingga aku tidak akan bisa menemuinya. Kalau saja aku bisa mengetahui siapa ahli batu mulia ini, pastinya akan membantu sekali.

Dengan semua keterangan yang bisa didapatkan dari para pegawai itu, berakhirlah penyelidikan kami untuk hari ini. Setelahnya, aku dan David langsung saja pamit dari Bank Exodus, untuk kembali ke kantor.

"Kau kelihatannya bingung sekali, Wil. Ada apa? Aku juga penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi, tapi kok kamu terganggu sekali ketika kamu melihat perhiasan itu?" tanya David, ketika kami sudah berada dalam mobil.

"Semuanya terlihat asli, David. Tapi dari tidak adanya bekas keunguan dari anting itu, maka dapat disimpulkan kalau uji asam yang dilakukan si ahli batu mulia menunjukkan tanda bahwa antingnya palsu. Kalau mata telanjangku tidak bisa membedakannya, maka akan makan waktu lama untuk mengetahui mana yang asli dan mana yang tidak," sahutku.

"Yah, memang. Kita sudah punya data dari surat perjanjian gadai seputar perhiasan itu. Dari apa yang mereka katakan, sepertinya kita harus melacak identitas, alamat dan nomor telepon para pemohon dana. Kalau ada alamat yang palsu, maka sepertinya kemungkinan perhiasan yang dia bawa juga palsu. Kalau alamat tidak bisa membantu, maka kita akan lacak lebih jauh sertifikatnya."

"Aku pikir sih begitu. Pastinya akan makan waktu lama untuk mengerjakan itu."

"Paling tidak butuh waktu seminggu, kalau aku mengerjakannya sendirian. Mungkin nanti aku bisa minta bantuan dari beberapa anggota tim IT yang menganggur."

"Ah, andai saja aku bisa menemukan siapa perempuan ahli batu mulia itu, mungkin keadaannya akan lebih mudah."

"Kita memang memerlukan seorang ahli, karena orang awam tentunya tidak akan bisa melakukan apa yang harus dilakukan. Semoga saja Pak Jameson bisa mendapatkannya. Tapi, kok kamu tertarik secara spesifik pada si kalung batu rubi itu? Memangnya ada apa dengan kalung itu?"

Aku menghela napas. Toh, masalah yang dimiliki oleh Indri ini bukan misi rahasia, dan David adalah partnerku dalam misi ini, jadi sepertinya lebih baik kalau dia tahu. Mataku fokus ke jalanan, kemudian aku melirik David sejenak. Suasana jalan raya cukup ramai, karena kebetulan jam makan siang baru saja selesai.

"Bagaimana kalau kita pergi makan siang? Ada sesuatu yang perlu aku ceritakan padamu tentang misi ini, yang sangat mengganggu pikiranku."

"Boleh juga. Kurasa sebentar lagi kita akan melewati sebuah restoran cepat saji, bagaimana kalau kita ke sana saja?"

Aku mengangguk, dan menuju ke tempat yang dimaksud oleh David. Kami memesan makanan terlebih dahulu, dan aku mulai bercerita setelah kami sama - sama duduk dan menyantap makanan kami.

David mendengarkan cerita yang aku tuturkan dengan seksama, sambil menyantap makan siangnya. Dia hampir saja tersedak saat mendengar bahwa Cameron sudah pernah menikah, tapi dia tetap mendengarkan ceritanya sampai habis.

"Ya Tuhan, aku tidak percaya kalau tidak ada yang tahu kalau Cam sudah pernah menikah! Fakta bahwa dia punya mantan istri itu akan sulit dipercaya oleh orang lain, tapi penuturan Indri bisa dibilang cukup meyakinkan," komentar David.

"Meyakinkan? Apa maksudmu?" tanyaku.

"Kita berhadapan dengan kasus penipuan, secara teknis. Jadi tidak salah kalau aku curiga akan penuturan Indri. Kalau ada perempuan yang bisa menipu pegawai bank agar dia bisa menggadaikan perhiasan palsu, maka aku tidak kaget kalau ada perempuan yang berusaha mengatakan kalau perhiasannya dicuri agar dia bisa mendapatkannya kembali."

"Aku tidak yakin kalau itu adalah kebohongan. Indri hanya mencoba untuk berhati - hati, karena dia tidak ingin bermasalah dengan suaminya."

"Yah, aku kan cuma mau bilang, kalau kemungkinan itu selalu ada. Eh tapi, aneh loh. Kalau Cam adalah sahabatmu, kenapa kamu tidak pernah tahu kalau dia sudah pernah menikah?"

"Yang kamu bahas ini Cameron Pacifia, satu dari beberapa orang yang tidak suka mengobrol soal masalah pribadi. Jadi, aku tidak pernah membahas hal seperti itu dengannya. Karena itulah, aku memang tidak tahu soal hal seperti itu."

"Hm, benar juga. Tapi kenapa Cam merahasiakan hal seperti itu padamu?"

"Aku tidak tahu. Kalau sampai sekarang aku tidak pernah tahu akan keluarganya yang ada di sini, rasanya tidak aneh kalau Cam tidak memberitahu soal mantan istrinya. Dia bercerai sebelum pindah ke pinggir kota dan sebelum aku datang ke Inkuria. Secara umum, orang kan tidak suka membahas perceraian, jadi kurasa wajar saja kalau Cam tidak pernah mengatakannya."

"Kamu ada benarnya juga. Toh, kamu dan Cam sudah sama - sama percaya sebagai sahabat. Wajar kalau setiap orang punya rahasianya sendiri, dan bagi sahabatmu untuk mendapatkan privasinya terhadap rahasia itu."

"Begitulah. Aku tidak ingin mengusik privasi Cam. Ngomong - ngomong soal persahabatan, kau dan Brian memang biasanya seperti itu ya?"

David mengerutkan alisnya, sebelum beberapa saat kemudian dia sadar apa yang aku maksud. Aku membahas akan apa yang terjadi dan aku saksikan semalam. Sebenarnya, bukan hal aneh bagiku kalau melihat dua pria sangat dekat sampai sangat nyaman satu sama lainnya dan terlihat sangat intim. Tapi apa yang kulihat dari Brian dan David agak sedikit kelewatan untuk standar itu, jadi aku hanya ingin tahu sedikit soal bagaimana sebenarnya pertemanan mereka.

Entah untuk alasan kenapa, pipi David memerah. Dia hanya terkekeh, lalu memandangku.

"Ah, soal yang kemarin. Aku dan Brian memang sering begitu. Dia kadang suka ngambek dan marah kalau aku bertindak menyebalkan, dan aku juga suka menggodanya sampai dia marah kepadaku. Walau begitu, kadang aku harus melakukan usaha perdamaian kalau Brian sampai ngambek, seperti yang kau lihat kemarin. Kadang bisa juga yang terjadi adalah yang sebaliknya, karena aku juga sering kesal akan keisengannya Brian."

"Oke, jadi itu sudah biasa. Maaf, soalnya aku agak heran dengan gaya pertemanan kalian. Aku sudah pernah melihat pertemanan semacam itu, tapi kalian rasanya berbeda sekali. Kalian sangat terbuka sekali, saking terbukanya sampai bisa membuat orang lain salah paham."

David terkekeh, "Ah, itu biasa. Sudah sering orang lain berkomentar macam - macam soal aku dan Brian. Tapi itu tidak mengganggu kami kok. Kami memang terbuka akan seksualitas kami, jadi tidak ada masalah bagi kami untuk menggoda atau merayu satu sama lainnya."

"Ah iya, kamu bi, kan?"

David mengangguk, "Yep, I mean, I am bi*, and Brian is a pan* guy. Jadi, jangan kaget kalau kami doyan merayu satu sama lainnya."

[*bi : slang untuk biseksual]
[*pan : slang untuk panseksual (orientasi seksual yang mana seseorang menyukai semua jenis kelamin, tanpa terkecuali)]

"Baiklah, aku mengerti sekarang. Tidak heran kalau Rila suka menggoda kalian dan mengatakan kalau kalian adalah pasangan serasi."

David tertawa, "Ah, dia itu. Rila memang senang menggoda kami seperti itu. Bisa dibilang kalau itu adalah inside jokes antara kami dan juga beberapa teman di akademi."

"Aku bisa lihat itu. Kau dan Brian kadang agak ricuh, tapi aku rasa kalau sudah mengenal kalian berdua dengan baik, maka akan bisa terlihat kalau kalian adalah sahabat baik."

"Tentu saja, kau akan terbiasa soal keberadaan kami nantinya. Bagiku, Brian adalah salah satu orang paling baik yang pernah aku temui. Dia akan selalu ada ketika aku susah atau senang, dan dia akan selalu membantuku di saat aku jatuh terpuruk. Aku pertama kali bertemu dengannya ketika lokerku macet dan Brian membantuku membukanya, dan sejak saat itulah aku berteman dengannya. Mungkin aku harus berterima kasih pada loker sialan itu, karena kalau tidak, aku tidak akan berteman baik dengan Brian."

Aku tertawa, "Kalau saja Brian dengar kau bilang begitu, dia pasti akan jadi besar kepala."

"Karena itulah kami tidak pernah mengucapkannya di hadapan satu sama lainnya. Kami berdua tahu kalau kami membutuhkan satu sama lain, dan kami adalah sahabat baik. Cuma, kalau bersama, kami akan terlihat ricuh. Karena begitulah cara kami bercanda. Coba tanyai kami secara terpisah, maka dia akan mengatakan hal yang baik tentangku, begitu juga denganku yang akan mengatakan kalau dia adalah sahabat baikku."

"Ah, begitu rupanya. Tapi, Brian sudah punya pacar, kan? Apa pacarnya tidak cemburu kalau kau dekat begitu dengan Brian?"

"Tidak kok. Brock mengerti akan bagaimana pertemananku dengan Brian. Dia kan juga sempat berada di akademi, dan dia tahu akan bagaimana kelakuanku dan Brian. Jadi, dia tidak kaget. Brock kan juga temanku, dia mengerti kok."

Aku mengangguk, "Oke, aku tidak akan tanya lagi kalau begitu. Mungkin aku masih tidak terbiasa akan kelakuan absurd kalian."

David tersenyum, lalu dia mengambil ponselnya. Dia mengetikkan sesuatu selama beberapa saat, sebelum akhirnya dia berdiri dari tempat duduknya.

"Kalau begitu, kuharap kamu bisa segera terbiasa dengan kelakuan aneh kami. Sementara kau selesaikan makananmu, aku akan pesan lagi,

"Loh? Kau masih mau makan?"

"Bukan untukku. Aku hanya ingin belikan makan siang untuk Brian. He's having a bad day, so for today I'll treat him. Semalam, dia kalah main game UNO online denganku dan dua teman kami di akademi, Daniel dan Kevin. Dia kesal karena aku yang menang dengan kartu +4 ditanganku. Lalu, hari ini dia harus bangun pagi karena dia harus menemui seseorang, berkaitan dengan misinya. Kemudian dia harus rapat dengan Pak Jameson setelahnya. Ini sudah jam satu siang, dan rapatnya mungkin akan selesai sebentar lagi. Suasana hatinya sedang tidak baik, dan aku tahu kalau makan siang yang enak akan menghiburnya."

Aku terkekeh, "Begitu rupanya. Kau memang sahabat yang baik, ya David?"

"Aku mencoba untuk jadi sahabat yang baik bagi Brian, karena itulah aku mengajakmu ke sini, agar aku bisa membelikan makanan favoritnya. Tapi, kau jangan bilang pada Brian kalau aku memang sengaja membelikan makan siang untuknya karena aku ingin menghiburnya, ya? Sepertinya dia akan tahu apa maksudku, tapi biarlah semuanya tidak perlu diucapkan."

"Baiklah. Kalau begitu sana, kau pesan saja makanan kesukaannya Brian."

"I am about to. I bet Brian will be happier if I got him a big portion of fries and nuggets. I'll be back soon."

Aku mengangguk, dan David pergi memesan makan siang untuk Brian. Mereka berdua punya gaya persahabatan yang berbeda dari aku dan Cameron, tapi semua orang tahu, kalau sahabatmu akan selalu tahu kapan kamu memerlukan sesuatu. Ketika kamu membutuhkannya, dia akan membantumu tanpa pamrih, dan itulah yang membuat sahabat sebagai seseorang yang sangat berharga dalam hidup seorang manusia.

~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top