── dua puluh ; niels
Hujan turun tepat ketika bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Aku mendesah kecewa karena itu. Beberapa murid lain pun mungkin merasa demikian. Dilihat dari bagaimana raut wajah mereka saat ini.
Bukan karena aku tak membawa payungku, aku jadi merasa demikian. Melainkan sebab hujan, membuat otakku kembali teringat dengan kejadian beberapa waktu lalu. Lebih tepatnya beberapa bulan yang lalu.
Saat itu, hujan pun turun. Tatkala ia menumpahkan airnya ke atas permukaan Bumi, aku tidak sedang seorang diri seperti sekarang ini. Ada seseorang yang menemaniku. Menunggu hujan berhenti bersama-sama. Juga, menunggu dirinya peka akan perasaan yang sudah lama kupendam ini.
Well, pemikiran yang terakhir itu benar-benar mustahil. Kiki tidak akan pernah menolehkan wajahnya padaku. Berpaling dari Amu dan memilih aku. Itu adalah satu dari ratusan ribu juta kemungkinan yang bisa terjadi. Yang artinya, sangat-sangat tidak mungkin akan terjadi seperti demikian. Hanya mungkin jika Tuhan-lah yang bertindak.
"Jangan melamun, (Y/n)."
Kata-kata itu datang bersamaan dengan tepukan di bahuku. Aku pun menoleh ke sisi kanan. Yang kemudian mendapati Sho sedang berdiri di sana. Dengan kedua tangannya di dalam saku seragam. Ia telah mengenakan jaket yang biasa ia pakai.
"Eh, Sho. Kok belum pulang?" tanyaku. Mulai membuka percakapan yang tak seberapa ini.
"Kamu lupa? Sekarang 'kan aku yang anter kamu pulang."
Ah, rasanya aku ingin menepuk dahiku sendiri. Bagaimana aku bisa lupa jika Sho-lah yang selalu mengantarku pulang? Ia sudah seperti supir pribadiku. Bahkan, saat ini Sho juga mengantarku ke sekolah. Lama-kelamaan, temanku itu benar-benar akan berubah profesi menjadi supir pribadiku.
Memikirkan asumsi gila itu, aku pun terkekeh. Kemudian barulah tersadar bahwa Sho masih berdiri di sisiku. Yang membuatku sontak menghentikan tawa.
"Kamu gak mau pulang? Mau nginep di sekolah?"
Lontaran pertanyaan itu membuat aku kembali fokus ke lawan bicaraku. Sho masih setia berdiri di sebelahku. Dengan kedua tangan yang tetap berada di dalam sakunya.
"Nggaklah, Sho. Ayo pulang," sahutku disertai cengiran kuda.
Dengan spontan, aku menarik tangannya perlahan. Mengajaknya ke area parkir sekolah yang tidak terlalu luas. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Sho kala aku menggenggam tangannya. Namun, dapat kurasakan kalau genggaman itu kian mengerat.
Atau... hanya khayalanku semata?
***
Sesampainya di rumah, aku melihat keadaan rumah yang gelap. Lampu ruang tengah bahkan tidak dinyalakan. Yang membuatku berpikir bahwa tidak ada orang di rumah saat ini.
Seorang diri di rumah bukanlah pilihan buruk. Bahkan, jika memungkinkan, aku lebih memilih untuk tinggal sendiri saja. Selain karena aku ingin menjadi mandiri, ada alasan lain yang paling kuat. Alasan yang sepertinya tak akan bisa dibantah begitu saja.
Tentu saja, alasannya adalah agar aku bisa jauh dari keluargaku.
Bukan karena aku membenci Mama dan Kak Mars. Melainkan karena aku merasa bahwa keberadaanku di hidup mereka adalah sebuah gangguan. Seperti hama di tanaman. Tanaman tidak akan tumbuh subur jika terdapat hama di sana. Begitu pula dengan hidup mereka. Mereka tidak akan bahagia jika aku masih berada di tengah-tengah kehidupan mereka.
"Baru pulang?"
Aku hampir saja terjatuh dari anak tangga yang sedang kunaiki. Beruntung, aku belum menaikinya terlalu jauh. Jikalau aku terjatuh sekalipun, aku tidak akan terluka parah dan menyulitkan orang lain.
Kala aku menoleh, aku mendapati bahwa Kak Mars-lah yang bertanya. Lampu di ruang tengah pun telah dinyalakan. Sepertinya Kak Mars yang menyalakannya. Namun, mengapa aku tidak menyadari keberadaannya sejak tadi?
"Iya, Kak," jawabku pelan. Harus kuakui, keadaan benar-benar canggung saat ini. Mengingat aku hampir tidak pernah berbicara panjang lebar dengan kakakku sendiri. Jadi, aku bahkan tidak tahu harus berkata apa selain menjawab pertanyaannya itu dengan singkat.
"Kamu udah makan belum?" Kak Mars bertanya lagi. Membuatku urung untuk pamit dan lanjut melangkah ke atas, ke kamarku.
Aku pun menggeleng. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku makan. Ah, yang kuingat hanyalah sebungkus roti pemberian Sho tadi siang. Di kala istirahat sedang berlangsung. Setelahnya, aku tidak merasa jika diriku memakan sesuatu. Pantas saja, maag-ku sering kambuh.
"Kita makan dulu."
Kak Mars melangkah mendekatiku. Aku sontak melangkah mundur. Hampir saja aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Namun, gerak refleksku bertindak lebih cepat. Aku mencengkeram pegangan pada sisi tangga.
"Gak usah, Kak. Aku juga gak laper kok," tolakku. Jujur, aku merasa bingung serta heran atas perubahan sikap Kak Mars saat ini. Sangat tidak biasa jika ia bertindak seperti sekarang.
"Kakak gak terima penolakan. Apa kamu lupa kalo kamu punya penyakit maag? Kenapa gak makan pas di sekolah tadi?"
Lontaran perkataannya itu membuatku mengerjap sesaat. Yang seketika mengingatkanku di saat aku memuntahkan isi perutku kala itu. Kak Mars pun bertindak demikian. Namun, aku tidak begitu menyadarinya karena terlalu sibuk mengeluarkan isi perutku sendiri.
"Maaf, Kak. Tapi aku emang bener-bener gak sengaja untuk gak makan," ujarku pelan.
Terdengar helaan napas Kak Mars. Mungkin ia lelah karena aku yang sulit diatur ini. Sifatku yang seperti itu pun pasti karena faktor genetika dari Mama dan Papa. Jadi, jangan salahkan aku. Benar, 'kan?
"Ayo. Kita makan di luar aja," katanya seraya menuntun tanganku ke luar rumah.
Ia sempat mengambil kunci rumah dan satu buah kunci lain yang menggantung di sebelahnya. Yang ternyata, kunci itu merupakan kunci mobil milik Kak Mars. Aku pun disuruh untuk masuk ke dalam. Tidak secara langsung. Namun, karena gerakan Kak Mars yang membukakan pintu untukku, sekilas ia memang menyuruhku untuk duduk di dalam sana.
"Kenapa kita gak masak aja, Kak? 'Kan sayang uang Kakak kalo dipakai makan di luar," tanyaku bingung, kala Kak Mars baru saja duduk di balik kemudi. Mengingat dirinya yang sedang sibuk kuliah, seharusnya ia tidak memiliki banyak uang. Seharusnya.
"Emangnya kamu bisa masak? Palingan cuma masak indomie atau air aja, 'kan? Terus, tentang uang Kakak. Kamu gak sudah khawatirin hal gak penting kayak gitu."
Dituduh seperti itu, aku pun mulai sewot. "Aku bisa masak kok, Kak. Kakak mau aku buatin sesuatu? Daripada makan di luar."
"Gak usah, (Y/n). Ucapan Kakak udah final. Kita makan di restoran aja. Jangan membantah lagi," ujar Kak Mars seraya menyalakan mesin mobil. Sepertinya ia memang tak ingin ditukas lebih jauh. Aku pun memilih untuk menurutinya. Lagi pula, aku sedang malas untuk berdebat.
"Satu hal lagi. Jangan berpikir kalo Kakak peduli sama kamu. Kakak cuma menjalankan kewajiban sebagai seorang kakak aja," tambahnya.
Mendengar hal itu, aku pun mengulum senyum. Kemudian, melemparkan pandanganku ke luar jendela. Di balik kaca transparan itu, banyak orang yang berlalu-lalang. Membuat suasan tampak hidup.
Satu hal yang sudah kuketahui selama ini: Kak Mars memang tsundere.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top