── enam ; newton

"Kenapa nilaimu cuma segini?! Apa kamu lupa sama perkataan Mama?!"

Bentakan itu masih berkumandang di telingaku. Tepat ketika aku baru saja pulang sekolah hari ini, Mama sudah berdiri di depan pintu, menyambutku. Bukan dengan sapaan dan pelukan hangat, melainkan dengan bentakan yang terasa memekakan telinga.

"Seharusnya kamu contoh Mars, kakakmu! Mars aja bisa, masa kamu nggak?! (Y/n), (Y/n). Kamu pikir untuk apa Mama capek-capek sekolahin kamu, hah?!"

Lagi-lagi kalimat itu. Tentang kakakku, Mars. Aku membencinya, sangat. Namun, tubuh dan perasaanku sudah terlalu kebal akan tindakan dan kata-kata pedasnya. Terlebih Mama. Mama selalu membelanya. Sekalipun Kak Mars yang membuat kesalahan, tetap saja ia tidak dimarahi. Justru akulah yang terkena getahnya.

Bukankah seharusnya anak kedua yang lebih disayang? Yah, hal itu hanya terjadi di novel yang pernah kubaca. Meskipun demikian, hidup si tokoh utama tetap berakhir bahagia. Namun, hidupku bukan cerita novel yang akan seindah itu. Tidak, sama sekali tidak.

"Tapi, aku dapet nilai paling tinggi di kelas, Ma." Aku berusaha membela diriku sendiri. Ah, ya. Aku memang bodoh. Aku melupakan satu hal yang benar-benar penting. Hal yang seharusnya paling kuhafal di dalam kepalaku.

Aku menyahuti perkataan Mama. Ah, tamatlah hidupku.

***

"Hei, (Y/n)."

Sapaan itu menyambutku ketika aku baru saja membuka pagar rumah pagi ini. Kiki berdiri di sana sambil bersandar pada motornya. Meskipun ia tampak tidak meyakinkan bisa mengendarai motor, namun aku pernah menagih SIM milik Kiki. Hal itu terjadi ketika pertama kali Kiki mendapatkan motor dari ayahnya dan ia langsung menawarkan diri menjadi supir—maksudku, menjadi orang yang mengantarku pulang-pergi ke sekolah. Entah SIM-nya itu hasil menembak atau tidak.

Karena aku terus-menerus merasa tidak enak hati akibat menolak tawaran Kiki untuk mengantarku tiap pagi, alhasil pagi ini aku menyetujui ajakannya. Hei, aku juga merupakan makhluk yang memiliki hati. Tidak mungkin aku terus-menerus menyakiti perasaan Kiki dengan menolak tawarannya itu. Ia bahkan sudah berbaik hati mengantarku setiap hari sehingga aku bisa menabung lebih banyak.

"Mukamu kenapa?"

Sontak aku meraba pipiku sendiri. Bekas tamparan itu masih terasa di sana. Wajar saja, bahkan dua puluh empat jam belum berlalu semenjak Mama melakukannya.

Dengan segera aku pun menggeleng dan kembali mengatakan kalimat yang terasa sangat basi di mulutku. "Gak apa-apa kok. Aku baik-baik aja, Ki."

Sepertinya Kiki tidak terlalu percaya. Buktinya, ia memicing padaku. Aku hanya menatapnya dengan wajah yang yakin. Ia tidak perlu khawatir. Karena hal inilah yang sudah biasa kualami.

"Ayo, naik. Jangan ngelamun."

Aku menghela napas lega kala Kiki sendiri yang menghentikan pembicaraan itu. Kuambil helm pemberian Kiki. Sesaat aku menatap lelaki itu menaiki motornya sendiri. Aku diam sejenak untuk menunggunya.

Seusai memakai helm, aku pun naik ke atas jok motor. Kiki melirik ke arahku melalui kaca spion. Aku pun mengangguk. Memberitahu padanya kalau aku sudah siap untuk jalan. Dengan demikian, Kiki segera tancap gas menuju sekolah.

***

Kiki itu bukanlah tipe orang yang suka kebut-kebutan di jalan. Ia mengendarai motornya selalu dengan kecepatan sedang. Yang membuat kami bisa mengobrol di sepanjang jalan. Mungkin itulah tujuan Kiki.

Namun, karena hal itu juga, aku merasa nyaman ketika diantar olehnya. Aku yakin nyawaku tetap akan utuh meskipun sudah berkendara dengan Kiki. Jika Kiki mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, dapat kupastikan aku sudah menolak ajakannya yang kedua kali. Tentu saja, lagi pula siapa yang ingin menaiki motor secepat tornado?

"Kita udah sampe, (Y/n). Sampe kapan kamu mau meluk pinggang aku? Kalo aku sih, selamanya juga gak apa-apa. Tapi, gimana kalo kamu?" Kiki menatapku jahil melalui kaca spion.

Akibat terlalu lama melamun, aku bahkan baru tersadar jika kami sudah berada di sekolah. Sontak aku segera turun dari motor Kiki. Tidak ingin menciptakan kesalahpahaman meskipun, mungkin, tidak ada yang beranggapan demikian.

"Makasih ya, Ki."

"Sama-sama, my princess."

"Geli, Ki. Sumpah," kataku sambil bergidik.

Kiki hanya tertawa. "Ya udah, kamu ke kelas gih. Aku mau ke kantin dulu."

"Oke. Hati-hati."

Dengan langkah yang santai, aku pun berjalan menuju kelas. Aku menyusuri koridor sekolah yang membawaku menuju kelas. Suasana yang tidak sepi, tetapi tidak ramai pula menyambutku ketika aku tiba di depan kelas.

Namun, ada yang ganjil.

Tidak ada pelukan dan sapaan hangat dari Amu pagi ini. Sontak aku membuka pintu kelas dalam satu kali sentakan. Kemudian, aku mendapati Amu yang tengah dikerumuni oleh teman-temanku yang lain.

"Amu, kamu kenapa?" tanyaku heran dan juga cemas. Wajar saja, perubahan sikapnya ini sangatlah drastis. Yang pastinya disebabkan oleh suatu hal fatal.

"(Y/n), Amu dalam bahaya," jawab Upi pelan.

Aku menoleh dan menatap pada Upi. Menunggu penjelasan lanjut dari gadis itu. "Bahaya kayak gimana maksudmu, Pi?" Aku kembali bertanya. Saat ini aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi.

"Tadi pagi Amu cerita ke aku. Katanya, peralatan menggambarnya dibuang sama ibunya. Akibat dari Amu yang memberontak pas ibunya bilang kalau beliau mau Amu jadi dokter," jelas Upi dengan raut wajah yang sulit kuartikan. Namun, dapat kurasakan dari ucapannya bahwa ia juga merasa sedih.

Tunggu, apakah ini karena perkataanku waktu itu?* Perkataan yang kuucapkan sesuai dengan isi pikiranku sendiri. Yang pada akhirnya membuat Amu menderita akibatnya. Jika benar, maka akulah yang harus bertanggung jawab di sini.

Aku hendak berlari ke luar kelas. Namun, niat itu gagal dikarenakan tasku ditarik oleh seseorang. Aku menoleh ke belakang untuk memarahi siapapun itu pelakunya. Kala mendapati Sho dengan wajah datarnya itu, aku urung melakukannya. Aku takut pada temanku yang satu itu. Lebih tepatnya, aku takut pada ular yang sering kulihat ketika jam ekstrakuriler. Aku yakin jika Sho bisa berbahasa ular seperti Harry Potter dan akan menyuruh ular itu melilitku jika aku berbuat macam-macam.

Oke, pikiranku mulai kacau.

"Kamu mau ke mana, (Y/n)?" tanya Sho. Yang kuberikan padanya hanyalah cengiran di wajah tak berdosa. Itulah satu-satu jurus ampuh yang bisa kulakukan.

"Ke rumah Amu," jawabku.

Mendengar namanya disebut, Amu sontak menatapku. Mungkin ia khawatir jika aku akan memaling rumahnya. Mungkin. Namun, Amu yang baik tidak mungkin berpikiran seperti itu. Aku yakin.

"Kamu mau ngapain ke rumahku, (Y/n)?" Kini giliran Amu yang bertanya. Ia menatapku serius. Oke, sepertinya aku juga harus menjawab dengan serius seperti Amu.

"Mau geludin ibu kamu, Mu."

Itu sudah cukup serius, bukan?

Namun, ucapanku itu disambut oleh gelak tawa Upi. Sementara, Toro dan Sho hanya menatapku seolah-olah aku adalah makhluk primitif. Hei, aku sedang sangat serius saat ini.

"(Y/n)... (Y/n). Kenapa gak bilang dari tadi?" Upi menatapku dengan antusias. Ia menggulung lengan seragamnya dan menampilkan lengan bagian atasnya. "Hidup, (Y/n)!"

"Prik banget," komentar Sho dengan wajah datarnya itu yang tak pernah berubah.

Namun, percayalah. Sekali saja Sho tersenyum, kalian pasti telah mengabadikannya dengan cara di-screenshot, bukan? Mengakulah kalian, wahai para pecinta ikemen. Karena author dari cerita ini juga melakukan hal yang sama awoakwoakok.

"Ayo, (Y/n)!"

Mengabaikan Amu yang sudah panik bak melihat hantu pocong yang berjalan kaki, aku dan Upi segera pergi ke rumah Amu. Dengan angkot, tentunya.

Jangan heran mengapa aku rela bolos demi Amu. Demi masalah yang bahkan bukan merupakan masalahku sendiri. Karena aku tidak bisa melakukan hal yang sama pada pergumulan yang sedang kuhadapi.

Miris.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top