── empat ; induktor
"Kita akan ulangan hari ini."
Lima kata itu sudah cukup membuatku terbangun dari tidur. Aku yang sebelumnya sedang menelungkupkan kepala di atas meja, kini sudah menatap lurus ke depan dengan mata terbuka lebar. Tepat ke arah Pak Eko yang berdiri di depan kelas.
Belajar semalaman membuatku merasa mengantuk. Terlebih ketika mendengar perkataan Pak Eko. Tetapi, ketika beliau mengatakan tentang ulangan mendadak, aku tidak bisa lebih terkejut.
"Mu, gimana nih?! Aku gak belajar apa-apa!"
Bukan aku yang berseru demikian. Melainkan Upi yang tengah merengek pada Amu. Jangankan merengek. Amu sendiri pun memasang ekspresi yang tak jauh berbeda dengan Upi. Entahlah, mungkin Amu tampak sedikit... pasrah?
"(Y/n), (Y/n)! Tolong ajarin aku! Ya, ya, ya? Please!" seru Amu yang kini justru merengek padaku. Aku hanya terkekeh melihatnya. Tentu saja, aku sama sekali tak keberatan jika harus mengajarkannya.
"Iya, boleh kok." Aku melemparkan senyum ke arahnya. Lalu, aku pun menoleh pada Upi. "Kamu gak mau belajar juga, Pi?"
"Sejujurnya aku males karena aku udah yakin banget bakal gagal. Tapi, karena kamu yang nanya, jadi iya deh mau." Dengan derai air matanya (aku tidak tahu itu benar atau bohongan), Upi pun ikut belajar bersama kami.
Kurasa, waktu setengah jam cukup untuk memahami materi Fisika tentang induksi elegtromagnetik ini, mungkin. Karena setelah aku melihat bagaimana wajah kedua temanku itu, aku menjadi kurang yakin.
"(Y/n)! Mau aku ajarin gak?"
Aku yang sedang menjelaskan pada Amu dan Upi pun menoleh. Mereka juga melakukan hal yang sama. Kemudian, aku mendapati Kiki yang berdiri di belakangku.
"Lagi belajar ya?" tanyanya lagi.
Aku pun mengangguk. "Mau ikutan, Ki?" tawarku.
Entah mengapa, setelah aku mengatakan kalimat tadi, Amu dan Upi sontak saling tatap sebelum merapikan semua peralatan tulis dan buku mereka di atas meja. Aku hanya bisa menatap mereka bingung. Keningku mengernyit. Lagi-lagi, kejadian ini terulang.
"Lho, kalian mau ke mana?" tanyaku.
"Kita mau minta diajarin sama Ceu Qoqom. Dadah, (Y/n)!"
Seusai berkata demikian, mereka benar-benar minta tolong pada Ceu Qoqom. Aku tidak tahu apa alasannya, namun yang pasti mereka menjauh dariku, lagi.
Menyadari hal itu, membuatku merasa lesu. Bahkan keberadaan Kiki yang duduk di hadapanku (di tempat Amu dan Upi tadi) kuabaikan begitu saja. Entahlah, baik Amu maupun Upi sering tiba-tiba menjauhiku ketika Kiki berada di dekat kami.
Tunggu sebentar. Sepertinya aku menyadari suatu hal. Hal yang penting dan merupakan akar permasalahannya selama ini.
Rupanya Kiki-lah yang menjauhi kami! Karena kemunculannya itu, kedua temanku tiba-tiba menjauhiku. Mereka meninggalkanku di sini dan membiarkanku berdua dengan Kiki. Mengapa aku terlalu bodoh untuk sekedar menyadarinya?
"(Y/n)? Kamu kenapa?"
Aku kembali tersadar dengan keberadaan Kiki di hadapanku. Ia tampak sudah siap untuk belajar sekarang. Dengan pensil di tangannya dan buku yang terbuka di atas meja.
"Nggak apa-apa, Ki. Tapi, maaf. Kayaknya aku gak bisa belajar sama kamu sekarang. Maaf banget," kataku dengan wajah bersalah.
Jujur, aku pun merasa tak enak untuk menolak Kiki. Apalagi setelah melihat wajahnya yang berubah menjadi kecewa. Sepertinya ia merasa kecewa karena aku yang menolak belajar bersamanya. Padahal aku pula yang menawarkan. Oh, astaga. Kini aku semakin merasa bersalah.
"Gak apa-apa, (Y/n). Semangat ulangannya!"
Setelah berkata demikian, Kiki pun kembali ke tempat duduknya. Aku menatapnya sesaat. Kemudian, memfokuskan isi kepalaku dengan materi ulangan hari ini. Meskipun pada akhirnya, aku tidak bisa fokus juga.
Maaf, Ki.
***
Untuk pertama kalinya, aku tidak pulang bersama dengan Kiki. Teman-temanku yang lain menatapku bingung bercampur heran. Terlebih Kiki sendiri. Ia pun mencegahku pergi dan bertanya mengapa. "Gak apa-apa kok, Ki. Jangan terlalu dipikirin, ya." Itulah jawabanku. Aku tidak tahu apakah Kiki masih memikirkannya atau tidak. Namun, aku sangat berharap ia tidak akan memikirkannya.
Ketika aku melangkah masuk ke dalam rumah, aku mendapati Mama sedang duduk di ruang tengah. Tidak hanya Mama di sana. Namun, juga terdapat seseorang yang paling kubenci.
Kakakku.
"Mars, kamu baru pulang, Nak?"
Namanya memang bagus, namun tidak dengan sifatnya itu. Aku kerap kali dibuat kesal olehnya. Mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa aku bisa kebal dengan sifat jahil Kiki.
"Iya, Ma."
Ada yang aneh. Kakakku itu seharusnya masih kuliah di luar negeri saat ini. Beasiswanya pasti belum berakhir. Namun, kini ia berdiri di depanku dengan angkuhnya. Menatapku melalui tatapan remehnya itu.
"Kamu baru pulang sekolah, (Y/n)?"
Aku mengangguk singkat dan menjawab, "Iya."
"Oh, gitu." Ia berbalik dan kembali menatap Mama. "Aku ke kamar dulu ya, Ma. Mau belajar," pamitnya sebelum benar-benar lenyap dari pandangan kami.
Mama pun mengangguk. Kemudian, mengembalikan tatapannya ke arahku. Ia menatapku lurus. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan olehnya. Namun, apapun itu yang Mama pikirkan, aku merasa tidak ada satu pun yang bagus. Bukan karena aku berpikirkan negatif. Tetapi, firasatku berkata demikian.
"Aku pulang, Ma."
Mama tidak menyahut. Beliau masih berdiri di hadapanku sambil bersidekap. Aku merasa canggung saat ini, jujur. Harus kuakui kalau hubunganku dengan keluargaku sendiri tidak terlalu baik. Ayahku telah tiada ketika aku berusia sepuluh tahun. Hanya tersisa kakak laki-lakiku dan juga Mama.
Seharusnya keduanya menjadi seseorang yang menopangku. Namun, aku kembali merasa ditampar oleh fakta yang sebenarnya ada. Tidak ada pelukan hangat atau ucapan-ucapan yang bisa memberiku semangat. Yang ada hanyalah caci maki jika nilai ulanganku tidak mencapai angka sembilan puluh.
Ada kejadian yang lebih parah di semester pertama tahun lalu. Saat itu, nilai raporku turun beberapa poin. Membuat peringkatku di kelas pun ikut menurun. Aku tidak bisa marah ketika Sho-lah yang mendapatkan peringkat pertama itu. Mengingat Sho pun telah berjuang sama sepertiku untuk meraih peringkat pertama. Yang kuingat saat itu hanyalah rasa panas di pipi kananku ketika aku tiba di rumah. Haha, sungguh menyedihkan.
"Aku ke kamar dulu, Ma."
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, aku segera beranjak ke kamarku sendiri. Membuka pintu, melempar tas sekolah ke sudut kamar, lalu membanting tubuhku ke atas tempat tidur. Seketika aku bisa meluapkan kepenatanku.
Ya, hanya sesaat sebelum aku kembali menghadapi kenyataan pahit.
***
[Mars, as your big brother]
▭▬▭▬▭▬▭▬
Maaf kalau gambarku tidak sesuai ekspektasi kalian (╯︵╰,)
Memangnya apa yang bisa kalian harapkan dari aku yang tukang menghalu ini?(;へ:)
Btw, terima kasih sudah membaca cerita ini! Aku sungguh-sungguh berterima kasih!! ◝(⑅•ᴗ•⑅)◜♡
I luv ya!
Wina🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top