Chapter 10



Shiro menghela nafas sembari mengurut batang hidungnya. Bangun sampai jam setengah satu pagi untuk mengerjakan tugas sastra Jepang memang bukanlah ide yang bagus. Dia merelakan banyak waktunya untuk setidaknya menyelesaikan dua setengah halaman dari total sepuluh halaman lembar kerja. Setidaknya kemarin malam saat Shiori datang Shiro benar-benar terbantu. Mungkin kalau tidak Shiro masih berada di halaman pertama, tentunya itu hanya akan menyiksanya.

"Yo! Nona pembenci-sastra-Jepang!" Shiro mencibir kesal sembari melirik sepupunya yang berjalan menuju bangkunya dengan santai. "Bagaimana tugasmu? Sudah menyelesaikan berapa halaman?" tanyannya. "Dan apa-apaan dengan wajah itu? Jangan tatap aku sesinis itu, Shicchan. Aku bisa sakit hati lho~"

"Kalau ke sini hanya untuk meledekku, pergilah," dengus Shiro kesal. "Hide-kun pasti tidak tahu perjuanganku. Aku rela tidur jam satu kurang lima belas, kau tahu! Hanya demi tugas sastra Jepang ini!" pekiknya sembari menunjuk lembar kerja sastra Jepang di mejanya. "Ugh, kalau saja Nee-san tidak membantuku... aku pasti masih ada di halaman pertama."

Hideaki tertawa mendengarnya. Dia menarik sebuah kursi dan duduk di sebelah Shiro. Tangannya segera mengambil lembar kerja milik saudarinya sebelum dia membaca jawaban-jawaban sepupunya satu per satu. "Wah, tetapi kalau kau sudah serius pasti jawabanmu meyakinkan semua," katanya. "Kau itu gampang teralihkan dan sedikit sulit untuk fokus karena itu sastra Jepangmu tidak bagus," komentarnya. "Tetapi ini sudah lumayan. Kau tahu, aku dengan senang hati mau membantumu. Dua minggu mungkin terasa lama, tetapi kalau kau menundanya pasti akan menyusahkanmu."

"Aku tahu," Shiro mencibir kesal. "Kau tidak perlu mengingatkanku, Hide-kun. Dan juga... ada apa tiba-tiba datang menawarkan dirimu? Biasanya Hide-kun tidak akan membantu kecuali aku datang meminta, biasanya," ia melirik sepupunya dan menatapinya curiga. "Jadi ada apa kali ini?"

Sejenak Hideaki bersiul pelan, mengalihkan pandangannya dari Shiro. Tetapi pada akhirnya ia melirik Shiro lagi dan menghela nafas. "Yah, ketahuan," gumamnya. "Uh, bagaimana menjelaskannya ya. Aku memang datang karena aku juga perlu bantuan," katanya. "Kau tahu tugas fisika kita, bukan?" tanyanya.

"Maksudmu lima soal dari Watanabe-sensei itu?" Shiro balas bertanya. "Soal latihan yang diberikan sebagai pekerjaan rumah bukan? Apa kau belum menyelesaikannya dan perlu bantuanku?" ia menebak, senyuman jahil terukir di bibirnya ketika Hideaki segera mengalihkan matanya. "Hehehe, Hide-kun mudah sekali ditebak~! Tapi apa benar kau belum menyelesaikannya? Hari ini ada fisika, bukan?"

"A-Aku sudah mengerjakannya!" sanggah Hideaki. "Uh, N-Nee-san sudah membantuku. Jadi aku sudah menyelesaikan semua soalnya," katanya. "Tapi... ya... aku masih belum mengerti meskipun Nee-san sudah menjelaskannya padaku. Jadi kupikir kau bisa menjelaskannya lagi padaku," ia menunduk malu, sekaligus berusaha mengabaikan tatapan jahil dari sepupunya tersebut. "J-Jadi kau mau membantuku atau tidak?! Kalau tidak aku minta bantuan Shibayama saja!" pekiknya kesal.

Shiro tertawa melihat reaksinya. "Aduh, Hide-kun memang lucu juga," katanya. "Sampai kapan pun kau tetap tidak menyukai fisika ya? Padahal nilai biologimu pasti yang tertinggi," ia meledek, membuat Hideaki mendengus kesal. "Sudah sudah~ hehe. Jadi bagian mana yang kau kebingungan?"

Sejenak Hideaki meletakkan lembar kerja tugas sastra Jepangnya di meja Shiro lagi. Ia membuka buku catatan yang sedari tadi ia bawa dan menunjukkan isinya pada Shiro. "Soal nomor dua dan tiga," tunjuknya. "Jadi... mohon bantuannya, Shiro-sensei," cibir Hideaki.

Lagi-lagi Shiro tertawa. "Sebagai gantinya bantu tugas sastra Jepangku dan belikan aku es krim!" katanya girang.

"Iya, iya," Hideaki menggaruk kepalanya kesal. "Sekarang tolong jelaskan. Aku tidak mau kena omelan Nee-san karena nilai fisikaku, sudah dua minggu berturut-turut aku kena omelannya karena nilaiku," gumamnya. "Bahkan kemarin jatah pudingku diambil olehnya..."

'Oh? Jadi kemarin itu puding milik Hide-kun?' Shiro terkikih geli. Ia mengeluarkan alat tulisnya dan bersandar pada bangkunya, tangannya langsung mengambil buku catatan milik Hideaki. "Ah, jadi begini..." ia menunjuk salah satu nomor dengan pensilnya dan mulai menjelaskan. Hideaki segera bergeser mendekat dan mendengarkan penjelasan dari sepupunya.

Sementara keduanya terfokus pada materi fisika, Shibayama yang berdiri di sebelah mereka sedari tadi tanpa di sadari hanya tertawa pelan. Unik, setidaknya bagi Shibayama. Ada saat ketika Hideaki-lah yang lebih dewasa sementara Shiro yang seperti anak-anak, namun ada saat mereka bertukar peran—atau bahkan keduanya memiliki peran yang sama, entah sebagai orang dewasa atau anak-anak.

Perhatian Shibayama teralihkan bersama dengan Shiro dan Hideaki saat mereka mendengar nama Hideaki disebut dari depan kelas. Ketiganya menengok bersamaan dan sedikit terkejut ketika melihat Shiori berdiri di ambang pintu kelas mereka. Sang siswi kelas dua tersebut tersenyum ramah dan melambaikan tangannya, di tangan lainnya ada sebuah kotak terbungkus dalam kain polkadot biru.

"Hide!" panggil Shiori sembari mengangkat kotak di tangannya lebih tinggi. Hideaki yang awalnya kebingungan langsung mengerti dan berdiri dari tempat duduknya. Shiro dan Shibayama menatap satu sama lain kebingungan sebelum keduanya mengikuti Hideaki.

"Pantas rasanya ada yang terlupakan," adalah kalimat yang Hideaki ucapkan ketika sampai di depan kelas. Shiori terkikih pelan sembari memberikan kotak di tangannya ke adiknya sendiri. "Terima kasih, Nee-san! Aku tidak yakin bisa bertahan sampai sore nanti tanpa bekal," gumamnya.

"Salahmu berangkat terburu-buru," tegur Shiori. "Lain kali periksa kembali barang-barangmu. Aku tidak bisa selalu memberikan barang-barang yang kau lupakan, lho," ia melanjutkan sebelum tersenyum kepada Shibayama dan Shiro. "Pagi," sapanya.

"Selamat pagi, Shio-nee!" sapa Shiro girang. "Ah! Kemarin malam... terima kasih banyak! Aku sudah mengerjakan cukup banyak setelah Nee-san membantuku!" ia memberitahu dengan senangnya, membuat Shiori terkikih geli. "Jadi... mengantarkan barang yang terlupakan?"

Shiori mengangguk. "Memangnya apa lagi?" tanyanya, sembari melirik Hideaki. "Anak yang satu ini sering sekali melupakan sesuatu. Entah buku atau bekal," katanya. "Dan syukurlah aku bisa membantumu. Aku harus segera kembali ke kelasku.."

"Ah! Tunggu, Nee-san!" Shiro menghentikannya. "Aku tahu ini masih pagi, tapi... bagaimana dengan pilihanmu? Maksudku tentang menjadi manajer," tanya Shiro. "M-Memang aku terdengar memaksa... tetapi tak apa 'kan kalau aku memastikan?" ia mencibir ketika Shiori hanya menyeringai kecil.

Shibayama yang mengerti topik saat ini langsung ikut menatapi Shiori. "A-Anu, senpai," panggilnya. "Aku... Aku dari tim voli, hanya memasitkan kalau misalkan senpai lupa," ucapnya pelan. "Kami... dari tim voli sangat berterima kasih kepada senpai kalau misalkan senpai memang benar-benar akan menjadi manajer kami," katanya. "Selama ini kami tidak memiliki manajer, sehingga setiap anggota bergiliran menjadi manajer sampingan. Dan kalau misalkan senpai juga Yoshioka-san memang menjadi manajer kami... kami sangat senang!"

Sesaat Shiori menatapi Shibayama dengan canggung, sebelum ia tertawa pelan dan mengusap kepalanya sendiri. "Ah... aku mengingatmu, tenang saja," katanya pelan. "Dan aku sangat senang kalau aku bisa membantu kalian," ia tersenyum lebar sebelum melirik menuju jam dinding di dalam kelas. "Aku harus kembali sekarang. Hide, nanti aku pulang sedikit lebih sore, jadi tolong jemput Katsuo untukku ya," pintanya sebelum ia berbalik dan melangkah pergi.

"Tentu saja," balas Hideaki. "Ah, Nee-san!" ia melangkah keluar kelas dan menunggu kakaknya berhenti. "Kali ini... tolong pikirkan pilihanmu matang-matang, ya!" serunya.

Shiori hanya menatapinya keheranan, sebelum ia terkikih sembari mengangguk dan berjalan pergi. Hideaki tersenyum melihat gestur dari kakaknya. Ia berbalik dan memasuki ruang kelasnya lagi sembari memperhatikan kotak bekal di tangannya. "Hari ini bekal apa ya?" gumamnya pelan.

"Ah! Kalau Nee-san memasak gyoza... aku minta!" kata Shiro girang. Hideaki hanya tertawa mendengarnya, bersamaan dengan Shibayama. "Apa? Jangan menertawaiku! Lagipula gyoza buatan Nee-san memang enak! Kalau kau berikan gyoza-mu akan kuberikan karage-ku!"

"Itu tidak adil, Shicchan," Hideaki terkikih. "Karage buatan bibi memang enak, tetapi gyoza buatan Nee-san lebih enak dari karage, masakan bibi jadi terasa biasa. Mana mungkin aku mau menukarkannya," katanya.

"Eh? Hide-kun jahat sekali! Kau baru saja meledek bibimu sendiri?!"

"...ah, tolong jangan beritahu bibi dan Nee-san."

***

Helaan nafas lega keluar dari bibir Shiro. Siswi berambut pendek tersebut merenggangkan kedua lengannya dan bersandar pada bangkunya. Ia melihat jam dinding di depan kelas dan terdiam. Bel pulang berdering sekitar lima menit yang lalu, Hideaki sudah pergi untuk menjemput adiknya sementara Shibayama pergi latihan. Shiro sendiri sengaja menetap di kelasnya untuk melanjutkan tugas sastra Jepangnya. Setidaknya saat ini dia sudah mengerjakan tiga seperempat halaman.

Perhatiannya teralihkan ketika ia mendengar suara ketukan di pintu kelasnya. Shiro mengira salah satu guru tengah berkeliling untuk mengunci pintu kelas, namun ia dikejutkan oleh kakak sepupunya yang mengintip ke dalam ruang kelasnya. Shiori tersenyum kecil sembari melambai kecil kepada Shiro. Pada saat itu Shiro menyadari ada tumpukan lembar kerja siswa di pelukan Shiori—Shiro menyadari Shiori berusaha untuk menahan lembaran-lembaran tersebut di antara perut dan lengannya sementara tangan kanannya melambai.

Dengan buru-buru Shiro memasukkan tempat pensil dan lembar kerjanya ke dalam tas miliknya sebleum ia segera mendekati sepupunya. "Ada apa, Nee-san? Kalau kau mencari Hide-kun... dia sudah pergi menjemput Katsuo," katanya. "Ah, tunggu... kenapa Nee-san belum berangkat kerja?"

Shiori tertawa mendengar pertanyaannya. "Kenapa kau tiba-tiba lebih mengkhawatirkan pekerjaanku?" tanyanya. "Hari ini shift-ku sedikit lebih sore, aku masih ada waktu," katanya. "Karena itu aku berpikir untuk pulang bersamamu. Kau tidak keberatan, bukan?"

"T-Tentu saja tidak!" pekik Shiro. "Tapi... meskipun begitu bukannya Nee-san tetap saja bisa telat?" tanyanya dengan khawatir. "Lagipula... kalau shift Nee-san lebih sore, berarti Nee-san akan pulang lebih malam, bukan? Tadi pagi Nee-san juga mengingatkan Hide-kun..."

Perlahan Shiori mengusap kepala adik sepupunya, sebelum ia tertawa pelan. "Sudahlah," katanya. "Sekarang jawab saja pertanyaanku.. apa kau mau pulang bersamaku? Atau kau lebih ingin pulang menggunakan bis? Aku tidak keberatan kalau kau tidak ingin pulang bersamaku... tetapi aku juga khawatir kalau sesuatu terjadi..."

"N-Nee-san tidak perlu khawatir! Kalau pun ada sesuatu aku pasti bisa melindungi diriku!" kata Shiro. "Meskipun tidak terlihat, aku ini kuat!" sambungnya sembari beracak pinggang. Shiori tertawa pelan mendengarnya. "T-Tapi... aku mau juga pulang bersama Nee-san. Kalau Nee-san tidak keberatan..."

"Kalau aku keberatan, kenapa aku mengajakmu?" tanya Shiori. "Ah, tetapi sebelum itu... aku ada perlu di ruang guru. Aku perlu menemui wali kelasku dan guru Bahasa Inggrisku," jelasnya, matanya melirik lembaran kerja siswa di lengannya. "Menunggu sebentar tidak akan membebanimu, bukan?"

"Tentu saja tidak!" Shiro tersenyum puas. "Ah, berikan aku setengahnya! Nee-san tampak kesulitan membawa semua ini," katanya sembari mengambil beberapa lembaran dan memeluknya erat.

Shiori terkikih pelan. "Terima kasih, Shicchan," katanya. "Kalau begitu... ayo."

Shiro hanya menganggukkan kepalanya dan berjalan mengikuti sepupunya. Selama berjalan ia menyempatkan dirinya untuk melirik Shiori, memperhatikan postur tubuh sang kakak kelas. Meskipun sering bertatap muka, Shiro tetap tidak berhenti terpukau dengan kakak sepupunya. Memiliki postur tubuh tegak yang menunjukkan rasa percaya dirinya, tubuhnya yang terbilang tinggi dari rata-rata perempuan seusianya, dan sifatnya yang lemah lembut dan dewasa—itu masih sebagian dari hal-hal yang Shiro kagumi dari Shiori.

Shiro tersadar dari lamunannya ketika ia melihat Shiori menengok menuju arahnya dan menatpainya keheranan. Shiro langsung berhenti berjalan dan gelagapan, merasa malu sudah ketahuan menatapi kakaknya untuk waktu yang cukup lama, dengan intens juga pula.

"Ada apa?" pada akhirnya Shiori ikut berhenti dan menatapinya keheranan. Ada tanda-tanda kekhawatiran di matanya. "Shicchan, apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan? Atau... apa kau sakit?"

Shiro menjawab dengan gelengan cepat. "B-Bukan itu! Maaf sudah menatapimu cukup lama!" katanya sembari menunduk malu. "Aku... aku hanya melamun kok! T-Tidak sengaja saja menatapi Nee-san," ia beralasan.

Mendengarnya, Shiori terkikih pelan. "Kau yakin hanya itu?" tanyanya. "...Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan kepadaku, Shicchan?" ia bertanya lagi.

Untuk sejenak Shiro hanya menatapi Shiori dengan ragu-ragu. Ia menggigiti bibir bawahnya dan menunduk lagi. "...Maaf," ia bergumam. Shiori terkejut mendengarnya, namun sebelum ia bisa bertanya Shiro lanjut berbicara. "Maaf sudah memaksamu. Aku tahu kalau aku ini terlalu memaksa Nee-san untuk menemaniku. Padahal aku bisa mengajak orang lain, mungkin yang seangkatan," katanya. "Aku.. pasti menyulitkan Nee-san... bukan?" tanyanya.

Untuk beberapa saat hanya ada keheningan di antara mereka. Shiori menatapi Shiro yang berusaha mengalihkan pandanganya dari kakak sepupunya. Keduanya berdiri di tengah lorong yang sepi, dalam keheningan, tanpa ada yang berucap ataupun bergerak. Sampai akhirnya Shiori tertawa pelan, menarik perhatian Shiro.

"Kukira kau akan mengatakan hal selain itu," katanya, Shiro hanya menatapinya kebingungan. "Shicchan, dengar ya. Aku tidak keberatan kalau ini berhubungan denganmu," ia tersenyum simpul. Perlahan ia mengusap salah kepala Shiro dan tersenyum lebih lebar lagi. "Kalau misalkan yang kau khawatirkan adalah kesibukanku.. tenang saja. Aku masih bisa mengatur waktuku," ia menjelaskan. "Lagipula, kemarin aku sudah mendiskusikan waktu kerjaku dengan manajer di café."

Shiro mencibir kecil, sebelum ia menghela nafas. "Nee-san lagi-lagi seperti ini. Nee-san itu terlalu baik, kau tahu," katanya. Ia perlahan lanjut berjalan menuju ruang guru, diikuti dengan Shiori. "Kalau kau terlalu baik kepada semua orang, kau bisa menyakiti dirimu suatu hari nanti."

"Ara ara..." Shiori terkikih. "Bijak sekali, Shicchan," katanya.

"N-Nee-san! Sekarang bukan waktunya untuk seperti itu!" pekik Shiro, pipinya berubah warna menjadi merah dengan perlahan. "T-Tapi... kata-kata itu ada benarnya. A-Aku tidak mau kalau suatu saat Nee-san akan terluka. Aku tidak mau Nee-san tersakiti."

Shiori hanya menatapi adik sepupunya, sebelum ia tertawa pelan. "Tadi aku sudah berkata kalau aku mendiskusikan waktu kerjaku dengan manajerku, bukan?" Shiro hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Akhirnya aku meminta jam kerjaku mulai lebih sore lagi, manajerku juga membiarkan waktu kerjaku dipotong. Intinya aku datang lebih sore namun jam pulangku tetaplah sepert biasanya. 'Kau adalah seorang siswi, jadi seperti ini saja,' itu kata manajerku," ia menjelaskan. "Nanti malam aku juga akan membicarakan tentang giliran menjemput Katsuo dengan Hide dan Aya. Setidaknya dengan begini aku memiliki lebih banyak waktu untuk membantu kalian."

"Tunggu, tunggu!" sanggah Shiro. "Sebenarnya Nee-san membicarakan ini dalam maksud apa?" tanya Shiro. "Maksudku... baiklah, aku senang Nee-san mulai mengatur kegiatan Nee-san dan mulai menyediakan waktu luang untuk diri Nee-san sendiri. Tetapi dalam rangka apa?"

Keduanya berhenti melangkah di depan pintu ruang guru, Shiori tidak langsung membuka pintu tetapi hanya menatapi Shiro, sedikit terkejut. "Eh? Shicchan tidak mengerti?" tanyanya. Ia terkikih pelan ketika Shiro menggeleng pelan. "Ah... tapi penjelasanku tidak terlalu jelas, tentu saja kau tidak bisa mengerti kata-kataku," gumamnya. "Aku mengatur kembali kegiatanku agar bisa menyisakan waktu yang cukup untuk klub."

Sejenak Shiro hanya menatapi Shiori keheranan. "Untuk klub?"

Shiori terkikih pelan melihat tatapan dari adik sepupunya. "Ah... Shicchan... kau membawa lembar pendaftaran klub, 'kan?" ia bertanya untuk memastikan. Meskipun ragu-ragu Shiro tetap mengangguk. "Ah, baguslah kalau begitu," ia tersenyum. "Kalau begitu ayo masuk," ia mengetuk pintu ruang guru dan memasuki ruang guru dengan perlahan.

"T-Tunggu, Nee-san," Shiro memekik pelan. Ia masih menahan suaranya agar tidak membuat keramaian di ruang guru, meskipun hanya ada sedikit orang di ruang guru. "Maksud kata-kata Nee-san itu... apakah itu berarti..."

Shiori berhenti melangkah dan menatapi Shiro, lagi-lagi terlihat terkejut. "Shicchan belum mengerti?" tanyanya. "Ara..." ia menghela nafas dan berjalan menuju salah satu meja yang kebetulan kosong. Shiori meletakkan lembaran kerja siswa di tangannya di atas meja tersebut, diikuti dengan Shiro sebelum Shiori mengeluarkan selembar kertas lain dari tasnya dan tersenyum kepada Shiro. "Aku setuju menjadi manajer tim voli. Karena itu aku mengajakmu ke ruang guru," katanya, seringaian lebar terukir di bibirnya.



Untuk beberapa saat Shiro hanya diam menatapi Shiori. Ia mengedipkan kedua matanya beberapa kali, sebelum ia terkesiap dan melangkah mundur—nyaris menjatuhkan tasnya sendiri. Shiro semakin terkejut ketika ia berhasil membaca judul lembaran di tangan Shiori.

"H-Ha?!"

"Ara? Jadi kau baru mengerti sekarang?"

***

Hoiyoy! Wah akhirnya update ya ahahahah //ditampar

Yaaaa... sayangnya Demy agak prokras dan ngejain cerita di akun utama milik Demy sih, eheheh, tapi syukurlah setelah 3 bulan  lamanya cerita ini kami up (karena Demy diingetin Fi untuk gambar juga ahahah)

Tapi... dalam 3 bulan juga Demy mengalami... improvement, karena itu gambarnya terkesan berbeda dari cara Demy memberi warna abu-abu dalam gambar ahahah

Tapi ya, terima kasih banyak bagi yang setia menunggu... maaf sudah lama tidak update, Demy dan Fi akan berusaha lanjut update meskipun ngga rajin atau cepet-cepet


Ah, ngomong-ngomong Demy baru sadar kalo Hideaki jadi terkenal juga... hm


See you next time, with love

Demy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top