── enam belas ; young

"Tuh 'kan. Kamu ngelamun lagi."

Tersentak, seketika lamunanku yang terasa begitu panjang pun buyar. Tatapanku langsung tertuju pada Amu begitu lamunanku lenyap tak bersisa. Ia memandangku dengan jengah. Sepertinya Amu sudah cukup lelah karena aku yang terus-menerus melamun selama beberapa hari belakangan ini.

"Iya, nih. Jadi kebiasaan deh." Aku tertawa di akhir ucapanku sendiri. Lalu, kembali melamun. Dengan tatapanku yang tertuju ke atas meja.

"(Y/n), (Y/n)! Pak Eko udah dateng!"

Seruan itu tentu saja mengejutkanku. Kelas yang sebelumnya sunyi kini terasa sama saja seperti sesaat yang lalu. Eh?

"Lah?"

"Nah 'kan, ketauan deh kamu ngelamun lagi, (Y/n). Kenapa sih ngelamun mulu? Upi lagi gak ada di sini. Nanti kalo kamu kesurupan, gak ada yang bisa nge-ruqyah kamu, lho!" seru Amu. Harus kuakui, ucapannya itu sudah mulai melantur ke mana-mana.

"Maaf, maaf. Kebiasaan, hehe," ujarku merasa bersalah. Karena sepertinya Amu berusaha keras agar aku tidak melamun dan berakhir mengabaikan dirinya.

"Amu!"

Suara itu menggema di dalam kelas yang sunyi. Kami sama-sama menoleh ke arah pintu. Di mana seorang lelaki bersurai biru sedang berjalan mendekat. Melihat wajah dan surai birunya itu, seketika darahku berdesir. Diikuti oleh kecepatan detak jantungku yang menggila dengan sendirinya.

"Kenapa, Ki?" Amu-lah yang bertanya. Tentu saja, karena dirinya yang dipanggil oleh Kiki. Bukan aku.

"Sini. Ikut aku." Setelah berkata demikian, barulah Kiki tersadar bahwa ada aku di sebelah Amu. Dilihat dari kepalanya yang tertoleh padaku. "Eh, (Y/n). Sori gak lihat. Aku pinjem Amu-nya dulu bentar ya."

Dengan wajahku yang masih kurang mengerti, aku pun mengangguk. Mengiyakan permintaan Kiki yang sebenarnya begitu mudah dipahami dan sederhana. Namun, entah mengapa dadaku terasa sesak dan membuatku sulit untuk menatap lurus ke arah Kiki dan Amu yang tengah berjalan ke luar kelas.

Ah, aku tahu. Hanya ada satu alasan mengapa aku merasa demikian. Yakni karena Kiki menyukai Amu, bukan aku.

***

Belakangan ini aku lebih sering melamun. Lebih tepatnya berhalusinasi. Mengkhayal tentang hal yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Hal yang, mungkin, lebih baik tidak diketahui.

Berhalusinasi tentang Kiki yang menyukai diriku, bukan Amu.

Mungkin aku ini payah dan pengecut. Yang bisa kulakukan hanyalah memendam perasaanku sendiri. Memilih untuk menguburnya dalam-dalam daripada menyatakannya secara langsung kepada Kiki. Karena aku yakin seratus persen, Kiki sudah pasti akan menolak pernyataan suka dariku.

Ah, sungguh klise, namun menyakitkan.

Pada akhirnya, aku pun berhalusinasi. Menganggap semua perhatian yang Kiki berikan padaku ialah benar karena ia memiliki sebuah perasaan yang tertuju pada aku. Ia menyukaiku, karena aku seorang wanita. Bukan sebagai temannya sejak dahulu kala.

Yang bisa kulakukan selama ini ialah berpura-pura bahwa aku tidak memiliki perasaan apapun terhadap Kiki. Jikalau mempunyai rasa suka sekalipun, rasa suka itu hanyalah sebatas di antara teman. Tidak lebih, tidak kurang.

Ini memang merupakan kisahku. Tentang aku yang bodoh dalam mengungkapkan perasaan, tetapi begitu pandai berakting untuk menyembunyikannya. Lantas, yang kupertanyakan ialah: sampai kapan aku harus menyembunyikan perasaan tersebut dari teman-temanku? Terlebih, dari Kiki?

"(Y/n), ayo pulang."

Aku yang sebelumnya sedang menatap lurus ke arah buku, seketika mendongak. Mendapati Sho yang tengah berdiri di sisi mejaku dengan tas ransel di bahunya.

Ah, aku baru teringat dengan keberadaan Sho. Ia juga merupakan salah satu temanku. Sekaligus sebagai supir Greb pribadiku ketika pulang sekolah. Sho-lah yang selalu mengantarku pulang.

Sontak aku pun mengangguk. "Ayo, Sho."

Kami berjalan beriringan ke luar kelas. Melewati koridor yang sudah tidak terlalu ramai. Hanya menyisakan segelintir murid yang masih memiliki kesibukan atau urusan mereka masing-masing.

Setibanya di area parkir motor, tatapanku tidak langsung tertuju pada Sho dengan motornya. Melainkan pada dua insan yang tengah berdebat tak jauh dari tempat aku dan Sho berada. Amu dan Kiki.

Sepertinya Kiki tengah berusaha membujuk Amu untuk pulang bersama. Namun, sama seperti sebelum-sebelumnya, Amu selalu menolak. Membiarkan Kiki berakhir pulang sendiri tanpa keberadaan Amu di sepanjang perjalanan pulang.

Itulah hal aku tahu selama ini. Jika aku berada di posisi Amu, tanpa berpikir panjang aku akan langsung mengiyakan ajakan pulang bersamanya. Tetapi, pada akhirnya itu hanyalah sebatas 'seandainya' belaka. Karena faktanya, aku bukanlah Amu dan Kiki tidak pernah menyukaiku lebih dari seorang teman.

Sakit, bro.

"(Y/n), jangan lihat ke sana. Ada yang lagi bucin."

Sontak fokusku kembali tertuju pada Sho. Temanku itu sudah memakai helmnya. Yang membuatku tidak bisa melihat bagaimana ekspresi wajahnya saat ini. Meskipun sebenarnya aku cukup penasaran dengan air muka Sho kala ia berkata demikian padaku. Tetapi, sepertinya aku bisa menebaknya.

"Eh, iya," kataku baru tersadar dari lamunanku sendiri. Sho pun naik ke atas motornya. Ia memberikan salah satu helm lain padaku. Menyuruhku untuk memakainya secara tidak langsung.

Seusai mengenakan helm itu, aku pun naik ke atas motor. Menemukan posisi duduk yang nyaman dan meletakkan kedua tanganku pada pinggang Sho. Ketika motor milik Sho melaju perlahan, tanpa bisa kuhindari tatapanku kembali tertuju pada Amu dan Kiki. Apa yang kulihat di sana seketika membuatku merasa terkejut.

Amu tengah duduk di atas jok motor milik Kiki. Sebelum sesaat kemudian mereka pun melaju.

Cengkeraman tanganku pada pinggang Sho kian mengerat. Setelah melihat apa yang baru saja terjadi, aku tahu sudah tak ada tempat lagi bagiku.

***

"Makasih udah anterin aku, Sho."

Kalimat itu kuucapkan seraya memberikan helm yang sebelumnya kukenakan pada Sho. Ia pun menerimanya sambil mengangguk.

"Hati-hati, (Y/n)."

Mendengar apa yang Sho katakan, sontak aku terkekeh pelan. "Aku udah di depan rumahku sendiri, Sho. Kamu yang seharusnya hati-hati di jalan pulang nanti."

"Iya."

Helm yang sebelumnya dilepas, kini kembali dikenakan. Agar aku bisa melihat wajahnya, Sho pun membuka kaca helm yang ia pakai. Ia menatapku dan aku pun menatapnya balik. Alhasil, kami saling menatap selama beberapa saat.

"Hmm... Sho? Kamu gak mau pulang?" Akhirnya, aku pun memutuskan untuk memecahkan keheningan yang sudah cukup lama itu. Ditatap seperti demikian oleh Sho membuatku merasa sedikit canggung. Beruntung mulutku masih bisa mengatakan satu kalimat pertanyaan itu.

"Aku pulang dulu."

Aku pun mengangguk. Dengan tangan yang melambai, aku berkata, "Hati-hati di jalan, Sho."

Rupanya Sho juga membalas lambaian tanganku itu. Sebelum ia kembali melaju dengan motornya itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top