── tujuh ; magnesium
Kini aku dan Upi telah tiba di rumah Amu. Mengabaikan fakta bahwa kami benar-benar bolos dari sekolah, aku dan Upi pun melangkah masuk ke dalam teras rumah. Langkah kakiku terasa berat sekaligus meyakinkan di saat yang sama.
"Pi, kamu yang ketuk pintunya."
"Kamu aja, (Y/n)! Aku mau simpen tenaga buat baku hantam nanti," balasnya.
Aku menatapnya datar. "Ketuk pintu gak butuh tenaga banyak, Pi."
Alhasil, tanpa banyak bicara, aku langsung mengetuk pintu itu sebanyak tiga kali. Mengapa tiga? Karena tiga itu angka simbolis. Kalau hanya sekali, takutnya tidak akan terdengar. Kalau dua kali, terasa tanggung. Maka, tiga adalah angka yang pas.
"Misi, paket!"
"Pi, kamu ngapain teriak paket?!" Astaga, aku hampir saja menyembur tawa ketika mendengar Upi berseru demikian. Ditambah dengan wajahnya yang serius itu.
"Biar makin cepet dibukain pintunya ya ges, ya."
Sepertinya aku salah membawa partner in crime. Tidak, 'kan?
"Paket apa ya? Sepertinya saya nggak pesan paket apapun."
Mampus. Mampus betul.
Aku dan Upi berdiri dengan kaku di hadapan ibunya Amu. Melihat wajahnya dan bertatapan secara langsung, seketika aku lupa apa tujuanku datang ke sini. Tapi, tidak, tidak. Aku tidak boleh lemah! Aku akan memainkan peranku sebagai heroine dan Upi sebagai babuku dengan baik!
"Permisi, Bu. Apakah benar kalau Ibu adalah ibu dari Amu?" tanyaku sopan. Gak lucu 'kan kalau ternyata aku dan Upi salah rumah? Kami sudah tampak keren, mengapa bisa dibohongi oleh nomor rumah?
"Iya, benar. Ada apa ya?" tanya ibu Amu.
"Begini, Bu. Kami datang ke sini karena ingin membicarakan tentang Amu, teman kami. Apakah kami boleh berbicara sebentar dengan Ibu?"
"Tentang Amu?"
"Iya, Bu." Kali ini Upi yang menjawab. Sejak tadi, akulah yang bersuara. Aku khawatir apabila Upi yang mengangkat bicara, tempat ini akan berubah menjadi acara stand up comedy atau film A*zab.
Beruntung. Kami berdua beruntung karena ibunya Amu mengizinkan kami masuk ke dalam. Aku sudah mulai khawatir dengan nyamuk yang ada di luar. Kalau sudah duduk seperti ini, aku jadi bisa menggaruknya dengan leluasa.
"Sebagai teman baik Amu, kami sangat paham tentang hobi dan kesukaan Amu dalam bidang seni, khususnya menggambar. Bakatnya itu sudah disalurkan dalam berbagai karya secara fisik. Bahkan Amu telah menjadi ketua klub menggambar di sekolah. Dari semua fakta yang sudah sangat jelas ini, lantas apa yang membuat Ibu masih menginginkan Amu menjadi seorang dokter?" tuturku.
Beliau menghela napas panjang. Sepertinya itu merupakan akibat dari pemikiran di kepalanya. "Menjadi komikus atau seniman tidak menjamin hidup Amu bahagia. Penghasilannya gelap dan sulit diidentifikasi. Selain itu, pekerjaan tersebut sama sekali tidak bisa mendapatkan penghasilan yang tetap di setiap bulannya," ujarnya.
Perkataan ibu Amu itu memang ada benarnya. Aku pun mengakuinya. Tetapi, apa yang harus ditegaskan saat ini bukanlah fakta itu. Ada hal lain yang lebih penting untuk disadari sebelum terlambat.
"Memang benar apa yang Ibu katakan. Tetapi, menurut saya, akan jauh lebih baik apabila Amu menjadi seorang komikus atau seniman seperti yang ia inginkan. Karena sudah sangat jelas bahwa yang menjalaninya adalah Amu, bukan Ibu. Amu-lah yang akan menghadapi setiap masalah di depannya. Namun, saya yakin, sesulit apapun masalah itu, Amu pasti bisa mengatasinya. Karena apa? Karena Amu menyukai pekerjaannya itu."
Aku diam sejenak. Menganalisa bagaimana reaksi dari ibunya Amu. Kemudian aku melanjutkan, "Setiap orang pasti punya masalah, termasuk saya. Saya ingin menjadi dokter, seperti keinginan Ibu terhadap Amu. Namun, masalahnya terletak pada biaya. Saya sangat sadar bahwa biaya sekolah kedokteran tidaklah sedikit. Oleh karena itu, saya belajar dengan giat untuk meraih beasiswa. Sama seperti Amu. Amu pun berusaha di bidang kesukaannya. Ia bahkan menjual hasil karyanya. Untuk apa? Untuk membuktikan bahwa dirinya memang layak menjadi seorang komikus ataupun seniman seperti impiannya.
"Daripada membuang-buang uang untuk memberikan les akademik bagi Amu, lebih baik apabila uang tersebut digunakan untuk les menggambar. Sesuai apa yang Amu sukai. Setiap manusia itu pintar, tetapi di bidangnya masing-masing. Kita tidak bisa memaksa seorang anak untuk selalu pintar di bidang akademik ketika anak tersebut pandai di bidang olahraga. Kamu setuju 'kan, Amu?"
Seseorang yang aku panggil itu tiba-tiba menampakkan dirinya. Aku tahu, Amu pasti mengikutiku kemari. Tidak peduli dengan sekolahnya. Toh kami juga sering membolos saat di sekolah.
"Iya, Bu. Itu apa yang aku rasakan selama ini," ujar Amu. Dari tatapan matanya pada ibunya sendiri, aku tahu jika ia yakin. Seratus persen yakin.
Hanya helaan napas yang dikeluarkan oleh ibu Amu. Sepertinya beliau kalah telak. Mungkin. Atau beliau mengakui bahwa perkataanku ada benarnya? Aku merasa pongah saat ini.
"Apa itu benar, Amu?" tanya ibunya sekali lagi. Yang dibalas Amu oleh anggukan mantapnya.
Kurasa prinsip ibu Amu sudah mulai digoyahkan. Ya, aku harap demikian. Aku harap, apa yang aku rasakan tidak perlu dirasakan oleh Amu.
***
"Kamu bolos 'kan, (Y/n)?!"
Aku sontak melonjak kaget ketika mendengar seruan itu. Mama sudah berdiri di depan rumah ketika aku baru saja kembali untuk pulang. Setelah dari rumah Amu, kami tidak kembali ke sekolah. Aku, Amu, dan Upi memutuskan untuk lanjut bolos. Toh sudah terlanjur demikian. Namun, ada satu hal yang kulupakan.
Amarah Mama.
Aku hanya diam. Mama tidak senang jika perkataannya disahuti. Beliau lebih merasa senang apabila aku hanya diam saja dan mendengarkan perkataannya yang selalu diulang itu.
"Pergi ke mana kamu?! Sama siapa?!"
Jika sudah ditanya pertanyaan detail seperti itu, barulah giliranku untuk menjawab. Ya, itulah counter atas amarah dari Mama. Aku sudah sangat menghafalnya. Bukan berarti aku anak yang nakal, namun aku menghafalkannya sebab aku yang sering menganalisa hal itu.
"Ke alun-alun kota sama Amu dan Upi," jawabku jujur.
"Masuk ke kamar dan jangan keluar sebelum makan malam tiba!"
Titah itu pun kulaksanakan. Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju kamarku sendiri. Sudah biasa. Ini semua terlalu biasa. Aku telah menghafalnya. Pasti ketika makan malam nanti, aku hanya makan seorang diri. Tidak ada siapapun.
Ya, ini sudah biasa. Aku pasti bisa melaluinya dengan cara yang sama pula.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top