── sembilan belas ; aspirin

Kepala yang terantuk dengan meja membuatku sontak terkejut. Rasa kantukku seketika menghilang dan pandanganku kembali segar. Namun, menyisakan rasa sakit yang cukup terasa di bagian kening.

Astaga, apakah aku hampir jatuh tertidur ketika masih berada di kelas?

Kuedarkan pandanganku ke sekitar. Kemudian, aku mendapati teman-temanku yang sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Berbincang, mencorat-coret sesuatu, ataupun tertidur. Salah satunya adalah Sho. Temanku itu termasuk ke dalam kategori terakhir; tidur. Ia tertidur dengan pulasnya. Menggunakan tangannya sebagai bantal yang tampak tidak terasa nyaman.

Lalu, pandanganku beralih ke yang lain. Kali ini pada seseorang bersurai biru. Seperti biasanya, Kiki duduk di kursinya sambil membicarakan sesuatu dengan teman di sekirar tempat duduknya. Tak sengaja, tatapan kami bertemu. Aku yang hendak mengalihkan tatapan pun seketika hanya bisa terpaku. Niat itu lenyap di kala sebuah kurva melengkung yang terbuka ke atas dilemparkan begitu saja ke arahku. Sementara, pelakunya kembali berbincang dengan teman-temannya.

Itu hanyalah sebuah senyuman biasa belaka. Yang kerap Kiki tunjukkan setiap saat. Kepada siapapun. Mungkin, juga termasuk pada dirinya sendiri di depan cermin. Aku tahu, apa yang kurasakan saat ini terasa begitu berlebihan juga menyedihkan. Hanya dengan diberikan senyum yang berlangsung selama sepersekian detik itu saja, aku sudah merasa gugup. Itulah yang membuatku terlihat menyedihkan. Pathetic, yet confusing.

Akibat tidak bisa tertidur semalam, kini aku menjadi mudah mengantuk di kelas. Ditambah dengan hujan yang belum berhenti sejak tadi pagi. Juga kibaran kipas angin di kelas yang menciptakan suasana sejuk. Membuat aku semakin ingin untuk memejamkan mata dan berlabuh ke alam mimpi.

Namun, rasa kantuk itu telah hilang sepenuhnya. Tak menyisakan apapun. Bahkan, saat ini aku sama sekali tidak memiliki keinginan untuk sekedar memejamkan mata sesaat. Yang kuingat hanyalah tentang senyuman Kiki yang kini berputar-putar di dalam kepalaku. Padahal seharusnya aku sudah sangat terbiasa dengan kurva melengkung itu. Yang dapat dengan mudah ia buat dan berikan pada siapapun. Tidak ada yang spesial di sana. Hanya sebatas senyum yang diciptakan tanpa maksud apapun.

Tetapi, aku tidak mengartikannya demikian. Mungkin aku salah besar karena memilih keputusan ini. Mungkin juga tidak. Ketika senyum itu terbentuk, aku merasa seolah-olah Kiki hanya memberikannya untukku. Hanya diriku seorang. Niscaya hal ini terdengar berlebihan dan menjijikkan, namun itulah yang kupikirkan. Yang membuatku justru tenggelam dalam khayalanku sendiri. Haha, sungguh miris.

Aku tertawa hambar. Mengapa juga aku menambahkan bumbu-bumbu romansa di dalam kehidupanku yang sudah pahit ini? Alih-alih berubah menjadi manis, rasa yang diciptakan justru jauh lebih buruk daripada sebelumnya. Rasa yang kini menjadi sulit untuk didefinisikan secara denotasi. Membuatku tenggelam dalam ketidakpastian dan keputusasaan. Juga ke dalam ikatan fana yang disebut pertemanan.

"Nah 'kan, kamu ngelamun lagi."

Setiap kali aku mendengar suara itu, aku sontak melemparkan senyum kikuk padanya. Sementara, Amu hanya mengganggap senyum kikuk pemberianku itu sebagai angin lalu. Justru aku bersyukur karena hal itu. Dengan demikian, berarti Amu tak akan menaruh rasa curiga apapun. Mungkin pada awalnya begitu. Namun, lama-kelamaan pun Amu pasti akan mulai merasa curiga. Hanya perlu menunggu waktu tersebut untuk tiba.

"Ngelamunin apa sih, (Y/n)?" Amu bertopang dagu. Ia sama denganku; sama-sama mengabaikan Pak Eko di depan kelas. Well, ini merupakan perbuatan tercela. Namun, kami tidak melakukannya dengan sengaja. Meskipun memang ada secuil kesengajaan di antaranya.

"Banyak," jawabku singkat. Membuat Amu kembali menatapku dengan tatapan yang semakin memicing. Entah mengapa ia memberikan tatapan seperti itu padaku. Mungkin Amu sangat ingin tahu tentang apa yang kulamunkan. Namun, aku tidak mungkin memberitahunya jika aku melamun tentang senyuman Kiki yang itu, bukan?

"Sebenernya aku kepo, sih. Tapi, kalo kamu emang gak mau kasih tau, gak apa-apa kok. Suatu saat nanti ketika kamu mau cerita, bilang aja ya, (Y/n)!" seru Amu dengan wajah yang tampak yakin. Aku pun mengangguk.

Meskipun diam-diam di dalam hati aku menolaknya.

***

Sunyi.

Begitu sunyi ruangan ini sehingga aku bisa mendengar deru napasku sendiri. Terdengar teratur di setiap tarikannya. Mataku tertuju pada rak berisi puluhan buku yang berdiri dengan kokoh di hadapanku saat ini. Membaca setiap judul yang tertera pada sisi bagian buku yang terlihat. Sengaja dibuat demikian agar bisa dibaca dengan mudah.

Teman-temanku sempat mengajakku ke kantin sebelumnya. Namun, aku menolak ajakan mereka. Yang sudah kuduga adalah mereka langsung berceloteh dan ceramah panjang-lebar tentang penyakit maag yang kuderita. Well, sebenarnya Amu dan Toro-lah yang paling banyak berbicara. Sisanya hanya menimpali atau sekedar mengangguk-angguk seperti Sho.

Tetapi, dengan mudahnya aku membantah perkataan mereka. Kujawab bahwa aku sudah mengisi perutku dengan sekotak susu rasa cokelat. Jawabanku itu masih kurang memuaskan. Namun setidaknya cukup memuaskan untuk membuat mereka pergi ke kantin tanpaku.

Kini telah kutemukan buku novel yang kucari di jajaran rak keempat. Bersama dengan seri novel yang lainnya. Aku mengambil yang berada di urutan paling depan, yakni seri pertamanya. Sebelumnya aku sudah pernah membaca novel ini. Di jam yang sama ketika istirahat seperti sekarang. Namun, kala itu bel istirahat berakhir telah berbunyi nyaring. Membuatku terpaksa mengembalikan buku novel ini ke tempat semula.

Mungkin kalian bertanya-tanya mengapa aku tidak meminjamnya saja. Harus kukatakan, kalau aku menyukai suasana di dalam perpustakaan. Suatu suasana di mana kau bisa mendengar langkah kakimu, bahkan hembusan napasmu sendiri. Mungkin hal ini terdengar aneh. Tetapi, itulah alasan utama mengapa aku tidak memutuskan untuk meminjam novel itu.

Kubaca judul yang tertera di bagian sampul. Unwind: Pemisahan Raga. Mungkin jarang ada yang pernah mendengar judul tersebut. Novel berkategori distopia ini memiliki cerita yang menarik, menurutku. Kisah dimulai di mana Amerika Serikat mengalami perang sipil akibat permasalah sipil. Namun, alih-alih mencari jalan keluar dan titik terangnya, pemerintah malah mengesahkan Undang-undang tentang pemisahan raga atau Unwinding. Pemisahan raga yang dimaksud adalah pemotongan tubuh anak untuk disimpan dan nantinya akan ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan.

Memang terdengar menyeramkan dan tidak masuk akal. Namun, kembali lagi dengan melihat bahwa novel ini berkategori distopia, seketika semuanya menjadi masuk akal dan sesuai logika. Aku belum menyelesaikan buku pertamanya. Bahkan aku tidak ingat ada berapa banyak seri dari novel ini.

Suara langkah sepatu yang mendekat membuatku menoleh ke sumber suara. Aku mendapati seseorang yang tidak kuduga akan menghampiriku justru berada di sini.

"Roti buat kamu. Jangan lupa dimakan nanti." Sho menyodorkan sebungkus roti rasa keju manis ke hadapanku. Dengan linglung, aku pun menerimanya.

"Eh, makasih, Sho," sahutku, masih diliputi oleh rasa heran.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Sho pun berlalu dari hadapanku. Setelah kedatangannya yang singkat itu, aku menatap ke arah sebungkus roti di tanganku ini. Membuatku bertanya-tanya di dalam benakku sendiri.

Mengapa Sho memutuskan untuk memberikannya langsung kepadaku? Padahal ia bisa saja menungguku kembali ke kelas ketika bel masuk berbunyi nanti.

Aku tidak paham. Juga, mengapa aku terlalu memikirkannya?

***

Ini adalah tabungan chapter terakhirku... ༎ຶ‿༎ຶ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top