Part 6 - The first fight

Berusaha untuk lebih produktif dari biasanya, tapi kesibukan dunia nyata tidak ada habisnya.

Apa kabar kamu hari ini?
Mudah-mudahan selalu luar biasa.
Aku sayang kamu.
Kalau kamu?

Happy Reading 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Alena tampak lebih diam dari biasanya. Tidak berkomentar, atau bersuara sedikit pun. Hanya menatap dingin dan tidak memberikan reaksi yang berarti, ketika mengetahui dirinya diikutsertakan dalam pertemuan dengan kolega mereka. Bahkan, Nathan pun bersikap seolah tidak ada yang terjadi, dengan memperkenalkan Alena pada calon kolega yang menatap wanita itu dengan sumringah.

Sikap tenang yang ditampilkan Alena, justru membuat Joel curiga. Diluar dugaan, wanita itu mengikuti pertemuan dengan sangat baik, tidak bercela, dan terlihat menyimak isi pembahasan yang dilakukan Nathan dan Joel. Meski tidak terlihat ramah, hanya datar dan biasa saja. Hingga pertemuan itu selesai, Alena masih belum membuka suara.

"Apa yang sedang kau pikirkan, Alena? Tidak seperti biasanya, kau begitu tenang," komentar Nathan sambil memperhatikan putrinya dengan seksama.

Kini, mereka bertiga masih duduk di sebuah ruang VIP, di restoran tempat pertemuan itu dilakukan. Kolega sudah mengundurkan diri, dan hanya menyisakan ketiganya untuk tetap duduk di kursi masing-masing. Nathan yang duduk di kursi utama, sementara Alena duduk berdampingan dengan Joel.

"Apa aku diperbolehkan untuk berkomentar? Nanti kau menuduhku sebagai anak yang kurang ajar," jawab Alena sambil menyilangkan kaki, tampak terganggu dengan pertanyaan ayahnya.

Joel tidak ingin melihat raut wajah Nathan ketika mendapat balasan sinis dari Alena. Tidak begitu kaget dengan apa yang akan dibalas Alena, sebab wanita itu sudah pasti sedang menahan amarah sejak tadi.

"Sekarang kau boleh berkomentar. Ingin memaki, juga silakan," balas Nathan dengan nada lantang.

"Tidak ada gunanya," sahut Alena. "Denganmu, semua sudah mutlak, dan wajib harus kulakukan, meski itu adalah pemaksaan dan tidak ada pemberitahuan. Aku tidak heran jika kau akan menggunakan hak sebagai seorang ayah untuk menekanku."

"Apa kau benar-benar ingin menentangku, Alena?" tanya Nathan dengan satu alis terangkat.

"Tidak. Seperti yang kubilang tadi, bahwa itu tidak ada gunanya," jawab Alena dengan berani.

"Bisakah kalian tidak bertengkar?" tanya Joel tanpa ekspresi, sambil menatap ayah dan anak itu secara bergantian.

"Dan apa kau merasa berhak untuk memberi teguran yang tidak diperlukan?" balas Nathan sengit.

"Memang tidak. Tapi kalian melakukannya di depanku lagi, dan aku tidak suka," sahut Joel.

"Lalu, apa kau akan menarik putriku seperti tadi pagi, dengan alasan yang tidak masuk akal? Perlu kau ketahui, jika aku...,"

"Tentu saja tidak! Tenang saja, Uncle. Aku tidak akan melakukan hal yang sama sebanyak dua kali, itu sangat tidak kreatif sekali. Kurasa, kau tahu jelas soal itu, bukan? Karena itu, untuk mempersingkat waktu, bisakah kita membahas lanjutan pertemuan tadi? Ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan dalam waktu satu jam ke depan," sela Joel tajam.

Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan ekspresi menusuk dari Nathan padanya, dan bisa dibilang, masa bodo dengan semua itu. Ayah dan anak sama saja, pikirnya. Sama-sama membuatnya lelah dalam waktu kurang dari 24 jam.

"Betul sekali," celetuk Alena kemudian. "Kalian para gentleman, sudah pasti sangat sibuk dan memiliki kesibukan yang begitu banyak. Jangan membuang waktu untuk menjelaskan pada anak baru sepertiku, itu akan sangat menyebalkan. Di samping itu, ini adalah hari terakhirku di London. Otakku benar-benar buntu dan membutuhkan penyegaran."

"Kau tidak usah berpikir, cukup mendengarkan saja, Na," tukas Joel dengan tegas, sambil membuka iPad, menampilkan proposal tentang kerjasama yang akan segera dilaksanakan.

Alena berdecak malas, dan terlihat semakin tidak senang. Meski begitu, Alena tetap menarik kursi untuk mendekat padanya, memusatkan perhatian pada tampilan proposal di iPad, dan mulai mendengarkan pembahasan yang dilakukan Joel dan Nathan.

Selama beberapa saat, ketiganya tampak serius dalam membahas apa pun tentang proyek itu. Hanya Joel dan Nathan yang bersuara, sementara Alena terdiam saja. Sesekali, wanita itu memainkan ponsel, seolah sedang menunggu pesan dari seseorang, lalu kembali memperhatikan dengan ekspresi tidak minat.

Ponsel Nathan berbunyi, dan itu menghentikan pembahasan mereka, karena pria tua itu memilih mangkir dari ruangan untuk menerima telepon. Meninggalkan Joel dan Alena yang masih duduk berdampingan dengan tatapan menunduk ke iPad.

"Bisakah aku jujur padamu?" tanya Alena langsung, ketika Nathan sudah keluar dari ruangan.

Joel melirik padanya, dan memperhatikan sorot mata Alena yang tampak begitu jernih. Kedekatan yang terjadi saat ini, membuatnya bisa mencium aroma floral yang menyenangkan dari Alena.

"Aku tidak yakin, apa yang akan kau katakan adalah kejujuran," balas Joel seadanya.

Alena memutar bola mata sambil menggelengkan kepala. "Untuk seseorang yang sudah pernah menyakiti dan bersikap sebagai bajingan, kau termasuk tidak tahu malu dalam mengucapkan perkataan seperti tadi. Siapa yang suka berbohong di sini? Aku?"

Joel mengerjap dan masih mempelajari ekspresi wajah Alena dengan seksama, lalu tatapannya turun pada bibir Alena yang sedang menekuk cemberut. Hal spontan yang entah kenapa menjadi sering dilakukan, setiap kali berhadapan dengannya.

"Aku tidak menganggapmu sebagai pembohong, hanya saja aku tidak yakin kau mau jujur padaku," koreksi Joel.

"Apa bedanya?" balas Alena kesal. "Tidak kau, tidak Papa, aku selalu saja salah di mata kalian."

Joel meraih satu tangan Alena yang ada di meja, lalu meremasnya lembut. "Katakan saja apa yang ingin kau katakan. Aku akan mendengarkan."

Alena segera menarik tangannya dari genggaman Joel, sambil melotot galak padanya. "Tidak usah main sentuh! Aku bukan jalang, yang bisa kau sentuh sembarangan! Kau harus tahu diri, karena aku hanyalah adikmu, bukan jalang yang kau pilih itu."

Dengusan napas kasar terdengar dari Joel, ketika mendengar ucapan Alena yang terdengar begitu kasar dan seperti tidak berpendidikan. Wanita itu adalah wanita yang begitu manis dan penyayang, juga penuh dengan tata krama, bukan pembangkang dan selalu bersikap sinis seperti itu.

"Apakah perlu mengeluarkan ucapan sekasar itu? Bukankah kau adalah lulusan terbaik dan tahu bagaimana caranya bersikap dan bertutur kata sopan kepada lawan bicaramu, khususnya orang yang lebih senior darimu?" cetus Joel dengan nada sinis.

"Aku hanya berbicara kenyataan, El. Maaf sekali jika membuatmu tersinggung, tapi aku memang tidak bisa berpura-pura untuk menyukai hal yang kubenci sampai kapan pun," balas Alena enteng.

"Jadi, kau membenciku?" balas Joel cepat.

"Katakanlah begitu," sahut Alena langsung.

"Dan kenapa kau ingin jujur pada orang yang kau benci?"

"Supaya kau mempunyai banyak alasan untuk menendangku keluar dari sini. Aku sudah muak dan tidak ingin berlama-lama di sini! Kalau saja, kau tidak menarikku tadi pagi, dengan sikap sok pahlawanmu yang tidak diperlukan, mungkin aku tidak akan terjebak di dalam pertemuan konyol ini."

"Itukah kejujuran yang ingin kau sampaikan padaku? Menjadikanku sebagai kambing hitam atas kesalahan yang sudah kau perbuat?"

"Aku tidak melakukan kesalahan. Hanya terjebak dalam situasi yang salah."

"Salah?"

"Yeah, salah. Memiliki ayah yang ingin dihargai dengan sikap yang menyebalkan, dan kau yang selalu bersikap sebagai kakak tertua yang menjengkelkan. Aku hanya ingin bebas melakukan apa pun, tanpa perlu dikendalikan atau diatur seperti anak kecil. Aku memiliki kehidupan sendiri dan berhak menentukan pekerjaan apa yang harus kukerjakan! Bukan dengan menjebakku seperti ini!"

Joel menaikkan satu alis, sambil menatap Alena dengan tajam. "Seharusnya, hal itu kau sampaikan pada ayahmu. Bukan aku. Memangnya kau pikir, aku senanng memiliki rekan kerja sepertimu? Tentu saja tidak. Ayahmu yang memutuskan, dan aku hanya bisa mengumpat kesal di belakangnya."

"W-What?"

"Kenapa? Kaget dengan ucapanku barusan? Itu adalah kejujuran dariku. Apakah itu menyakitkan?" balas Joel sengit.

"Kau memang paling ahli dalam menyakitiku," desis Alena geram.

"Aku? Benarkah? Bagaimana dengan dirimu yang selalu melontarkan ucapan kasar, dan umpatan sinis yang terus dilemparkan padaku, dalam waktu kurang dari sehari? Asal kau tahu saja, aku bukan bajingan bodoh seperti para kenalanmu, yang akan diam saja, jika kau mulai bertingkah."

Joel bisa melihat ekspresi tertegun dari Alena. Masih mempelajari ekspresi dan sikap yang ditampilkan wanita itu, Joel ingin melihat sejauh mana Alena ingin memancing dirinya sekarang. Tidak ingin bersikap tega, tapi wanita itu perlu diberi pelajaran. Dingin tapi tidak tegas, itu sama seperti Nathan yang hanya bisa mengoceh dan mengeluh tentang kelakukan putrinya, tapi tidak berusaha untuk mengubah situasi dengan bertindak benar. Sebaliknya, pria tua itu semakin membuat keadaan menjadi kacau.

"Kau benar-benar menyebalkan," umpat Alena sambil menjauh, dan menatapnya dengan penuh kebencian.

"Aku anggap itu sebagai pujian, karena apa yang kukatakan itu benar, dan kau tidak mampu membalasku," balas Joel sambil mematikan iPad, dan memasukkannya ke dalam pouch. "Kau sudah bersama ayahmu, dan itu tandanya urusanku sudah selesai."

Beranjak dari kursi dan hendak melangkah, tapi Alena menahannya dengan memeluk lengannya. "El, kau mau kemana?"

Joel menoleh dan menatap Alena tanpa ekspresi. "Aku akan pergi."

"Dan meninggalkanku di sini?" pekik Alena kesal.

"Bersama dengan ayahmu," koreksi Joel langsung.

"Kau bilang jika aku harus kembali denganmu, karena kau sudah membawaku keluar tadi," ucap Alena dengan membalikkan ucapannya.

Joel menyeringai sinis. "Dan kau bilang akan bersikap manis padaku, jika aku tidak melakukan apa pun pada para adik, juga tidak akan mencari masalah. Tapi ternyata, kau justru...,"

"Aku khilaf, okay?" sela Alena cepat. " Bagaimana bisa aku bersikap normal, setelah kita tidak bertemu selama bertahun-tahun? Aku juga wanita yang memiliki perasaan atas tindakanmu yang tidak termaafkan waktu itu, juga aku merasa tertekan dengan tuntutan Papa!"

"Apa yang kau inginkan, Na? Tolong jangan berbelit, karena aku masih banyak urusan!" desis Joel.

Sambil mengeratkan pelukan di lengan Joel, Alena memasang tampang memelas seolah memohon belas kasihan. Tapi, bukan itu yang membuat Joel melunak, melainkan desakan lembut yang ada di lengannya. Membayangkan betapa menyenangkan dan terasa pas, jika hal itu berada di telapak tangannya. Shit!

"Bawa aku pulang, karena aku tidak ingin bersama dengan Papa. Aku tidak sanggup mendengar ocehannya lagi, please. Bantu aku," ucap Alena dengan nada memohon.

"Oh, jadi maksudmu, kau membutuhkan bantuanku sekarang?" tanya Joel dengan alis terangkat setengah.

Alena mendengus kesal. "Aku benar-benar tidak menyangka jika kau akan menjadi menyebalkan seperti ini, El!"

"Apa-apaan ini? Aku tinggal sebentar untuk menerima telepon, dan kalian sudah berani berdekatan seperti itu? Alena, lepaskan! Joel, menjauh!" tiba-tiba suara Nathan membuat mereka tersentak, dan spontan saling menjauhkan diri.

Joel menghela napas lelah, jika harus menghadapi Nathan kembali. Seharusnya, dia keluar saja dan tidak membiarkan Alena memperdayainya dengan pelukan itu. Dia yakin jika dirinya tidak mudah dipengaruhi oleh hal apapun. Dia masih yakin itu. Tapi sekarang? Joel perlu mengoreksi diri lebih lanjut, untuk mempertanyakan kapasitas diri yang selama ini cukup stabil dan tak tergoyahkan.

"Papa, El tidak...,"

"Diam, Na," bentak Nathan tidak mau tahu, lalu menatap Joel dengan tajam. "Segera menuju ke Springfield, kau sedang dibutuhkan di sana."

Springfield. Damn! Sudah diduga olehnya, jika urusan itu akan kembali muncul dan mulai membuatnya gerah. Tidak ingin berlama-lama, Joel segera mengeluarkan ponsel untuk mengetik sesuatu, dan mengirimkannya.

"10 menit dari sekarang," ujar Joel pada Nathan, sambil melangkah cepat ke arah pintu.

"El!" panggil Alena cemas.

Joel hanya menoleh pada Alena, ketika sudah berada di depan pintu, tepat di samping Nathan. Ekspresi Alena yang tampak memohon dan berharap padanya, sama sekali tidak memberi pengaruh yang berarti padanya saat ini. Di samping itu, Alena sudah bersama dengan Nathan, ayahnya sendiri, yang tidak akan menyakitinya, meski harus menyiapkan telinga untuk mendengar ocehan.

"You stay with me, Kid," tukas Nathan sambil berjalan ke kursi utama, lalu duduk, dan memerintah Alena agar kembali duduk di kursi.

Sorot mata penuh harap, bibir yang menekuk seolah menahan tangis, dan ekspresi tidak rela yangn ditampilkan Alena, membuat Joel kembali tidak tega. Tapi hal itu bisa diselesaikan nanti, karena sudah ada pekerjaan yang jauh lebih penting, dari sekedar menghadapi amukan singa kecil seperti Alena.

Tanpa berkata apa-apa, Joel membuka kenop pintu, dan segera melangkah keluar untuk bergegas menuju ke Springfield, menghadiri pertemuan berikutnya, demi menuntaskan jadwal pekerjaannya hari ini.

Ketika sudah duduk di kursi belakang, dengan mobil yang sudah dilajukan oleh Brant, Joel membuka ponsel dan mengetik sebuah pesan singkat untuk Alena, mencoba untuk memberi sedikit ketenangan pada adik nakal itu. "Don't worry, I'll be back, and you can use me to throw up your bomb. I'm on it."



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Di versi ini, aku kepengen tampilin sisi Joel yang penuh kendali 😛
Setiap kali tulis adegan adu bacot antara Joel dan Alena, perasaanku senang 🙈

Mungkin, aku akan mulai slow update di lapak mana pun. Akan dikerjakan, jika memiliki waktu luang.
Ada banyak pekerjaan, salah satunya mikirin kamu 🤣

Fyi, buku Nathan mungkin sudah bisa start dikirim minggu depan atau selambat2nya akhir bulan Januari.
Terima kasih sudah bersabar.
I purple you 💜




14.01.2020 (21.43 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top