Part 4 - Unreachable Soul
Mengikuti permintaan terbanyak,
Joel & Alena untuk kalian.
Bogosippo, Yeorobun 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
"Kau bisa turunkan aku di depan sana," suara Alena tiba-tiba terdengar, membuat Joel menggeram pelan, sambil mendelik tajam pada Brant, orang kepercayaannya, yang sedang melajukan kemudi.
Brant melirik singkat ke kaca spion untuk membalas tatapan Joel, lalu kembali menatap ke depan, tanpa sedikit pun menurunkan kecepatannya.
"Hello, Sir! Did you hear me?" desis Alena lantang.
"Alena, apa yang kau inginkan?" tanya Joel tanpa ekspresi.
Wanita itu menoleh dan menatapnya tidak suka. Sikap dingin yang ditampilkan, juga sorot mata tajam yang menyakitkan, seakan memberi penjelasan bahwa Alena tidak menyukai keberadaannya, atau kebersamaan yang sedang terjadi. Joel bukan tidak tahu, tapi justru dia mengesampingkan apa yang diketahuinya, dan bersikap seperti tidak memahami kesinisan yang ditunjukkan Alena.
Tidak menyangka, jika Alena bisa berubah menjadi sosok yang tidak dikenalinya sama sekali. Bukan lagi anak perempuan yang manis dan penurut, meski watak keras kepalanya masih belum berubah. Sudah berani melawan ayahnya yang terkenal bengis dan dingin, juga tidak merasa perlu menyesal setelahnya.
Jika bukan karena Alena sempat menangis, mungkin saja Joel tidak akan bertindak di luar batas, dengan memberi alasan yang tidak masuk akal, lalu menariknya keluar dari situ. Sudah pasti, akan ada perbincangan di kalangan para adik, juga perdebatan di antara dua pria tua itu. Resiko memiliki keluarga besar, dimana satu peristiwa, akan menjadi besar dan bisa sampai ke telinga keluarga yang berada di Jakarta.
Oleh karena itulah, meski jarang bertemu dan tinggal di dua benua yang berbeda, mereka akan memiliki seribu bahan topik pembicaraan saat acara keluarga, dan tidak seperti baru bertemu setelah sekian lama.
"Aku harus segera tiba di Oxford, dan kau sangat sibuk sekali. Aku tidak akan membuang waktumu untuk...,"
"Aku tidak sibuk," sela Joel kalem. "Juga tidak membuang waktu dengan bersamamu. Lagi pula, kau tidak perlu ke sana. Sebab, Uncle Nathan akan semakin marah dengan acara fan meeting yang dilakukan para adik. Mereka sudah pasti akan ditindak, dan kau akan menerima tambahan hukuman. Jadi, jangan membantah, Na."
Alena mengerang kesal, sambil menyibakkan rambut panjangnya. Ekspresinya semakin tidak senang. "Aku harus ke sana, El. Itu hanya acara foto bersama dan tanda tangan saja. Lagi pula, besok aku akan pulang ke Jakarta untuk mengikuti kemauan Papa. Hari ini adalah hari terakhirku di London, dan sudah seharusnya aku mengabulkan permintaan para adik karena tidak akan bertemu dengan mereka dalam waktu yang cukup lama."
"Tetap tidak bisa. Aku...,"
"Jika kau tidak turunkan aku di sini, maka aku akan melompat ke luar sekarang juga!" sela Alena tajam.
Joel menyeringai sinis, sambil membalas tatapan Alena yang menghunus tajam, dan ekspresi mengeras seolah dirinya tidak ingin membantah. Menarik, pikirnya. Sejak Alena lahir, hingga sekarang, ada sesuatu yang menjadi daya tarik dari anak sulung Uncle Nathan dan Auntie Lea itu. Dan sesuatu itulah yang membuat perhatiannya tidak mudah teralihkan.
"Apa kau yakin akan melompat keluar dari sini?" tanya Joel dengan alis terangkat setengah, diiringi dengan tatapan meremehkan.
Tidak terlihat takut, tapi justru memberi kesan menantang, Alena tersenyum sinis. "Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu dengan kata-kata, Brother. Jika kau ingin mencobaiku, silakan."
Alena segera meraih tas dan memakainya, tidak mempedulikan tatapan tajam Joel yang mengancam di sana, lalu berusaha untuk membuka kunci mobil dengan cara manual. Jika mobil ini adalah mobil biasa, tentu saja akan mudah terbuka, dan Alena bisa melompat turun begitu saja. Sayangnya, mobil yang didesain khusus untuk keamanan dan kenyamanan dirinya, tidak akan mudah diperlakukan dengan sembarangan, seperti membuka paksa seperti itu.
Berulang kali mencoba, Alena tampak kewalahan. Dia mengumpat kasar, lalu menoleh pada Joel yang masih duduk dengan santai, sambil menatapnya tanpa ekspresi.
"Bukakan pintu ini!" seru Alena sambil menunjuk pintu dengan kesal.
"Bukankah kita diajarkan untuk mengucapkan kata 'tolong' jika membutuhkan bantuan, Na?" balas Joel dengan nada mengejek.
"Dalam hal ini, kau tidak berhak untuk kumintai tolong, karena kau yang mencari ulah denganku! Turunkan. Aku. Sekarang!" ucap Alena dengan penuh penekanan.
Joel menggeleng cepat. "Aku yang sudah membawamu keluar, maka aku juga yang harus mengantarmu kembali. Tapi tetap tidak kuijinkan untuk pergi ke sana."
Ekspresi wajah Alena berubah menjadi sedih, dengan bibir yang menekuk, dan mata yang mulai berkaca-kaca. Entah drama apa yang akan dibuat olehnya, karena Joel tidak akan tertipu untuk yang kedua kalinya. Jika wanita itu menginginkan sebuah permainan, maka dia akan dengan senang hati memberikan pertunjukan.
"Kau bilang kau peduli padaku. Katanya juga, kau sayang padaku. Tapi apa?" ucap Alena dengan isak tangis yang sudah mengudara. "Kau sama saja dengan Papa, yang suka memaksakan kehendaknya padaku. Aku bahkan tidak diberi kebebasan dan...,"
"Kau sudah diberi kebebasan. Menjalani aktifitas model yang tidak dikehendaki selama lima tahun ini, bergaul dengan para sosialita yang memiliki pengaruh buruk, berhubungan dengan para bajingan di luar sana, dan terlalu banyak bermain-main, sehingga sudah membuang waktu terlalu banyak," sela Joel dengan nada tegas.
Alena bungkam, hanya menatap dengan wajah sembap yang tidak berarti di mata Joel.
"Seseorang yang peduli dan menyayangimu, tidak harus mengabulkan atau menuruti semua permintaanmu, tapi berani berkata tidak dan memberitahukan kesalahanmu, agar kau bisa menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya," lanjut Joel sambil merogoh sapu tangan dari saku celana, lalu mengusap pipi Alena yang basah. "Aku yakin jika dalam dirimu, menyimpan banyak kebaikan, tapi selalu kau sembunyikan."
"Oh yeah? Memberitahukan kesalahanku?" balas Alena sambil menyeringai sinis. "Aku sangat tahu tentang hal itu, Brother. Bahkan, itu sudah menjadi pengalaman hidupku. Bahwa, aku pernah memberitahukan kesalahan seseorang, tapi orang itu mengabaikannya dan lebih memilih untuk tetap menjalaninya. Tidakkah itu menyakitkan, jika dirimu tidak didengar sama sekali? Lalu bagian mananya, kau merasa berhak untuk mengutarakan perkataan menjijikkan seperti itu?"
Joel hanya bergeming sambil terus mengawasi ekspresi Alena. Tidak ada bantahan karena apa yang dikatakan Alena sepenuhnya benar. Bahwa apa yang dilakukannya, sudah membuat kekacauan besar dalam hidup Alena, hingga membuatnya menjadi seorang yang jauh dari pribadi yang sebenarnya.
"Kenapa? Tidak berani menjawab karena apa yang kukatakan adalah benar?" lanjut Alena dengan sengit. "Seharusnya, kau banyak belajar untuk menjadi bijak, karena peran sebagai kakak tertua itu cukup melelahkan."
"Sebagai kakak tertua, juga cukup kewalahan. Karena masih ada para adik yang memberi perhatian, dan kasih sayang yang besar dalam mengingatkan untuk menjaga diri," balas Joel.
"Leluconmu sama sekali tidak lucu," cibir Alena.
"Hanya ingin menutup mulutmu saja, karena ucapanmu semakin pedas, meski perlu kuakui jika bibirmu memang menggemaskan dan ingin sekali kugigit seperti semalam."
Joel menyeringai ketika melihat wajah Alena yang tampak merona dan membuang muka ke arah lain. Sekalipun, dia tampak berusaha mengabaikan apa yang terjadi di antara mereka semalam, tentu saja sikap canggungnya begitu kentara. Hal itu tidak bisa disembunyikan dari Joel, karena dia terlalu mengenal Alena.
"Aku tidak ingin kau melakukan hal seperti itu lagi," ucapnya tanpa menoleh.
Joel tersenyum hambar dan melirik jam tangannya. Masih ada waktu untuk mengisi perut Alena, karena wanita itu belum sarapan.
"Jam berapa kau harus tiba di sana?" tanya Joel kemudian.
Alena langsung menoleh padanya, dengan memberikan ekspresi takjub. "Apa kau akan membawaku ke sana?"
Joel mengangguk. "Asal kau bisa menjaga sikapmu dengan tidak membuat masalah."
"Satu jam lagi! Tapi aku...,"
"Kalau begitu, masih ada waktu untuk mendapatkan sarapanmu," sela Joel tegas, tidak memberi kesempatan bagi Alena untuk mengemukakan usul yang tidak diinginkan.
"Aku sudah sarapan," balas Alena tegas.
"Sepotong sandwich bukanlah sarapan."
Alena mengerjap bingung. "Darimana kau tahu?"
"Karena aku memperhatikanmu."
Bibir Alena menekuk cemberut, dan kemudian membuang muka ke jendela. Tampak tidak senang dengan balasan Joel, dan terlihat seperti berpikir selama beberapa saat. Lalu menghela napas pelan. "Waktuku tidak akan cukup untuk sarapan, El. Aku akan sangat terlambat."
"Tidak akan terlambat jika kita pergi ke kedai yang ada di jalan kecil dekat Oxford. Hanya dengan berjalan kaki saja, kita sudah tiba," ujar Joel tenang.
Alena kembali menoleh sambil mengerutkan alisnya. "Jalan kecil di Oxford? Apakah ada kedai seperti itu?"
"Di situ menjual breakfast wrap berisi daging kalkun terenak. Juga, chips dengan keju berlimpah. Dan aku dengar, jika dia membuat menu baru seperti matcha ice cream."
Sesuai dugaan, Joel bisa menangkap reaksi kesenangan dari Alena, ketika mendengar menu terakhir yang disebutkan. Tidak mudah untuk membujuk atau mengalihkan perhatian Alena, jika itu berhubungan dengan makanan favoritnya.
"Aku tidak pernah tahu ada kedai yang menyajikan matcha ice cream," gumam Alena dengan seringaian lebarnya yang cantik. "Kalau begitu, kita ke sana. Tidak masalah jika harus terlambat sedikit."
Joel tersenyum dan mengusap kepala Alena dengan lembut. "Kenapa begitu menggemaskan seperti ini, hanya karena es krim dengan rasa paling aneh itu?"
"Karena aneh, maka aku menyukainya. Tidak usah menyentuh kepalaku, aku bukan anak kecil lagi," balas Alena sambil menepis tangan Joel dari kepalanya.
"Tapi kesukaanmu masih seperti dulu," sahut Joel sambil terkekeh geli.
"Karena aku konsisten dan persisten. Tidak plin plan seperti dirimu," ucap Alena sambil mengangkat satu alisnya, dan menatap Joel dengan tatapan mengejek.
Tatapan Joel turun pada bibir Alena yang menyunggingkan senyum sinis. Membuatnya ingin sekali melahap bibir lancang itu, hingga kehabisan napas seperti semalam. Selama ini, Alena tidak pernah sekalipun melemparkan balasan yang tidak sopan padanya, meski begitu marah. Kembali menghitung dalam hati, berapa banyak kekacauan yang sudah dilakukannya pada wanita itu.
Tidak ingin terlarut dalam pikirannya, Joel mengalihkan tatapan keluar jendela. Tidak melanjutkan pembicaraan, karena Alena sudah sibuk sendiri dengan ponselnya. Joel mendelik tajam ke arah kaca spion, dimana Brant sudah memberi tatapan yang sama, seiring dengan bunyi pesan singkat dari ponselnya. Membuka dan membacanya dengan seksama, Joel mendengus tidak suka.
"Omong-omong, apa yang kau lakukan di sini, Brother?" tanya Alena, memecah keheningan.
Joel spontan menoleh. "Bekerja."
"Dengan ayahku? Really? Sejak kapan?" tanya Alena lagi.
"Aku memiliki firma konstruksi, dimana Noel sebagai CEO untuk cabang yang ada di London. Berhubung Noel cukup sibuk, jadi aku terpaksa harus datang dan mengurus beberapa pekerjaan yang berkaitan dengan merger ini," jawab Joel.
"Wah, kau sangat produktif sekali. Apa kau sudah cukup sukses dan menghasilkan banyak uang?" tanya Alena dengan penuh minat.
Alis Joel berkerut sambil menatap Alena dengan penuh penilaian. "Apa kau sedang berpikir untuk mendekatiku, karena tahu aku memiliki banyak uang?"
"Tidak juga. Uang ayahku tidak kalah banyak, dan penghasilanku sebagai model, juga cukup lumayan. Hanya ingin tahu saja, seberapa banyak uang yang kau mililki sekarang?"
"Jika aku memiliki banyak uang, dengan jaminan tidak akan hidup susah sampai 10 keturunan, apa kau tertarik padaku?"
Alena hanya tertawa pelan, lalu berckckck ria. "Aku hanya ingin sekedar tahu saja, karena wanita jalangmu itu termasuk wanita pengeruk harta. Kuharap yang kau sebut 10 keturunan, tidak berkurang menjadi hanya 10 bulan saja, karena aku akan tertawa sangat keras nantinya."
Memiliki kesabaran yang tak terhingga, Joel menganggap jika sindiran dan ejekan itu adalah hal yang biasa. Bukan hal aneh, jika para wanita melihatnya sebagai pabrik pencetak uang, atau jaminan masa depan. Itu sudah sangat biasa.
"Uangku cukup banyak untuk memelihara beberapa simpanan," ucap Joel dengan dingin.
Ekspresi Alena tertegun, lalu menatapnya tidak percaya. Joel berpikir jika wanita itu akan melemparkan ucapan pedas, tapi ternyata tidak. Alena hanya diam dan tidak melanjutkan obrolan lagi. Hening kembali tercipta, dan tidak terasa mereka sudah tiba sampai tujuan.
"Ayo kita turun," ajak Joel, ketika mobil sudah berhenti tepat di depan sebuah jalan kecil.
"Aku tidak percaya ada jalan seperti ini, selama aku berkuliah di sini," gumam Alena.
Joel dan Alena berjalan berdampingan, menyusuri jalan kecil, berbelok pada jalan yang mengecil sampai ke ujung. Menuju ke sebuah kedai tenda yang ramai oleh pengunjung, dengan adanya antrian yang mengular di sana.
Alena melempar senyuman pada setiap orang yang menyapa dan menatapnya penuh minat. Wanita itu sukses menjadi pusat perhatian, terutama bagi para pria-pria bajingan yang melihatnya dengan sorot mata penuh damba. Shit! Pemandangan yang sangat dibenci olehnya sejak dulu.
"Apa kau yakin ingin makan di sini? Antriannya begitu panjang, sedangkan waktuku semakin singkat, El," ucap Alena heran.
Joel mengusap kepala Alena, meminta perhatian darinya. Tentu saja, hal kecil yang dilakukan memberikan pengaruh. Alena yang tersentak kaget, dan tatapan orang sekitar yang memperhatikan. Mengambil satu langkah lebih dekat pada Alena, lalu berbisik dengan suara lembut. "Just wait here."
Menjadi pelanggan tetap sejak kedai itu berdiri, membuat Joel mengenalnya dan selalu menjadi prioritas utama oleh sang pemilik, Barnes. Kedatangannya disambut hangat, dan segera membuatkan pesanannya seperti biasa. Tidak butuh waktu lama, Joel berhasil mendapatkan sekantung coklat besar yang berisikan pesanannya.
Sekembalinya dari situ, Joel hanya menghela napas ketika melihat Alena tampak sibuk melayani beberapa permintaan anak muda untuk berfoto dengannya. Wanita itu begitu ramah dan terlihat sangat menyenangkan kepada orang-orang yang mengerumuninya. Tidak sedikit yang memberikan nomor ponsel padanya. Kesemuanya itu, dilihat Joel dari kejauhan selama beberapa saat.
"Cukup terkenal rupanya," komentar Joel tanpa ekspresi, ketika Alena sudah menyadari kedatangannya, lalu menghampiri.
"Kau terlalu lama! Kenapa tidak datang dan menolongku dari kerumunan itu?"
"Kupikir kau cukup menikmati momen sebagai supermodel yang terkenal."
"Selalu tersenyum juga lelah, Brother. Sebagai public figure, aku perlu menjaga image dan tampil sebagai seorang yang mempesona. Biasa. Itu adalah tuntutan pekerjaan."
"Dan kau tidak lagi sebagai model itu, Na."
"Yeah, sayang sekali. Padahal, bayaranku cukup lumayan dan bisa membeli tas keluaran terbaru dari brand favoritku."
"Jika hanya karena itu, aku bisa memberimu dua kali lipat dari yang kau terima."
"Wah terima kasih, kau murah hati sekali. Aku terharu."
"Sama-sama."
Alena hanya mencibir sambil masuk kembali ke dalam mobil. Ekspresinya berubah ketika Joel menyodorkan kantung coklat padanya. Hendak mengambil satu cup berisi es krim, tapi Joel sudah lebih dulu mengambil cup itu.
"Itu es krimku!" serunya tidak terima.
Joel mengulurkan segulung breakfast wrap padanya. "Makan dulu, baru es krim. Jika tidak, perutmu akan sakit."
Alena hanya mendengus dan menerima makanan itu dengan setengah hati. "Sudah lama aku tidak bertemu denganmu, ternyata kau semakin menyebalkan."
"Sama denganmu, yang begitu keras kepala dalam mempertahankan keinginannya," balas Joel sambil mengoper segulung wrap pada Brant, yang langsung diterima, lalu membuka untuk dirinya sendiri.
Meski tadi sudah menikmati sarapan buatan Alena yang cukup lezat, tapi wrap isi kalkun ini tidak bisa menahannya untuk ikut menikmatinya juga. Terlebih lagi, menikmati makanan favorit bersama dengan orang yang sudah menjadi favoritnya sejak lama.
Alena mengerang kegirangan ketika sudah mengunyah gigitan pertamanya. Tampak begitu menikmati dengan kesan puas di wajah. Bahkan, dia mengabaikan adanya sisa mustard di sudut bibir, dan kembali menggigit wrap kalkun itu dengan tekun. Terlihat seperti kelaparan, juga tidak berbicara sambil terus menghabiskannya.
"Menikmati makanan sampai berantakan, aku tidak percaya jika wanita sepertimu menjadi incaran banyak pria," ujar Joel sambil mengusap sudut bibir Alena dengan lembut.
"Supaya mereka memiliki pekerjaan untuk membersihkan bibirku seperti dirimu," balas Alena dengan mulut penuh.
Joel tersenyum saja. "Itukah rencanamu dalam memainkan perasaan mereka?"
"Tidak juga. Hanya saja, terkadang pria bisa bersikap sentimental juga. Mereka menginginkan wanita yang sempurna, tapi lupa untuk berkaca diri bahwa mereka jauh dari kesempurnaan. Tidakkah itu konyol?" sahut Alena dengan alis berkerut, lalu mendelik tajam ketika Joel masih belum menarik tangan dari sudut bibirnya.
"Bukan konyol. Pria bisa bersikap demikian, karena ada kesempatan yang menghampirinya. Dan juga, wanita sering memberi kesempatan itu, meski nantinya akan menarik diri, lalu berperan menjadi korban perasaan."
Alena mengerjap bingung sambil menarik tangan Joel dari bibirnya. "Itukah yang kau pikirkan tentangku selama ini?"
"Tidak. Aku tidak pernah memikirkan hal lain tentang dirimu, selain...,"
"Adik," sela Alena tajam. "Tentu saja, tidak usah kau ulangi kembali. Jadi, bisakah kau memberikan es krim itu? Aku sudah menghabiskan wrap kalkunku."
Menatap Alena selama beberapa saat, memperhatikan bagaimana sorot mata tajam itu menghunusnya dalam tatapan penuh amarah, dan kembali dengan sikap dinginnya yang begitu menarik perhatian.
Pendirian yang kuat, keteguhan yang mengagumkan, dan sikap keras kepala yang tidak perlu diragukan. Tidak ada yang bisa dipikirkan Joel, selain bagaimana menjatuhkan tembok keras yang ada di hadapannya, dengan jiwanya yang tak terjangkau.
Tapi ada yang jauh lebih penting sekarang, yaitu menyerahkan matcha ice cream pada Alena, demi melihat senyuman lebar yang spontan dilakukan, hanya karena mendapatkan sesuatu yang menjadi favoritnya. Menarik, pikir Joel kembali.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Kesan saat menulis ulang cerita ini dengan visual yang udah gak ada, ternyata nggak sulit.
Dalam pikiranku, beliau masih ada, tapi sebagai Joel Christian, dan emang dari dulu kek gitu.
Kukira akan susah, ternyata nggak.
Meski dalam hati, masih agak nggak rela karena dia mati konyol 😧
Anyway, udah pada liburan kemana aja?
Nikmati kebersamaanmu dengan keluarga, bersyukur atas anugerah yang sudah diberikan dalam hidupmu.
Tahun baru akan ada tantangan baru.
Persiapkan dirimu dan jadilah teguh 💜
Salam hebat untuk kalian semua 😚
28.12.19 (21.00 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top