── lima ; arsenik

Kertas ulangan pun dibagikan. Nama kami dipanggil satu per satu ke depan. Sesuai dengan apa yang ada di tangan Pak Eko. Dengan tangan yang berkeringat hebat, aku pun maju ke depan kala mendengar namaku dipanggil.

"(Y/n)."

Kuambil kertas itu dari tangan Pak Eko. Beliau hanya melemparkan senyum samar padaku sesaat sebelum aku berbalik dan melangkah ke kursiku. Seusai duduk, kutatap angka yang tertera di dalam sebuah kotak tepat di sudut kanan atas.

89.

Itulah angka yang tertulis di sana. Seharusnya aku bahagia. Seharusnya aku tersenyum lebar. Mengingat pelajaran yang kuhadapi itu merupakan Fisika. Namun, nihil. Tidak ada sama sekali perasaan bahagia yang kurasakan. Yang ada hanyalah rasa takut menyelimuti diriku.

"Baiklah. Yang mendapatkan nilai tertinggi di ulangan kali ini adalah... (Y/n)! Selamat untuk (Y/n)!"

Seruan dan juga tepuk tangan memenuhi seisi kelas. Namun, aku tidak ikut tersenyum dan hanya menatap angka yang ditulis dengan tinta merah itu. Sepertinya hanya teman-temanku saja yang menyadarinya.

"(Y/n), kamu gak apa-apa? Kok sedih begitu?" tanya Amu yang duduk di sebelahku. Upi pun ikut menimbrung dengan kami.

"Aku gak apa-apa kok! Iya, aku gak apa-apa," kataku untuk meyakinkan diriku sendiri. Aku memang baik-baik saja. Ya, itulah kenyataannya.

"Yakin?" tanya Upi. Matanya memicing dan terasa mengintimidasi. Seketika membuatku bergidik.

"Iya, yakin."

Setetes cairan berwarna merah seketika terjatuh ke atas kertas ulanganku. Aku sesaat bergeming. Berusaha mencerna apa yang terjadi saat ini.

Kutolehkan kepalaku pada Amu, lalu Upi. Keduanya tampak panik dan sibuk mencari tisu. Kemudian, tisu itu pun diberikan padaku. Aku tak sempat mengambilnya. Karena apa yang kulihat setelahnya hanyalah kegelapan tak berujung.

***

Sayup-sayup, aku mendengar keributan di sekitarku. Kubuka mataku perlahan. Namun, kembali kututup ketika mendengar suara mereka semakin dekat.

"(Y/n), kamu kapan bangun?" Itu suara Amu. Dari suaranya, aku yakin ia merasa khawatir. Namun, biarkan aku menutup mataku sejenak. Aku belum ingin menatap siapapun dan kembali mengatakan bahwa aku baik-baik saja meskipun kenyataannya tidaklah demikian.

"Jangan mati, (Y/n)! Kamu belum buat surat wasiat untuk kita!" seru Upi, sepertinya. Karena hanya Upi yang bisa sedramatis itu. Ya, aku mengenal teman-temanku dengan baik. Lagi pula, aku tak memiliki apapun untuk diwariskan. Mungkin ada, jika buku-buku di kamarku termasuk hal yang bisa diwarisi.

"Lah, (Y/n) 'kan udah bangun."

Entah siapa yang mengatakan itu, namun karena hal itu juga, aku hampir saja membuka mataku. Tetapi, aku masih sempat untuk menggagalkannya. Entah mereka menyadarinya atau tidak. Kuharap tidak.

"Kamu buta, Sho? Mata (Y/n) masih merem lho!" seru Amu lagi. Mataku memang masih terpejam. Namun, secara fisik dan batin aku sudah bangun. Karena apa? Ya, karena kebisingan yang mereka buat.

"Mungkin harus dicium sama Pangeran dulu supaya bangun," kata Sho.

"Siapa Pangeran-nya?"

"Kiki."

Sesaat setelah Sho menyebut nama Kiki, sontak aku membuka mataku. Membuat mereka kembali ramai karena aku yang seketika sadar. Aku melemparkan tatapan kesal pada Sho. Yang disambut oleh seringaian sebelum ia terkikik sendiri.

"(Y/n)?! Aku kira kamu mati beneran!" seru Upi seraya memelukku. "Padahal aku berharap sama warisannya," imbuhnya.

Berterima kasihlah kalian kepada Sho atas perkataan ngaconya itu. Berkatnya, aku pun terbangun seolah-olah habis bereinkarnasi.

"Hush! (Y/n) masih hidup, tahu! Jangan gitu ah, Pi! Kalo (Y/n) mati beneran gimana?!" balas Amu tak terima. Ia juga ikut memelukku dari sisi yang berlawanan dengan Upi.

"Palingan ke isekai," celetuk Sho acuh.

Mereka pun kembali ribut. Hanya aku dan Toro yang diam di sana. Toro pun mendekatiku. Ia memang yang paling waras dalam tanda kutip di antara kami. Mengapa aku tidak menyebut namaku sendiri? Karena aku merasa bahwa diriku sudah terseret ke arus sesat yang sama dengan mereka.

"Gimana perasaanmu, (Y/n)? Kata Lin, kamu mimisan dan pingsan karena kecapekan. Emangnya kamu abis ngapain?" tanya Toro panjang lebar.

"Belajar, hehe," sahutku.

Dengan wajah tercengangnya, Upi berkata, "Ya ampun, (Y/n). Aku bahkan gak pernah belajar sampe sakit. Paling cuma sampe ketiduran terus bangun pas pagi awoakwoakok."

"Ketawanya tolong dikondisikan," komentar Sho dengan wajahnya yang datar.

Sho dan Upi hanya melemparkan tatapan sengit. Entah apa yang akan mereka lakukan nantinya. Sementara, Amu menatapku dengan serius.

"Yakin cuma gara-gara belajar? Bukan karena hal lain, (Y/n)?" tanya Amu. Sepertinya ia tampak sangsi atas jawabanku tadi.

"Yakin kok."

Aku menghela napas lega karena Amu tak bertanya lebih lanjut. Kuedarkan pandanganku sekali lagi ke sekitar. Menatap teman-temanku satu per satu. Baru saja aku menyadari suatu hal yang sangat krusial.

"Kiki ke mana? Kenapa gak ada di sini?"

Amu-lah yang menjawab, "Kita gak tau Kiki pergi ke mana. Setelah bawa kamu ke UKS, Kiki ngilang."

"Kok ilang tiba-tiba?" tanyaku heran. Tidak seperti biasanya Kiki menghilang begitu saja. Segenting apapun itu, pasti ia akan memberitahu pada kami. Ataupun salah satu dari kami.

"Ternyata banyak yang nyariin kalo aku ilang, ya."

Di ambang pintu UKS, Kiki berdiri di sana. Lengkap dengan sekantung plastik di tangannya. Entah apa itu, aku tidak tahu. Namun, melihat wajahnya yang baik-baik saja, tak dapat dipungkiri jika aku merasa lega.

"Nih, dimakan ya, (Y/n)."

"Apa nih?" tanyaku bingung. Ada sebuah plastik lagi di dalamnya. Terdapat makanan berkuah di sana. Aku tak dapat melihatnya dengan jelas karena terlalu panas untuk dikeluarkan.

"Seblak cinta dari Kiki."

"Pulang ges, pulang. Ada yang bucin kelas kakap." Sho yang berkata itu pun segera melangkahkan kakinya keluar. Disusul oleh teman-temanku yang lain. Menyisakan Upi yang belum keluar dari sana.

"Wong agi meriyang malah diwei seblak. Nu bener mah dibéré bubur atawa bungbuahan, atuh!" Hebat, Upi. Dalam satu dialog ia bisa berkata dengan dua bahasa sekaligus. (Translate: Orang lagi sakit kok dikasih seblak. Yang bener tuh dikasih bubur atau buah-buahan!)

"Aku gak ngerti, skip," sahut Kiki yang membuat Upi menggelengkan kepalanya. Kemudian, ia pun melangkah keluar mengikuti jejak yang lain.

"Ki."

"Ya, Sayang?"

"Nama aku bukan 'sayang', Ki."

Kiki hanya tertawa. Setelahnya tawanya lenyap, ia kembali menatapku dengan serius. "Kenapa, (Y/n)?" tanyanya.

"Gimana cara aku makan seblaknya?"

"Pake sendok, (Y/n). Atau mau aku suapin?" jawabnya santai.

Aku menatapnya jengah. "Bukan itu maksudku. Maksudnya tuh, masa aku makan seblak di plastik? Ini bukan es cekek, Ki."

"Bilang dong kalo itu yang kamu maksud. Maaf aja nih, aku jadi lemot kalo lagi bareng kamu," katanya.

Dari salah satu plastik lain, Kiki mengeluarkan sebuah mangkuk dari sana. Entah dari mana plastik dan mangkuk itu berasal. Tetapi karena hal tersebut aku merasa tertolong. Kini aku tidak perlu memakan seblak seperti minum es cekek.

"Nih. Aku minta dari warungnya Teteh tadi."

"Nanti dibalikin lagi, 'kan?" tanyaku memastikan.

"Nggak. 'Kan aku minta," sahutnya.

Aku menghela napas panjang. "Balikin mangkuknya nanti, setelah dicuci bersih."

"Balikinnya bareng sama kamu ya, (Y/n)?" Kiki menatapku. Sepertinya ia tak akan mengembalikannya jika tidak denganku. Aku sangat yakin akan hal itu.

"Iya, Kiki."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top