── empat belas ; euler
"(Y/n), kamu mau pulang bareng?"
Kembali aku disadarkan pada realita saat ini. Aku mengerjap beberapa kali. Menatap Sho yang juga tengah menatapku dengan tatapan yang terlihat membingungkan.
"Sho, kamu yakin? Rumah kita 'kan gak searah," ujarku mengingatkannya. Barangkali Sho lupa. Mungkin karena dirinya lupa, maka ia pun mengajakku pulang tiba-tiba.
"Gak mau pulang bareng?" tanyanya lagi. Sebentar, mengapa percakapan kami hanya berupa pertanyaan yang dibalas dengan pertanyaan?
"Bukan gitu." Aku menggeleng. "Tapi, kamu yakin? Nanti bensinmu abis lho."
"Kalo udah abis, ya diisi ulang. Gak perlu dibuat repot," katanya santai. Ia memainkan kunci motor di tangannya.
Pada akhirnya, aku pun menerima ajakan pulang dari Sho. Karena sepertinya lelaki itu pun tidak menginginkan penolakan, kurasa.
Ketika aku melangkah ke luar kelas bersama Sho, aku merasa tatapan tajam dari balik punggungku. Kala aku menoleh, kudapati Kiki-lah yang tengah menatapku demikian. Mengapa aku bisa menyimpulkan seperti itu? Karena hanya Kiki seorang yang menatap diriku dari kejauhan, sementara Amu, Upi, dan Toro segera menariknya menjauh.
Melihat hal itu, aku hanya bisa meringis. Seseorang yang dulunya menjadi orang yang selalu mengantar pulang dan pergi ke sekolah kini mendadak berubah menjadi orang asing. Lalu, orang yang tak pernah kusangka akan mengajakku pulang bersama, tiba-tiba melakukan hal itu.
Aku sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi.
***
Di sinilah aku sekarang. Di depan rumahku sendiri. Bukan dengan motor Yamaha milik Kiki, melainkan bersama dengan lelaki bersurai hitam dan motor miliknya.
Motor Sho berhenti tepat di depan pagar rumahku. Sontak aku pun turun dengan hati-hati. Mengingat aku tidak ingin tampak bodoh karena terjatuh dari atas motor yang tidak biasa kunaiki. Setelahnya, aku melepas helm dan memberikannya pada Sho. Beruntung kali ini kaitan helm itu tidak tersangkut ke manapun.
"Makasih udah anterin aku pulang, Sho."
Sebelum menyahuti ucapanku, Sho melepas helm yang dikenakannya. Bagus ia melakukan hal itu. Karena aku sendiri tidak ingin berbicara dengan helm berwarna merah itu. Yang sejujurnya tampak keren. Helmnya, maksudku.
"Sama-sama."
Sho mengusap surai hitamnya ke belakang. Jari-jarinya menyusup ke dalam rambutnya sendiri. Yang seketika membuatku terpaku menatap ke arahnya. Mengapa seketika Sho tampak begitu menawan? Padahal selama ini aku merasa takut pada ular peliharaannya itu. Juga pada Sho sendiri. Khawatir ia bisa melakukan parseltongue (bahasa ular) dan melakukan hal-hal di luar ekspektasi.
Astaga, apa yang kupikirkan?
"Kamu mau mampir dulu, Sho?" tawarku. Mungkin Sho memerlukan energi tambahan sebelum menempuh perjalanan pulang ke rumahnya. Mengingat rumahnya itu berada di arah yang berlawanan dengan rumahku.
Namun, Sho justru menggeleng. "Nanti aja, (Y/n). Lagi ada yang terbakar api cemburu, soalnya." Ia terkekeh lalu kembali memakai helmnya. "Aku pulang dulu."
Sejenak aku memikirkan perkataan Sho itu. Tetapi, sesaat kemudian aku mengangguki pamitannya. "Hati-hati, Sho."
Setelahnya Sho melesat pergi dengan motornya. Aku pun berbalik dan membuka pagar. Kulemparkan tatapanku ke arah rumah yang berdiri kokoh di sebelah rumahku. Sekilas, aku melihat tirai yang menutup jendela itu bergerak sesaat. Sebelum benar-benar diam seperti itu.
Apa aku salah lihat?
***
Pelaksanaan SBMPTN hanya tersisa beberapa minggu lagi. Jika dibulatkan, kurang lebih ada satu bulan. Dalam waktu satu bulan itu, aku harus belajar mati-matian. Bukan karena aku begitu mencintai hal bernama belajar, melainkan karena aku membutuhkannya. Itu saja.
Toh aku juga bukan merupakan si maniak belajar. Jika diingat-ingat kembali, aku hanya belajar di saat aku akan menghadapi ulangan saja. Yah, ini bukan hal yang patut ditiru. Namun, inilah diriku. Aku memiliki suatu love-hate relationship dengan diriku sendiri. Terkadang aku mencintai diriku dan juga membencinya di saat yang sama. Namun, tentu saja lebih besar kuantitas kebencian itu daripada rasa cintanya. Jangan heran mengapa demikian.
Suara kertas yang dibalik terdengar di kamar saat ini. Entah mengapa, aku menyukai suara yang dihasilkan ketika buku dibuka dan dibolak-balik. Mungkin hal ini aneh, namun faktanya seperti itu.
Atensiku teralihkan pada pintu kamar yang mendadak terbuka. Menampakkan wajah kakakku di baliknya. Di tangannya, terdapat sebuah mug yang tampak menguarkan asap ke udara. Yang menandakan bahwa apapun isi dari mug itu berada di suhu tinggi.
"Nih, minum."
Kak Mars meletakkan mug itu dengan hati-hati ke atas meja. Tepat di sisi buku tebal yang tengah terbuka. Kini aku bergantian menatap isi mug tersebut dan wajah kakakku sendiri.
"Itu isinya cokelat hangat," ujarnya tiba-tiba. Bahkan sebelum aku bertanya. Yah, aku memang hendak bertanya hal itu. Namun, Kak Mars yang mengatakannya lebih dulu telah membungkam pertanyaan tersebut kembali masuk ke dalam kerongkonganku.
"Siapa yang buat, Kak?" Kini pertanyaanku belum sempat dijawab lebih dahulu oleh Kak Mars. Sepertinya ia tidak menduga jika pertanyaan demikian akan kutanyakan. Dilihat dari sirat terkejut yang sekilas tampak pada wajahnya.
Ia menghela napas panjang. Seolah-olah kepalanya itu baru saja memikirkan masalah yang begitu rumit. "Kakak yang buat. Cepetan diminum selagi masih hangat," katanya cepat.
Mendengar jawabannya yang terburu-buru itu, aku sontak tersenyum. Kuusap bibir mug tersebut dengan perlahan. Lalu, kembali aku menatap ke arah Kak Mars. "Makasih ya, Kak. Pasti aku abisin!"
"Ya, udah. Bagus. Kakak keluar dulu."
Seusai berkata demikian, Kak Mars benar-benar berlalu dari kamarku. Suara pintu yang ditutup terdengar di luar. Menunjukkan bahwa kakakku itu sudah masuk kembali ke kamarnya sendiri.
Sementara, aku sendiri masih sibuk menatap mug yang berdiri manis di atas meja belajar. Kusesap isinya perlahan. Seketika memberikan rasa hangat yang mengalir di kerongkongan hingga ke lambung. Tentunya dengan dibentuk sebuah senyum yang hangat, sehangat cokelat panas itu.
***
Kutatap layar ponselku sendiri dengan tatapan sendu. Aku tidak tahu kapan. Namun, yang pastinya ponsel itu tiba-tiba telah berubah bentuk menjadi serpihan. Membuat benda pipih tersebut sudah tak bisa diselamatkan.
Sepertinya untuk hari ini aku terpaksa tidak membawa ponsel ke sekolah.
Ketika aku keluar dari kamar, rupanya Kak Mars pun melakukan hal yang sama. Ia menatapku sekilas. Aku pun sontak menyapanya lebih dulu. Yang dibalas olehnya.
"Kamu mau berangkat ke sekolah sekarang, (Y/n)?" tanyanya.
Aku mengangguk singkat. Sarapan sudah dimakan habis oleh kami, termasuk Mama. Sebelumnya aku hendak mengambil tas ranselku di kamar. Di saat itulah ponsel di tanganku tergelincir dan menjatuhkan diri ke atas lantai begitu saja. Mungkin ia lelah memiliki majikan sepertiku. Majikan yang jarang menggunakan ponselnya sendiri.
"Iya, Kak. Kakak mau ke mana?" tanyaku balik. Sangat jarang Kak Mars pergi di saat yang sama denganku. Ia lebih sering pergi ketika aku sudah berangkat lebih dahulu.
"Kakak ada urusan. Mau dianterin ke sekolah gak?" tawar Kak Mars sambil memasang jam tangan di pergelangan tangan kirinya.
"Boleh, Kak. Gak ngerepotin, 'kan?"
"Nggaklah. Makanya Kakak nawarin. Buruan jalan! Nanti telat!" serunya yang seketika mengejutkanku. Aku pun mengikuti titahnya dan mulai mengenakan sepatu.
"Kita pergi dulu, Ma."
"Dadah, Mama." Aku melambai singkat pada Mama. Meskipun aku tahu bahwa lambaian tanganku itu tak terbalas. Namun, aku tetap melakukannya demi tata krama dan sejenisnya.
Kini aku sudah duduk manis di dalam mobil milik Kak Mars. Tepatnya di sisinya yang duduk di balik kemudi. Aku menatap pantulan dirinya yang ada di permukaan kaca jendela. Termasuk wajahku sendiri.
Entah mengapa, kini mendadak ada banyak orang yang tiba-tiba ingin mengantar ke sekolah atau pulang ke rumah. Sungguh lucu, memang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top