── tiga belas ; moskovium
"(Y/n)."
Panggilan itu dilontarkan sesaat setelah aku turun dari motor Kiki. Aku hendak melepas helmnya kala kaitan yang aku buka tersangkut entah pada apa. Membuat aku berdecak kesal. Padahal sebelumnya hal ini tidak pernah terjadi.
"Ki, tolong bukain."
Kiki pun turun dari motornya. Ia berdiri di hadapanku. Tangannya menggapai kaitan helm itu, lalu membukanya dengan mudah. Helm tersebut pun akhirnya berhasil dilepas.
"Makasih, Ki," ucapku atas bantuannya. "Oh ya, tadi kamu mau ngomong apa?"
Helm yang kukenakan tadi diletakkan lebih dahulu oleh Kiki. Kemudian, ia kembali berbalik menghadap diriku, menatapku lekat. Yang seketika membuat darahku berdesir untuk sesaat.
"(Y/n), aku cuma ngomong sekali. Jadi, dengerin dengan baik-baik."
Aku menelan saliva-ku dengan susah payah. Menunggu perkataan Kiki sama lamanya seperti perjalanan dari rumah ke sekolah. Sementara, aku hanya berdiri di depannya. Tanpa mengucapkan apa-apa dan memilih untuk tetap diam.
"Apa jawaban kamu?"
"Jawaban apa, Ki? Latihan soal matematika yang mendadak tadi siang?" tebakku.
Kiki menepuk dahinya. Ia menggeleng-geleng tidak percaya. Sebenarnya aku tahu jawaban apa yang Kiki maksud. Namun, aku memilih untuk berpura-pura tidak tahu. Lebih tepatnya, aku menghindari pertanyaan itu. Seperti aku yang juga menghindarinya selama ini.
"Jadi, apa jawabanmu, (Y/n)?" ulang Kiki. Ia tampak menunggu jawabanku. Raut wajahnya terlihat begitu serius.
Lantas, apa yang harus aku lakukan? Menjadi pacar Kiki dan membuang hubungan pertemanan kami? Atau menolaknya dan tetap berteman seperti biasanya? Ada begitu banyak alasan yang menyelimuti diriku. Sampai-sampai, aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Hingga tiba-tiba saja ucapan itu keluar dari mulutku.
"Maaf, Ki. Tapi, aku gak bisa jadi pacar kamu."
Mungkin Kiki akan merasa kecewa juga sedih di saat yang bersamaan. Sekaligus disertai dengan sirat terkejut. Aku pun sama terkejutnya dengan Kiki. Bahkan aku sama sekali tidak menyangka jika kata-kata itu akhirnya diucapkan oleh bibirku sendiri. Aku terlampau gugu untuk berbicara sepatah kata saja.
Dengusan keluar melalui hidung Kiki. Aku sontak menengadahkan kepala. Sesaat sebelumnya, aku menghindari kontak mata dengan temanku itu. Aku merasa terlalu bersalah akibat menolaknya. Sekaligus melukai perasaannya yang berharga.
"Aku cuma bercanda kok, (Y/n). Jangan sedih gitu dong," ujarnya seraya mengacak-acak rambutku. Disusul oleh tawa pelannya.
Seketika jantungku mencelos. Aku menatap Kiki dalam-dalam. Berusaha mencari kebohongan yang mungkin saja terpancar di balik netranya itu. Namun, nihil. Tidak apa-apa di sana. Hanya menyiratkan tatapan yang biasa saja. Semuanya tampak terlalu normal.
Mendengar ucapan Kiki, seketika dadaku ikut terasa sesak. Seolah-olah ada sebuah batu besar yang mengganjal di sana. Membuatku sulit untuk bernapas dan juga memberikan rasa sakit yang begitu luar biasa.
Aku tidak tahu mengapa aku merasa demikian. Seharusnya aku kembali merasakan perasaan bernama bahagia karena kini aku dan Kiki tetap menjadi teman. Tidak ada hubungan romantis di antara kami.
Namun, mengapa rasa sesak ini tak kunjung hilang dan semakin menjadi?
***
Waktu terus berjalan. Semuanya berlalu seperti biasa. Aku dan kehidupanku, teman-temanku dengan kehidupan mereka masing-masing. Tidak ada perubahan yang terasa begitu kentara. Termasuk hubungan di antara aku dan Kiki.
Awalnya, aku mengira jika hubungan pertemanan kami akan berubah menjadi canggung. Namun, tadi pagi Kiki menyapaku seperti biasa. Dengan senyuman di wajahnya, juga lambaian tangan singkat yang ditujukan padaku. Oleh karena itulah, aku pun membuat reaksi yang sama. Yang serupa.
Melihat Kiki yang tampak biasa saja, aku kembali berpikir. Apakah ia tidak merasa sedih? Tidak ada goresan luka? Apa hanya aku saja yang merasa demikian? Spekulasi yang terakhir merupakan kemungkinan yang paling benar.
Memikirkan hal itu, membuatku merasa sendu. Aku tidak tahu hal apa yang sebenarnya kuinginkan. Apakah aku ingin mengubah hubunganku dengan Kiki menjadu status pacaran? Atau justru tetap sama seperti saat ini? Jujur, aku tidak tahu. Semuanya terasa abu-abu dan sulit untuk mengambil kesimpulan.
"(Y/n)."
Aku terlonjak kaget ketika mendengar suara bernada datar itu. Rupanya teman-temanku yang lain sedang sibuk dengan keperluan mereka masing-masing. Menyisakan aku dan Sho saja di kelas yang seketika terasa begitu sepi.
"Kenapa, Sho?" balasku.
"Kamu gak makan?" tanyanya. Sho kini beralih duduk di hadapanku. Ia duduk seraya memeluk sandaran kursi. Sementara, salah satu tangannya yang lain memainkan tempat pensil milikku.
Aku menggeleng, menjawab pertanyaannya. "Nggak. Lagi gak laper," jawabku seadanya.
"Tumben."
Aku hanya meringis. Memang demikian faktanya. Entahlah, belakangan ini aku sedang tidak ingin makan. Nafsu makanku itu seketika lenyap kala aku menatap sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauk di atasnya. Jika teman-temanku yang lainnya mengetahuinya, mungkin mereka akan marah padaku.
Tunggu. Berarti saat ini Sho sudah tahu!
"Sho, jangan kasih tau siapa-siapa kalo aku belum makan," kataku dengan serius. Serta-merta rasa panik yang ikut menyertai. Meskipun aku memiliki penyakit sialan bernama maag, bukan berarti aku mengabaikannya. Hanya saja, saat ini aku tidak begitu ingin untuk memasukkan makanan ke dalam lambungku.
Bunyi notifikasi dari ponselku membuatku mengalihkan perhatianku pada benda pipih itu. Ketika aku nyalakan, sebuah notifikasi dari grup sudah menyambutku. Aku membukanya. Ternyata, Sho-lah yang menjadi sumber keramaian itu.
Ges, (Y/n) belum makan.
Hanya empat kata singkat yang sudah berhasil membuat grup tersebut menjadi lebih ramai dari kuburan. Aku mendelik tajam pada Sho. Akibat ulahnya itu, aku yakin sebentar lagi teman-temanku akan tiba di kelas dan segera menyeretku ke kantin atau warungnya Teteh.
"Sho!" seruku geram. Aku kehabisan kata-kata. Sehingga saat ini aku memilih untuk segera pergi dari kelas.
Kuputuskan untuk pergi sejauh mungkin dari ruang kelas. Tujuanku hanya satu. Menghindari teman-temanku, sekaligus menghindari seseorang yang sudah berhasil memporak-porandakan pikiran serta isi hatiku. Mungkin ia bisa bersikap biasa saja. Namun, tidak denganku. Sama sekali tidak bisa.
***
Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring. Begitu memekakan telinga, namun merupak momen yang paling ditunggu. Termasuk aku sendiri.
Setelah acara perlarian dari kelas itu, pada akhirnya aku tetap kembali ke sana. Bagaimanapun juga, aku masih harus menampakkan diriku sendiri di kelas. Meskipun sudah tak ada lagi pelajaran yang akan dibahas (latihan soal matematika kemarin dihitung sebagai kejutan tak terduga), nyatanya tetap sana aku masih perlu hadir. Demi absen.
Aku sengaja kembali ketika bel istirahat berbunyi tadi siang. Sehingga aku tidak perlu bercakap-cakap dengan teman-temanku dan bisa segera menyimak perkataan Pak Eko di depan kelas. Sekaligus mengabaikan seseorang.
Kuraih tas ranselku dan menyampirkannya ke atas bahu. Sesaat setelahnya, aku melangkah ke luar kelas. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hari ini tidak ada ajakan pulang bersama dari Kiki. Ketika aku hendak keluar dari kelas, lelaki itu sepertinya sedang mengajak Amu untuk pulang bersama. Aku tidak tahu apa kelanjutannya. Karena yang kuingat setelahnya adalah ajakan pulang bersama dari Sho.
"(Y/n), kamu mau pulang bareng?"
Dunia ini memang penuh kejutan. Well, mungkin hanya dunia milikku saja.
***
Aku abis pulang dari perpisahan ges. Capek betul—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top