5. Seseorang dari masalalu.
Hari ini bukan hari kamis, tapi Viola memutuskan tetap datang ke toko kue langganannya untuk menepati janjinya kemarin pada dirinya sendiri, karena moodnya sedang dalam keadaan bagus sore ini. Kaki jenjangnya melangkah ke kasir hendak memesan kue seperti biasa.
"Aku pesen plain Scone sama-"
"Carrot cake?"
Viola tersentak mendengar suara berat yang tiba-tiba memotong ucapannya itu. Cewe itu sontak menoleh ke sumber suara, menangkap sosok laki-laki semampai yang ternyata juga sedang menatapnya. "Lo?"
Cowo itu tersenyum. "Long time no see, Moreau."
***
Pertama kali Viola tahu adanya toko roti disini bukan karena ia yang menemukannya secara tidak sengaja, tapi karena seseorang pernah mengajaknya makan disini saat dia sedang bertengkar dengan Kasa. Namun tak Viola sangka ia akan kembali bertemu orang itu setelah beberapa tahun pemuda itu menghilang.
Ajisaka Fabrizio.
"Apa kabar?"
Viola mendongak, entah kenapa merasa aneh mendengar pertanyaan itu. Seakan mereka sudah jadi seasing ini dalam waktu dua tahun ini. "Harusnya gue yang nanya, lo apa kabar? Kenapa tiba-tiba ngilang Saka?"
Saka meneguk kopi yang ia pesan tadi, "sampe lo masuk sma pun lo tetep ngga mau manggil gue kak ya?"
"Buat apa? Nama lo aja udah cukup buat ngewakilin panggilan itu kan? Ka, saka," ujar Viola tak peduli seraya memakan Scone miliknya. "Lagipula gue ngga bakal manggil orang yang bikin gue jadi second option buat Kasa dengan sebutan kak, kita musuh lo ngga inget?"
Saka tertawa mendengar Viola masih ingat dengan jokes lama mereka dulu. Mereka berdua adalah musuh dalam hal memperebutkan Kasa. "Mana mungkin gue lupa. Tapi Vi, berapa kali pun gue berhasil menangin Kasa dari lo. Gue bakal tetep kalah."
"Kenapa?"
"Karena lo Viola. You never been the second option for Kasa," ujar Saka lembut.
Viola tertegun, ia kira Saka akan menyombongkan dirinya yang selalu menang dengan apapun yang berhubungan dengan Kasa seperti dulu. Tapi kali ini, cowok itu mengungkapkan kalimat yang membuat Viola lagi-lagi merasa ia belum cukup mengenal kakaknya sendiri.
"Gue baik btw, walau ngga selalu baik but i'm still moving forward luckily. How about you?"
Viola kembali menggigit Scone nya sebelum kemudian menjawab. "Ngga ada yang baik."
"Kenapa? Nilai lo turun?"
"Lebih buruk dari itu."
Saka membulatkan matanya terkejut, lebih buruk dari nilai yang turun itu artinya sangat buruk bagi Viola. Ia mencoba menerka-nerka apa yang terjadi pada perempuan di depannya, "lo ngga bisa bikin kue lagi karena ngga dibolehin Kasa??"
Viola berdecak, sudah menduga Saka tidak tau apa-apa tentang kejadian ini. "Kayanya selain ngilang, lo juga ngga nyari informasi apa-apa ya tentang Kasa?"
"Ya kalau masih nyari tau, gimana caranya gue move on?"
Viola mengedikkan bahunya, "Kasa udah meninggal satu tahun yang lalu."
Ada sesuatu yang menghujam jantung Saka tepat ketika kalimat itu keluar dari mulut Viola. Kehilangan kata-kata, berharap apa yang diucapkan Viola hanya kebohongan tapi tatapan mata itu tidak menunjukkan kalau Viola sedang berbohong apalagi bercanda. Ia diam beberapa saat, mencoba mencerna informasi yang terlalu tiba-tiba ini.
"Gue ngga ada waktu buat nungguin lo selesai kaget, karena gue bakal langsung pulang kalau kue gue udah habis," ucap Viola dingin, berusaha tetap fokus pada kue yang ia makan, menghilangkan semua pikiran yang akan menghancurkan hari yang menyenangkan ini.
"Kasa meninggal karena apa?" tanya Saka masih dengan tatapan mata tak percaya.
"Karena gue."
Saka mengerjap, memajukan dirinya pada Viola, "Apa?"
"Kata orang-orang, Kak Kasa meninggal karena gue."
Saka diam, tak mengerti. "Gue pengin denger dari lo, bukan orang lain. Tolong kasih tau gue Viola."
Viola menggigit bibir bawahnya, "ngga ada yang tau Saka. Kak Kasa bunuh diri sehari setelah gue bikin dia sakit hati di depan banyak orang. Jadi emang ada alasan lain selain gue buat jadi alasan dia meninggal??"
Saka mengernyit heran. Rasanya Kasa bukan orang yang akan memilih pilihan bodoh seperti ini hanya karena kecewa dengan adiknya. Ia kenal sekali dengan Kasa. Ia tahu lebih banyak dari yang Viola adiknya sediri tahu.
"Gue anterin lo pulang," ucap Saka setelah melihat Viola selesai dengan makanannya.
Viola yang tadi menunduk, langsung mengangkat kepalanya. "Gue bisa pulang sendiri."
"Ngga, pulang sama gue. Besok-besok juga kalau bisa kemana-mana sama gue."
Viola memutar bola matanya, "lo siapa ngatur-ngatur? Gue punya supir kalau lo lupa."
"Supir lo itu cuma nganterin waktu pagi doang kalau ngga salah. Lo juga ngga mungkin nyeritain masalah lo ke temen lo kan? Jadi biarin gue ada di samping lo. Gue pengin ngasih tau lo semua tentang Kasa yang lo ngga tau."
Viola menggenggam erat tali tasnya. Walau selama ini mereka kelihatan cuma bertengkar sebagai candaan, kenyataannya gadis itu benar-benar merasa sedih saat Kasa lebih banyak menghabiskannya waktunya dengan Saka.
Sampai Viola menyadari, ia tidak tahu apa-apa tentang kakaknya. Kasa seakan meninggalkan Viola dalam ketidak tahuan yang membuatnya bertambah bingung harus bersikap seperti apa setelah kepergiannya.
Viola melangkah cepat mendahului Saka. Saka menganggap itu sebagai persetujuan karena selanjutnya Viola terlihat pergi menuju parkiran mobilnya.
Di perjalanan, mereka sama-sama diam. Hening menyelimuti keduanya. Mereka tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Saka kembali ke kota asalnya bukan untuk mendapatkan berita mengejutkan seperti ini. Ia pikir pilihannya untuk menghilang selama beberapa tahun terakhir adalah piilihan terbaik, namun nyatanya tidak. Ia merasa menyesal karena tak ada di saat terakhir Kasa juga tak di samping Viola saat semua itu terjadi.
Tangannya mendingin sedari tadi. Tak tahu harus mengucapkan kalimat apa pada Viola sekarang.
Namun Viola yang diam-diam menyeka wajahnya membuat Saka menengok mencoba mengecek kondisinya. "Lo nangis?"
"....SIAPA YANG NANGIS?"
"IYA IYA MAAF GUE NGGA LIAT." Saka termundur dan langsung membuang pandangannya dari Viola. Berusaha tak melirik gadis itu namun gagal.
"Kalau mau nangis, nangis aja. Nih gue gedein lagunya biar gue ngga denger," kata Saka seraya membesarkan volume lagu yang sedang diputar. Namun lagu yang terdengar malah lagu Rhoma Irama yang Viola sendiri sampai sekarang tak mengerti kenapa Saka masih suka mendengarkannya.
Cukup untuk membuat Viola kesal dan alhasil memukul Saka berkali-kali untuk melampiaskan kekesalannya.
"Nyebelin banget sih!"
"Ya udah mau di ganti lagu apa??"
"Ngga usah, udah ngga pengin nangis."
Saka tertawa melihat Viola yang membelakanginya. Walau banyak yang berubah setelah lama tak bertemu seperti tinggi badan juga cara bicaranya, nyatanya sifat Viola yang seperti ini masih ada pada gadis itu. Membuat Saka tersenyum sekilas.
"Gue kadang heran kalau liat orang yang ngga suka nangis di depan orang lain. Ngga elo, ngga Kasa. Kalian sama-sama ngerasa nangis tuh salah satu tanda kelemahan seseorang," ucap Saka setelah mengganti lagu dengan yang lebih tenang. "Padahal selagi ngga bikin nilai lo turun mah nangis aja selama yang lo mau. Your flaws doesn't make you imperfect, they make you human."
Viola terdiam, ia baru pertama kali mendengar kalimat itu ditujukan kepadanya. Selama ini orang-orang selalu berekspektasi tinggi kepadanya, menganggapnya dewasa dan sempurna. Seakan ketika Viola menunjukkan kelemahannya pada mereka, mereka akan langsung berbalik darinya. Mereka lupa kalau Viola juga manusia.
"Gue jadi pengin tahu. Lo pernah ngga sih Vi pake emot nangis kalau lagi chatting sama orang?"
Dengan kening berkerut Viola menoleh, "emot nangis?"
"Iya, orang-orang biasanya pake emot itu bukan karena lagi beneran nangis. Tapi waktu ketawa, waktu kesel, waktu seneng, mereka ngungkapinnya pake emot nangis."
"Gue ngga pernah pake emot."
"Ngga seru banget, pake dong kalau chat sama gue."
"Ngga punya nomer lo."
"Catet nih, 08-"
"Dan ngga pengin punya," potong Viola tak peduli Saka mendelik padanya.
"Lo dendam banget ya Vi sama gue sampe segitunya." Saka kini memasang wajah pura-pura sedih andalannya, berharap Viola akan luluh.
"Iya dendam banget jujur."
Saka menipiskan bibirnya, menyadari caranya tak akan mempan jika digunakan pada Viola. Mobil miliknya berhenti di depan rumah Viola.
Viola sudah keluar dari mobil namun berbalik dan meminta dibukakan jendela mobil hanya untuk melemparkan satu bungkus cookies yang ia beli tadi di toko kepada Saka. Diatasnya tertempel kertas dengan deretan nomer telpon Viola.
"Mohon bantuannya buat kedepannya ya pak supir, semoga besok besok kita ngga perlu berantem tiap ketemu lagi," ujar Viola sebelum masuk ke halaman rumah.
"Bintang 5 nya jangan lupa mba!" teriak Saka.
"Lo dapet bintang satu pun ngga pantes sorry," jawab Viola ikut berteriak.
Introducing:
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top