── delapan belas ; kirchoff

Sebuah kalender yang digantung pada dinding menarik perhatianku. Aku menatap nama hari apa yang menjadi hari ini. Apa lagi jika bukan hari Senin? Hari di mana orang-orang mulai kembali sibuk dengan rutinitas yang diulang terus-menerus.

Kupikir hari Minggu adalah akhirnya. Namun, ternyata hari Senin masih menunggu untuk datang. Tepat setelah senja berubah menjadi malam. Keduanya memang bersinggungan, tetapi tidak ada—bahkan terlampau sedikit—yang menyadari.

Angin musim yang seharusnya ialah musim panas berhembus di depanku. Tepat ketika aku baru saja keluar dari rumah. Di saat sarapan yang terasa dingin di lidahku berakhir dengan muram. Setidaknya, itu menurutku. Aku tidak tahu apa yang Mama dan Kak Mars rasakan kala kami makan di meja yang sama, dengan menu sarapan yang sama, namun isi pikiran yang jelas berbeda. Terasa begitu kentara, pun sulit diutarakan.

Rintik-rintik air turun membasahi Bumi. Kumpulan awan yang menggulung di angkasa berubah menjadi kelabu. Sekelam bagaimana perasaanku sekarang. Ah, bahkan langit hari ini pun ikut merasakan hal yang sama denganku.

Berkeluh kesah tentang kehidupan yang tak akan berakhir, tentang kefrustasian yang tak bisa didefinisikan. Pun tentang depresi yang ikut hadir bersama. Melengkapi rasa kelam nan suram di dalam lingkup kecil ini.

Mungkin, aku bahagia. Mungkin. Suatu kata yang kuragukan keberadaannya, juga maknanya secara tersendiri. Ia ambigu dengan caranya. Membuat orang bertanya-tanya tentang hal yang dirangkul oleh kata 'mungkin' itu. Yang, bisa saja, tidak berarti benar demikian. Yang, bisa jadi, ada suatu hal disembunyikan di baliknya. Ketika aku membukanya, hal yang disembunyikan itu telah dipindahkan ke titik lain.

Sehela napas kuhembuskan ke luar. Tidak menciptakan asap tipis ataupun kabut yang melayang ke udara. Melainkan aku hanya berusaha mengeluarkan setumpuk beban yang kupikul selama ini. Di bahuku. Aku menolak membagikannya dengan orang lain. Terlebih teman-temanku. Aku yakin, mereka pun memiliki masalah masing-masing. Yang, bisa saja, tidak mereka ungkapkan dan memilih untuk dipendam seorang diri. Aku, misalnya.

Pertemanan kami bagaikan permukaan air danau yang tenang. Tak ada flora dan fauna di atasnya. Termasuk riak air sekecil apapun itu. Tetapi, tidak ada yang tahu apa isi di dalamnya. Hanya satu cara untuk mencari tahunya; dengan menyelam ke dalam danau tersebut.

Semudah itu untuk digambarkan. Namun, sulit untuk dijelaskan hanya dengan rentetan kata yang sederhana.

Koridor sekolah menjadi tujuanku saat ini. Banyak siswa-siswi yang berlalu begitu saja. Beberapa di antaranya ada yang menyapaku dan sapaannya itu pun kubalas. Ada pula yang menyapa, namun aku tidak mengetahui siapa namanya. Pada akhirnya, aku pun hanya melemparkan senyum samar ke arah siswi itu.

Yang kulakukan hanyalah membuat image dan penampilanku tampak ramah di depan orang lain. Bukan berarti aku bermuka dua atau apa, tetapi aku merasa bahwa saat ini aku bukanlah aku yang biasanya. Otot-otot di sekitar bibirku terasa pegal. Menandakan babwa sudah begitu sering aku memberikan senyum pada orang lain. Senyum yang lebih tepat dikatakan sebagai topeng paling ampuh dalam menyembunyikan sesuatu di baliknya.

Ringisan sontak kukumandangkan kala batang hidungku terbentur oleh sesuatu yang padat. Menyakitkan, sungguh. Namun, yang kulihat selanjutnya justru lebih membuatku ingin mengubur diriku dalam-dalam. Lebih baik aku menghilang saat ini daripada harus menyelam ke dalam manik biru langitnya itu.

"Eh, Ki."

Tanpa disuruh, bibirku sudah lebih dahulu menyebut jenamanya. Nama yang mungkin tak akan mudah kulupakan. Selama apapun itu waktu yang telah berlalu.

"Kamu gak apa-apa, (Y/n)?"

Secara refleks tanganku menyentuh pangkal hidungku sendiri. Merasakan rasa sakit yang terasa begitu kentara setelahnya. Namun, kepalaku hanya menggeleng. Berbohong memang semudah itu, bukan?

"Aku nggak apa-apa kok." Aku melemparkan senyum tipis. Ah, entah mengapa senyum ini menjadi lebih sulit untuk dibuat. Semoga saja Kiki tidak merasa heran atau mengernyit karena bentuk senyumanku yang tak wajar. Ah, untuk apa juga aku merasa peduli? Ini hanyalah topeng yang biasa kugunakan.

Selama beberapa saat, Kiki masih berdiri di hadapanku. Dengan tatapannya itu yang tertuju tepat ke mataku. Membuatku memilih untuk melarikan diri daripada terperangkap di dalam manik biru langitnya yang begitu estetika.

"Aku pergi dulu, Ki. Ada sedikit urusan," kataku sambil pamit. Juga untuk menghindari Kiki. Bayangan Kiki terus berputar di dalam kepalaku. Yang kemudian disusul oleh Amu. Keduanya tampak cocok untuk satu sama lain. Benar apa kata Upi. Mereka adalah kapal yang seharusnya berlayar, alih-alih diam di tepi pelabuhan.

Tanpa menunggu jawaban dan melihat bagaimana reaksi Kiki, aku segera melangkah pergi. Menjauhi Kiki serta berusaha menghilangkan bayang-bayangnya di dalam kepala. Untuk sesaat, telingaku menangkap suara hujan yang menghantam ke atas permukaan tanah. Kulirik sejenak ke arah halaman sekolah. Tampak begitu sepi dan hanya ada segelintir siswa yang berjalan di tengahnya. Tentu saja, dengan payung yang menaungi tubuh mereka.

Seketika aku hanya memandangi objek yang sama. Jarakku sudah cukup jauh dari Kiki. Sejauh harapanku untuk mendapatkan balasan dari perasaanku yang abu-abu ini. Perasaan yang kupikir hanya sebatas teman pada temannya, tetapi kenyataannya bukanlah sesederhana itu. Tidak semudah menggambar stickman.

Aku tahu, aku memang payah. Payah dalam segala hal. Tidak ada hal yang benar-benar kukuasai. Meskipun orang-orang mengira aku pintar dalam bidang akademik (termasuk teman-temanku), nyatanya tidaklah demikian. Aku hanya belajar lebih giat dari yang lain. Dua kali lipat lebih banyak dari porsi belajar mereka. Aku bukan Sho yang memang sudah pintar sejak di dalam kandungan ibunya. Bukan seperti Kak Mars yang selalu mendapat pujian dari Mama bahkan di saat ia tidak mendapatkan nilai seratus.

Selalu begitu, dalam semua hal.

Kini aku sudah lelah karena terus berusaha. Usaha yang konon katanya tidak akan mengkhianati hasil. Usaha yang tak pernah dihargai hingga sekarang. Tetapi, aku mulai lelah karena terus berusaha selama ini. Sekarang tiba saatnya aku sudah boleh beristirahat. Menikmati hidupku sebagai murid sekolah menengah atas di kelas terakhirnya. Menikmati saat-saat di mana aku bersama dengan teman-temanku. Berbincang, bersenda gurau, tertawa lantang. Hanya semudah itu, sesederhana itu.

Lantas, mengapa aku masih tidak bisa merasakannya hingga saat ini?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top