Chapter 11 : [Epilogue] Cameron's Personal Journal
Secara resmi, akhirnya misi ini berakhir. Pak Andre sudah mengetahui perhiasan mana saja yang palsu, dan dia bisa melakukan tindakan berikutnya untuk memperingatkan nasabahnya akan perhiasan palsu itu. Kemudian, Bank Exodus juga bisa meningkatkan lagi keamanan mereka. Selain itu, Indri dan Albert juga sudah tertangkap, jadi mereka tidak akan lagi mengedarkan perhiasan palsu seperti yang sudah terjadi sebelumnya.
Masalah Indri dan Albert sudah diserahkan kepada Kepolisian Inkuria, yang berarti bahwa mereka akan segera diproses secara hukum. Misi berakhir sampai di sana, dan semuanya berakhir dengan baik.
Siapa yang menyangka kalau untuk mengetahui apa saja yang telah terjadi pada Cameron mengharuskan aku terlibat akan sesuatu yang ribet seperti ini? Kepalsuan, kebohongan dan kebingungan mendominasi isi kepalaku selama misi ini, dan aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya dengan benar.
Kalau mau jujur, aku merasa kalau diriku bukanlah tokoh utama dari misi ini. Aku merasa kalau ini tetaplah misi milik Cameron, dan aku hanya menjalankan perintahnya. Padahal, akulah yang diserahi misi ini. Tapi rasanya, ini sama sekali bukan misi yang mementingkan peranku. Hendra juga banyak muncul, walau dia mengatur semuanya dengan caranya yang misterius. Belum lagi ada banyak orang terlibat di dalamnya, seperti David dan Jasmine yang juga berperan penting dalam menyelesaikan misi ini.
Walau begitu, toh di akhir kisah, aku tidak terlalu peduli. Karena misi ini bukan tentangku, tapi tentang Cameron. Tentang bagaimana masa lalunya yang tidak diketahui oleh banyak orang, dan masalah apa yang belum sempat diselesaikannya ketika dia meninggalkan dunia ini. Cameron hanya ingin memberitahu kami akan apa yang selama ini dirahasiakannya.
Cameron tentunya tidak ingin meninggalkan masalah bagi kami yang masih hidup. Dia memang pergi dengan meninggalkan sesuatu yang belum sempat dia selesaikan, tapi setidaknya dia bertanggungjawab. Karena Cam sudah memberikan jawaban dari masalah ini, dengan caranya sendiri yang agak tidak biasa. Dia tidak ingin aku terjebak dalam apa yang direncanakan oleh Indri, dan dengan bantuan orang - orang yang dipercayainya, aku bisa menghadapi Indri dan mendapatkannya, seperti apa yang diinginkan oleh Cameron.
Kalau dipikir lagi, tentunya Cameron sudah memikirkan semuanya jauh - jauh sebelum dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Meski kematiannya mendadak, dia tahu kalau dia bisa mati kapan saja dan dia harus melakukan sesuatu. Aku ingat kalau beberapa hari sebelum kematiannya, Cam sering terlihat diam dan berpikir. Padahal, bisa saja dia pergi tanpa memikirkan apa yang akan dilakukan oleh Indri. Dia tidak perlu repot - repot, yang penting kegilaan Max bisa diakhiri.
Cameron bisa saja meninggalkan jurnal pribadinya di rumahnya, dan aku akan membaca semua itu. Mungkin saja aku akan tetap ada di pinggiran kota, sehingga aku tidak perlu menghadapi Indri. Atau, bisa saja aku pindah ke pusat kota Inkuria, dan langsung menangkap Indri ketika aku bertemu dengannya. Malah, bisa saja aku pindah ke Inkuria demi memburu Indri.
Tapi kalau begitu, bukan Cameron namanya. Dia tidak suka kalau ada kasus yang dia miliki tidak terselesaikan secara tuntas. Apalagi, kalau dia sudah tahu bagaimana cara menyelesaikan kasus itu, tapi dia malah tidak melakukannya. Dia tidak akan diam begitu saja. Cam ingin menyelesaikan semuanya dengan caranya dan tangannya sendiri. Semua rencana yang dijalankan dalam misi ini adalah milik Cameron. Jadi secara tidak langsung, Cam menyelesaikan sendiri masalahnya, dengan bantuan kami.
Cameron mungkin pergi dengan penuh misteri, tapi tentunya dia tidak ingin meninggalkan misteri itu untuk semua orang yang dianggapnya berarti. Dia tidak mau meninggalkan tanda tanya atau perasaan yang tidak mengenakkan. Dia ingin semua orang yang terlibat masalah ini mengerti apa yang sebenarnya terjadi, sehingga dia bisa tenang di alam sana.
Karena itulah dia tidak semata - mata memusnahkan semua buku jurnalnya. Cam tahu, walau semuanya sudah selesai, aku tetap ingin tahu apa yang terjadi menurut sudut pandangnya. Selama Cam hidup, aku tidak pernah mempertanyakan apapun tentang masa lalunya atau apa yang dia rahasiakan, karena aku menghargainya sebagai sahabatku dan aku tidak ingin mengganggu privasinya. Tapi semua hal yang sudah terjadi padaku tentu membuatku ingin mengetahui cerita dari Cameron.
Mungkin, Cam menyembunyikan jurnalnya untuk kebaikanku. Andai saja aku tahu apa saja yang terjadi antara Cam dan Indri, mungkin aku akan melakukan hal yang bisa membuat semuanya jadi berantakan. Kalau aku sengaja menghindari Indri, maka aku tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini. Atau lebih buruk lagi, Indri malah akan datang kepadaku. Jika saja aku memburu Indri, mungkin akan terjadi beberapa hal yang dipenuhi dengan kericuhan dan pertumpahan darah. Apa yang sudah terjadi mungkin adalah hal terbaik yang bisa terjadi dari semua kemungkinan yang ditawarkan.
Sekarang, saatnya aku meninggalkan masalah Indri ini di belakang. Semuanya sudah selesai, dan aku merasa lega. Cameron juga pastinya lega. Walau begitu, aku masih ingin mengetahui sudut pandang Cam akan masalah ini.
Karena itulah, hari ini aku langsung berhadapan dengan sebuah kotak kardus yang berada di atas meja kerjaku ketika aku masuk ke dalam ruanganku. Aku sudah dengan sengaja meletakkannya di sana, karena hari ini aku ingin menghabiskan waktuku khusus untuk mengetahui apa yang ditinggalkan oleh Cameron di dalam kotak itu.
Kotak itu berukuran sedang, dengan tinggi sekitar 50 sentimeter. Dari beratnya, aku menduga kalau isinya adalah jurnal pribadi yang ditinggalkan oleh Cameron. Kalau saja ada sesuatu yang lainnya, tentu saja aku tidak akan mengetahuinya.
"Happy Birthday ye old feck!"
Aku langsung menoleh ke arah pintu, dan bisa menemukan Brian dan David di depannya. Brian membawa sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas kado, sementara itu David membawa sebuah kue cokelat. Selain mereka berdua, aku bisa melihat Anthony dan juga Pak Jameson masuk ke dalam ruanganku.
Kemunculan mereka membuatku terkekeh. Aku tidak tahu kalau mereka sudah merencanakan sebuah kejutan sepagi ini. Bahkan, aku tidak berpikir kalau akan ada yang memberikanku kejutan. Aku berharap kalau tahun ini aku bisa melalui hari ulang tahunku dengan tenang, terutama karena aku baru saja menyelesaikan misiku.
"Ah, rupanya kalian. Bukankah ini terlalu pagi untuk makan kue?" tanyaku, lalu terkekeh.
"Kalau kau tidak mau ya sudah, buat aku saja. Kau akan menyesal, karena David yang membuatnya loh~ kue buatannya selalu enak, meski kadang dia agak pelit," sahut Brian.
"Nah, ye not getting this fecking cake if ye act like that. This is Wilson's birthday, so stop being like an attention whore, kay? Yer birthday was about two weeks ago, and I made ye a big ass cake for ye. This is Wilson's, and ye will get some if ye act nicely," kata David, sambil menjauhkan kue yang dipegangnya dari Brian.
"Aww, come on man! Of course this handsome boy can get a slice, right Wilson?"
"If ye cunt behave, ye will get some."
Pak Jameson menghela napasnya, "Kalian ini, pagi - pagi sudah rusuh, jadi heran saya," kata Pak Jameson.
"So that's why Rila said that you two look like an old married couple ...." sahut Anthony.
Aku tersenyum saat melihat kehebohan apa yang ada di depan ruanganku. Tahun lalu, pada tanggal 25 Maret aku melewatkan hariku dengan menyelesaikan sebuah misi. Jadi, tidak ada perayaan yang spesial. Bahkan, aku hampir lupa kalau aku berulang tahun saat itu.
"Terima kasih, aku tidak tahu kalau kalian menyiapkan sesuatu untukku. Padahal, ucapan selamat saja menurutku sudah cukup," kataku.
"Ini idenya Pak Jameson, kak. Aku sih cuma ikutan saja," ujar Anthony.
"That's fine, Wilson. Ye having rough week with that mission. Ye deserve some time to just chill out a bit," sahut David.
"Well, David is right. I do have fun helping and learning making cake for this occasion, eventhough David said he will smack me head with his big pot if I messed up. But, now yer turdy tree, Wilson! Happy birthday, man!" kata Brian.
Aku terkekeh, antara terharu atas ucapan dari Brian, atau ingin tertawa keras karena cara penyampaiannya. Terutama dengan aksen Irlandianya, cara Brian mengucapkan angka "thirty three" kedengaran seperti "turdy tree". Entah dia sengaja atau tidak, tapi aku tidak bisa menyalahkan Brian karena aksennya.
"Thanks. Aku harap kuenya enak, karena aku meragukan rasanya kalau Brian ikut campur dalam pembuatannya," sahutku.
"Tenang saja, aku bisa memastikan kalau kuenya dalam kondisi baik. Aku akan menghajar Brian dengan panci kesayanganku kalau sampai dia memasukkan bahan aneh ke dalamnya. Untungnya, hal itu tidak terjadi," kata David.
Pernyataan David tadi membuatku terkekeh. Pada akhirnya, kami memotong kue itu, dan mengobrol sambil makan kue. Pak Jameson mengatakan kalau hari ini kita harus makan siang bersama, dan aku menerima undangan itu. Setelah selesai makan kue dan aku meminta David untuk membagikan kuenya pada pegawai SPE yang lainnya, sebelum akhirnya aku kembali berada di ruanganku dalam ketenangan.
Saat itulah, aku kembali berhadapan dengan kotak yang ditinggalkan Cameron. Aku memandangnya sejenak, memperhatikan kotaknya yang masih terlihat bagus walau sudah hampir dua tahun berlalu. Hendra pasti merawat kotak ini dengan baik. Bagian atas dan bawahnya ditutup dengan lakban berwarna hitam, yang mencegahku untuk bisa mengintip apa isinya. Di bagian atasnya, ada sedikit bagian yang tersobek, mungkin karena Hendra melepaskan kertas bertuliskan alamat yang ada di sana.
Aku mengambil sebuah pisau pemotong yang sengaja kuletakkan di atas meja, dekat dengan peralatan tulis. Setelah mengambilnya, aku berusaha untuk membuka kotaknya. Aku melakukannya dengan perlahan, kalau - kalau pisau pemotongnya malah merusak apapun yang ada di dalamnya.
Setelah berhasil membuka kotaknya dengan baik, aku bisa melihat ada banyak sekali buku catatan yang disusun dengan rapi. Di tumpukan teratasnya, aku bisa melihat sebuah kotak kecil berwarna biru, dan sebuah amplop yang berada di bawahnya bertuliskan namaku dengan sebuah tulisan tangan yang aku kenali. Aku mengambil kedua benda itu, dan memutuskan untuk membuka kotaknya terlebih dahulu.
Aku tidak punya dugaan apa - apa akan isi kotak itu, jadi aku agak kaget ketika melihat isinya. Ada sebuah jam tangan analog berwarna hitam yang terlihat berkilauan. Desainnya sederhana, dan ketika aku mengangkatnya, logamnya terasa ringan. Ketika mengamatinya, aku menyadari kalau jam ini adalah salah satu jam yang memiliki sebuah ruang kecil rahasia di bawahnya. Aku memutuskan untuk membukanya, dan semakin terkejut ketika melihat isinya.
Di dalam ruang rahasia itu, ada sebuah foto yang diselipkan di sana. Foto itu diambil saat pesta dansa atau prom kelulusan dari akademi. Aku dan Cameron melihat ke arah kamera, dan kami tersenyum sambil merangkul satu sama lainnya. Pencahayaaannya cukup terang, karena kami sengaja memilih tempat yang cocok untuk mengambil foto saat itu. Aku mengenakan jas berwarna putih dengan dasi hitam, sementara itu Cam mengenakan jas hitam dengan dasi putih.
Aku memiliki foto ini di satu album yang memuat beberapa kenangan semasa di akademi. Saat itu, aku memiliki sebuah kamera dan kadang aku mengambil beberapa foto, tapi aku dan Cam jarang sekali mengambil foto berdua. Foto ini adalah salah satu dari momen langka itu. Rupanya Cam masih memiliki foto itu, tapi aku tidak bisa menemukan di mana dia menyimpannya di antara semua barangnya saat aku membereskan rumahnya.
Ketika itulah, aku baru sadar kalau ada sesuatu di dalam kotak itu. Di antara semua buku itu, aku bisa mengenali satu tekstur kayu. Setelah aku mengambilnya, aku bisa menemukan sebuah figura yang berisikan foto yang sama. Aku tersenyum, karena rupanya Cam membingkai foto ini, dan menyimpannya.
Saat kembali mengamatinya, aku tersenyum. Cam tahu betul kalau aku suka sekali dengan jam tangan. Berbeda dengan Cam yang tidak suka aksesoris, aku masih sering menggunakan jam tangan. Pernah sekali aku mengatakan kalau ada jam tangan yang memiliki slot rahasia dan menurutku itu keren. Benda yang kubicarakan itu kini ada di hadapanku. Rupanya dia ingat akan percakapan saat itu ....
Setelahnya, aku melirik ke arah amplop tadi. Aku meletakkan jam tangannya, dan membukanya. Di dalamnya ada selembar kertas, dan aku bisa menemukan tulisan tangan Cameron di atasnya.
Dear Wilson
Entah berapa lama sudah waktu berlalu sejak aku terakhir kali melihatmu. Sekarang, kau tidak akan bisa melihatku lagi. Tapi, kalau alam setelah kematian itu memang ada, maka aku pasti bisa melihat apa yang selama ini sudah kamu lakukan.
Mungkin sudah lewat cukup lama sejak kematianku. Beberapa bulan itu sudah cukup lama, apalagi kalau sampai dalam waktu tahunan. Bisa saja selama ini kau tidak banyak memikirkan tentang aku dan sibuk dengan pekerjaanmu, atau bisa saja kau memikirkanku karena beberapa hal yang masih jadi misteri.
Apapun itu, aku tidak tahu. Aku tidak bisa membaca pikiranmu, tapi aku bisa melihatnya dari tindakanmu kalau kamu menganggapku sebagai seseorang yang berarti bagimu. Kau tidak pernah membiarkanku ada dalam masalah atau kesulitan sendirian, jadi kurasa ketika mendengar masalah apa yang masih tersisa, kau pasti akan membantuku untuk menyelesaikannya.
Aku sudah meminta Hendra untuk menyimpan semua jurnalku sampai saatnya kamu membuka kotak ini. Dia pastinya merawatnya dengan baik, sebagai permintaan terakhirku padanya. Dia juga akan menyerahkannya ketika kau sudah mengetahui semua hal yang perlu untuk kau ketahui. Aku sudah bilang padamu, legenda Hoodie Detective itu nyata, Wilson. Kau sudah bertemu sendiri dengan orangnya, kan?
Pada detik ini, kurasa kau sudah tahu apa yang terjadi antara aku dan Indri. Ah, semuanya sudah ada di masa lalu, jadi tidak perlu dipikirkan lagi. Tapi, kalau kau masih ingin tahu cerita dari sudut pandangku, jurnal pribadiku bisa membantumu.
Selain itu, kau pasti juga sudah tahu tentang betapa kacaunya keluargaku. Tapi semuanya sudah baik - baik saja sekarang. Aku dan Jonathan sudah berhasil untuk mengubah citra dari nama keluarga kami, dan kami bangga akan hal itu. Aku akan sangat senang kalau kau bisa tetap berhubungan baik dengan Jonathan, dia pria yang menyenangkan kok. Semuanya sudah selesai, dan tidak ada lagi yang perlu untuk dikhawatirkan.
Aku sudah mengucapkan salam perpisahan padamu sebaik yang aku bisa. Tapi seperti yang kita tahu, perpisahan itu selalu terasa tidak mengenakkan. Aku tidak ingin pergi meninggalkanmu sendirian, Wilson. Andai saja Max bisa membuat sebuah perjanjian denganku agar dia tidak melukai orang lain, maka aku tidak perlu melakukan semua ini. Aku masih ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu, karena setiap waktu di hidupku yang aku habiskan bersamamu adalah saat - saat paling bahagia dan berharga di dalam hidupku.
Mungkin aku tidak pernah terlihat banyak berekspresi dan mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiranku. Kau mungkin bertanya kenapa, tapi kau tidak pernah mempertanyakannya. Karena kau tahu, begitulah aku. Hanya saja, kadang aku ingin bisa mengungkapkan perasaanku tanpa merasa takut kalau orang lain akan menghakimiku. Hanya kau yang mengerti akan hal yang satu ini.
Hal yang berusaha aku katakan adalah, kau adalah orang paling berarti dalam hidupku. Aku tidak akan menyebutkannya sebagai rasa cinta, karena kau tahu kalau aku tidak percaya kalau cinta dan hubungan yang mengikat adalah hal yang berarti untukku. Hanya saja, ketika aku bersamamu, aku bisa mendapatkan sebuah perasaan aman. Seperti berada di rumah sendiri. Aku tidak mengerti perasaan apa ini, walau orang lain mungkin akan menganggapnya sebagai perasaan cinta. Tapi bagiku, mungkin ini adalah sebuah perasaan sayang yang tumbuh seiring dengan waktu karena kau selalu memberikanku apa yang aku butuhkan, baik secara fisik dan secara psikis.
Apapun itu, aku tidak tahu. Perasaan yang aneh, karena hanya kau yang bisa membuatku merasa nyaman seperti itu. Tapi, aku menyukai keberadaanmu di dekatku. Setiap kali aku terbangun dan akan pergi tidur, aku akan selalu memikirkan betapa beruntungnya aku karena kau berada di dalam hidupku. Mungkin tanpamu, aku tidak akan bisa bertahan sampai sejauh ini.
Perasaan adalah hal yang susah untuk dinyatakan, Wilson. Jadi, aku harap kalau kau bisa menangkap apa maksud pernyataanku tadi.
Maafkan aku, Wilson. Karena aku harus pergi dengan cepat tanpa memberitahumu. Andai saja aku bisa menghabiskan waktu lebih lama lagi denganmu, aku akan melakukan apapun agar hal itu bisa terjadi. Tapi aku harus melakukan semua itu demi kebaikan banyak orang. Aku tidak ingin Maxime melukai lebih banyak orang yang tidak bersalah. Aku ingin sekali bisa bersamamu, karena kau membuat hidupku tidak seburuk yang aku duga.
Maafkan aku karena aku harus melibatkanmu dengan masalah yang Indri buat. Aku harap masalah itu tidak akan pernah terjadi, karena perempuan yang satu itu memang keterlaluan. Mungkin saja dia melukaimu ketika kau berusaha menangkapnya? Kalau iya, aku harap aku diperbolehkan untuk menggentayanginya, agar hidupnya tidak terasa mudah karena apa yang telah dia lakukan. Kalau kau baik - baik saja, maka aku sangat bersyukur karenanya.
Maafkan aku, karena aku sudah meninggalkanmu dalam tanda tanya. Aku tidak mau melakukan hal itu, tapi aku juga masih merasa agak takut untuk mengatakan semuanya kepadamu secara langsung. Jadi kupikir, cara ini adalah hal terbaik yang bisa kulakukan. Aku hanya ingin kau bisa mengerti akan apa yang terjadi, dan aku tidak ingin masalahku menghalangimu untuk pindah dan menikmati suasana kota Inkuria.
Tapi, aku berterima kasih padamu atas apa yang sudah kau lakukan untukku. Kau mungkin sudah terlibat masalah ketika berhadapan dengan Indri, tapi aku tahu kalau kau melakukannya untukku. Kau tidak ingin aku pergi dengan menyisakan kasus yang tak terselesaikan, karena kau tahu kalau aku tidak menyukainya.
Terima kasih, karena kau sudah membuat hidupku jadi lebih berarti. Jujur saja, aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika saja aku tidak pernah bertemu denganmu. Aku rasa, aku tidak akan bisa bertahan hidup sampai selama ini. Karena hanya kau yang bisa membuatku merasa kalau kehidupan ini tidaklah buruk, dan kau bisa membuat Max menjadi lebih tenang karena kehadiranmu.
Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan padamu, Wilson. Ada banyak perasaan di dalam diriku yang aku sendiri tidak tahu apa itu, jadi aku tidak bisa menjelaskannya. Bahkan dalam bentuk tertulis sekalipun, aku tidak tahu bagaimana cara menggambarkannya. Tapi, aku yakin kau mengerti apa itu. Kau selalu bisa melihatnya jauh ketika kau menatapku. Sekarang, kau mungkin tidak akan bisa menatapku lagi, tapi aku yakin kalau kau tahu. Hanya kau yang tahu aku.
Bagi orang dari beberapa kebudayaan lain, mereka menganggap kalau memberikan jam tangan sebagai hadiah adalah mendoakan agar penerimanya bisa cepat mati. Tapi kalau mau dipikirkan lagi, bukankah kita semua akan mati? Kurasa, seharusnya orang - orang bersyukur kalau mereka mendapatkan hadiah sebuah jam tangan. Itu mengingatkan kalau akan selalu ada kata "berakhir" dalam setiap kisah. Kisahku sekarang sudah berakhir, tapi tidak denganmu.
Tapi, bukan itu maksudku memberikan sebuah jam tangan untukmu. Karena aku punya filosofi tersendiri akan jam tangan. Aku ingat kau membahas jam tangan dengan slot rahasia, jadi kurasa itu adalah hadiah yang bagus untukmu. Dan bagiku, jam tangan ini mengingatkanku akan semua waktu yang telah berlalu. Akan semua waktu yang kita habiskan bersama. Waktu - waktu itu adalah saat terindah bagiku. Walau aku sudah tidak ada, aku harap persahabatan kita tak lekang oleh waktu. Jadi, aku ingin ketika kau menatap jam ini, kau bisa mengingat kalau waktu yang sudah kita lewati bersama tidak akan bisa terulang lagi, tapi semua kenangan itu akan menjadi sesuatu yang berarti untukmu. Dan juga untukku.
Selain itu, ada sebuah slot rahasia di baliknya. Bagiku, itu seperti apa yang terjadi di balik waktu. Waktu menyimpan banyak kenangan, dan aku menyimpan salah satu foto kita di sana. Jadi, di balik waktu yang telah berlalu itu, pasti telah terjadi sesuatu yang berarti, atau mungkin kau juga bertemu dengan seseorang yang berarti.
Penjelasan yang merepotkan, ya? Tapi, itulah yang ada di dalam pikiranku ketika melihat jam itu. Anggaplah itu sebagai hadiah ulang tahunmu. Aku tidak tahu kapan kau akan membaca surat ini, jadi anggaplah ini adalah hadiah yang lebih cepat atau lebih lambat, yang mana saja boleh. Aku hanya ingin memberikan sesuatu untukmu, sebagai salam perpisahan.
Kurasa, hanya itu yang bisa aku sampaikan padamu. Aku sudah tenang di sini, kau tenang saja. Jadi, kau juga baik - baik di sana, ya? Aku ingin sahabat terbaik yang aku punya baik - baik saja, dan terus menjadi Wilson yang aku kenal dengan baik. Aku tahu mungkin kepergianku agak berat untuk dilepaskan, tapi kau harus menatap ke depan. Kau menerima kotak ini ketika sudah saatnya. Jadi, aku yakin, kalau sudah saatnya, pasti kita akan bertemu lagi. Aku janji akan memberikanmu sebuah pelukan hangat ketika kita bisa bertemu lagi.
Farewell, my good friend. I'll miss you, dear.
Cameron Pacifia
Aku meletakkan surat itu di atas meja. Air mata menetes di pipiku, dan aku tidak kuasa untuk menahannya. Kapan terakhir kali aku meneteskan air mata karena kepergian Cameron? Mungkin saat aku menemukan mayatnya dan di hari pemakamannya?
Ya, aku selalu berusaha untuk tidak merasa emosional karena kehilangan Cameron. Tapi, kadang aku tidak bisa menahan diriku sendiri. Entah berapa ratus kali sudah aku membaca jurnal Cameron. Entah berapa juta kali dia muncul di dalam kepalaku setiap kali aku mencoba berpikir. Aku tahu aku seharusnya tidak melakukan hal itu, tapi Cameron sudah menjadi bagian penting dari hidupku, setidaknya selama separuh waktu yang sudah aku habiskan dalam hidupku. Tidak akan mudah untuk menghilangkan sosok Cameron dengan begitu saja dari dalam kepalaku.
Kini setelah aku membaca surat terakhir yang Cameron tinggalkan untukku, rasanya aku ingin sekali bisa mengubah pilihannya. Mungkinkah jika aku bisa menghentikannya, maka Cam masih hidup? Aku tidak tahu. Cameron tidak pernah ingin untuk pergi, tapi Max memaksanya. Mengetahui hal ini hanya membuatku semakin merasa sakit karena kehilangan Cameron.
Kebetulan. Kenapa ada banyak sekali kebetulan dalam misi kali ini? Kenapa Jasmine yang selama ini sudah ditugaskan Hendra untuk mengecek keberadan perhiasan palsu baru kali ini bisa membuat seseorang perlu untuk melakukan sesuatu? Kenapa Indri memutuskan untuk datang sekarang? Kenapa perkiraan Cam semuanya bisa jadi benar? Aku tidak tahu.
Lalu kini, aku membuka kotak yang ditinggalkan Cam pada hari ulang tahunku. Aku menemukan semua jurnal yang selama ini aku cari, dan rupanya Cam memberikan sebuah hadiah perpisahan sekaligus hadiah ulang tahunku. Untuk mengingatkan kalau apapun yang sudah terjadi, kami memiliki banyak kenangan yang tak akan lekang oleh waktu. Untuk mengatakan walau dia pergi, dia akan tetap ada di sini.
Aku menghela napasku, dan mengusap air mataku. Ah sudahlah, aku tidak perlu pikirkan kenapa semua itu bisa terjadi. Mungkin terkadang, akan lebih baik jika kita tidak memikirkan kenapa sesuatu bisa terjadi. Toh, pada akhirnya, hanya Tuhan yang tahu kenapa. Biarlah yang rahasia tetap jadi rahasia. Itulah yang kupikirkan ketika tidak bisa menemukan jurnal pribadinya. Tapi kini, jawabannya ada di hadapanku.
Kembali kulirik kotak kardus itu. Setelah beberapa saat beradu pandangan dengan kotak itu, aku mengeluarkan isinya. Setiap jurnal Cam memiliki keterangan di sampulnya akan waktu kapan dia mulai menulisnya, dan kapan isinya berakhir. Dalam waktu singkat, aku menemukan jurnal yang berisi catatan terakhir Cameron.
Sejenak, aku diam dan menimbang, apakah aku membaca catatan terakhirnya terlebih dahulu, ataukah aku harus mulai dari catatan yang paling awal. Buku catatannya bersampul kulit warna hijau, seperti semua buku catatan pribadi milik Cameron. Tapi pada akhirnya, aku tetap membuka catatan terakhir itu. Aku ingin tahu apa yang dituliskan Cameron untuk terakhir kalinya.
Segera saja aku membuka halaman - halaman terakhir yang berisikan tulisan tangan Cameron. Ketika aku menemukan tanggal catatan itu, aku mulai untuk membacanya.
~~~~~
29 Juni 2021
Aku sudah melakukan semua yang aku bisa. Pertama, aku sudah bicara dengan Max, tapi dia menolak untuk melakukan apa yang aku minta. Kemudian, aku mengatakan kalau aku ingin membuat perjanjian dengannya. Tapi tetap saja, dia menolak. Lalu, aku mengancamnya. Walau begitu, tetap saja itu sia - sia. Orang yang aku ancam ini adalah seorang pembunuh berdarah dingin, jelas saja itu percuma.
Jadi, aku tidak punya pilihan lain lagi selain mengakhiri semuanya. Aku mau tidak mau harus "membunuh" Max, agar dia bisa menghentikan tindakannya. Kalau mau jujur, aku tidak keberatan kalau harus membunuh seseorang yang mengancam tegaknya keadilan. Aku tidak keberatan kalau tanganku harus berlumur darah dari seorang penjahat.
Apakah ini aku atau Maxime yang menulis? Kurasa, ini adalah diriku. Karena aku akan selalu punya alasan akan apa yang aku lakukan. Kalau Max, dia akan melakukan apa saja yang menurutnya ingin dia lakukan. Aku tidak seperti itu.
Tapi, kini aku sudah sampai di akhir waktuku. Aku sudah merencanakan apa yang harus aku lakukan. Brankasku pasti bisa membantu dalam rencana ini, seperti yang aku sudah atur. Lalu, aku juga sudah menulis semua surat yang aku butuhkan.
Jurnalku sudah tersusun rapi di dalam kotak, dan yang satu ini juga akan menyusul masuk ke dalamnya. Aku hanya ingin menuliskan kata - kata terakhir sebagai salam perpisahanku.
Ah, aku sudah merencanakan semuanya. Tidak akan ada yang tahu kalau aku melakukannya sendiri, kecuali orang - orang yang aku beritahu. Penduduk di sekitar sini tentunya akan kaget kalau mengetahui bahwa Maxime bisa menembakku dari jauh, tapi kurasa para polisi yang cukup cerdas bisa tahu kalau seseorang tidak akan bisa menembakkan peluru revolver dari seberang jalan tepat ke kepalaku. Jarak jangkauannya tidak sejauh itu, dan aku rasa Wilson juga akan merasakan kalau ada yang aneh.
Toh, aku harus melakukannya. Max tidak memberiku pilihan lain. Jadi, aku harus menikmati hembusan terakhir napasku dengan baik.
Aku juga sudah merencanakan sesuatu jika samapai Indri bertindak. Dia pasti kegirangan kalau tahu aku sudah mati, tapi dendamnya tentu tidak akan hilang. Seharusnya aku memberitahu Wilson soal ini, tapi pasti dia akan curiga kalau mendengarnya. Aku tidak biasanya bercerita akan hal seperti itu, dan kalau dia menemukan bahwa aku mati keesokan harinya, tentu saja hal itu ganjil. Entah dia menuduh Indri yang melakukannya, atau apalah.
Keadaan ini membuatku bingung, sebenarnya. Di satu sisi, aku ingin Wilson tahu, tapi aku sudah terlambat untuk menceritakannya dengan cara yang tidak dicurigai oleh Wilson. Tapi di satu sisi, akan lebih baik jika Wilson tidak tahu secara langsung. Pasti akan lebih baik jika Indri menganggap kalau rencananya berhasil. Masalahnya, aku tidak ingin membuat Wilson kesusahan karena masalah yang aku tinggalkan ini.
Jadi, aku memutuskan untuk memutar otakku. Aku akan mengirimkan dua surat kepada Hendra beserta dengan kotak berisi jurnalku. Dia pasti bisa menjaganya dengan baik dan melakukan apa yang aku minta. Lalu, aku akan memberitahu Jonathan. Dia sepupuku, jadi dia harus tahu. Apalagi dengan semua hal yang berhubungan soal uang dan pemakaman, aku butuh bantuannya. Dia juga harus tahu apa yang harus dilakukannya setelah aku mati. Kemudian, aku akan mengabari Pak Jameson, karena aku tahu beliau bisa membantu Wilson. Terakhir, aku sengaja menyarankan kalau Wilson bergabung dengan SPE. Memang sih, kedengarannya aku seperti menyuruh Wilson menyongsong kematiannya, tapi aku tahu kalau tiga orang yang aku mintai bantuan itu pasti bisa mengarahkan Wilson ke jalan yang benar, kalau memang Indri mendatanginya.
Kuharap, Indri tidak akan melakukannya. Tapi, siapa yang tahu? Dia sepertinya masih dendam padaku, jadi kemungkinan dia melakukan rencananya itu lebih besar. Jadi ya, aku harus menyiapkan rencana agar Wilson tidak berada dalam bahaya.
Semuanya sudah terencana, dan setelah ini aku akan mengirimkan semua surat itu. Aku harap, dalam waktu tiga hari semuanya akan sampai. Walau begitu, rasanya tetap saja berat, karena aku akan pergi sebentar lagi. Aku tidak ingin pergi secepat ini.
Lucu rasanya memikirkan akan hal itu. Karena saat aku masih berada di akademi, kadang aku ingin sekali untuk bisa cepat mati. Sepertinya, Wilson telah mengubah hidupku dengan drastis. Aku akui, keberadaannya membuatku merasa kalau hidup ini tidak sejelek yang aku duga. Tapi, kenapa pada akhirnya aku malah merasa sakit hati karena harus meninggalkan Wilson?
Aku tidak tahu kenapa. Apakah ini yang dirasakan seorang sahabat kalau harus berpisah? Dulu, saat aku kembali ke Inkuria, aku tidak merasakan hal seperti ini. Kenapa baru sekarang aku merasa kalau aku ingin bersama Wilson sampai akhir hayatku?
Entahlah. Perasaan adalah sesuatu yang ribet. Aku jarang sekali bisa merasakan hal tertentu pada seseorang, tapi dari semua orang yang bisa membuatku memiliki perasaan tertentu, kenapa harus Wilson? Lalu, rasa apa ini yang ada di dalam diriku? Wajarkah ini?
Aku tidak tahu. Semua hal tentang perasaan hanya membuatku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apalagi syarat yang diajukan oleh Maxime. Dia mengatakan kalau dirinya akan berhenti membunuh orang kalau aku berani mengakui perasaanku yang sebenarnya pada Wilson. Tapi, perasaan apa yang aku miliki pada Wilson? Dia kan hanya sahabatku. Lalu, kalau memang aku punya perasaan, tentunya hal ini bisa menghancurkan hubungan kami, kan? Orang selalu bilang, kalau perasaan tertentu bisa menghancurkan persahabatan, dan aku tentunya tidak ingin menghancurkan persahabatanku dengan Wilson.
Max selalu mengatakan kalau aku menyukai Wilson. Ya, tentu saja. Dia kan sahabatku. Dia adalah pengecualian khusus, karena Wilson adalah seseorang yang penting bagiku. Lalu apa maksud Max kalau pengecualian itu menandakan kalau aku menganggap Wilson lebih dari seorang sahabat?
Aku sudah memutuskan untuk menjadi seorang aromantik* sejak lama. Aku tidak tertarik dengan hubungan romantis atau intim apapun. Kalau hanya persahabatan, kurasa aku bisa menerimanya. Sejauh ini, hanya Wilson yang bisa aku percayai untuk mengetahui banyak hal tentangku. Dia teman yang baik, dan hanya itu. Rasanya tidak mungkin kalau aku punya perasaan tertentu pada Wilson. Apa tandanya kalau aku memilikinya perasaan itu, toh semuanya berjalan dengan normal.
[*aromantik : (aromantic) salah satu cabang dalam komunitas LGBTQ+ yang menggambarkan seseorang yang tidak merasakan atau menginginkan ketertarikan secara romantis pada siapapun]
Aku tahu kalau aku bisa saja menerima tawaran Max dan mengatakan perasaanku pada Wilson. Tapi, apa yang harus aku katakan? Perasaan macam apa yang sebenarnya ada di dalam diriku? Lalu, apakah ini akan merusak persahabatanku dengan Wilson? Aku tidak ingin kehilangan dia, dan bisa saja pembicaraan soal perasaan ini akan menghancurkan semuanya.
Aku tidak punya pilihan. Aku lebih memilih mati sebagai sahabat Wilson daripada harus sendirian menghadapi Maxime di sisa hidupku. Aku pasti akan jadi gila kalau seperti itu. Mungkin, andai saja aku mau mencoba, bisa jadi Wilson akan mengerti. Tapi, dia sudah punya istri! Aku bukan orang gila seperti itu!
Jadi, inilah pilihanku. Aku akan menutup buku ini, dan mengirimkan semua suratku. Max tidak memberiku pilihan yang bagus. Jadi, aku harus melakukan apa yang aku bisa.
Kalau kau membaca ini, Wilson, aku harap kau baik - baik saja. Maafkan aku. Aku ... aku rasa aku menyanyangimu, dan aku tidak ingin sesuatu terjadi karena Max. Terima kasih, karena kau telah membuat hidupku jadi lebih berarti.
~~~~~
Setelah membacanya, aku terdiam sejenak. Perasaan tertentu? Cam memiliki perasaan tertentu? Dia pernah bilang kalau dirinya memutuskan untuk menjadi seorang pria aromantik, dan siap menjadi jomblo seumur hidupnya. Menurut Cam, hubungan romantis itu sia - sia, karena sekuat apapun hubungannya, semuanya akan tetap bisa hancur. Baginya, hubungan antar manusia itu merupakan sebuah timbal balik, bukannya terjadi secara ajaib karena ketertarikan semata.
Aku menghembuskan napas. Sepertinya, akan butuh waktu untuk bisa memahaminya, karena Cameron memang tidak pintar dalam mengungkapkan perasaannya. Karena itulah aku jarang membahas soal itu. Tapi ... Max memberi syarat kalau dia ingin agar Cam mengatakan perasaannya padaku, agar dia bisa berhenti membunuh orang? Tapi kenapa? Apa maksudnya?
Mungkinkah Max mengetahui sesuatu yang Cam tidak ketahui akan dirinya sendiri? Kalau iya, maka dia mengerti akan apa yang sebenarnya dirasakan oleh Cam, begitu? Kenapa dia mengajukan syarat yang seperti itu?
Apapun itu, aku sepertinya tidak akan tahu. Jadi, aku memutuskan untuk tidak memikirkannya. Kulirik sekali lagi kotak yang ada di hadapanku itu, lalu aku mengeluarkan semua isinya.
Ketika aku merasa kalau semua catatan Cam sudah berada di atas mejaku, aku melihat ada sebuah benda kecil berwarna hitam. Ketika aku mengambilnya, rupanya itu adalah sebuah flashdisk. Aku mengerutkan alisku, penasaran kenapa benda itu bisa berada di sana.
Langsung saja aku mengambil laptopku, dan mencari tahu apa isinya. Ketika aku sudah menghubungkannya dengan perangkatku, aku bisa menemukan isi flashdisk itu berupa beberapa file yang diberi tahun. Aku membukanya, dan di dalamnya ada banyak audio yang diberi judul dengan tanggal dan bulannya.
Tapi di antara semua file audio itu, ada satu audio yang tidak dimasukkan ke dalam folder. Ketika melihatnya, judulnya membuatku mengerutkan alis. Di sana tertulis "Pesan Untuk Wilson", yang membuatku semakin penasaran apa isinya.
Tanpa berpikir dua kali lagi, aku memutuskan untuk memutar audionya. Betapa kagetnya aku ketika aku bisa mendengarkan suara yang aku kenali sebagai milik Cameron.
"Hai Wilson, apa kabarmu? Sudah lama ya, sejak terakhir kali kita bertemu? Tentu saja, kan aku sudah mati. Kurasa, kau baik - baik saja, karena kau masih bisa hidup setelah menghadapi perempuan penipu itu. Aku harap aku juga baik - baik saja."
"Eh, tunggu dulu! Aku bukan Cameron - mu yang tercinta. Suara boleh sama, tapi aku bukan Cameron. Seperti yang mungkin kau sudah tahu, aku adalah Maxime, yang berada dalam satu tubuh dengan Cam. Mungkin kau tidak pernah melihatku kalau aku tidak mengamuk, tapi aku pernah memunculkan diriku di hadapanmu, Wilson. Kau saja yang tidak sadar."
"Jadi, kau pasti bertanya kenapa ada sebuah flashdisk di dalam kotak yang diberikan oleh Cam, kan? Begini, Cam selalu mengatakan kalau akan lebih baik kalau aku mendokumentasikan apa yang terjadi atau apa yang aku pikirkan. Aku tahu kalau niatnya adalah Cam ingin mengetahui apa yang sebenarnya ada di dalam pikiranku. Aku tidak suka mencatat, atau berada di depan kamera, jadi aku rasa merekam suaraku adalah hal yang bisa aku lakukan. Padahal, hal ini merepotkan, hanya saja Cam memaksaku untuk melakukannya. Jadi, aku melakukannya, dengan syarat kalau dia tidak akan mencoba untuk mendengarkannya. Dia menerimanya."
"Rupanya ada untungnya juga aku melakukannya. Karena kini, aku bisa memberitahumu apa yang terjadi dari sudut pandangku. Di detik terakhir, aku menyelipkan flashdisk ini ke dalam kotaknya, jadi kau bisa mengetahui banyak hal tentangku. Semuanya ada di sini, dan aku banyak berbicara akan apa saja yang aku lakukan, dan kau bisa menemukan keterangan kapan saja aku muncul di hadapanmu. Kau bisa dengarkan kapan saja kalau kau mau. Keren kan, seperti sebuah podcast pribadi?"
"Rekaman ini aku buat setelah Cam selesai mencatat di jurnalnya untuk terakhir kali. Aku sudah mencoba meyakinkannya kalau Wilson tidak akan senang kalau dia mati begitu saja. Padahal, aku sudah mengajukan syarat yang mudah. Menyatakan perasaan memang agak sulit, tapi apa yang direncanakan oleh Cam ini ribetnya minta ampun. Meski begitu, aku mengagumi rencananya, karena dia memikirkan semuanya secara detil."
"Wilson, kau mungkin bertanya kenapa aku mengatakan kalau aku akan berhenti membunuh orang jika Cam mengakui perasaannya. Begini, kita tahu kalau Cam mengatakan bahwa dirinya adalah seorang aromantik. Tapi menurutku, itu hanya kebohongan belaka. Cam masih bisa merasakan cinta. Di dalam hatinya yang terdalam, aku tahu kalau dia percaya kalau cinta itu ada, tapi dia tidak mau jujur akan dirinya sendiri. Dia takut kalau cinta akan menghancurkannya."
"Trauma masa lalu berpengaruh akan sikapnya ini. Cam sangat mencintai ayah dan ibunya, jadi ketika mereka tewas, dia merasa sangat hancur. Sejak itulah, dia menganggap kalau perasaan cinta tidaklah masuk akal, karena perasaan ini membuatnya berlarut - larut dalam kesedihan, dan berduka lara adalah hal yang tidak produktif. Setelah beberapa saat, dia mulai merasa kalau dia tidak akan pernah jatuh cinta, atau merasakan cinta lagi. Karena itulah, dia menganggap kalau dirinya adalah seorang aromantik."
"Hanya saja, Cam sering kali tidak jujur akan dirinya sendiri kalau sudah soal perasaan, dan kadang aku jadi geregetan sendiri. Cameron selalu menyukaimu, Wilson. Aku tahu, kalau aku adalah seorang pembunuh berdarah dingin dan tidak bisa merasakan cinta. Tapi hei, aku lebih jujur daripada Cam. Dia tidak mau mengakui pada dirinya sendiri kalau dia menyukaimu. Lihat saja bagaimana nyamannya dia bersamamu. Cam tidak bisa mempercayai seseorang dengan mudah, tapi entah karena alasan apa, kau bisa masuk dengan mudah ke hidupnya. Cam menyukaimu, tidak ... dia mencintaimu."
"Aku tahu, aku tahu ... semuanya memang terlihat dari bagaimana dia berada di dekatmu, dan sepertinya tidak ada yang aneh di antara kalian. Tapi aku akui, Cam terlihat tidak ingin melepaskanmu. Dia selalu bisa membuat keputusan yang logis, meski harus mengorbankan orang lain. Tapi dia tidak kuasa kalau harus melihatmu terluka."
"Tanda - tandanya kecil, tapi kau ingat saat aku muncul dan membunuh semua lawan kalian dalam misi? Kau mungkin pernah bertanya, kenapa aku bisa muncul dengan tiba - tiba saat itu? Jawabannya adalah, karena Cam sendiri yang memintaku untuk muncul. Dia tidak pernah melakukan hal seperti itu. Tapi pada saat itu, dia mengatakan kalau dirinya tidak ingin kau mati. Dia ingin kau hidup, tapi dirinya sendiri tidak kuat untuk menghadapi lawan yang ada. Karena aku juga sudah lama tidak mengamuk, jadi ya sudah, akhirnya aku muncul."
"Eh, tapi bukan karena itu saja sih alasannya. Sama seperti Cam, aku juga tidak ingin kau terluka. Tapi, karena tingkahnya saat itu, aku bisa mengetahui kalau Cam sebenarnya menyukaimu."
"Lalu, coba kamu pikirkan deh. Ingat saat kalian masih di akademi, dan Cam tiba - tiba bertanya bagaimana rasanya dicium seseorang? Oke, kita tahu kalau Cam ini aromantik, tapi dia tidak menghindari fakta bahwa setiap manusia punya nafsu binatang. Setiap orang punya rasa penasaran dan ingin merasakan kenikmatan. Kau pastinya tahu apa maksudku. Mungkin saja saat itu Cam kelihatan seperti sedang diam dan tiba - tiba saja mengatakan hal itu. Tapi sebenarnya, Cam sudah memperhatikanmu selama beberapa saat. Dia tidak bisa melepaskan matanya dari bibirmu. Cam tidak hanya memikirkan bagaimana rasanya mencium bibir seseorang, tapi dia juga memikirkan bagaimana rasanya bisa mencium bibirmu. Bahkan dia mengkhayal bagaimana rasanya jika dia bisa menghabiskan sepanjang hidupnya bersamamu. Bahkan dia juga memikirkan soal pernikahan! Dia menginginkanmu, Wilson."
"Lalu, dia mengatakan bagaimana rasanya dicium. Oke, dia bertanya padamu. Tapi, kenapa dia harus mempraktekkannya denganmu? Dia kan bisa mencoba mendekati orang lain, atau melakukan one night stand. Ya, Cameron selalu ingin mengetahui jawaban dari pertanyaannya dengan segera. Tapi Cam tidak bisa berhenti setelah dia sekali menciummu. Dia bahkan tidak membiarkanmu lepas selama beberapa saat. Sejak saat itu, Cam jadi rutin menciummu. Dia ketagihan akan apa yang dia rasakan bersamamu. Di dalam hati kecilnya, Cam menginginkanmu."
"Ah, sepertinya aku mulai ngawur. Intinya, Cam menyukaimu, Wil. Karena itulah, aku memberikannya sebuah persyaratan mudah, yaitu dengan mengatakan apa yang sebenarnya dia rasakan. Tapi, pria bodoh yang satu ini lebih memilih mati daripada menyatakan perasaannya padamu. Dia terlalu takut akan reaksimu. Padahal aku tahu, kalau kau akan mencoba untuk mengerti. Kau pasti akan mengerti."
"Walau begitu, aku tidak menyalahkanmu karena kematian Cam. Jadi, jangan kau salahkan dirimu sendiri. Semua ini karena Cam keras kepala. Aku sebenarnya masih bisa ajukan syarat lain, tapi aku yakin kalau Cam tidak akan menyetujuinya, dan mau tidak mau, kami akan mati. Cam memang kadang tidak jujur pada dirinya sendiri akan apa yang dia rasakan. Padahal, semuanya akan lebih mudah kalau dia jujur. Ya, dia memang takut kalau dia akan menghancurkan persahabatan kalian, tapi aku yakin kalau kalian pasti bisa bicara soal ini baik - baik dan menemukan jalan keluarnya. Ayolah, kalian kan orang dewasa, dan sama - sama tidak mau kehilangan satu sama lainnya. Kau tidak pernah meninggalkan Cam meski kau tahu aku ada di dalam dirinya dan bisa melukaimu, jadi tentunya kau tidak akan meninggalkan Cam begitu saja kalau dia mencintaimu, kan?"
"Berbeda dengan Cam, aku lebih jujur akan perasaanku. Jadi, rekaman ini akan aku tutup dengan sebuah pengakuan. Mungkin kau menganggapku sebagai orang jahat, dan aku akui kalau aku memang jahat. Tapi ... kau merubah banyak hal, Wilson. Baik untukku atau Cam. Kau membuatku merasakan kalau di luar sana masih ada orang baik. Kau menerimaku di dalam diri Cam, dan aku bisa merasa lebih tenang ketika kau berada di sekitarku. Senyumanmu itu membunuh, tahu. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya."
"Aku mencintaimu, Wilson. Aku tidak tahu bagaimana, tapi itulah yang aku rasakan. Aku sudah pernah mengatakannya padamu, dan kurasa kau bisa mengingat kapan itu."
"Nah, jadi itu yang ingin aku katakan padamu. Untuk lebih lengkapnya lagi, kurasa kau bisa dengarkan apa yang ada di dalam rekaman yang aku tinggalkan. Saatnya kita berpisah, Wilson. Terima kasih karena sudah menjadi orang yang berarti bagiku, dan juga Cameron. Kami tidak akan melupakanmu. Jadi, jangan lupakan kami, meski aku agak menyebalkan, ya?"
"Aku akan akhiri rekamannya. Semoga kita bisa ketemu lagi, Wilson."
Rekamannya selesai, dan aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Jadi, rupanya Max mendokumentasikan apa yang dia rasakan dalam bentuk audio? Ini akan menjawab banyak pertanyaan yang aku punya soal Max, dan rupanya dia memang tidak seburuk yang terlihat.
Tapi, pernyataan Max tadi membuatku merasa kalau seharusnya aku bisa menghentikan kematian Cam. Di dalam hati kecilku, aku akui kalau aku menyukai Cam, seperti dia menyukaiku. Tapi aku menerima kenyataan bahwa perasaan itu tidak akan berbalas, dan aku sudah cukup senang dengan bisa menjadi teman Cam. Kemudian, aku bertemu dengan Emilia, yang bisa mengubah perasaanku sedikit demi sedikit. Walau begitu, aku akan tetap menyanyangi Cam, apapun yang terjadi.
Andai saja Cam mau mencoba untuk mengungkapkan perasaannya, mungkin tidak akan begini ceritanya. Aku tidak keberatan kalau dia menyukaiku. Malah, aku merasa senang karena dia menyukaiku. Tapi ... kurasa Max ada benarnya. Cam kadang keras kepala, jadi dia memilih untuk mengakhiri semuanya. Aku juga mengerti kalau Cam takut merusak apa yang kami miliki.
Tapi ... ah sudahlah. Semuanya sudah berlalu, tidak ada gunanya kalau aku meratapinya. Mulai sekarang, aku harus bisa melangkah maju. Cam akan selalu ada di dalam hatiku, dan aku akan melanjutkan hidupku. Kalau memang Tuhan mengkehendakinya, mungkin saja aku bisa bertemu lagi dengan Cam.
Pemikiranku itu diinterupsi oleh sebuah ketukan di pintu. Kini, di depannya sudah ada Pak Jameson, yang menatapku dengan senyuman lebarnya.
"Ayo Wilson, sudah saatnya makan siang!" kata Pak Jameson.
Aku tersenyum. Kumatikan laptopku, kemudian aku mengiyakan ajakan Pak Jameson. Siapa yang tahu kalau aku sudah menghabiskan banyak waktu hanya untuk membaca pesan dari Cam dan mendengarkan rekaman milik Max?
Entah kenapa, kini aku bisa merasa lega. Setelah misi selesai, aku masih merasakan ada sesuatu yang agak aneh. Tapi setelah aku membaca catatan Cam, rasanya semuanya jadi lebih baik. Aku tidak mengerti kenapa, tapi kini tidak ada lagi pertanyaan yang tersisa di dalam kepalaku.
Sisa hari itu kuhabiskan dengan membaca jurnal pribadi Cam. Bagian awal catatannya masih biasa saja, tapi aku yakin kalau nanti akan jadi lebih menarik. Ketika sudah saatnya aku pulang, aku langsung saja mengemasi semua jurnal itu dan membiarkan kotaknya di atas mejaku.
Ketika aku sampai di rumah, aku langsung saja disambut oleh istriku. Dia memberikan sambutan yang hangat, dan aku bisa melihat kalau di dapur dia tengah memasak sesuatu. Semuanya berjalan lancar sampai waktu makan malam, ketika Emilia menyerahkan sebuah kotak kado kepadaku.
Pada awalnya, aku menganggap kalau itu hanyalah kado biasa. Emilia memintaku untuk membukanya, jadi aku melakukannya. Ketika melihat ada sebuah alat tes kehamilan di dalamnya, aku mengerutkan alis. Hingga aku melihat tanda di alat itu, yang langsung membuatku menatap ke arah Emilia dengan ekspresi terkejut.
"Tunggu dulu, jadi kamu hamil?!" tanyaku.
Emilia terkekeh, "Ya habis apa lagi? Aku sudah tahu dari beberapa hari lalu, tapi aku sengaja baru bilang hari ini," jawab Emilia.
Aku langsung saja memeluknya. Ah, satu lagi kebetulan yang terjadi di dalam hidupku. Aku dan Emilia memang tengah berusaha memiliki anak, dan akhirnya kini keinginan kami dikabulkan.
"Kalau anaknya laki - laki, boleh kuberi nama Cameron?" tanyaku.
Istriku tertawa, "Boleh saja, aku tidak melarang kok. Tapi kalau perempuan, aku yang pilih namanya ya?" sahut Emilia.
Aku tidak tahu bagaimana cara mengakhiri cerita ini. Semuanya selesai dengan baik, dan aku merasa lebih bahagia daripada yang sebelumnya. Cameron mungkin sudah tidak ada, tapi dia meninggalkan kenangan yang berarti untukku. Kini, saatnya aku membuat kenangan lainnya yang berarti bersama orang lain yang juga tidak kalah berartinya dari Cameron.
~~~~~
Hullah Readers! (=D
Akhirnya, selesai juga ini Unsolved Case! Mayan banyak ini jadinya, lebih dari 50K kata. Hm, selama saya tetap berada dirumah, kok saya jadi doyan nulis cerita yang isinya diatas 50K kata ya? Apa karena memang idenya lebih melebar, atau saya yang alay karena menggambarkan macam - macam hal di sini? Entahlah.
Sejujurnya, saya nggak kepikiran bikin cerita soal si Wilson. Setelah Solve My Case selesai, maunya sih dia gabung sama SPE, dan udah, itu aja. Tapi, ketika saya mikir lagi ... Cameron itu masih misteri kenapa dia bisa jadi punya kepribadian ganda. Kalau soal Jonathan yang jadi sepupunya, saya sebenarnya punya rencana sendiri soal itu, dan mungkin dia akan menjelaskan lebih banyak lagi soal keluarga Pacifia. Tapi ... kayaknya lebih seru kalau Wilson yang ceritakan deh. Nah, jadilah ide cerita ini.
Sejak awal, kalau kalian sadar, dinamika hubungannya Cam sama Wilson ini mirip sama Sherlock dan Watson, dan saya memang terinspirasi dari sana. Yang satu misterius, yang satu lebih santai. Cuma, saya rasa Cam itu seharusnya lebih manusiawi. Jadi ya ... kayaknya asyik juga kalau masa lalunya dijelaskan.
Entah kenapa, saya pengen bahas soal perhiasan. Maunya sih, bahas soal berlian gitulah. Tapi ... saya ada ide aneh seputar kalung rubi biru yang pernah muncul di Detective Yoshi 3 : Yoshi vs. Gank Ruby Girls. Karena rubi biasanya warna merah, ya kenapa nggak saya bikin kalau ada keanehan tertentu bersamaan dengan kalung itu. Eh, akhirnya malah jadi panjang ceritanya si kalung rubi tadi :v
Karena rupanya "rubi biru" itu lebih dikenal dengan nama "safir" karena kandungan mineral mereka yang hampir sama (yah, setelah saya banyak melakukan studi pustaka sama mbah Google), jadi saya cari alternatif lainnya, yaitu rubi bintang berwarna ungu. Kadang, sinarnya bisa kelihatan kebiruan, ya jadi masuk akal lah kalau dibilang "rubi biru".
Pokoknya, saat dapat ide ini, saya harus buka catatan lama dan mencocokkannya sama apa yang saya catat soal Underground, biar bisa cocok sama cerita ini. Yah, setidaknya saya nggak terlalu kesusahan saat bikin karakter. Boleh dibilang kalau cerita ini jadinya cukup memuaskan.
Btw, kalau dibaca lagi, di dalam cerita ini (dan cerita lainnya) saya banyak tebar spoiler untuk seri - seri berikutnya loh :v Ah, kebiasaan jelek saya itu :v Jangan tanya deh yang mana spoilernya, nanti kalian juga tahu kok :v
Oh iya, semoga ceritanya nggak muter - muter ya? Soalnya pas saya selesai nulis, saya sadar kalau ada banyak pengulangan cerita, misal yang sudah ada di chapter sebelumnya malah diceritakan ulang dalam bentuk pemikiran si Wilson. Tapi kalau menurut saya, itu memang cocok sama Wilson. Dia kritis, tapi dia juga bingung sama apa yang sebenarnya dirahasiakan sama temannya itu, makanya dia nggak bisa berhenti mikirin soal itu. Di dunia nyata, kadang kita juga memikirkan satu hal yang sama secara berulang, kan? Jadi, semoga aja pesannya bisa tersampaikan.
Lalu soal Cam ... apakah dia belok? Jawabannya, secara teknis sih enggak. Intinya sih, Cam itu nggak mau punya pacar atau istri, karena dia menganggap kalau kedekatan macam itu bisa jadi sia - sia. Tapi, dia tertarik sama Wilson, jadi bisa jadi dia memang belok (?)
Ah, intinya sih, Cam is gay only for Wilson, begitulah :v
Proses penulisan ini cerita lumayan seru kok, soalnya ada banyak hal yang harus dijelaskan. Jadi, karena saya menikmati menulis cerita ini, semoga kalian juga menikmati saat membacanya ya? <3
Okelah, cukup segini akhir kata dari saya.
Salam Emot! (=D
@DillaShezza
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top