── lima belas ; irtimd

"Makasih udah anterin aku, Kak."

Selesai berucap demikian, pintu mobil di sisi kiriku kubuka perlahan. Mengeluarkan salah satu kaki sebelum benar-benar keluar dari dalam mobil. Sesaat sebelum aku menutup pintu, aku kembali menatap Kak Mars. Ia mulai menjalankan mobilnya menjauhi gerbang sekolah setelah mengangguk singkat.

Aku pun berbalik dan lekas berjalan menuju kelasku. Melewati pintu kelas milik para adik kelas sebelum akhirnya tiba di depan kelasku sendiri. Aku berdiri di sana selama beberapa saat. Tidak ada hal khusus yang kupikirkan.

Tak mendapat sapaan pagi dari Amu seperti biasanya, aku yakin jika temanku itu belum tiba di sekolah. Mungkin ia masih sibuk di rumahnya sendiri. Bahkan aku juga tidak melihat Upi dan teman-temanku yang lainnya. Sepertinya mereka belum datang ke sekolah.

Dengan langkah gontai, aku beranjak ke kursiku sendiri. Sambil kupikirkan apa yang aku harus lakukan untuk membunuh waktu. Belajar? Sepertinya itu pilihan yang buruk untuk saat ini. Bukan karena aku malas atau apa. Melainkan karena aku hanya mengisi perutku sedikit ketika sarapan tadi pagi.

Namun, apa yang kurasakan membuatku tidak memiliki nafsu makan apapun. Seketika aku hanya ingin diam dan memilih untuk tidak melakukan apa-apa selain bernapas, tentunya. Belakangan ini, aku tidak tahu bagaimana perasaanku sendiri.

Sebenarnya, apa yang sedang kuharapkan?

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Di mana ada beberapa tas ransel yang tergeletak di atas meja atau di atas kursi. Menandakan bahwa pemilik meja tersebut telah tiba. Namun, entah ke mana orangnya pergi.

Tatapanku pun berhenti pada salah satu meja. Meja yang terletak secara serong dari mejaku sendiri itu membuat aku seketika tertegun. Mendadak pikiranku kosong dan hanya diisi oleh wajahnya yang mulai berputar-putar di kepalaku. Juga surai birunya yang tampak begitu mencolok.

Teman. Adalah kata yang kupikir tidak akan kutemukan selain bersama dengan Kiki. Awalnya aku menduga bahwa hanya dengan Kiki seorang saja aku bisa menggunakan kata 'teman' itu. Namun, rupanya aku salah, salah besar. Nyatanya kata teman itu kini menerapkan pengulangan kata. Mengubahnya menjadi 'teman-teman'. Sekaligus menandakan bahwa temanku bukan hanya satu orang saja. Bukan hanya Kiki seorang.

Oleh karena hal itu juga, aku tidak menginginkan hubungan pertemanan yang sudah begitu sulit dibangun, mendadak runtuh karena sebuah perasaan bernama 'cinta'. Mungkin hal ini terdengar klise. Mungkin alasan yang kuungkapkan pun terdengar demikian. Tetapi, memang itulah yang kurasakan. Aku selalu berpikir bahwa 'cinta' hanya akan merusak hubungan pertemanan itu. Terlepas dari seberapa lamanya hubungan tersebut terbentuk.

Ditambah ketika Kiki benar-benar mengungkapkan perasaannya padaku, di saat itulah aku baru menyadarinya. Menyadari bahwa hubungan pertemanan kami rupanya sama seperti cerita klise di novel-novel. Di mana sang tokoh utama memiliki seorang teman masa kecil. Yang teenyata, teman masa kecilnya itu memendam perasaan pada di tokoh utama. Terdengar begitu klise, bukan? Dan yang lebih klise adalah bahwa hidupku pun serupa dengan alur cerita novel mainstream seperti itu. Sungguh miris.

Yang perlu dipertanyakan sekarang adalah tentang diriku sendiri. Tentang bagaimana perasaanku terhadap Kiki. Kiki telah mengungkapkan apa yang ia rasakan, sisanya ada di tanganku. Namun, hal inilah yang sulit. Aku lebih memilih mengerjakan ratusan soal Fisika daripada harus memikirkan dan menentukan bagaimana perasaan terjujurku itu. Hal yang seharusnya begitu mudah dilakukan kini terasa susah jika telah jatuh ke tanganku.

Ah, sudahlah. Aku tidak ingin memikirkannya saat ini. Karena itu, aku memutuskan untuk membuka buku yang memang sengaja kubawa. Mengingat bahwa hari ini tidak akan ada pelajaran, alhasil aku membawa buku sendiri untuk dipelajari. Tidak, tidak. Aku bukan seorang siswi yang terlampau rajin dan selalu belajar di mana saja. Aku adalah tipe orang yang hanya belajar ketika dibutuhkan, dengan sistem kebut semalam (SKS) adalah prinsipku. Seperti itu.

"Rajinnya temanku yang satu ini. Masih pagi aja udah belajar. Sekolah kita 'kan udah selesai. Kamu ngapain masih belajar, (Y/n)?"

Itu suara Upi. Gadis itu duduk di depanku dengan permen kojek di mulutnya. Ia melihat sampul buku yang sedang kubaca. Namun, sekilas kernyitan pada keningnya muncul. Mungkin Upi tidak paham tentang buku yang kubaca. Atau mungkin dirinya tidak pernah melihat buku itu. Salah satunya pasti adalah isi pikiran Upi.

"Harga buku ini berapa? Bukunya aja tebal kayak gini. Pasti mahal, 'kan?" ujarnya.

Oke, sepertinya aku melupakan fakta bahwa temanku itu bukan manusia yang bisa dianggap normal.

"Lumayan. Tapi, masih bisa dibeli." Aku mengacungkan ibu jariku ke hadapan Upi. Untuk mendukung pernyataanku barusan.

Upi hanya geleng-geleng kepala. "Kalo Amu yang lihat ini, dijamin bakal ia lempar. Dilempar ke kasur, maksudnya. Hehe." Ia terkikik.

Aku pun meniru gerakan Upi yang sebelumnya, yakni menggelengkan kepala. Kemudian, seketika aku teringat dengan keberadaan teman-temanku yang lain. Mengapa hanya ada Upi di sini? "Oh iya, Pi. Yang lain pada ke mana? Kok cuma kamu aja yang baru dateng?" tanyaku bingung, juga heran. Tak biasanya demikian.

"Kiki lagi sibuk sama Amu. Ngajakkin Amu ke sekolah bareng. Gak tau buat apaan. Padahal 'kan biasanya Kiki pergi bareng kamu, (Y/n). Apa kamu gak merasakan hawa-hawa gak enak, gitu?" Upi membuat semacam gerakan dengan tangannya. Yang tentunya, tidak kupahami.

"Hawa-hawa gak enak? Maksudmu, Pi?" tanyaku tidak mengerti.

"Kamu tuh ya. Di pelajaran pinternya gak ketolong, tapi di urusan percintaan begonya sampe minta di-ruqyah," ujar Upi sambil berkacak pinggang. Entah aku yang salah lihat atau bagaimana, namun sekilas Upi tampak seperti ibu kos.

Harus kuakui, Upi memang benar. Pasalnya, sejak dahulu aku ini terlalu sibuk belajar. Tiada hari tanpa belajar. Bahkan jika ada waktu luang sekalipun, aku tetap memutuskan untuk mengisinya dengan belajar. Memang, aku sempat berkata bahwa aku bukanlah seorang maniak belajar. Namun, hal itu kulakukan agar aku tidak terlalu kecanduan dengan belajar.

Akibat belajar terus-menerus, pada akhirnya aku tidak memiliki kesempatan untuk hidup sebagai remaja pada umumnya. Bagi orang lain, masa-masa SMA adalah masa yang indah. Namun, bagiku sendiri, tidak ada kata 'indah' di dalamnya. Yang kurasakan adalah tentang betapa frustasinya diriku dalam mencari titik terang di masa depan nanti. Karena setelah lulus SMA, barulah kehidupan itu dimulai.

"Auuummm! Ada macan kabur dari Ujung Kulon!"

Aku terdiam sejenak sebelum tertawa setelahnya. Upi-lah yang bertindak ngaco seperti itu. Membuatku bisa melepaskan tawaku begitu saja.

"Jadi, apa kamu gak merasa cemburu ke Kiki, (Y/n)?"

Aku sontak mengernyit sebab heran akibat pertanyaan Upi itu. "Buat apa aku merasa cemburu, Pi?"

"Siapa tau sebenernya kamu punya rasa ke Kiki, tapi kamunya yang gak sadar," balas Upi yang seketika menghentikan gerakanku menutup buku.

Untuk sesaat, perkataan Upi itu berputar-putar di dalam kepalaku. Membuatku terdiam dan memilih tetap di posisi yang sama. Namun, isi pikiranku dipenuhi oleh ucapan Upi yang entah mengapa sulit untuk dibantah. Lantas, bagaimana jika aku benar-benar memiliki perasaan semacam itu pada Kiki? Persis seperti apa yang Upi katakan?

Oh, ayolah. Masalah hidupku bahkan sudah begitu rumit tanpa adanya percintaan dan hal-hal yang berhubungan dengan hal itu. Tetapi, sekali lagi, aku merasa begitu sulit hanya untuk menukas perkataan Upi.

***

Mayday! Mayday! Mayday!

Tabungan chapter book ini udah menipis parah. Tapi, aku belum ngetik apa-apa semenjak beberapa minggu yang lalu. Satu chapter pun nggak.

Ide sih ada, namun niat untuk ngetiknya yang gak ada— ( ⚈̥̥̥̥̥́⌢⚈̥̥̥̥̥̀)

Apakah book ini harus aku hiatuskan? (。ŏ﹏ŏ)

I luv ya!
Wina🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top