Unseen Sunflower
Ketika kami kecil bahkan sampai sekarang, kami berkali-kali bertengkar apapun sebabnya. Namun, kita selalu berbaikan esok hari. Makanya, saat hari itu ketika kami bertengkar, harusnya ada seseorang yang memberi tahuku bahwa itu adalah pertengkaran kami yang terakhir.
Musim dingin tahun lalu, tetangga sekaligus teman masa kecilku meninggal karena kecelakaan. Ternyata, begitu mudahnya seseorang pergi. Terlebih lagi dia pergi tanpa pamit. Aku hanya bisa diam tanpa berbuat banyak sambil menyesali kebodohan diriku sendiri.
"Dai-chan! Selamat Datang!"
"..."
Kucoba kucek kedua mata berulang-ulang. Mungkin aku kelilipan atau salah lihat. Namun itu tidak, ini benar nyata. Dia di sini, di hadapanku dan adikku. Dengan senyum yang selalu aku suka, dia menyambutku.
"Hei, Dai-chan, lama tidak jumpa."
Terkejut? Tentu saja. Ini bukan lelucon, kan? Apa ada kamera di sekitar sini? Aku akan melambaikan tangan karena aku sudah tidak kuat. Apa jangan-jangan ini hanya halusinasi saja?
Aku masih memandangnya terkejut. Satsuki hanya tersenyum polos seperti biasa. Halusinasi yang terasa sangat nyata.
"Ini betulan aku, Dai-chan."
"Kenapa kau di sini?" Sial. Suaraku keluar begitu lirih.
"Hari ini satu tahun kematianku. Aku coba pulang sekali saja."
Bodoh. Kenapa begitu mudahnya mengatakan kematian dengan wajah sumringah?
"Onii-san, ibu menyuruhmu belanja hari ini," kata adikku yang berada di belakang Satsuki.
"A-anu itu... Em, a-aku,"
"Yang bisa melihatku hanya kau saja, jadi jangan gugup begitu." Gadis itu tersenyum seakan mengerti maksudku.
"Ikut aku," ucapku sedikit berbisik sambil menarik tangan Satsuki dan berlalu mengabaikan teriakkan adikku tentang belanjaan.
"Oh? Daiki bisa menyentuhku juga," gumam Satsuki yang kutarik menuju kamar.
Setelah sampai, dia duduk di kursi dekat meja belajar.
"Wah.. kamar mu tidak berubah ya? Oh iya, kamu sudah punya pacar ? Ah! Aku baru sadar kamar ini berantakan sekali. Kau harus membersihkannya Baka Dai-chan! Seperti biasa kau malas."
Benar-benar Momoi Satsuki. Sangat cerewet.
"Kenapa?"
"Hm?" Satsuki memandangku dengan tatapan bertanya.
Kau tidak mengerti maksudku, kan?
"Kenapa Satsuki di sini? Kamu itu kan sudah mati! Aku tidak mengerti kenapa kamu datang! Untuk apa orang sudah mati ke sini, hah? Apa aku bersalah pada Satsuki? Kepergianmu tidak tenang, ya?! Kamu dendam padaku?!"
Satsuki menutup kedua telinganya saat aku berteriak padanya. Setelah itu, dia tersenyum padaku. "Iya, aku memang sudah mati. Aku ini hantu."
"Kenapa... kau... Satsuki... " Lidahku kelu. Segala macam hal berkecamuk dalam pikiran.
Saat pertemuan kami yang terakhir,ada yang ingin kukatakan. Namun ,aku merusaknya. Kata-kata terakhirku saat itu sangat jahat.
"Tiba-tiba kamu kecelakaan dan meninggal. Benar-benar menyebalkan!" Aku mengalihkan pandangan darinya. Tapi, bukan itu yang ingin aku katakan. Bukan.
"Maafkan aku, ya Dai-chan," katanya sambil memandangku lekat.
"Satsuki selalu saja menyebalkan!"
"Kau juga menyebalkan! Lihat kamar mu! Rapikan buku-buku itu! Bawa botol plastik ke tempat daur ulang, jorok! Oh, dan juga jangan menumpuk pakaian kotor, bau! Sana bawa ke tempat cucian!"
"Cerewet sekali, memangnya kamu istriku?"
"Habisnya, kamar ini berantakan sekali sih."
Aku seperti ini gara-gara kau, Satsuki. Sadarlah, aku menderita di sini. Sangat-sangat menderita. Ah tidak, maaf. Aku duluan yang membuatmu menderita.
Sial sekali aku jadi ingat masa lalu. Masa lalu yang sangat ingin aku buang sejauh mungkin. Jadi, rumahku dan Satsuki itu bersebelahan. Setiap hari, dia menjemputku. Hampir setiap waktu kami habiskan bersama. Sampai teman-teman yang lain curiga. Mulailah gosip tentang aku berpacaran dengan Satsuki. Saat itu, salah satu teman sekelasku bertanya pada Satsuki. Saat itu pula aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka.
"Momoi, kamu pacaran sama Aomine, ya?"
Seperti biasa, dia tersenyum sebelum menjawab. "Tidak kok. Dia temanku sejak kecil. Dia sudah seperti adikku sendiri." Padahal, aku menyukainya. Sayang sekali, Satsuki hanya menganggapku sebagai 'adik'.
Esok hari, Satsuki datang ke rumahku seperti biasa.
"Dai-chan! Ayo berangkat," teriaknya penuh semangat di depan rumah.
Aku keluar, menghampiri Satsuki tanpa ekspresi. "Mulai sekarang, jangan denganku lagi. Pergilah sendirian!"
"Tapi kalau aku tidak datang, kamu bisa terlambat!"
"Biarkan saja aku terlambat!!! Aku tidak mau menemui Satsuki lagi!" Aku membentaknya dengah keras.
"Apa ini karena gosip itu? Hiraukan saja." Wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
"Aku malah terganggu tau!" bentakku lagi tanpa mempedulikan perasaannya saat itu.
Satsuki menundukkan kepala, sedetik kemudian dia tersenyum kaku ke arahku lalu berbalik pergi. Ini bukan pertengkaran. Aku melukainya tanpa perlawanan darinya. Kalau diingat-ingat, ini sama seperti biasanya. Walaupun aku melukainya, besok dia tersenyum padaku (lagi). Kuharap begitu. Tetapi bukan itu yang terjadi. Satsuki malah kecelakaan. Sebuah kesalahan yang terlambat kusadari dan berujung penyesalan.
.
.
.
Setelah membersihkan kamarku. Aku dan Satsuki pergi jalan-jalan sebentar. Tentu saja dia yang mengajak. Akhirnya aku terpaksa keluar rumah dengan dalih berbelanja sesuai suruhan ibuku tadi.
"Hari ini dingin sekali, kenapa keluar sih?" tanyaku sedikit kesal.
"Cuma satu hari ini saja aku di sini," dia mendekat padaku "Aku hanya satu hari saja bisa terlihat olehmu. Kalau Dai-chan mengurung diri di kamar saja, hanya bisa mengenal masa lalu. Padahal masa depan menanti kita."
"Itu gara-gara Satsuki," ujarku lirih. Namun aku yakin dia dapat mendengarku.
"Kamu tidak kasihan pada orang tuamu? Bibi terlihat lelah mengurusimu yang mengurung diri."
Benar. Ibu terlihat lelah karena aku. Sudah satu tahun aku mengurung diri di rumah, hanya keluar beberapa kali saja. Itu pun karena terpaksa. Aku juga tidak pergi ke sekolah karena pastinya tempat itu dipenuhi kenangan Satsuki. Interaksiku dengan orang lain juga sangat minim.
Rasanya setelah kehilangan Satsuki, aku juga kehilangan diri sendiri.
Kami berjalan beriringan. Di kiri kami ada kebun bunga matahari milik nenek Satsuki. Sayangnya bunga mataharinya belum mekar. Tentu saja, ini musim dingin.
Langkah Satsuki terhenti. "Bunga matahari!" teriaknya girang.
"Bodoh! Belum ada yang mekar tau!"
Dia terkekeh. "Aku tahu kok! Hanya saja aku selalu ingin melihat bunga matahari walaupun musim dingin."
"Hei hei! Mukkun dan Midorin kan? Mau kemana mereka membawa karangan bunga segala?" Mengalihkan pembicaraan ya, Satsuki.
Teman dekat kami, anggota dari Tim Basket SMP Teiko, Murasakibara Atsushi dan Midorima Shintaro.
"Mereka ke tempat kecelakaanmu. Hari ini hari ulang tahun mu,kan? Tadi Tetsu dan Akashi juga kesana."
"O-oh... Benar juga ya, aku meninggal di hari ulang tahunku." Satsuki menundukkan kepalanya.
"Kau baik-baik saja?"
"Baik kok, seratus persen! Baguslah, meninggal di hari ulang tahun jadi gampang diingat! Hehe. Terima kasih, Mukkun, Midorin. Jangan-jangan tadi Dai-chan kesana ya? Aku jadi penasaran kamu meletakkan apa di sana."
"Jangan kesana!" Iya, jangan kesana. Aku tidak memberimu apapun.
"Aku hanya bercanda tau. Tee-he!"
Ketika dia sedih, dia langsung tersenyum. Tidak berubah. Satsuki tetap Satsuki yang dulu. Dia... masih disini.
"Dai-chan... Kamu tambah tinggi ya. Padahal waktu SD aku lebih tinggi. Kau pasti ingin lebih tinggi lagi ,kan?"
"Lalu?"
"Setelah lulus SMA, kau kuliah, lalu bekerja. Lama-lama... Dai-chan... yang jadi 'kakak' ya."
Kumohon jangat tunjukkan ekspresi pedih itu.
"Satsuki... "
"Ah iya! Malam ini kita ke festival ya! Kalau bisa sih. Tahun lalu aku tidak pergi, jadi aku ingin ke sana."
Saat Satsuki meninggal, aku jadi ingat perkataan Akashi yang saat itu menjabat sebagai Kapten Tim Basket Teiko sekaligus ketua kelas kami. "Kita harus bisa mengatasi kesedihan ini, Momoi Satsuki akan selalu dalam kenangan kita, mari kita berdoa, semoga arwahnya tenang," katanya. Saat itu juga semua gadis di kelas menangis. Aku hanya berusaha bersikap tenang, tapi sejujurnya aku yang paling terpukul. Mengatasi kesedihan? Bagaimana caranya? Setiap pagi aku selalu gelisah ketika melihat ke arah bangku Satsuki di sekolah yang dipenuhi bunga. Apalagi ketika berjalan menuju sekolah aku melewati tempat Satsuki kecelakaan, rasanya dadaku makin sesak. Hingga akhirnya aku berhenti untuk berangkat sekolah.
Aku sadar semuanya tidak bisa kembali lagi. Kata-kata yang ingin ku ucapkan tertahan begitu saja, aku tidak bisa melihat Satsuki lagi, tidak bisa mengobrol bersama Satsuki lagi, tidak bisa menyentuh Satsuki lagi. Bagaimana aku bisa mengatasi semua ini? Bohong jika aku tidak ingin dia berada di sisiku.
Hanya hari ini saja. Aku mengobrol dengan Satsuki seperti biasa. Senyumannya yang selalu aku suka akan jadi kenangan. Padahal, akhirnya bisa bertemu dengannya lagi. Tapi apa yang ingin kukatakan padanya... masih belum tersampaikan.
"Dai-chan, apa kau yang membuat ini semua?" Dia bertanya sambil menunjuk sesuatu.
Tanpa sadar kami berjalan hingga dekat belakang rumahnya.
"Aku senang Dai-chan ingat keinginanku, bunga matahari yang mekar di musim dingin."
"Aku senang... Dai-chan masih mengingatku."
"Meski aku sudah mati, aku sangat senang karena kamu sangat peduli padaku. Walau hanya bunga matahari dari origami, ini akan selalu mekar di semua musim. Apalagi bunga buatan ini diletakan di pagar belakang rumahku. Tempat yang tidak terlihat oleh banyak orang."
"Daiki hebat, ya." Suaranya bergetar.
Gawat. Aku ingin menangis. Ketika Satsuki memanggilku hanya Daiki saja, itu tandanya dia sedang sangat serius.
"Daiki?"
Kuraih tubuh Satsuki lalu kupeluk dengan erat. "Memang benar aku membuatnya. Terus kenapa? Sejak kematianmu aku membuatnya setiap hari. Aku bodoh, ya? Kukira dengan ini akan menghapus penyesalan dan perasaanku padamu! Tapi kenapa... tidak bisa hilang? Ini menyebalkan, Satsuki!"
Hari itu, yang sangat ingin kusampaikan. Padahal aku hanya ingin memastikan suatu hal, tapi aku malah melukaimu. Aku selalu berpikir ingin menyampaikan padamu sesering mungkin, sebanyak mungkin. Harusnya aku bilang kamu sangat berarti bagiku. Sangat-sangat berarti.
"Daiki... Jangan menangis. Nanti aku juga ikut menangis. Aku benar-benar minta maaf. Kematianku membuat Daiki menyesal dan menderita. Maaf ya, kamu tidak perlu membuat bunga ini lagi sepanjang tahun. Jangan tertekan karena aku, ya."
"Aku sangat minta maaf, Satsuki." bisikku dalam pelukannya.
Satsuki menghapus air matanya lalu tersenyum padaku. "Sejak Dai-chan merusak bunga matahari buatan milikku pada waktu kelas seni, aku jadi suka bunga matahari. Yang buatan maupun yang asli sama saja, sama-sama cantik. Aku juga..."
"Kumohon jangan katakan!" Air matanku semakin deras karena sadar dia akan pergi lagi.
"...Aku juga menyukai Aomine Daiki. Jangan menderita lagi karena aku ya! Jadi, selamat tinggal. Dai-chan... aku mencintaimu. Kamu sangat berarti bagiku."
Hatiku menghangat bersamaan dengan mendaratnya bibir Satsuki di pipiku. Lalu... dia menghilang bagai debu tertiup angin, meninggalkan sekelebat bayangan surai merah mudanya.
Siapa yang harus kusalahkan atas semua ini? Aku sendiri atau takdir?
Begitu tidak adilnya ketika aku tau bahwa Satsuki mencintaiku ketika dia sudah meninggal. Meskipun pertanyaan yang ingin kutanyakan hari itu sudah terjawab, namun yang ingin ku ucapkan belum juga tersampaikan.
Tidak bisa bertemu lagi. Tidak bisa mengobrol lagi. Aku harus menerimannya. Menerima ketidakhadiran Satsuki dalam hidupku.
Mulai saat ini aku akan menjalani hidup seperti biasa. Meskipun kadang-kadang hatiku terasa sakit ketika melihat bunga matahari.
Walau tersenyum terpaksa. Aku harus melakukannya berulang-ulang aku sampai terbiasa, sampai aku benar-benar bisa melepaskan mu. Momoi Satsuki, aku sangat mencintaimu selamanya. Kehadiranmu hari ini membuatku sadar, bahwa selama ini kau selalu mencintaiku. Terima kasih untuk segalanya.
Sampai jumpa di kehidupan berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top