Chapter 3 : Cameron's Wife (?)

Karena kini aku mendapatkan misi baru, maka ini berarti kalau aku harus melakukan beberapa penelitian akan apa saja yang penting soal perhiasan dan batu mulia pada umumnya. Aku memang sudah mengetahui beberapa hal soal topik ini, tapi tentunya akan lebih baik jika aku bisa menyegarkan ingatanku dulu.

Semalam, aku juga sudah berbicara dengan David. Dia mengetahui kalau tugas ini akan jadi cukup berat, tapi tentunya dia tidak bisa menolaknya karena ini adalah permintaan Pak Jameson. Kami sudah sepakat akan apa yang harus kami lakukan. Pencarian kami akan lebih fokus pada pelacakan jejak perhiasan - perhiasan yang ada, sebelum sampai ke Bank Exodus. David akan memeriksa semua jejak dari perhiasan yang ada, lalu mencocokkannya dengan data yang bisa dia dapatkan secara online. Kalau ada dua cerita yang tidak cocok, maka kami akan memeriksanya lebih jauh lagi.

Walau sudah disepakati apa saja yang akan kami lakukan, tetap saja aku harus melakukan beberapa penelitian soal batu mulia. Aku harus tahu apa saja yang penting, sehingga ini akan memudahkan pencarianku nantinya. Ada banyak hal soal batu mulia yang mungkin bisa jadi pengetahuan penting di kemudian hari.

Aku membaca kembali jurnal Cameron tentang misi yang berhubungan dengan perhiasan. Dia memberikan banyak perincian akan perhiasan palsu, dan cara membedakannya, yang tentunya sangat membantu. Tapi catatan itu saja tidaklah cukup, akan lebih baik jika aku mencari data tambahan agar pengetahuan yang aku miliki bisa jadi lebih akurat. Karena itulah, setelah makan siang hari ini, aku menuju ke ruangan Brian untuk mencari beberapa tambahan informasi.

Ruangan Brian ukurannya sedang saja, meski disesaki oleh beberapa rak buku. Meski kelihatannya biasa saja, ruangan ini memuat banyak sekali data penting yang bisa digunakan untuk misi. Terutama karena Rila, rekan seruangan Brian adalah salah satu jajaran utama dari Badan Riset di SPE. Dia adalah salah satu dari agen yang mengoleksi banyak buku dan juga berbagai informasi dalam bentuk online yang bisa membantu dalam berbagai misi. Karena itulah, ruangan ini jadi salah satu tujuan utama ketika membutuhkan informasi tertentu.

Bahkan walau Rila sekarang tengah melanjutkan pendidikannya di akademi, tetap saja ada banyak yang datang ke ruangannya untuk meminjam koleksi bukunya yang berkaitan akan banyak sekali aspek penyelidikan. Mulai dari buku seputar kejahatan sampai pengetahuan yang agak diremehkan seperti sejarah kota Inkuria, hampir semuanya bisa ditemukan di sana. Rila memang agak gila kalau soal penelitian, dan dia tahu banyak hal, entah hal itu penting atau tidak.

Dengan perlahan, aku mengetuk pintu ruangan Brian. Baru saja aku selesai dengan ketukanku, tiba - tiba saja terdengar sebuah seruan yang membuatku agak kaget.

"For feck sake David! I told ye to put back the fecking books back! Am I have to be yer nanny and clean yer fecking mess, ye giant ass baby fecker!" seru Brian.

"Alright then, ye grumpy fecker! I - I'll put this shit by meself! My God, you're so fecking moody today!" sahut David, dengan suara yang tidak kalah kerasnya dan aksen yang lebih kental daripada Brian.

Dari apa yang aku dengar, sepertinya David juga sedang berada di dalam ruangan Brian, dari bagaimana cara Brian menyumpah. Mereka berdua tidak kelihatan sebagai pasangan yang bisa akur, tapi anehnya mereka berdua malah sudah berteman sejak di akademi.

Kedua orang ini adalah sepasang duo asal Irlandia yang kacau. Kadang mereka berseteru, tapi sebenarnya mereka teman baik. Kalau berantem, satu koridor pasti bisa dengan suara mereka, meski kadang agak susah untuk memahami sumpahan apa yang mereka lontarkan satu sama lainnya karena aksen mereka yang cukup kuat.

Sekali lagi, aku ketuk pintu ruangan Brian. Kali ini, semoga saja Brian atau David bisa mendengar suaranya.

"Masuk saja!" seru Brian.

Akupun membuka pintu ruangan Brian, dan menemukan dua pria berada di dalamnya. Brian menghela napasnya, dengan wajahnya yang kemerahan entah karena cuaca yang agak panas atau karena kesal terhadap David. Brian tengah duduk di depan meja kerjanya, dengan laptop di hadapannya. Sementara itu, David tengah berada di depan salah satu rak buku yang berada di bagian kanan ruangan, untuk meletakkan beberapa buku. Hari ini, dia mengenakan kacamata anti radiasinya, mungkin karena dia baru saja bekerja di hadapan komputer.

"Kalian sedang sibuk?" tanyaku.

"Tidak juga. Ada apa, Wilson? Kau butuh bantuan?" kata Brian.

"Yah, begitulah. Karena David sudah ada di sini, kurasa kamu sudah tahu masalah apa yang aku miliki."

"Oh, tentu saja. Soal perhiasan palsu itu ya? Jadi, apa yang kamu butuhkan?"

"Mungkin beberapa buku tentang batu mulia dan juga perhiasan akan membantu. Aku butuh untuk menyegarkan ingatanku dulu soal perhiasan dan segala macam hal yang aku butuhkan."

"Baiklah. Kau bisa duduk dulu, Wilson. Aku akan ambilkan bukunya."

Brian berdiri dari kursinya, sementara itu aku duduk di sebuah kursi yang ada di hadapan meja Brian. Brian melangkah menuju ke rak buku yang sama dengan tempat David kini berada. Brian dengan sengaja menyenggol tubuh David agar dia minggir, yang membuat temannya terkekeh.

Brian mengambil beberapa buku yang ada di dekatnya, sementara itu David malah iseng dan mengganggunya. Dia melingkarkan tangannya di tubuh Brian, dan meletakkan kepalanya di rambut Brian. David lebih tinggi daripada Brian, sehingga bisa terlihat kalau David kini memeluk temannya dari belakang.

"Brian~ are ye mad at me because I don't help ye to put back these books?" tanya David.

"No. I am mad at ye because yer exist in me feckin' life. Ye fecking scumbag ...." sahut Brian.

"Aww, no. Ye can't get mad at me, I knew it. I am yer best friend, right?"

"No, now feck off, I want to grab another book and ye make me can't reach it."

David tekekeh, dan dia menjauhkan kedua lengannya sejenak, kemudian Brian membebaskan kedua lengannya. Setelahnya, David kembali memeluk Brian, sementara itu Brian berusaha meraih sebuah buku yang ada di rak paling atas.

"Can ye just, feck off for a sec? I can't reach that fecking book if ye keep clingin' on me like that!" kata Brian, sambil berusaha menjauh dari David.

"No. I just want to give ye a big, friendly hug," sahut David.

Brian menghela napasnya, lalu dia kembali berusaha meraih buku yang ada di rak paling atas dengan David yang menempel di punggungnya. Letak bukunya lebih tinggi daripada jangkauan Brian, dan dengan adanya David, tentu saja semuanya tidak mudah. David terkekeh, karena dia menyadari apa yang tengah terjadi.

"Aww, is lil Brian can't reach the top o' the bookshelf? Is Brian need lil help?" goda David.

"I am not short, it's just ye who's a tall fecker. I am six feet tall, and yer are human giant, because ye taller than that. Can ye just, feck off? Yer being such a fecking annoying bastard today," seru Brian.

"Do ye want me to help ye or nah? I can reach that high and get that book ye want."

Mereka berdua terdiam sejenak. Aku sendiri tidak bisa mengalihkan perhatianku dari mereka. Kalau orang lain melihat kejadian ini, mungkin mereka akan berpikir kalau hubungan antara Brian dan David ini agak aneh. Tapi kalau aku mau jujur, hubungan mereka sangat terbuka dan cukup menarik. Mereka kadang kelewatan anarkis, tapi kadang juga kelihatan kelewatan manis.

Hubungan Brian dan David tentunya berbeda dengan apa yang terjadi antara aku dan Cameron. Aku agak berharap andai saja ada Rila di sini, karena sepertinya hanya dia yang bisa menjelaskan sedikit tentang dua pria yang ada di hadapanku ini. Sejauh ini, hanya Rila yang paham akan apa yang tengah terjadi di hadapanku ini.

"Fine then. Can ye help me to grab that red book over there?" tanya Brian, sambil menunjuk ke arah sebuah buku.

David tidak menjawab, melainkan langsung meraih ke arah buku yang Brian inginkan. Karena David lebih tinggi daripada Brian, tentunya dia bisa meraih buku yang Brian inginkan tadi. Setelah mendapatkannya, David memberikan bukunya pada Brian.

"There ye go!" ujar David.

"Thanks Dave. Appreciate that. But I'll appreciate it more if ye feck off of me, I have to give this book and also I have to back to me fecking work."

"Sure then, sure. You also should stop being grumpy, tho."

"Yeah, whatever."

David mendekatkan wajahnya ke satu sisi wajah Brian, dan kalau pengelihatanku memang benar, maka dia baru saja memberikan sebuah ciuman di pipi Brian. Aku tidak akan komentar akan hal itu, kalau memang pertemanan mereka seperti itu. Tapi, hal tadi itu membuatku teringat akan beberapa hal yang cukup spesifik yang .... ah sudahlah.

Kini, Brian sudah kembali berada di depanku. Dia meletakkan buku - bukunya di atas meja, lalu kembali duduk di atas kursinya. Brian menekan keyboard laptopnya, lalu melirik ke arah buku tadi.

"Maaf agak lama, David menyebalkan sekali hari ini sih," kata Brian.

"Aww, I love ye too, Brian!" sahut David.

"Shut the feck off, will ye? Nah, ini ada beberapa buku yang seharusnya bisa membantumu. Tentang batu mulia, perhiasan, dan pengetahuan umum soal perhiasan palsu. Kalau kamu mau sesuatu yang lebih spesifik, kamu bisa tanyakan nanti. Aku akan data dulu bukunya,"

"Terima kasih, Bri. Nanti akan aku kembalikan bukunya kalau aku sudah selesai," sahutku.

Brian kembali melirik laptopnya, dan mengetikkan sesuatu. Dia pasti tengah mendata buku apa saja yang aku pinjam, agar ini bisa masuk ke catatan Badan Riset. Karena Rila tidak ada di sini, Brian harus bertanggungjawab akan semua buku yang ada di ruangan ini.

"Aku tahu. Siapapun pasti akan mengembalikan buku - buku ini karena semua orang tahu kalau Rila sangat menyanyangi koleksinya ini. Sayangnya, aku yang harus kerepotan selama dia pergi, padahal aku bukan anggota Badan Riset."

"Ya mau bagaimana lagi? Rila memutuskan untuk kembali ke Chicago, dan harus ada yang merawat buku - bukunya selama dia pergi."

"Ya, ya. Aku harap kantor baru kita bisa segera jadi, karena akhirnya buku - buku ini akan punya ruangannya sendiri. Selain itu, akan ada orang yang cocok untuk mengurus semua buku ini, karena sepertinya koleksi buku yang ada di kantor kita kini mulai jadi tidak terkendali jumlahnya. Dengan sebuah perpustakaan tersendiri, semuanya tentu akan jadi lebih mudah."

Aku mengangguk. Pak Jameson memang berencana mendapatkan sebuah kantor baru, yang kemungkinan akan bisa ditempati tahun depan. Lokasinya masih berada di tengah kota, dan beliau memilih untuk merenovasi sebuah kantor yang tidak terpakai lagi dan menyulapnya sebagai kantor baru SPE. Bangunannya masih dalam proses pengerjaan, dan semoga saja semuanya bisa selesai segera. Karena walau bangunan ruko yang disulap jadi kantor ini sudah cukup bagus, tapi tetap saja akan lebih baik kalau semuanya bisa lebih teratur, seperti memberikan ruangan khusus untuk koleksi buku dan juga ruangan untuk tim IT agar semuanya jadi lebih rapi.

"Pasti akan menyenangkan kalau tidak perlu bolak - balik mencari buku yang diperlukan ke ruangan para anggota Badan Riset. Kau juga tidak perlu ribet dengan semua ini."

"Nah, itu dia! Aku bukan anggota Badan Riset, tapi aku harus merawat semua buku - buku ini! Seolah pekerjaanku masih kurang saja! Aku tidak marah pada Rila yang memberiku tanggungjawab ini, tapi aku butuh sedikit waktu untuk beristirahat!"

"Bersabarlah sedikit, Bri. Kita akan segera dapat kantor baru, dan aku harap Rila tidak pergi untuk jangka waktu yang lama."

"Lima tahun. Itu kedengarannya tidak sebentar, tapi kalau sudah berlalu rasanya cepat sekali. Jadi, semoga saja dia tidak pergi dalam waktu yang lebih lama lagi. Rila itu menyebalkan, tapi dia punya otak, aku akui itu. Dia ahli kalau sudah berurusan dengan semua data yang menurutku membosankan, dan kantor kita memang membutuhkan orang seperti dia untuk membuat keluar masuknya data dan juga analisis jadi lebih teratur."

"Kau benar. Tapi kenapa Rila harus kembali ke Chicago sekarang? Bukankah dia adalah agen yang cukup handal, bahkan walau dia tidak memiliki sertifikasi sebagai Agen Senior? Aku yakin SAC akan memberikan sertifikasi itu kalau saja Rila bisa menyelesaikan beberapa kasus besar dengan baik tanpa dia perlu kembali ke akademi. Semua orang tahu kalau Rila adalah salah satu jajaran top agent, tidak kalah profesionalnya dari ayahnya. Tapi kenapa?"

David kini duduk di sebelahku, dan dia terkekeh. Dia dan Brian saling bertukar pandangan, sebelum akhirnya mereka kembali melihat ke arahku.

"Untuk pertanyaan yang satu itu, Wil, kalau mau jujur, kami juga tidak tahu apa alasannya. Dia baru memberi tahu soal keinginannya untuk kembali ke Chicago pada akhir tahun lalu, dan dia hanya mengatakannya seolah itu adalah sebuah percakapan yang tidak penting. Tapi ternyata, dia benar - benar pergi. Bahkan pacarnya saja kaget, dan dia sampai berpikir kalau Rila melakukannya karena dia ingin menghindari pacarnya yang kebetulan memutuskannya sesaat sebelum Rila pergi. Apapun alasan yang dia punya, tidak seorangpun ada yang tahu kenapa. Yah, mungkin kecuali kedua orang tuanya," kata David.

"Dia memang begitu, Wil. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada di dalam kepalanya, dan dia tidak mempercayai orang lain untuk mengetahui apa yang sebenarnya ada di dalam kepalanya. Alasan yang paling mungkin kenapa dia kembali ke Chicago hanyalah karena dia ingin mendapatkan sertifikasinya. Kami juga pernah menanyakan apa alasan dia kembali ke Chicago, dan dia hanya menjawab dengan singkat, kalau ada beberapa hal yang harus dia selesaikan," sahut Brian.

Aku mengerutkan alisku, "Tapi apa itu? Kalau membahas soal insiden yang membunuh kekasihnya saat itu, maka semuanya sudah selesai, kan? Rila sudah membunuh siapapun orang yang membunuh Arlan saat itu, jadi tentu saja dia tidak kembali ke sana untuk balas dendam, kan? Dia bisa saja menghindari Chicago kalau memang kota itu mengingatkannya akan kenangan buruk, tapi dia memutuskan untuk kembali?" tanyaku.

"Kan tadi aku sudah bilang, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya, jadi aku juga sama bingungnya denganmu. Siapa yang tahu kalau ada sesuatu yang terjadi, dan tidak ada seorangpun yang tahu soal itu? Rila mungkin punya beberapa rahasia di dalam dirinya yang kita tidak akan tahu apa itu."

Kami terdiam sejenak. Aku tidak begitu mengenal Rila seperti kedua pemuda ini. Tapi sepertinya mereka sama bingungnya dengan aku. Rila sendiri bisa memunculkan sebuah kesan yang memukau, karena sepertinya semua orang mungkin berpikir kalau mereka mengenal Rila dengan baik. Hanya saja, kalau dipikirkan lagi, mungkin masih banyak hal yang tidak orang lain tidak ketahui soal dia.

"Ah iya, sebenarnya ada satu keanehan yang baru disadari setelah beberapa saat. Rila memang membunuh orang yang sudah menewaskan Arlan, tapi ada satu hal yang tidak banyak orang tahu. Di tempat kejadian, ada satu peluru yang ditembakkan dari arah berlawanan dengan arah tembakan Rila. Selain itu, ada beberapa lawan yang terluka di sana, dan arah peluru itu bersarang juga berlawanan dari arah di mana Rila berada. Masih jadi misteri kenapa itu bisa terjadi," kata David.

Aku menghela napas. Aku mengenal Rila selama beberapa bulan sebelum dia pergi, karena sebelumnya aku tidak pernah berada di dekat anaknya Pak Jameson ini. Dia memang orang yang kadang agak membingungkan, tapi dia punya kecenderungan untuk jadi orang baik. Tapi, hanya itu yang aku tahu. Hanya saja, dia sedikit banyak mengingatkanku pada Cameron. Keduanya sama - sama punya rahasia yang mungkin tidak diketahui oleh siapapun.

"Sudahlah, jangan pikirkan soal Rila. Mendingan, kamu pikirkan saja soal misi yang baru kamu terima. Misimu ini cukup penting, dan pastinya akan menguras energi nantinya. Simpan energimu untuk berpikir, karena kamu akan membutuhkannya," kata Brian.

"Brian benar. Kita nanti akan dipusingkan oleh banyak data, jadi kamu harus bersiap," tambah David.

Aku mengangguk. Mereka benar, aku harus menyiapkan diri untuk misiku. Hal ini akan jadi cukup berat, dan aku harus bisa menghadapinya.

~~~~~

Hari itu berjalan dengan tenang, dan aku menghabiskan waktu untuk membaca buku yang sudah kupinjam setelah aku kembali dari ruangannya Brian. Semuanya terlihat normal, dan aku pulang ke rumah pada jam biasanya.

Ketika aku sampai di rumah, istriku, Emilia menyambut kedatanganku. Dia memberikanku pelukan dan ciuman, sebelum akhirnya aku masuk ke dalam rumah. Tidak ada hal apapun yang aneh.

Malam datang dengan cepat, dan aku menghabiskan waktu dengan membaca buku yang belum terselesaikan. Aku duduk di sofa ruang tengah, dengan Emilia yang ada di sampingku. Dia menyandarkan kepalanya pada bahuku, sambil menonton televisi.

Tapi suasana tenang itu harus terusik karena tiba - tiba saja terdengar suara ketukan di pintu depan. Istriku bergegas untuk membuka pintunya, dan aku memutuskan untuk menutup bukuku, karena aku penasaran akan siapa yang datang malam ini. Aku dan Emilia tentunya tidak menunggu siapapun datang malam ini, jadi hal ini tentunya agak aneh.

Ketika aku sudah sampai di dekat pintu, aku bisa melihat Emilia memasang sebuah ekspresi bingung. Hal ini semakin membuatku bertanya akan apa yang sebenarnya terjadi.

"Ada apa, Em?" tanyaku.

"Perempuan ini mencarimu, Wil. Kamu mengenalnya?" tanya Emilia.

Istriku menyingkir dari pintu, dan setelahnya, aku bisa melihat seorang perempuan cantik dengan rambut pendek dan tubuh mungil berada di depan pintu. Dari apa yang aku lihat, kemungkinan usianya masih di awal 30 - an. Tapi ada satu masalah, yaitu aku tidak mengenal perempuan yang ada di hadapanku ini.

"Maaf kalau saya menganggu, tapi apa benar ini kediamannya Wilson Wright? Saya ingin bertemu dengannya," kata si wanita.

Aku mengerutkan keningku, "Iya, memang benar. Dengan saya sendiri. Ada apa ya?" tanyaku.

"Ah! Akhirnya! Saya sudah mencari tahu banyak hal tentang anda, dan akhirnya saya menemukan anda! Saya tidak bermaksud untuk memata - matai anda, tapi saya mendapatkan informasi tentang anda dari salah satu teman saya, Pak Ryan Avory."

Aku kembali teringat akan nama itu. Ryan Avory, ayah dari Madison Avory yang merupakan salah satu korban kekejaman Maxime. Aku pernah menemui Pak Ryan beberapa kali selama berada di kota setelah selesainya kasus itu, dan aku memang memberikan alamatku kepada beliau.

"Ah, oke. Lalu ... siapa anda dan kenapa anda kemari?"

"Oh iya, aku lupa kalau aku belum memperkenalkan diriku sendiri! Namaku Indriana Chester, dan aku adalah mantan istrinya Cameron. Aku kemari karena aku ingin meminta pertolonganmu."

Pernyataannya tadi tentu saja membuatku kaget. Pertama, aku tidak mengenalnya dan dia bisa mengetahui nama dan alamatku adalah satu hal yang agak menakutkan. Lalu yang kedua, sejak kapan Cameron punya istri? Aku tidak pernah tahu kalau Cameron pernah berhubungan secara intensif dengan seseorang selain diriku, meski rasanya tidak aneh kalau sampai hal ini terjadi. Tapi, Cameron punya mantan istri dan aku tidak tahu akan hal ini? Kenapa? Apakah ini salah satu rahasia yang disembunyikan oleh Cameron?

"Tapi ... bagaimana bisa? Cameron tidak pernah memberitahu aku kalau dia pernah menikah, dan ...." kataku, terputus.

"Aku mengerti kalau kamu bingung, karena aku tahu bahwa Cameron tidak banyak memberitahu akan hal - hal yang bersifat pribadi. Aku sudah bercerai dengan Cam sebelum kamu datang ke sini, jadi mungkin itulah alasan kenapa kamu tidak pernah mengetahuinya. Mungkin kedatanganku ini mendadak, tapi aku betul - betul butuh bantuanmu, Wilson."

Aku memandang Emilia sejenak. Dia sama kagetnya denganku, karena dia juga mengenal Cameron. Apa yang baru saja aku dengan ini agak tidak masuk akal, tapi tidak ada yang tahu apa sebenarnya rahasia yang disimpan oleh Cameron, jadi kalau rahasianya adalah hal seperti ini, mungkin ini bukanlah hal yang mustahil.

"Eh, bagaimana kalau kalian masuk saja dulu, agar bisa mengobrol? Sepertinya akan lebih enak jika kalian duduk dulu," kata Emilia.

Aku mengangguk, dan mempersilahkan tamu itu masuk ke dalam. Kami duduk di ruang tamu, dan istriku masuk ke dalam rumah untuk membuatkan teh. Kini, aku berhadapan dengan wanita bernama Indriana Chester ini, dengan sejuta pertanyaan di dalam kepalaku.

"Mungkin kamu bingung kenapa aku memutuskan untuk datang kemari. Tapi, aku tidak tahu lagi siapa yang bisa aku percaya untuk masalah ini. Semua hal antara aku dan Cameron sudah jadi masa lalu, tapi aku rasa ada bagusnya kalau aku menceritakannya terlebih dahulu kepadamu," kata Indri.

"Baiklah, silahkan saja. Aku juga ingin tahu apa yang sebenarnya tidak pernah Cameron ceritakan kepadaku," sahutku.

Indri tersenyum, "Baiklah, saya akan mulai. Dulu, aku mengenal Cameron ketika masih kecil. Kami hanya teman sepermainan biasa, tidak ada yang aneh di antara kami. Kemudian, aku tidak bertemu dengannya dalam jangka waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya, pada tahun 2009, aku kembali bertemu dengan Cameron. Dia mengatakan kalau dirinya baru saja menyelesaikan sekolahnya di Chicago, dan dia menetap di kota Inkuria. Saat itulah, aku mulai dekat dengam Cameron," tutut Indri.

"Kami dekat selama beberapa bulan, dan kami berdua ingin untuk langsung mengikat hubungan kami dalam sebuah pernikahan. Jadi, kami menyelenggarakan sebuah pernikahan yang sederhana. Semuanya berlangsung dengan baik selama dua tahun. Ketika akhir tahun 2011, kami berdua merasakan kalau ada sesuatu yang salah dalam hubungan kami. Kami masih sangat muda dan melakukan semuanya dengan sangat terburu - buru. Karena itulah, kami memutuskan untuk bercerai saja. Saat kami akhirnya berpisah pada tahun 2012, Cameron memutuskan untuk pindah ke pinggir kota, katanya dia ingin menjadi penyidik mandiri bersamamu, karena katanya kamu akan datang ke Inkuria."

"Tapi semua itu sudah jadi masa lalu. Aku menghormati keputusan yang dibuat oleh Cameron, dan tidak berniat mengganggu kehidupan pribadinya. Bahkan aku tidak berani mengunjungi makamnya ketika aku mendengar kalau Cameron sudah tiada. Aku tidak berniat untuk mengusikmu dengan kedatanganku yang tiba - tiba, tapi aku sangat butuh bantuan."

Aku terdiam sejenak, berusaha untuk memahami cerita yang diberikan oleh Indri. Kalau memang Cameron sempat menikah ketika aku masih berada di Detroit, maka semuanya masuk akal. Toh, saat itu internet belum seperti sekarang, jadi komunikasi antara aku dan Cameron tentunya agak terbatas. Selain itu, Cameron memang tidak suka membicarakan soal keluarga dan masalah pribadi, dan aku juga tidak pernah menanyakannya karena aku tahu bagaimana sifat Cameron.

Penuturan Indri tadi malah tidak membuatku lega. Secara teknis, kini aku tahu satu dari beberapa rahasia yang disimpan oleh Cameron, tapi kok rasanya seperti masih ada yang aneh ya? Aku malah bingung akan bagaimana harusnya aku merespon hal yang satu ini.

"Baiklah ... aku tahu kalau Cameron menyimpan banyak hal untuk dirinya sendiri, dan aku senang bisa mengetahui sepenggal cerita ini darimu. Hanya saja ... entahlah, aku sangat bingung. Aku mengenal Cameron dengan baik, dan rasanya aneh juga mendengar kalau Cameron pernah menikah. Cameron tidak pernah ingin untuk terikat dalam sebuah hubungan, jadi tidak pernah terpikir olehku kalau Cameron sampai menikah," kataku.

"Aku mengerti, kedatanganku memang agak mendadak. Tapi itulah yang terjadi. Aku senang karena akhirnya bisa bertemu denganmu, Wilson. Cameron menceritakan banyak hal padaku tentangmu," sahut Indri.

Aku mengangguk, "Lalu, apa masalah yang membawamu kemari? Pertolongan macam apa yang kamu inginkan?"

"Jadi begini, beberapa tahun setelah aku bercerai dengan Cameron, aku menemukan seorang pria yang kini menjadi suamiku, Albert namanya. Dia adalah pria yang sangat baik, dan hubungan kami sangat harmonis. Tapi, akhir - akhir ini ada masalah yang muncul di antara kami."

"Entah kenapa, akhir - akhir ini suamiku selalu mengeluh tentang uang. Padahal, pekerjaannya bisa menghidupi kami berdua dengan baik. Aku jadi agak curiga, tapi mungkin saja Albert mengeluhkannya karena biaya hidup sekarang mulai meningkat, dan di masa depan tentunya kami akan punya anak untuk diurus. Aku kira masalahnya hanya seperti itu."

"Tapi beberapa hari lalu, aku tengah mengecek kotak perhiasan yang aku punya. Di dalamnya ada beberapa perhiasan yang aku punya, dan ada satu yang hilang. Perhiasan yang hilang ini adalah sebuah kalung dengan batu rubi berwarna biru. Aku sudah mencarinya kemana - mana, tapi aku tidak bisa menemukannya. Sudah kutanyakan hal itu pada Albert, tapi dia mengelak kalau dirinya tidak tahu akan hal itu."

"Aku selalu berada di dalam rumah, jadi aku tahu kalau saja ada sesuatu yang aneh terjadi. Kami tidak pernah menerima tamu selama beberapa minggu belakangan, dan tentunya aku tidak akan membiarkan tamu untuk masuk ke kamar pribadi kami. Kalau saja ada maling yang masuk, seharusnya aku bisa mengetahuinya. Hal ini membuatku mau tidak mau berpikir kalau suamiku mengetahui sesuatu soal hal ini. Dari bagaimana caranya mengelak dariku, aku jadi mencurigai kalau dia yang mengambilnya, tapi aku tidak bisa menuduhnya begitu saja."

"Kalung itu sangat berharga untukku. Itu adalah satu - satunya peninggalan yang diberikan Cameron kepadaku. Dia memberikannya saat ulang tahun pernikahan kami yang pertama, dan Cameron membiarkan aku menyimpannya sebagai kenangan. Walau Albert memaksaku, aku tidak akan pernah menjual kalung itu sampai kapanpun. Tapi sepertinya, dia tahu kalau benda itu nilainya cukup tinggi, makanya dia mengambilnya."

Penuturan Indri tadi membuat aku mengerutkan keningku. Kebetulan apa ini yang membawaku ke sebuah kasus lainnya yang berhubungan dengan perhiasan? Besok aku harus pergi ke Bank Exodus bersama David, dan sekarang mantan istri Cameron kehilangan kalung yang ditinggalkan oleh Cameron dan yang kemungkinan mencurinya adalah suaminya sendiri? Kenapa hal ini bisa terjadi di waktu yang bersamaan begini?

Biasanya, Cameron akan mengatakan kalau tidak ada sesuatu yang kebetulan terjadi, karena banyak hal itu terencana, entah secara sadar atau tidak. Kalau mau jujur, sepertinya perkataan Cameron itu ada benarnya. Tapi, di mana hubungan antara kedua hal ini?

"Oke, baiklah. Jadi kamu kehilangan kalung yang Cameron berikan kepadamu, dan yang mencurinya bisa saja adalah suamimu?" tanyaku.

"Ya. Aku sangat ingin agar kalung itu bisa kembali. Itu satu - satunya peninggalan dari Cameron yang aku punya," kata Indri.

Emilia yang sejak tadi menyimak cerita dari Indri kini menatapku dengan ekspresi dengan campuran kebingungan dan juga penasaran. Aku balas menatapnya, kemudian mengangguk. Sepertinya aku harus melakukan hal ini, karena aku ingin agar Indri bisa mendapatkan apa yang seharusnya sudah jadi miliknya.

"Aku sebenarnya punya pekerjaan lain, tapi aku rasa aku bisa membantumu dalam masalah yang kamu miliki itu. Jadi, apakah kamu punya beberapa detil yang bisa membantuku dalam mencari keberadaan kalung ini? Atau mungkin nanti aku harus menanyai suamimu?"

"Aku rasa Albert malah akan curiga kalau kamu menanyainya. Jadi, aku sudah mencoba sebisa mungkin untuk menemukan beberapa petunjuk yang mungkin bisa aku dapatkan. Aku sudah memeriksa saku - saku di pakaian suamiku, dan aku menemukan sesuatu yang menarik."

Indri mencari sesuatu dari dalam tas tangan yang dia bawa, dan aku menunggu dengan penasaran. Setelahnya, dia meletakkan selembar kertas fotokopi dari sebuah nota di hadapanku. Aku mengamatinya sejenak, dan di atas kertas itu ada logo dari Bank Exodus.

"Aku menemukan nota penggadaian ini di saku celana Albert. Aku hanya membawa fotokopinya, karena aku takut kalau Albert akan curiga kalau sampai notanya hilang. Dari apa yang bisa aku baca di sana, sepertinya dia telah menggadaikan kalung itu ke Bank Exodus," kata Indri.

"Bukankah kalau begitu kau tidak perlu khawatir? Toh kalungnya cuma digadaikan, dan aku rasa Albert akan bisa mengembalikannya padamu," tanyaku.

"Coba lihat berapa jumlah yang dicairkan dari kalung itu! Jumlahnya cukup banyak, dan aku tidak tahu apakah Albert akan sanggup untuk membayarnya! Lalu, aku tidak tahu apakah nota ini asli atau palsu. Bisa saja kan Albert membuatnya, dan dia sebenarnya sudah menjual kalung itu?"

"Mungkin saja ... kalau begitu, aku harus mencari kebenaran akan transaksi ini dulu."

"Yah, mungkin itu bisa membantu. Lalu, ini, aku ada membawa foto dari kalung yang aku cari."

Kini, Indri menyerahkan sebuah kertas yang berisikan foto dari kalung yang dia cari. Batu rubi yang menjadi pusat perhatian kalung itu berpendar wara biru keunguan, dengan rantai kalung berupa perak yang membuatnya terlihat cukup mewah. Tidak heran kalau kalungnya dinilai dengan harga yang cukup tinggi, karena memang batunya sendiri terlihat dari kelas atas.

"Baiklah, aku akan simpan ini untuk membantuku dalam penyelidikan. Ada lagi yang mau kamu tambahkan?"

"Sepertinya tidak ada. Aku akan berusaha untuk mengamati suamiku, siapa tahu dia nantinya akan mengaku."

Aku mengangguk, "Kalau begitu, akan lebih baik jika kita saling bertukar nomor telepon, agar aku bisa bertanya atau menyampaikan informasi kepadamu."

Indri menyetujuinya, dan kami saling bertukar nomor telepon. Setelahnya, Indri tidak ingin berlama - lama karena dia langsung saja memutuskan untuk pamit. Aku mengantarkannya sampai ke depan pintu rumah, dan dia mengatakan kalau dirinya akan mencari taksi di sekitar sini.

Aku mengamati perempuan itu sampai akhirnya dia menjauh dalam kegelapan malam. Emilia ada di sampingku, dan mengelus bahuku. Dia terlihat agak khawatir.

"Kau yakin kalau kamu bisa menolongnya? Bukannya kamu baru saja menerima sebuah misi?" tanya Emilia.

"Ya. Tapi entah kebetulan atau apa, misiku ini berhubungan dengan Bank Exodus. Jadi, aku bisa sekalian mencaritahu soal kalung itu saat aku berkunjung ke sana," sahutku.

Entah kebetulan atau apapun, aku harus mencobanya terlebih dahulu. Mungkin saja dua hal ini berhubungan, dan bisa membantuku dalam menyelesaikan pekerjaanku.

Hanya saja, aku tidak tahu apakah benar bahwa ini adalah hal yang akan membawaku ke dalam apa saja yang Cameron rahasiakan. Kalau memang ini berhubungan dengan rahasianya, aku tidak akan tahu apa kaitannya, dan aku penasaran bagaimana semuanya bisa terhubung.

Tapi tetap saja, aku masih penasaran tentang beberapa hal. Cameron pernah punya istri, dan tidak pernah ada seorangpun yang tahu? Kok bisa? Lagi, kenapa aku baru tahu soal kenyataan ini sekarang?
~~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top