── tujuh belas ; atom
Sudah berapa lama perasaan ini kupendam?
Perasaan yang tidak pernah kuungkapkan kepada siapapun. Pun selalu berusaha kulupakan meskipun pada akhirnya tetap akan selalu diingat oleh kepalaku, dengan sendirinya. Aku tahu, tidak selamanya aku bisa menyimpan perasaan itu. Terlebih menyembunyikan. Lama-kelamaan, cepat atau lambat, pasti akan ketahuan. Yang membedakannya adalah kapan hal itu akan terjadi.
Kiki itu baik, maka aku pun bisa menyukainya. Berawal dari jatuh hati padanya yang kemudian berujung menjadi jatuh cinta. Hal yang kusesali sekaligus kusyukuri di saat yang bersamaan. Jika saja aku mengetahui lebih cepat bahwa Kiki menyukai Amu, pastinya aku akan berusaha sekeras apapun itu agar aku bisa melupakannya.
Tetapi, kini meskipun aku sudah mengetahui bahwa Kiki menyukai Amu, nyatanya aku tetap masih memiliki perasaan kepada lelaki itu. Lebih tepatnya, aku tidak bisa melupakannya. Perasaan sialan itu tetap ada dan tak dapat kubuang semudah yang kubayangkan.
Benar kata orang-orang. Rasa suka memang selalu ada meskipun waktu telah berlalu. Hanya berhenti menyukainya untuk sesaat hingga perasaan suka itu kembali muncul ke permukaan. Menunggu waktu yang akan melakukannya dengan sesuka hati.
"Nih, pakai."
Melihat sebuah helm yang disodorkan ke depan wajahku, membuatku tersadar. Ah, aku baru teringat bahwa saat ini aku tidak seorang diri. Melainkan ada seorang lelaki bersurai hitam. Berdiri di hadapanku dengan sebuah helm di tangannya.
"Makasih, Sho." Aku pun meraih helm itu dan segera memakainya. Kupikir kaitan helm tersebut dapat dengan mudah dipasang. Tetapi, aku salah. Kaitan itu malah tersangkut pada rambutku. Yang seketika membuatku mengernyit karena rasa sakit yang diberikannya.
Sial. Kini hidupku mulai berubah seperti kehidupan sang tokoh utama di novel romansa.
Selama beberapa saat berusaha melepaskan rambutku dari kaitan helm itu, seketika sepasang tangan menjulur ke depan wajahku. Membuat diriku seketika terpaku kala melihat wajah-yang-sulit-untuk-tidak-ditatap itu terpampang di depan wajahku sendiri. Siapa lagi jika bukan paras tampan milik Sho?
Sho yang sedang berusaha melepas rambutku yang tersangkut itu seketika membuatku merasa déja vù. Namun, bukan surai berwarna hitam yang kulihat saat itu. Melainkan surai biru milik seseorang yang kusukai. Ia menyukai seorang gadis, tetapi 'gadis itu' tidak akan pernah berubah menjadi aku.
"Akh!" Aku sontak meringis ketika dapat kurasakan rasa sakit di beberapa titik di kepalaku. Penyebabnya ialah Sho yang menarik paksa rambutku agar lepas dari kaitan helm itu. Yang membuatku hampir ingin menangis akibat rasa sakitnya yang begitu luar biasa. Jangan anggap aku lebay, oke?
"Sori, aku gak sengaja, (Y/n). Kamu gak usah khawatir, rambutmu masih banyak."
Secara refleks aku melotot ke arah Sho. Pelototanku itu dibalasnya dengan tatapan datar dan poker face-nya itu. Hei, aku tidak mempermasalahkan pasal berapa helai rambut yang tak sengaja tertarik, melainkan tentang rasa sakitnya itu!
Pada akhirnya, aku pun menghela napas sebelum berkata, "Aku gak khawatir tentang itu, Sho."
Kini Sho telah duduk di atas jok motornya. Berusaha melupakan kejadian yang sebelumnya, aku pun ikut naik ke atas motornya itu. Dengan demikian, Sho pun sudah bisa melaju. Membelah jalan raya yang cukup padat.
***
Seharusnya, bukan Sho yang mengantarku pergi ke sekolah hari ini. Yang biasanya mengantarku adalah Kiki. Namun, karena motor lelaki itu sedang diperbaiki—entah hingga kapan—pada akhirnya Sho sendiri yang menawarkan dirinya sebagai pengganti Kiki untuk sementara waktu.
Tentu saja aku menolaknya. Mengingat rute rumah Sho dan rumahku yang berlawanan arah. Membuat jarak antara rumah kami begitu jauh dan tidak dekat sama sekali. Tetapi, Sho mengabaikan alibiku yang begitu jelas itu dan tetap memilih untuk mengantarku ke sekolah. Padahal meskipun Sho maupun Kiki tidak mengantarku ke sekolah, aku tetap masih bisa pergi sendiri. Namun, merekalah yang menginginkan jabatan sebagai supir pribadiku.
Setelah perdebatan yang kukira akan terjadi, kini Sho harus mengantarku pulang-pergi ke sekolah. Sebelumnya ia hanya mengantarku pulang. Tentunya hal itu dapat terjadi karena Kiki yang sibuk melakukan pendekatan dengan Amu. Mengajaknya pulang bersama setiap hari. Meskipun pada akhirnya hanya berujung pada penolakan yang sama.
Kecuali kemarin.
Mengingat apa yang terjadi di hari kemarin, seketika aku menghela napas panjang. Kupikir aku sudah bisa melupakannya. Namun, nyatanya otakku yang terlalu pandai dalam mengingat hal-hal tidak penting ini justru tidak dapat melupakan kejadian itu. Yang kini membuatku larut dalam momen tersebut.
Hei, (Y/n). Sadarlah. Apa yang terjadi kemarin hanyalah sekedar Amu yang diantar pulang oleh Kiki. Bukan suatu kejadian yang besar; seperti Amu yang berkencan dengan Kiki, misalnya. Jujur saja, aku tidak ingin hal itu terjadi. Namun, jika memungkinkan, aku pun ingin Amu merasa bahagia. Kalau Kiki adalah sumber kebahagiaan Amu, dengan sukarela aku akan membiarkan mereka berdua. Ah, bukannya saat ini pun aku sudah melakukan hal itu?
"(Y/n), kita udah sampai di isekai."
Mendengar ucapan Sho yang baru saja menghentikan motornya, seketika aku melongo. Bingung, pun bercampur heran. "Hah?"
"Kayaknya melamun jadi hobi baru kamu, ya," ujarnya tanpa memberikan penjelasan tentang pernyataan sebelumnya itu. Apakah Sho sebegitu inginnya pergi ke isekai? Jika pergi ke sana bisa membuatku lupa dengan Kiki, maka dengan senang hati aku akan melakukannya. Tanpa ragu.
"Nggak juga sih. Lagi pengen aja," bantahku. Well, sejujurnya aku memang sering melamun beberapa hari belakangan ini. Bahkan lamunanku itu telah berubah menjadi lima belas chapter di fanfiction ini.
"Ayo masuk. Bentar lagi bel bunyi."
Sho melangkah mendahuluiku. Ia berjalan beberapa langkah di depanku, sebelum akhirnya Sho berhenti dan menunggu aku mendekatinya. Setelah kami berdiri bersisian, kami pun lanjut berjalan ke kelas.
Sama seperti biasanya, Amu menyapaku dengan senyum cerah dan pelukan hangatnya. Dengan wajah yang sama, aku pun membalasnya dengan hal serupa. Sementara itu, Sho menyapa Amu singkat dan berlalu ke kelas lebih dulu.
"Lho, tumben. Kamu gak bareng sama Kiki, (Y/n)?" tanya Amu setelah melepas pelukannya itu.
Aku mengerjap sesaat. Lalu, terkekeh pelan. "Kata Kiki, motornya lagi diservis. Gak tau selesainya kapan. Jadi, aku dianter sama Sho ke sekolah," jelasku singkat.
"Oh, begitu. Gak apa-apa (Y/n), Sho lebih keren." Amu mengacungkan ibu jarinya ke depanku. Aku hanya tertawa mendengar ucapannya itu. Karena sudah tak tahu lagi harus merespon dengan apa.
"Eh, (Y/n). Udah sarapan?"
Bukan Amu ataupun Upi yang bertanya demikian. Melainkan Toro yang baru saja tiba. Ia masih membawa tasnya di punggung, sama sepertiku.
"Hei, Tor. Udah sih. Sarapan angin," jawabku diselingi oleh tawa setelahnya.
"Serius kamu?" Sepertinya Toro tampak terkejut. Tidak menyangka jawabanku akan demikian.
Aku pun tertawa lagi melihat ekspresinya. "Bercanda, Tor. Aku udah sarapan kok tadi pagi. Makan hati."
"Maksudnya, hati ayam? Hati ampla?" celetuk Amu.
Aku hanya tersenyum miring. "Anggap aja begitu."
Bukan. Bukan itu yang kumaksud. Tetapi, kurasa aku sama sekali tidak perlu menjelaskannya pada mereka. Kepada siapapun.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top