Chapter 2

Shiro menggigiti kuku-kukunya dengan penuh rasa khawatir. Kedua mata cokelatnya tidak lepas dari jam dinding yang terpasang di depan kelasnya, kedua kakinya juga tidak bisa diam sedikit pun. Beberapa murid yang duduk di dekatnya hanya menatapi Shiro keheranan-heran kenapa ia tampak tidak sabar. Memang sih, semuanya tidak sabar untuk waktu istirahat. Mereka sudah lelah dengan pelajaran sastra Jepang-apalagi pelajaran ini kelemahan Shiro dan membuatnya mudah mengantuk. Namun bel tanda istirahat sama sekali belum berdering.

Sementara Shiro mulai bergumam pelan, penuh dengan rasa khawatir, Hideaki menatapinya dari bangkunya sendiri. Di antara murid-murid lainnya, hanya dialah yang mengerti mengapa sepupunya tidak bisa diam. Tentu saja dia yang mengerti, lagipula mereka bersaudara-bertetangga, bahkan! Tidak jarang keduanya saling menceritakan masalah satu sama lain, tanpa mempedulikan perbedaan gender masing-masing.

Ketika Shiro menatapi jam dinding untuk kesekian kalinya, ia tersadar bahwa bel istirahat seharusnya akan berdering setidaknya dalam tiga menit. 'Tiga menit, hanya tiga menit lagi. Bersabarlah Shiro. Jangan sampai kau keluar sebelum guru mengijinkan kita pergi,' batinnya untuk mengingatkan dirinya. Dia tidak mau terkena masalah.

Meskipun tiga menit terasa amat lama bagi Shiro, yang sudah hampir tidak sabar lagi, akhirnya bel tanda istirahat berdering nyaring. Setengah dari murid-murid kelas 1-4 menghela nafas lega dan segera merapikan buku catatan masing-masing. Tidak ada satu pun yang berdiri dari bangkunya sembari menunggu gurunya mengakhiri pelajaran.

"Baiklah," pria paruh baya di depan kelas tersebut berdehem sembari mengetuk papan tulis. "Ini pekerjaan kalian untuk di rumah, minggu depan akan kita bahas. Sekarang kalian boleh beristirahat," katanya sembari membawa buku-bukunya sendiri. "Selamat siang, semuanya."

"Siang, sensei!" balas semua siswa. Ketika satu per satu murid mulai mengambil bekal mereka dan menata meja mereka untuk makan bersama, Shiro segera bangkit dari tempat duduknya-beberapa orang langsung terkejut karena suara gertakan antara meja dan lantai yang tiba-tiba. Sebelum ada yang bisa bertanya, Shiro langsung berlari melesat keluar kelas.

Dari bangkunya, Hideaki menghela nafas. "Aduh, anak itu," gerutunya. "Setidaknya jangan berlari seperti itu. Bahaya kalau Shio-neesan tahu Shiro berlari," ia mengeluarkan bekalnya sendiri dan mulai membuka kain penutupnya. "Pasti kalau sudah berhubungan tentang voli dia seperti itu.. benar-benar seperti anak kecil."

"Ada apa, Yukimura-kun?" Hideaki menengok menuju temannya yang duduk di depannya. "Kelelahan?"

"Ah, bukan itu, Shibayama," siswa berambut berantakan itu melambaikan tangannya dengan santai. "Lebih tepatnya soal Shiro. Anak itu berencana menjadi seorang manajer tetapi tidak berani sendirian. Kau tahu kan, kemarin dia berkeliling dan bertanya pada hampir seluruh angkatan kalau mau menemaninya menjadi manajer.."

Shibayama mengangguk pelan. "Yoshioka-san itu meskipun terlihat berani.. masih canggung dengan banyak orang ya?" Hideaki hanya menjawab dengan sebuah anggukan, sementara ia melahap bekalnya dengan tenang. "Kalau dia pergi sekarang, apa berarti dia akan lanjut mencari teman?"

"Seperti itulah," desah Hideaki. "Mungkin sekarang dia akan meminta bantuan kakak kelas. Kau tahu kan, dia juga dekat dengan beberapa kakak kelas."

"Aah, iya," Shibayama terkikih dengan canggung. "Tapi sepertinya dia akan menjadi manajer yang hebat ya. Jika saja tim bola voli memiliki manajer seperti Shiro. Mungkin kami akan sangat terbantu. Di tambah Yamamoto-senpai-kau tahu kan, senior dari kelas 2-1-sempat mengeluh mengharapkan ada manajer perempuan di tim kami."

Sejenak Hideaki hanya menatapi Shibayama, sebelum ia bergumam dan mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. "Benar juga ya.. mereka akan terbantu," gumamnya pelan. 'Mungkin aku beritahu dia nanti saja kalau Shicchan mau menjadi manajer tim bola voli laki-laki.'

***

"Yukimura-san! Ada adik kelas yang mencarimu!"

Siswi berkacamata yang tengah mencatat itu hanya mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat menuju pintu kelasnya. Kedua mata cokelat tuanya yang tersembunyi di balik poninya terbuka lebar ketika ia melihat adik sepupunya sendiri berdiri di sebelah teman sekelasnya-dalam keadaan berkeringat dan nafas tidak beraturan. Tanpa mengatakan apapun siswi kelas 2 tersebut berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu.

"Terima kasih, Suzuki-san," katanya kepada teman sekelasnya sendiri, sebelum ia menghadap adik sepupunya dan menghela nafas. "Kau tidak lari, 'kan?" tanyanya tegas sembari melangkah keluar kelas. Ia menatapi Shiro dalam-dalam, memperhatikan gerakan tubuhnya. Siswi yang lebih tua tersebut menghela nafas sebelum ia mengusap batang hidungnya sendiri ketika adik kelasnya tertawa canggung. "Shiro.."

"H-Hehe, maafkan aku, Nee-san," kata sang adik sepupu dengan canggung. "T-Tapi aku sedikit terburu-buru. M-Maksudku, waktu istirahat tidak lama dan Nee-san pasti sibuk mengurusi ini-itu karena kau adalah ketua kelas," jelasnya. "M-Mau tidak mau aku berlari agar bisa mengejarmu sebelum Nee-san menghilang dari kelas."

"Shiro," tukas sang kakak kelas tegas. "Perlu berapa kali kuingatkan, apapun alasanmu.. kau tetap tidak boleh berlari," ucapnya. "Meskipun kau lincah.. kau itu terkadang ceroboh. Sungguh, aku tak tahu harus berkata apa."

"M-Maaf, Shio-nee," cibir Shiro sembari menunduk. Ia mengusap kepalanya sendiri sebelum memperhatikan kakak sepupunya. Shiori, biasanya sering dipanggil Shio-nee atau hanya Nee-san oleh Shiro dan Hideaki. Dia adalah kakak sepupu dan juga orang yang bertanggung jawab untuk menjaga Shiro kalau tidak ada ibunya. Keduanya sudah sangat dekat semenjak Shiro berusia 7 tahun. Shiro ingat jelas kalau Shiori sudah seperti ibu keduanya-semua karena naluri keibuannya setelah menjadi anak sulung dari lima bersaudara, ditambah Shiro sendiri yang terkadang dititipkan. "T-Tapi, aku ingin meminta bantuan."

Shiori mengangkat kedua alisnya. "Bantuan apa?" ia bertanya sembari melipat kedua lengannya di depan dadanya. Matanya tidak lepas memperhatikan Shiro yang menundukkan kepalanya-padahal tinggi keduanya tidak jauh, tetapi Shiro tetap saja terlihat lebih kecil karena menunduk. "Tunggu dulu.. kau tidak akan meminta yang aneh-aneh bukan?"

"Tentu saja bukan!" pekik Shiro. "Um, jadi begini.. Nee-san.. tahu kan kalau aku sudah lama suka permainan bola voli.." Shiro melihat Shiori mengangguk, sebagai tanda ia setuju dan memintanya untuk melanjutkan kalimatnya. "Aku.. berniat untuk menjadi manajer tim bola voli sekolah kita."

"Oh," senyuman lembut terukir pada bibir Shiori. Dengan perlahan ia mengusap kepala adik sepupunya. "Bukankah itu bagus? Kau tidak menyerah terhadap apa yang kau sukai," katanya. "Lalu bantuan apa yang kau perlukan?"

"T-Temani.." Shiori memiringkan kepalanya sembari menunggu kata-kata adik sepupunya. "Maukah kau menemaniku sebagai manajer tim bola voli laki-laki?" tanya Shiro sembari menatapi kedua mata kakak sepupunya, ia langsung menggapai kedua tangan Shiori dan menggenggamnya dengan erat. "K-Kumohon, Nee-san. Tidak ada orang lain yang mau menemaniku dan aku merasa tidak nyaman menjadi satu-satunya perempuan di tim bola voli laki-laki! Kau tahu kan kenapa?"

"Eh?" Shiori mengerutkan keningnya. "Jadi.. maksudmu kau ingin aku juga mendaftar sebagai manajer tim voli?" tanyanya memastikan. Ia menghela nafas pasrah ketika Shiro mengangguk. "Shiro, kau tahu kan aku tidak bisa ikut dalam klub apa pun?" tanyanya. "Bukan karena aku tidak mau, tetapi aku sendiri juga sibuk.."

"T-Tapi," Shiro berdiri dengan tegak, tangannya masih menggenggam kedua tangan Shiori. "Tidak ada orang lain yang bisa kuajak! Kumohon, Nee-san, temanilah aku menjadi manajer," pintanya. "Aku tidak berani menjadi manajer seorang diri."

"Kalau begitu kau tidak perlu menjadi seorang manajer," gumam Shiori. Ia terkesiap kecil sebelum menggigit bibir bawahnya. "Ugh, maaf," ia menarik kedua tangannya dan mengusap kepala Shiro dengan perlahan. "Shiro, aku minta maaf. Aku tidak bisa menemanimu. Kau tahu aku sendiri sibuk mengurusi adik-adikku, bukan? Aku juga memiliki kerja sampingan setiap pulang sekolah. Orang tuaku juga sibuk bekerja, tidak ada orang lain yang bisa menjaga adik-adikku selain aku dan ibumu. Tetapi aku juga tidak ingin merepotkan ibumu."

Shiro menunduk perlahan dan menghela nafas. "M-Memang, ibu tidak bisa terus mengurus Ayame dan yang lainnya," gumamnya sembari memikirkan tiga adik Shiori lainnya. Ia yakin Hideaki bisa menjaga dirinya sendiri, tetapi tidak dengan ketiga saudara Shiori yang lainnya. "Tapi.. ayolah, Nee-san," ia meminta lagi, dalam hatinya ia berharap keteguhan hati Shiori bisa ia kalahkan dengan tatapannya.

Tetapi Shiori menghela nafas sembari menggelengkan kepalanya. "Shiro, maaf. Tetapi aku tetap tidak bisa menerima permintaanmu," katanya. "Aku sungguh menyesal tidak bisa menemanimu. Dan maafkan aku kalau kata-kataku terlalu kasar untukmu, tetapi aku tidak bisa menerima ajakanmu," jelasnya. "Aku punya tugas sebagai putri sulung, aku punya tugas sebagai ketua kelas, dan ditambah kerja sampinganku. Aku tahu kau benar-benar ingin menjadi manajer tim voli, tetapi untuk saat ini aku tidak bisa membantu. Minta bantuan yang lainnya saja, ya?" ia mengelus rambut pendek adik sepupunya dengan lembut. "Sekarang kembalilah ke kelasmu. Kau belum makan siang bukan? Aku yakin waktu istirahat masih lama, gunakan waktu itu untuk memakan bekalmu."

Sejenak Shiro menatapi kakak sepupunya. Ia menyadari adanya kantung mata di balik kacamatanya. Perasaan bersalah membilasnya dalam hitungan detik. Ia mengangguk perlahan sebelum membungkuk di hadapan kakak sepupunya. "Maaf.. karena sudah membuat waktu istirahatmu terpotong, Nee-san," katanya. "Sampai jumpa nanti."

Shiori hanya tersenyum. "Sampai jumpa nanti," katanya. "Oh, jangan lupa ingatkan Hideaki untuk menghabiskan bekalnya ya, Shicchan," ucapnya-Shiro tahu dia berusaha untuk mengalihkan topik agar Shiro tidak memikirkan penolakan dari kakak sepupunya lebih lama lagi, dan Shiro mensyukurinya.

"Hehe, tentu saja!" kata Shiro segirang mungkin. "Akan kuberi dia jitakan kalau dia tidak memakan sayurannya," jelasnya sembari berjalan meninggalkan lantai kelas 2 sembari melambai pada Shiori.

Shiori memperhatikan adik sepupunya berjalan pergi. Ia mengerutkan keningnya sejenak sebelum menghela nafas. Matanya teralihkan menuju lapangan luar dan melihat anak kelas lain yang sedang bersiap-siap untuk pelajaran olahraga. "..Manajer tim voli ya," gumamnya. Ia menggeleng pelan untuk menghapus pikirannya sebelum ia berjalan kembali menuju ruang kelasnya.

***

Shiro memasuki ruang kelasnya dengan lesu. Dalam kepalanya terngiang penolakan dari kakak sepupunya. Secara tidak langsung Shiro tahu dia menjadi egois, tetapi dalam hatinya ia benar-benar ingin menjadi manajer tim voli. Kalau menalar sebagai seorang gadis biasa, kenapa tidak? Dia pernah melihat anggota tim voli laki-laki-hanya sekilas, tetapi dia yakin mereka semua memiliki wajah yang tidak jelek untuk seorang laki-laki. Sedangkan kalau menalar sebagai pecinta permainan bola voli, Shiro tidak tahu cara lain untuk mendapat pengalaman selain menjadi seorang manajer. Dia tidak bisa bermain voli.

Ia menghela nafas sembari membuka kotak bekalnya. Pandangannya teralihkan dari bekalnya ketika ia mendengar suara kursi yang ditarik, ketika melihat ke depan Shiro langsung melihat Hideaki duduk di depannya dengan ekspresi bertanya-tanya. Shiro mencibir pelan sembari menunduk.

"Nee-san menolakku," katanya. "Sepertinya aku terlalu memaksakannya. Lagipula, Nee-san juga sibuk dengan pekerjaan yang ia miliki," ia menjelaskan. "Uuh, jika saja Hide-kun tahu caranya memasak, pasti tugas dan pekerjaan Nee-san akan menjadi lebih ringan. Tapi apa daya, bahkan kau pernah tidak sengaja membakar panci ketika memasak ramen instan."

"Hei!" pekik Hideaki tidak terima. "Aku tahu aku tidak bisa membantu kalau urusannya memasak, tetapi aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk membantu Nee-san dalam pekerjaan rumah yang lain! Setidaknya aku bisa mengurusi baju-baju kotor dan membersihkan rumah! Itu cukup membantu, bukan?" tanyanya.

Shiro menatapi saudara sepupunya dengan sinis. "Apa kau bisa menjahit?" tanyanya.

Hideaki terdiam. Ia menatapi Shiro dengan tatapan kosong. "..sudah cukup jariku kesakitan karena senar gitar. Maaf," ucapnya perlahan.

"Maka kau belum cukup untuk bisa membantu Nee-san!" cibirnya sembari mulai memakan bekalnya. "Oh ya, Nee-san memintaku untuk memberitahukanmu sesuatu," ia memperhatikan Hideaki menatapinya penuh rasa ingin tahu. "Tolong habiskan sayuranmu."

Shiro menahan tawanya ketika ia melihat Hideaki mengerutkan keningnya, tidak suka dengan berita yang ia dengar. "Eugh. Aku tidak mau. Mungkin sawi dan brokoli tak apa, tetapi aku tidak mau memakan kacang panjang," katanya. "Rasanya tidak enak.. sawi saja masih terasa pahit di lidahku."

"Hee? Kira-kira seperti apa wajah Nee-san kalau tahu Hide-kun tidak menghabiskan bekalmu~?" goda Shiro sembari mulai berpura-pura berpikir. "Nee-san tidak akan marah karena hal sepele seperti itu, tapi mungkin saja Nee-san akan kecewa, lho. Kesannya seakan kau tidak suka makanan buatannya."

"Urk!" Hideaki mencibir dan berdiri dari tempat duduknya. "Baiklah, baiklah!" katanya. "Akan kuhabiskan sekarang. Kau tidak perlu membuatku merasa jauh lebih bersalah.. kh," ia mendecih. "Tapi.. ngomong-ngomong," Hideaki berbalik menuju sepupunya dan menatapinya keheranan. "Apa yang akan kau lakukan sekarang? Shio-nee sudah menolakmu."

Sejenak Shiro berpikir kembali. Dia tidak nyaman menjadi perempuan sendiri, setidaknya dia perlu sesama perempuan atau orang dekat yang membuat Shiro merasa nyaman (seperti Hideaki). Kalau ia berpikir ulang, Shiori bisa membantu lebih banyak-lagipula dia memiliki naluri seperti ibu, tentu saja akan sangat membantu.

Dengan sebuah senyuman lebar dan penuh keyakinan, Shiro menghadap Hideaki dan menjawab dengan penuh rasa percaya diri. "Aku tidak akan menyerah," katanya. "Aku akan tetap mencari teman-tidak, aku akan terus meminta Nee-san untuk menemaniku. Mungkin terkesan egois, tetapi aku ingin bisa berada dalam tim bersama Nee-san."

Hideaki tertawa pelan ketika mendengarnya. "Yah, menurutku tidak egois sih," katanya. "Shio-nee itu selalu sibuk dengan banyak hal sampai-sampai ia lupa banyak hal. Aku berharap dia mau menemanimu dan kemudian belajar banyak hal dari tim itu," sambungnya. "Dan juga, klub itu adalah kegiatan wajib untuk setiap murid bukan? Aku yakin Shio-nee akan diminta guru untuk ikut setidaknya klub atau organisasi sekolah dalam waktu dekat," ia menatapi Shiro dan menyeringai. "Jangan menyerah ya. Buat Shio-nee melemah dan ajak dia menjadi manajer."

"Uwah, Hide-kun ternyata cukup jahat ya," canda Shiro. Ia tertawa ketika Hideaki menatapinya sinis. "Ada apa dengan wajah itu. Lagipula.. aku memang tidak akan menyerah."

"Ya, baguslah!" Hideaki menyeringai puas. Ia berjalan meninggalkan adik sepupunya sendiri dan langsung duduk di bangkunya sendiri. Shiro hanya menatapi sepupunya sebelum ia terkikih. Senyuman di bibirnya tidak hilang, dalam pikirannya pun terulang kata-kata yang sama.

'Aku akan meluluhkan hati Nee-san dan menjadi manajer tim bola voli laki-laki bersamanya.'

***

Say hi!
Wow, pertama kali publish dan sudah ada prolog serta 2 chapter? Yaah, sebenernya Demy dan Fi udah ngerjain ini collab project rada lama sih(?)

Dan sebagai informasi juga, cerita ini terbagi mrnjadi arc-arc yang berbeda, dalam rencana Demy dan Fi akan ada berkisar 5 arc(s)
Inti Demy kabarin ini adalah cerita bakal panjang banget dan emang ada kemungkinan chapternya sampe 50+

Nah, sekian aja (karena ini saat Demy edit udah tengah malem), terima kasih sudah mau mampir

With love, Demy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top