── dua belas ; ampere
Kehidupan sekolah menengah atasku hanya tersisa beberapa bulan lagi. Terhitung beberapa minggu dari sekarang, aku sudah bukan lagi siswi SMA yang selalu menggunakan seragam putih abu-abu. Banyak orang yang bilang kehidupan yang sesungguhnya baru akan dimulai ketika lulus SMA.
Aku setuju dengan hal itu.
Karena nyatanya aku merasa demikian. Aku yang masih tergolong labil ini dipaksa membuat sebuah keputusan. Keputusan yang begitu krusial sebab akan menentukan masa depanku nanti. Aku harus memilih di antara pilihan berikut: kuliah, kerja, atau pengacara alias pengangguran banyak acara?
Ya, pilihanku sendiri sudah jelas apa itu. Pilihan yang klasik dan hampir semua orang memilihnya setelah mereka lulus SMA. Benar, kuliah.
Bahkan belum memulai masa kuliah itu, aku sudah dibuat pusing dengan skripsi nanti. Menemukan banyaknya orang yang sedang membuat skripsi mereka di sosial media telah memunculkan rasa khawatir dalam diriku sendiri. Menentukan judul yang tidak boleh sama dengan mahasiswa lain, pertemuan dengan dosen pembimbing di setiap pekan, dibumbui dengan revisi gila-gilaan di tiap babnya. Aku melihat banyak orang yang hampir gila karena skripsi mereka. Kini aku tahu mengapa mereka seperti itu. Mungkin aku termasuk salah satunya nanti. Yah, meskipun aku berharap yang sebaliknya.
Bunyi sesuatu yang patah membuat lamunanku lenyap ke udara. Ujung pensilku patah begitu saja. Patahannya itu tergeletak di atas buku tulis. Sepertinya aku tidak sadar kalau sejak tadi aku menekan isi pensil mekanik itu hingga cukup panjang dan membuatnya patah dengan sendirinya.
Sambil menghela napas, aku mengganti isinya dengan yang baru. Seraya melakukan hal itu, seketika pikiranku kembali melayang pada Kiki. Lebih tepatnya pada ucapan terakhirnya di hari kemarin. Setelah Kiki dengan jelas dan tegas-meskipun caranya tersisipi rasa jenaka-aku tidak berbicara dengannya. Bahkan di perjalanan pulang pun aku memilih untuk tetap demikian. Kiki juga demikian. Yang pada akhirnya menciptakan suasana canggung yang kubenci.
Hari ini pun masih sama. Kini aku duduk di kursiku sambil melamun. Menatap ke arah papan tulis yang dipenuhi corat-coret jahil teman-teman sekelasku. Karena seharusnya aku sudah bisa libur. Toh para murid kelas 12-termasuk aku-sudah menyelesaikan Ujian Sekolah. Entah apa yang membuat kami masih disuruh ke sekolah. Mungkin para guru tidak ingin dicap sebagai pemakan gaji buta.
Tanpa kusadari, aku mencuri pandang ke arah Kiki yang duduk secara serong dilihat dari tempatku. Rupanya ia juga sedang menatapku. Dengan cepat, Kiki mengalihkan tatapannya. Begitu pula denganku. Kendati demikian, entah mengapa, detak jantungku terasa menggila.
"Air panas! Air panas! Air panas!"
Seruan itu sontak membuatku menoleh ke sumber suara. Rupanya Upi-lah yang berseru demikian. Ia membawa sesuatu ke dalam kelas. Tentunya dengan Amu bersamanya. Sebentar, mengapa mereka menghampiri mejaku?
"Kepada (your full name), dimohon untuk ikut dengan kami," ujar Upi.
Aku yang heran pun hanya bisa semakin heran ketika mereka membawaku ke luar kelas. Menjauhi keramaian dan tiba di halaman belakang sekolah yang cukup sepi untuk berbicara. Jika mereka ingin berbicara denganku.
"Yang Mulia (Y/n), kami ingin mewawancarai Anda sejenak. Apakah Anda bersedia?" tanya Upi. Aku menatap teman-temanku yang lain satu per satu. Bahkan Toro pun ikut dengan mereka. Sho pun demikian. Entah apa yang mereka pikirkan.
Baiklah, aku akan mengikuti arus permainan mereka.
"Ya, boleh," sahutku.
"Saya to the point saja, ya. Mengapa Anda menolak lamaran Pangeran Kiki dengan mudah? Semudah menghabiskan es cendol punya Amu?"
"Hah? Lamaran?" ulangku heran. "Kiki ngajakkin aku pacaran, bukan ngelamar, Pi," ralatku membenarkan. Yang benar saja, masa lamaran?
"Oi, kok informasinya salah sih?! Jadi malu-maluin, tau!" bisik Upi pada Amu dan yang lainnya. Meskipun ia berbisik, entah mengapa aku masih bisa mendengarnya. Dasar Upi. Sementara, Sho dan Toro saling tatap sebelum mengangkat kedua bahu mereka masing-masing.
"Skip, skip. Tolong dijawab pertanyaannya, Yang Mulia," sela Amu. Mencegah perdebatan yang hampir saja terjadi.
"Baiklah. Alasannya adalah karena Pangeran Kiki sudah bertunangan dengan Putri Kaguya dari kutub utara. Berita itu telah menyebar ke mana-mana. Tidak mungkin kalian tidak tahu," jawabku asal. Melihat reaksi mereka, aku tahu mereka merasa kebingungan. Lagi pula, sejak awal wawancara ini memang tidak serius.
"Tapi, Putri Kaguya itu dari bulan, Yang Mulia (Y/n)," ralat Upi.
"Oh, beda orang. Yang ini emang dari kutub utara," balasku semakin ngaco.
Setelah berkata demikian, aku memutuskan untuk menjauhi mereka. Sementara mereka sendiri masih bertindak bak wartawan yang tengah mengejar artis yang baru saja keluar dari penjara.
"Yang Mulia, apakah Anda tidak tahu kalau Putri Kaguya sudah kembali ke Mars? Konon katanya di sana ada banyak bambu untuk dipanjat!" seru Upi sambil berjalan di belakangku.
"Pangeran Kiki itu cinta hidup dengan Anda, Yang Mulia! Yah, sepertinya saya tahu mengapa Anda menolaknya." Kini Amu yang menimpali. Mereka semakin menjadi-jadi saja.
Aku berhenti berjalan. Membuat mereka melakukan hal yang sama. Kutatap wajah mereka yang haus akan jawaban secara saksama.
"No comment," ucapku singkat. Harus kuakui, sejak dulu aku selalu ingin mengucapkan dua patah kata tersebut. Kini momen itu pun tiba.
Bak wartawan yang sesungguhnya, mereka mengikuti langkahku. Namun, kemudian berhenti setelah acara kejar-kejaran itu berlangsung beberapa saat. Sepertinya mereka kelelahan. Yah, aku pun demikian.
Setelah kejadian membingungkan sekaligus menghibur tadi, kini aku kembali melamun tentang hal yang sama. Mengenai Kiki dan perasaannya yang membuatku terlibat ke pusaran yang sama. Aku hanya tidak tahu harus memberikan reaksi seperti apa. Karena yang paling kuingat adalah keberadaan Kiki yang sama sekali tidak ingin kuhapus dari hidupku ini.
***
Wadoh, aku lupa apdet kemaren ges—
Mengmaap.
Btw, terima kasih sudah mampir ke sini!! (人 •͈ᴗ•͈)
I luv ya!
Wina🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top