── tiga ; platina

Hari ini sedikit berbeda.

Di pagi hari, seperti biasanya aku berangkat ke sekolah dengan Kiki. Rumah kami yang terletak bersebelahan membuat Kiki mengantarku tiap pagi ke sekolah. Sejujurnya, terkadang aku merasa keberatan. Namun, karena ia terus mengatakan hal yang sama membuatku tak enak untuk menolak. Yang pada akhirnya, menjadi suatu kebiasaan.

Namun, bukan hal itu yang membedakan hari ini. Melainkan tentang apa yang terjadi selanjutnya. Tepat di kelas.

Biasanya, setiap pagi Amu memberikan permen di atas meja teman-teman sekelas. Namun, hari ini terdapat suatu perbedaan. Ada satu meja yang kosong dan tidak mendapatkan permen pemberian Amu.

Ya, mejaku sendiri.

Padahal di depan kelas tadi, Amu masih menyapaku dengan biasa. Dengan senyum di wajahnya dan pelukan yang hangat seraya berkata 'selamat pagi'. Yang tentu saja kubalas dengan sama ramahnya.

Lantas, mengapa tidak ada permen di mejaku? Bukan berarti aku mempermasalahkan hal ini. Hanya saja hal ini sangatlah janggal. Terlalu janggal hingga kusadari dengan mudah.

Merasa heran, aku pun memutuskan untuk keluar dari kelas. Mendapati Amu yang sedang menyapa Upi, aku pun memanggilnya, "Mu, Amu! Kok aku gak dapet permen?"

Sontak Amu menoleh padaku. Begitu pula dengan Upi. Keduanya saling bertatapan sesaat sebelum menatapku dengan tatapan itu. Tatapan yang sama di hari kemarin. Di saat mereka pindah duduk dan membiarkanku duduk seorang diri sebelum Kiki datang dan duduk menemaniku. Apakah... mereka akan meninggalkanku lagi?

"Nggak boleh! Kalian gak boleh tinggalin aku sendirian lagi!"

Bodohnya aku. Seruan itu membuat perhatian orang-orang yang berjalan di depan kelasku menatap ke arahku. Yang kini membuat diriku ini menjadi pusat perhatian mendadak.

"Lho, (Y/n)? Kita gak akan ninggalin kamu kok! Kenapa tiba-tiba kamu ngomong kayak gitu?" tanya Amu heran bercampur bingung. Aku pun ikut merasa demikian.

Berbeda dengan Amu, Upi justru sibuk mengusir orang-orang di sekitar kami yang berkerumun. Lebih tepatnya merasa penasaran akan apa yang terjadi. "Hush! Hush! Pergi kalian! Kalo gak pergi sekarang, nanti gue mutilasi!" serunya.

Upi memang jangan diragukan. Kerumunan itu pun langsung bubar sedetik setelah ia berkata demikian. Yang sontak menghadirkan rasa lega dalam benakku.

"Emang kamu tau cara mutilasi orang, Pi?" tanya Amu sangsi.

"Nggak tau tuh." Ia tertawa. "Tapi kita cuma perlu nanya (Y/n) aja, 'kan? (Y/n) 'kan mau jadi dokter," tambahnya.

"Dokter gak mutilasi orang, Upiiiii," ujarku gregetan. Memang, terkadang Upi terlalu bobrok.

"Balik lagi ke topik. Wahai Yang Mulia (Y/n), kenapa Anda berbicara seperti itu? Hamba tidak akan meninggalkan Anda seorang diri di sini," kata Upi seraya membungkuk hormat ala bangsawan. Tangan kanannya diletakkan di depan dadanya.

"Itu benar, Yang Mulia. Kami ini sangatlah setia," timpal Amu. Ia pun melakukan gerakan yang sama dengan Upi.

"Bahkan jikalau Anda meminta kami untuk memakan tai ayam pun, kami bersedia," ujar Upi santai. Wajahmu tampak serius di mataku.

"Aku gak mau lho! Kamu aja yang makan, Pi!" tukas Amu. Sepertinya ia baru saja tersadar dengan perkataan Upi tadi.

Tawa pun dibuat oleh Upi. "Emangnya (Y/n) bakal nyuruh kita makan tai ayam beneran? Nggak 'kan, (Y/n)?" Ia beralih menatapku.

"Nggak sih. Mungkin bakal kusuruh makan tai kambing," balasku asal.

Mata Upi sontak membulat. Ia menatap kaget padaku. "Jujur, aku lebih memilih makan taiku sendiri," katanya dengan wajah serius.

"Bentar, bentar. Kenapa kita jadi bahas ilmu pertaian kayak gini sih?" tanya Amu heran. Tampaknya ia baru saja menyadari bahwa apa yang kami bahas tidaklah epic.

Tawa kami pun pecah. Aku tergelak keras. Rasanya sudah lama sekali semenjak aku tertawa seperti ini. Yang kuingat hanyalah bagaimana hari-hariku dihabisi dengan belajar.

***

Suara pensil yang menggores kertas menjadi satu-satunya suara yang terdengar di ruangan ini. Sama seperti biasanya, saat ini merupakan jam ekstrakurikuler. Aku bersama dengan Amu beranjak menuju ruang di mana klub menggambar diadakan. Kini, kami pun disuruh untuk menggambar hal yang kami suka oleh Amu.

"Wih, (Y/n)! Kamu gambar apa tuh?"

Amu melirik ke arah kertas yang terletak di atas meja. Kugeser kertas itu agar Amu bisa melihatnya lebih jelas. Namun, kala melihat keningnya yang mengernyit, aku pun menjadi bingung harus berkata apa.

"Kamu ngegambar otak? Gak salah, (Y/n)?" tanya Amu. Aku tahu, Amu pasti merasa heran mengapa aku memilih untuk menggambar organ tubuh itu kala disuruh untuk menggambar hal yang kusuka.

"Ada alasannya kenapa aku gambar otak," sahutku.

"Apa alasannya?" Amu menatapku penasaran. Aku merasa maklum jika ia merasa penasaran. Seharusnya seseorang menggambar pemandangan atau objek lain yang wajar untuk disukai. Alih-alih organ tubuh seperti otak yang digambar.

"Otak itu merupakan organ yang paling jujur lho. Ketika kamu merasa sedih, akan terjadi peningkatan "percakapan" antara dua area otak. Dengan kata lain, komunikasi antara sel-sel di otak meningkat di dua wilayah spesifik ketika bersedih. Emang belum ada kepastian tentang ini. Terus, ketika kamu merasa senang, otak akan melepaskan dua neutransmitter, yaitu dopamin dan serotonin. Kedua neutransmitter itu bakal memengaruhi tubuh nantinya. Lalu, ketika kamu sedang jatuh cinta, akan terjadi aktivitas ventral tegmenta area atau VTA dan caudate nucleus. Di mana keduanya akan mengatur jalannya dopamin di dalam otak."

Amu hanya mengangguk-angguk. "Aku gak paham. Bener-bener gak paham. Tapi, sepertinya itu alasan yang bagus, (Y/n)." Ia mengacungkan jempolnya.

"Makasih banyak, Amu," balasku disertai senyum simpul.

"Seharusnya kamu aja yang jadi anaknya ibuku," gumamnya.

Aku terkekeh. "Iya, seandainya bisa dituker, ya." Aku kembali menatap Amu. "Jangan sedih, Mu! Lawan aja ibu kamu!" seruku menyemangatinya.

"Eh, nanti durhaka. Aku gak mau, ah," balasnya.

"Bercanda, Mu. Tapi, serius."

Amu hanya mengerjapkan matanya. Ia mendengus pelan kemudian menepuk-nepuk pundakku.

Aku memang mengetahui apa masalah Amu. Ibunya memaksa dirinya menjadi seorang dokter. Yang seperti kata Upi di chapter sebelumnya, dokter merupakan impianku. Hanya saja, aku sepertinya harus memupuskan impianku itu. Mengingat biaya kuliah kedokteran tidaklah sedikit.

Namun, berbeda dengan Amu. Keluarganya mampu membayar semua biaya itu. Jujur saja, hal itu membuatku sedikit merasa iri. Amu yang mampu dalam ekonomi, tetapi dirinyalah yang menolak untuk menjadi dokter. Memang terkadang rumput tetangga tampak lebih hijau. Well, jikalau orang tuaku pun memaksaku melakukan sesuatu, tentu saja aku menolaknya dengan keras. Tetapi, sekali lagi, Amu hanya menurut dan itu membuatku merasa kesal.

Mengingat perkataan Amu tadi, meskipun dirinya mengaku tidak paham, tetapi ia mendengarkan alasanku hingga akhir. Mengetahui hal itu, membuat aku merasa senang. Sepertinya otakku mengeluarkan neutrasmitter dopamin dan serotonin itu saat ini.

"Kalo gitu, berarti di otakku lagi terjadi aktivitas ventral tegmenta area dan caudate nucleus."

Aku terlonjak kala mendengar suara itu tiba-tiba memasuki percakapan aku dan Amu. Ketika aku menoleh, Kiki-lah yang berdiri di sana. Ia menyembunyikan tangan kanannya di balik punggung. Entah apa yang ia sembunyikan.

"Ki, jangan ngagetin dong!" seruku seraya mengusap dada. Astaga, aku yakin bisa mati muda jika terus-menerus berteman dengan Kiki. Aku bercanda ya, Ki.

"Ngomong-ngomong, kamu ngapain di sini, Ki? Bukannya seharusnya kamu ada di klub musik?" tanya Amu. Benar juga perkataannya. Mengapa Kiki berada di sini bersama mereka?

"Aku mau bucin dulu, Mu. Bentar ya. Jangan ganggu dulu," katanya. Amu pun melemparkan senyum dan mengacungkan jempolnya pada Kiki. Aku hanya menatap kejadian itu dengan bingung.

"Nih, buat kamu."

Dari balik punggungnya, Kiki mengeluarkan sesuatu. Yang kemudian disodorkan padaku. Aku menatapnya dan permen gagang bernama lollipop itu di tangannya secara bergantian. Tentunya dengan kebingungan yang terasa begitu kentara.

"Buat aku?" ulangku heran.

"Iya. Ambil nih." Kiki pun menarik tanganku dan menyerahkan permen lollipop itu di sana. Mungkin ia merasa gemas karena aku tak kunjung menerima permen pemberiannya.

"Makasih, Ki." Aku melemparkan senyuman padanya. Meskipun tidak mendapatkan permen dari Amu hari ini, setidaknya Kiki berbaik hati memberikannya untukku.

Suara dehaman dan batuk-batuk terdengar dari sebelahku. Rupanya itu berasal dari Amu. "Mu, kamu gak apa-apa?" Aku pun panik melihatnya yang batuk-batuk seperti itu.

"Aku gak apa-apa kok. Kiki tuh yang apa-apa!" seru Amu yang membuatku mengalihkan pandangan ke arah Kiki.

Raut wajahnya yang tampak memerah sontak membuatku kaget. Kuulurkan tanganku untuk menyentuh keningnya. Lalu, membandingkannya dengan keningku sendiri.

"Badanmu gak panas tuh," ujarku pelan. Nyatanya memang demikian. Lantas, mengapa wajah Kiki memerah?

Tanpa berkata apa-apa lagi, Kiki langsung pergi dari hadapan kami. Aku hanya menatap kepergiannya dengan linglung. Benar-benar tidak kumengerti apa yang lelaki itu pikirkan.

"Inget, (Y/n). Inget kata-katanya Upi, oke?" Amu menepuk-nepuk bahuku. Ia pun menatap ke arah yang sama, ke arah pintu selepas kepergian Kiki.

Sementara, ketika aku menoleh, aku mendapati adik kelas kami tengah menatap ke arah kami. Seolah-olah mereka penasaran akan apa yang terjadi. Atau mereka memang penasaran?

Amu pun pergi membubarkan kerumunan para adik kelas itu. Membuat mereka kembali duduk di tempat duduk mereka masing-masing. Setelahnya, Amu kembali berkeliling untuk melihat hasil karya siswa yang lain.

Sementara itu, aku hanya sibuk menatap hasil gambarku sendiri. Sebuah otak yang, entah mengapa, tak bisa kurasakan kejujurannya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top