── sembilan ; ytterbium
Sepertinya aku sudah lelah.
Setelah apa yang kulakukan selama ini, apa yang kudapatkan? Nihil. Tidak ada sama sekali. Semua itu berubah menjadi angan-angan belaka. Yang sepertinya tidak akan menghasilkan apapun.
Mungkin ini hanya aku saja yang mudah menyerah. Semudah itu kulakukan hingga aku pernah berpikir untuk mengakhiri nyawaku sendiri. Well, hal ini memang tidak benar untuk diperbuat. Terlebih itu merupakan dosa yang begitu besar. Tetapi, inilah diriku. Aku yang mudah menyerah ini tak akan segampang itu untuk kembali berusaha.
Kala aku melihat teman-temanku yang telah diterima di universitas atau perguruan tinggi lain, seketika aku merasa iri. Pun sedih. Ketimbang iri, aku lebih merasakan kesedihan yang mendalam. Aku tahu, mungkin itulah rezeki dan jalan mereka ke sana. Aku tidak boleh merasa demikian karena memang bukan seperti itu jalan yang harus kutempuh.
Tetapi, harus sampai kapan? Sampai kapan aku harus terus berpikir demikian? Lama-kelamaan, aku merasa bahwa ucapan Mama sangatlah benar. Namun, akulah yang selama ini menyangkalnya. Aku hanyalah anak bodoh yang tidak sanggup untuk bertahan di tengah badai ini.
Masalah yang kuhadapi mungkin tidak begitu besar. Tetapi, aku sudah sefrustasi ini. Aku sudah semenyerah itu dengan hidupku sendiri. Lantas, apakah aku masih bisa bertahan?
"(Y/n)!"
Sontak aku mengangkat kepalaku dan memandang ke depan. Tepat di mana teman-temanku berdiri di sana. Amu-lah yang pertama kali berlari ke arahku. Ia langsung menghambur memelukku. Membuat tubuhku kehilangan keseimbangannya sebelum kembali berdiri tegak.
"Kamu gak boleh bunuh diri, (Y/n)! Kalo kamu gentayangin kita, gimana?" Amu berseru masih sambil memelukku. Aku yang bingung harus berkata apa hanya bisa bergeming, mengerjapkan mata sejenak, lalu melepaskan pelukan Amu itu.
Sesaat setelahnya teman-temanku yang lain muncul. Toro langsung memukul pelan kepala Amu. Membuat gadis itu seketika meringis. Namun, tetap saja masih tersenyum.
"Aku gak mau bunuh diri kok," jawabku. Lebih tepatnya, mungkin bukan saat ini.
"Beneran, 'kan?" Kali ini Upi yang bersuara. Aku hanya mengangguk samar.
"Sho," panggilku.
Yang dipanggil pun menoleh. Sho menatapku dengan pandangan tanda tanya. Menungguku melanjutkan ucapanku tadi.
"Kamu bisa suruh ular peliharaanmu untuk gigit aku gak? Supaya aku ke isekai gitu."
Kini giliran kepalaku yang dipukul oleh Toro. Temanku itu menatapku dengan matanya yang membulat. Reaksi Amu, Kiki, dan Upi pun tak jauh berbeda dengannya. Tidak termasuk Sho di sana.
"Bisa," jawab Sho tanpa beban. Terkadang aku menyukai sikap chill-nya itu.
"SHO! Jangan ngadi-ngadi gitu, ah!" seru Amu tiba-tiba. Yang mengejutkan aku, bukan Sho. Kemudian, ia beralih menatapku, "(Y/n)! Kamu juga! Jangan nyerah semudah itu!"
"Tapi, isekai lebih menarik, Mu," protesku. Kalau bisa, aku juga akan lebih memilih untuk tinggal di sana. Dikelilingi para cogan, kemudian membuat dunia harem-ku sendiri. Ya, ini hanya sekedar halu semata.
"(Y/n), kayaknya kamu perlu di-ruqyah."
***
Semenjak perkataanku tadi siang, kini semua temanku mengikuti ke manapun aku pergi. Ke kelas, ke kantin, ke lapangan. Ke semua tempat yang kulalui. Mereka tampak seperti bodyguard yang tak sengaja dibentuk.
Aku tahu mereka itu khawatir padaku. Khawatir aku akan benar-benar melompat dari atas atap sekolah. Kemudian, mereka pun hanya bisa menemukan tubuhku yang tergeletak dengan bersimbah darah di bawah sana. Sebenarnya, ini cukup keren untuk dibayangkan. Hanya dibayangkan saja.
Kini aku bisa menjauh sedikit dari teman-temanku. Tidak sepenuhnya menjauh juga. Nyatanya aku yang sedang berada di salah satu bilik toilet ini pun masih ditunggu oleh Amu dan Upi di depan pintu. Sebenarnya, aku tidak ingin melakukan hal yang biasa dilakukan di dalam toilet. Aku sedang mencari cara untuk kabur. Kabur dari mereka.
"(Y/n), udah belum?!"
Seruan Upi itu seketika menyadarkanku. Sepertinya aku sudah terlalu lama diam di dalam sini.
"Belum! Embernya bocor, Pi!" seruku seraya menyemprot air ke atas lantai dengan selang hingga keluar dari bagian bawah pintu bilik. Sebagai bukti kuat bahwa ucapanku itu benar.
"Hah?"
Pastinya mereka akan kebingungan sesaat. Saat-saat itulah yang akan kugunakan sebagai momen untuk kabur. Aku sudah memperhatikan sebuah jendela yang berada di belakangku. Sepertinya jendela itu bisa dibuka dan dilihat dari ukurannya yang sedang, mungkin tubuhku akan muat untuk keluar dari jendela itu.
Dengan segera aku menutup bagian penutup closet duduk itu agar aku bisa menaikinya. Kemudian, jendela tersebut pun aku buka. Angin di luar menyambutku seketika.
Sejenak aku menoleh ke belakang. Sepertinya Amu dan Upi belum menyadari bahwa aku hendak kabur dari mereka. Lagi pula, siapa pula yang akan merasa betah jika diikuti oleh segerombolan orang?
"(Y/n)!"
Tepat saat Amu berseru memanggil namaku, aku sudah lebih dulu keluar dari jendela. Malangnya diriku. Tubuhku terjatuh ke atas aspal tanpa alas apapun di atasnya. Membuat tubuhku ini berciuman langsung dengan permukaan aspal hingga menimbulkan luka. Perlahan aku bangkit menjadi duduk. Ugh, ternyata ini cukup menyakitkan.
Pandanganku kembali ke atas, di mana jendela itu berasal. Aku tahu, Amu dan Upi pasti akan mengintip ke bawah melalui jendela tersebut. Secepat mungkin aku kembali berbaring di atas aspal. Dengan membuat posisi tubuhku yang tampak seperti orang yang tewas seketika.
"Pi, Pi! (Y/n) gak mati, 'kan?!"
"Nggak tau deh, Mu. Tapi kayaknya sih mati."
Upi bahkan masih bisa menjawab dengan kalem. Sementara Amu kembali berseru dengan marah-marah. Suara mereka berubah menjadi samar dan sayup-sayup menghilang. Setelahnya, aku membuka mataku. Yang langsung bersitatap dengan silaunya sinar matahari.
Perlahan, aku bangkit dari posisi berbaring. Aku tidak menyangka jika simulasi mati bisa semenyenangkan ini. Astaga, aku pasti sudah tertular ke-absurd-an teman-temanku.
***
Kemungkinan besar para temanku yang lain pasti sedang mencariku sekarang. Namun, aku yang pada dasarnya memang pandai melarikan diri dari kenyataan ini pun bisa bersembunyi dari mereka dengan mudah. Aku tahu tidak selamanya aku bisa bersembunyi. Tetapi setidaknya aku ingin menjauh sejenak dari mereka.
Kulirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Waktu yang tersisa hingga saat istirahat berakhir adalah sekitar tiga menit lagi. Yang membuatku semakin yakin jika teman-temanku pasti telah menyerah untuk mencariku. Aku yakin itu.
Namun, keyakinanku itu pun buyar ketika aku mendengar suara seseorang. Kala aku menoleh, yang kudapati adalah detak jantungku yang menggebu-gebu. Aku khawatir jika ia adalah salah satu temanku.
"Aku menemukanmu, (Y/n)."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top