Chapter 9
"Ahhh~! Aku menyerah!" keluh Shiro sembari melempar pinsilnya dan bangkit dari kursi. Pada akhirnya gadis itu meninggalkan tugas sastra Jepangnya lalu melompat dan berbaring di kasur. Langit-langit kamarnya yang polos ia pandangi dengan tatapan kosong—ia lebih memilih untuk melamun dari pada mengerjakan tugas sastra Jepangnya.
Sesaat, Shiro sempat berpikir untuk pergi konbini dan membeli camilan. Sebelum ia sadar pemikiran itu muncul hanya untuk mencari alasan supaya bisa menunda pekerjaan rumahnya. Sambil menghela nafas, Shiro pun bangkit dan mengambil bola voli yang pada saat itu berada di dekat kakinya. Bola voli di tangannya itu membuat Shiro teringat percakapannya denga Kuroo tadi siang. "... Sangat membantu ya," gumam sang gadis sambil memandangi bola voli yang ia pegang. "Aku juga ingin segera menjadi manager!" ucapnya sekali lagi sebelum dirinya kembali merebahkan dirinya di kasur dan melempar-lempar lemah bola voli di tangannya ke udara, seakan ia hendak memberikan toss.
Ia memainkan bola volinya sambil memikirkan kembali tim voli di sekolahnya. "Kudengar Nekoma tim yang kuat....," ucap Shiro kepada dirinya sendiri. Sebelum tangannya berhenti melempar bola dan berganti menjadi memeluk bola tersebut. "Itu membuatku sangat-sangat-sangat tidak sabar! Kuharap Nee-san benar-benar menerima ajakanku!" Dan kini gadis itu mulai berguling-guling di kasurnya sambil memeluk erat bola volinya.
Perlahan ia mulai membayangkan dirinya menjadi manager bersama Shiori. Mungkin mereka akan cukup membantu, tidak-tidak.... mereka akan sangat membantu. Perkataan Kuroo tadi siang—tentang betapa membantunya keberadaan Shiro di tim—sudah cukup membuat mood Shiro meningkat dan kembali bersemangat.
Setiap hari Shiro akan pulang lebih sore karna kegiatan klub. Berkumpul bersama para anggota voli yang sangat asik. Membuat laporan perkembangan para pemain, laporan pertandingan resmi maupun latih tanding biasa, membantu Naoi mengurus klub. Shiro yakin akan sangat menyenangkan jika dirinya ikut berpartisipasi dalam tim, bersama Shiori tentu saja. Oh! Dan bagaimana jika tim Nekoma akan sampai Internasional?! Shiro akan sangat menantikan momen itu terjadi.
Tanpa sadar, Shiro mulai tersenyum sendiri. Mood gadis ini bisa dengan mudah berubah jika urusannya soal voli. Ia benar-benar cinta dengan olahraga bola besar yang satu ini. Sayangnya, ia tidak bisa ikut bertarung di lapangan.
Entah mengapa tiba-tiba ia kembali teringat alasannya ingin menjadi manager voli laki-laki di sekolahnya, dan saat itu ia bisa merasakan perasaan lain selain senang dan berdebar-debar—karna tak sabar untuk menjadi manager resmi tim voli Nekoma. Perasaan aneh yang mirip... takut?
Tok tok tok!
"Shicchan, ini aku." Suara yang menginterupsi lamunan Shiro itu membuat gadis bersurai pendek tersebut bangkit dan duduk. Ia dapat langsung mengenal suara tersebut. "Nee-san!" seru Shiro senang. "Masuk saja, pintunya tidak terkunci kok."
Pintu kamar Shiro pun terbuka, dan menampakan sosok gadis tinggi berkacamata dengan aura dewasanya yang khas dan Shiro kagumi. Gadis itu membawa dua cup puding. "Aku membawakanmu puding," ujar Shiori sambil mengangkat puding di tangannya. Mata Shiro berbinar. "Puding! Pas sekali. Aku baru saja berencana membeli camilan ke konbini."
"Aku membuat terlalu banyak membuat gyudon untuk makan malam, jadi aku membawa sebagian kesini. Dan aku tau jam segini kau akan mencari camilan, makanya aku membawa puding yang ada di rumah." Shiori berjalan masuk dan memberikan salah satu puding kepada Shiro. Sang kakak sepupu pun berjalan menuju meja belajar untuk duduk di kursinya, tapi perhatiannya langsung teralihkan ketika menyadari catatan pelajaran Shiro yang berserakan di meja belajar. Pada akhirnya Shiori menyimpan puding miliknya dan melihat catatan yang ada di meja belajar Shiro. "Kau sedang belajar? ...... sastra Jepang? Tumben sekali."
"Ah! Itu..." Shiro menelan pudingnya sambil tersenyum kikuk. Ia mengusap tengkuk lehernya dengan canggung. "Satou-sensei memberi tugas yang wajib dikerjakan. Katanya, nilainya akan sangat berpegaruh untuk rapot," jelasnya. "Ahhh! Andai saja tugas itu bukan pelajaran sastra Jepang! Aku pasti sudah menyelesaikan 10 soal!"
Shiori terkikih pelan karna keluhan Shiro. Gadis itu mengambil jatah pudingnya dan mulai memakannya sambil bersandar pada sandaran kursi. "Aku bisa membantumu jika ada kesulitan," tawar Shiori sebelum melahap puding. Shiro mengangguk sebagai respon, "Aku baru mau meminta Nee-san," ujarnya.
"Waktu yang tepat bukan," komentar Shiori yang setelah itu terdiam memakan pudingnya. Shiro juga larut dalam keasikannya, ia nampak menikmati puding pemberian Shiori, sehingga dirinya tidak mengucapkan apa-apa. Keheningan membuat Shiori mulai merasa jenuh dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Shiro. Menyadari tidak banyak yang berubah dari kamar adik sepupunya itu membuat Shiori tersenyum sendu.
Poster tim voli favoritnya masih tertempel rapih di balik pintu kamar Shiro, tidak hanya di balik pintu, dinding di samping kasurnya juga ada poster tim voli. Lemari dan meja belajarnya tertempel beberapa stiker bertema voli, di samping lemarinya juga masih tersimpan sepasang sepatu voli—dan Shiori sangat yakin, masih ada seragam voli milik Shiro di dalam lemari tersebut. Sang kakak sepupu menoleh ke arah Shiro yang masih asik memakan pudingnya sambil memeluk bola voli. Semua benda-benda bertema voli di kamar adik sepupunya membuat Shiori merasa sedikit iba.
"Kau belum berubah ya, Shicchan." Shiro berhenti memakan pudingnya lalu mengalihkan pandangannya ke arah Shiori. "Belum berubah apanya?" tanya Shiro polos. Shiori terkikih geli ketika menyadari ada puding di sudut bibir Shiro, ia pun menunjuk ke arah Shiro lalu menyentuh sudut bibirnya—mengisyaratkan ada potongan puding di bibir Shiro. "Shicchan masih saja menyukai voli. Bahkan setelah semua yang pernah terjadi," ucap Shiori sambil memandangi Shiro yang tengah menjilat bibirnya.
Shiro hanya terdiam dan tersenyum tipis, namun senyumannya lebih terlihat seperti senyuman sendu dari pada senyuman bahagia. "Sampai sekarang, kau selalu bersemangat jika membicarakan apapun soal voli," lanjut Shiori. "Matamu selalu berbinar-binar jika melihat pertandingan voli. Kau bisa tenggelam dalam keasikanmu." Shiori mengalihkan pandangannya ke pudingnya yang tersisa separuh. Pikirannya kembali teringat ketika dirinya pergi menemani Shiro untuk menonton pertandingan voli secara langsung. Saat itu Shiro benar-benar terlihat bahagia dan bersemangat, dan itu membuat Shiori ikut senang. Tapi bukan hanya ingatan bahagia yang diingatnya.
Senyuman Shiori sedikit memudar ketika dirinya mengingat masa-masa yang cukup menyedihkan itu. Shiori sadar dengan senyumannya yang memudar, dan dengan segera ia kembali tersenyum lembut dan menoleh ke arah Shiro. "Makanya, aku ikut senang ketika Shicchan bilang ingin menjadi manager voli."
Shiro terdiam memandangi kakak sepupunya. Melihat senyuman Shiori, entah mengapa malah membuat Shiro mengalihkan pandangannya dan kembali merebahkan dirinya di kasur. "Nee-san sendiri belum berubah," ucap Shiro. Gadis itu menengok ke arah Shiori. "Nee-san masih sering memaksakan diri untuk melakukan banyak pekerjaan," lanjut Shiro seraya kembali bangkit untuk berjalan dan menyimpan wadah puding di meja belajar. "Setidaknya sisakan waktu untuk menyendiri dan menikmati waktu. Nee-san bahkan masih bekerja paruh waktu meski sakit."
Shiori hanya tertawa kecil merasakan kekhawatiran dari ucapan Shiro. Ia mengusap kepala Shiro yang ada di hadapannya. "Kau ini benar-benar deh," ucap Shiori pelan. "Oh iya. Ngomong-ngomong, terima kasih sudah menjaga Katsuo dan Mayu selama aku bekerja. Maaf merepotkanmu."
"Aku tidak kerepotan kok. Lagi pula, aku jadi punya teman bermain di rumah," balas Shiro sambil tersenyum menampakan barisan giginya yang putih. "Kalau dipikir-pikir lagi, setelah apa yang Nee-san katakan soal voli...." Shiro mulai tersenyum mencurigakan. ".... artinya Nee-san akan menjadi manager bersamaku 'kan!"
Spontan Shiori mencubit pipi Shiro karna kelakuannya yang terlalu bersemangat itu. Shiori hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Shiro. Ia pun bangkit dan menyimpan pudingnya di meja belajar Shiro. "Aku harus pulang. Masih ada sisa punding, jika kau mau...."
"Mau!! Yeeey... terima kasih, Shio-neesan!" pekik Shiro.
Shiori hanya menggelengkan kepalanya, heran kenapa adik sepupunya bisa bersemangat seperti itu—padahal ia sangat pemalu di depan orang baru. "Kalau begitu, habiskan saja pudingku. Aku pulang dulu ya, aku haru menyiapkan makan malam," ujar Shiori sambil berjalan ke arah pintu kamar Shiro dan membukanya. "Iya, hati-hati di jalan," balas Shiro.
Sebelum Shiori menutupi pintu kamarnya, ia memandangi sejenak adik sepupunya yang sudah duduk di kursi sambil memakan puding yang sebelumnya diberikan Shiori—di pangkuannya, tersimpan bola voli yang sendari tadi ia pegang. Shiori terenyum, "Aku bersyukur bisa melihatmu sesenang ini, Shicchan," gumam Shiori. "Aku pergi dulu," pamitnya sebelum pintu kamar Shiro kembali ditutup dan meninggalkan Shiro seorang diri di kamarnya.
Shiro menyimpan wadah puding di meja belajar. Ia bersandar pada sandaran kursi dan mengangkat bola volinya sambil memandanginya instens. Senyuman tipis mengandung banyak arti terlukis di wajah Shiro.
"Bahagia ya?"
***
Hai! Fi si tukang ngaret disini! /plak
Lama gak update ya, kita berdua emang prokas sih. Dan lucunya, sebenernya chapter buku ini itu udah banyak... Tapi di publishnya tetep lama //maaf
Fi ngerjain per-chapter rada ngaret juga sih... Hehe.
Btw, disini gak ada Hideaki :(
Cuma mau ngomong aja.
See you in the next chapter!
With love, Fi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top