7. All those past days without you.

Saka.
Lo mau pergi?
Gue anter

Viola.
Ga usah gue udah nyampe

Saka.
Kenapa ngga bilang dari tadi mau pergi?

Viola.
Kenapa harus?
Udahlah Ka, lo juga lagi sibuk ngurus kerjaan ngga usah peduliin gue dulu
Gue udah bukan anak smp lagi

Saka.
Dimata gue lo masih bocah tukang nyolot yang kalo gue ambil kakaknya ngambek ngunci diri di kamar

Viola.
BERISIKKK PEREBUT

Saka.
YEH ORANG KASA YANG MILIH GUE
Makanya kan gue mau nganterin lu biar gue ada waktu buat nyeritain tentang Kasa ke elu
Tapi elunya kabur mulu

Viola.
Siapa yang kabur dih

Saka.
Dikira gue ngga tau lo ngehindar mulu apa

Viola.
Gue udah nyampe cafe dadah





Viola mengunci layar hpnya setelah mengirim pesan terakhir tadi pada Saka. Kakinya melangkah masuk ke dalam Cafe, ia merapikan rambutnya sebentar karena tadi sempat kehujanan di luar. Pikirannya runyam tak bisa berpikir jernih saat belajar, makanya ia memilih istirahat sejenak ke cafe ini.

Walau sudah pernah kesini, Viola masih tidak bisa menyembunyikan kekagumannya setiap ia memasuki cafe.

"Silahkan mau pesan apa?"

Viola menoleh ke arah kasir, ia mengerjap melihat seorang perempuan berdiri dan tersenyum ramah di depannya. Membuat Viola tertegun sejenak. "Ovaltine macchiatto," pesan gadis itu setelah melihat menu yang tertulis di sana.

Perempuan itu mengangguk dan menerima uang Viola, menghilang sebentar tapi tak lama kemudian kembali. "Viola ya?"

Viola mendongak bingung kenapa perempuan itu bisa tahu namanya. "Oh iya?"

"Tuhkan bener, aslinya ternyata lebih cantik." Gadis itu mengikat rambutnya, lalu duduk di depan Viola. "Gue Winaya temennya Harland."

"Ah temennya Harland, yang waktu itu ada di lantai atas juga kan?" tanya Viola mulai mengingat wajah yang ia temui kemarin.

"Iya bener, gue mau ngajak kenalan kemarin tapi  Harland malah bisik bisik bilang ngga usah ngedeket."

"Loh kok gitu?"

Winaya tertawa kecil, "ngga mau diganggu kali."

"Padahal kemarin kita ngobrol ngga penting doang sambil bikin origami." Viola kini tak lagi menatap Wina karena gadis itu sudah asik sendiri melihat lukisan yang sempat menarik perhatiannya kemarin. Bahkan sampai Wina kembali dengan membawa pesanannya, Viola masih memperhatikan karya seni itu.

"Kamu suka banget ya sama lukisan itu?"

"Iya, padahal aku ngga paham banyak tentang seni kaya gini. Tapi pas liat lukisan ini rasanya pengin ngeliatin terus." Viola kembali mendekat ke kasir untuk mengambil pesanannya, namun ia mengurungkan niatnya untuk duduk di salah satu kursi cafe dan memilih duduk di samping kasir yang lebih dekat dengan lukisan tadi.

"Hati-hati jangan diliatin terus, nanti bisa masuk ke dalem."

Viola membulatkan matanya, buru buru menengok pada Wina. "Beneran bisa kak?? Pantes daritadi aku ngerasa kaya disihir ngga bisa lepas dari lukisan ini."

Sontak tawa Wina lepas begitu saja, yang tak lama kepalanya dijitak pelan oleh seseorang yang baru datang. "Jangan boongin orang terus Win, dimarahin Harland nanti kamu."

Tatapannya beralih pada Viola. "Jangan percaya sama Winaya ya, musyrik."

Viola manggut-manggut, walau merutuki kebodohannya sendiri yang langsung percaya kalimat Wina. Habisnya perempuan itu mengucapkannya dengan sungguh-sungguh seakan itu bukan bohongan.

Wina berhenti tertawa, kemudian menarik cowok di sampingnya mendekat. "oiya kenalin ini Arthur, pemilik cafe ini Vi."

"Ohh kak Arthur juga ya yang bikin lukisan disini?"

"Iya, kok lo tau?"

"Dikasih tau Harland." Viola memperhatikan Arthur dari tempatnya, pembawaannya yang tenang dan juga stylenya membuat Viola mengerti kenapa laki-laki itu mengusung konsep vintage untuk cafenya.

"Kalau lukisan yang dari tadi lo liatin itu waktu pembuatannya gue sampe hampir nangis."

"Eh?" Viola menoleh ingin tahu. "Ada ceritanya?"

Arthur mengangguk kecil, "semua lukisan pasti selalu ada cerita dibaliknya, ini yang bikin lukisan itu hidup."

Viola terdiam, ia ingin menanyakan lebih lanjut tentang cerita dibalik lukisan yang dibuat Arthur namun kehadiran seseorang dari balik pintu cafe membuat perhatiannya teralihkan.

Harland langsung mendudukkan dirinya di samping Viola, "coklat anget dong satu, kehujanan gue anjir bentar lagi masuk angin ini mah."

"Biasanya juga gapapa lo hujan-hujanan, katanya lo gapapa disamber petir 10 kali juga," ucap Arthur berbalik menuju dapur, yah bukan dia sih yang bikin minumannya tapi liat Harland yang baru datang rasanya dia pengin pergi aja dari sana.

"Kan gue bilang gapapa disamber petir asal ga kena." Harland mengibas-ngibaskan rambutnya yang basah.

Wina menoyor kepala Harland dengan kesal. "Sana lo buat minumannya sendiri," usir Wilona.

"Lah cafe macam apa nih nyuruh pelanggannya bikin minum sendiri, harus gue kasih bintang satu-"

"Coklatnya gausah bayar."

"Tapi gue lebih suka prasmanan gini sih sebenernya." Harland langsung berdiri menuju dapur.

Wina geleng-geleng melihatnya, kembali menatap Viola lagi. "Besok-besok mau ikut ngga kalau gue ke exhibition?"

"Mau mau," ucap Viola antusias.

"Gue minta nomer lo dong."

Viola langsung menyebutkan nomer hpnya pada Wina.

"Oke nanti gue kabarin ya, mau sekalian gue masukin ke grup anak cafe ngga?"

"Emang ngga papa?"

"Ngga papaa tenang, kan habis ini mau sering main disini juga," ucap Wilona yang selanjutnya ia sudah di sibukkan dengan hpnya.

Harland kembali dengan membawa segelas coklat panas di tangannya. "Duduk disana yok Vi," ajak Harland menunjuk salah satu kursi di sudut ruangan.

Viola mengangguk kecil menurut. Mengikuti di belakang Harland.

Hening selama beberapa saat, mereka sibuk dengan minuman dan pikiran masing-masing. Sebelum akhirnya Harland mulai membuka suara.

"Are things getting better... after she left?"

Ada jeda yang merayap diantara mereka. Viola tersentak mendengar pertanyaan itu dilontarkan tiba-tiba oleh Harland. Ia tahu siapa yang Harland maksud disini, tak perlu bingung menanyakan dari mana Harland tahu tentang itu karena berita ini memang sudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Namun kenapa Harland menanyakan itu sekarang?

"Kenapa tiba-tiba?"

"Cuma pengin tau kalau lo ngga keberatan buat cerita."

Sebetulnya Harland membicarakan ini karena disuruh oleh Saka namun ia juga ingin tahu kabar Viola dari orangnya sendiri.

Viola sempat ragu namun akhirnya mencoba untuk menceritakannya sedikit. "Ngga, kaya mimpi buruk. Gue ngga tau apa yang gue lakuin setiap hari rasanya hampa, gue pengin lari. Gue pengin tau apa yang sebenernya kakak pikirin sampai milih pilihan itu, apa karena gue atau karena yang lain."

Viola meremas ujung bajunya, berusaha mengingat hari-hari dimana ia berada di kondisi terburuknya. "Tapi di satu sisi gue takut buat tau kebenarannya."

Harland menatapnya lekat sedari tadi. Ada sesuatu dalam wajahnya yang mengingatkan Harland pada seseorang.  Ia mendekat, menaruh jaketnya di kepala Viola sampai menutupi bahunya.

Viola melihat pergerakannya dengan tatapan bingung. "Ngapain?"

"Dingin," ucap Harland singkat, namun entah kenapa Viola merasa berterimakasih sudah diberikan jaket. Karena Viola terbiasa menyembunyikan wajahnya saat sedang emosional seperti sekarang.

"Lo udah terbiasa hidup dan bersandar sama kakak lo jadi ketika dia ngga ada lo jadi ngga tau harus gimana. Ditambah kepergian dia yang masih abu-abu alasannya, nyiptain ruang kosong di diri lo yang butuh jawaban pastinya." Harland menjeda kalimatnya sebentar. "Tapi gimana caranya lo bisa dapet jawabannya kalau lo sendiri masih belum berani buka diri buat tahu tentang kakak lo?"

Viola diam mendengarkan, karena sejujurnya ia tak punya sanggahan lain untuk diucapkan.

"It's okay to dwell in pain as long as you need. Tapi pelan-pelan, lo harus tau kebenarannya biar lo berhenti nyalahin diri sendiri atas apa yang udah terjadi. Jangan menghindar."

Viola memperhatikan minuman digenggamannya dengan tatapan sukar dibaca. Kisi-kisi matanya sudah mengabur oleh air mata namun gadis itu enggan untuk menangis. Ia mengangguk kecil, pikirannya yang tadi kalut jadi lebih tenang setelah membicarakan tentang apa yang ia rasakan tadi.

"Mau coba break the rules ngga?" ajak Harland tanpa sadar, mengalihkan topik.

"Buat apa?"

"Seru-seruan aja, nanti lo ngelakuin yang biasanya gue lakuin gitu juga sebaliknya."

"Dih entar lo suka bolos gue juga ikut bolos gitu?"

"Ya engga dalam konteks buruk juga emang semua yang ada di gue nih buruk semua gitu?"

"Emang lo biasanya ngapain?"

"Nanti gue kasih tau, lagian lo pasti bosen kan hidup gini-gini terus?" ucap Harland yang kini sibuk menghabiskan minumannya yang sudah tak panas lagi itu. "Lo butuh gebrakan baru."

Viola mengernyit, "contohnya?"

Harland menatap Viola, berpikir sebentar. "Contohnya loncat dari lantai tiga sama gue?"

"ITU NAMANYA LO NGAJAK BUNUH DIRI BUKAN BREAK THE RULES!!"












Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top