Part. 14 - The beast rider
Jangan nagih bapaknya mulu, krn yang songong nggak cuma beliau aja 😅
Here's Joel for everyone 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Banyak yang bilang jika aksi mogok bicara dilakukan adalah tanda bahwa orang itu belum cukup dewasa, baik dari segi pemikiran atau ucapan. Bagi Alena? Tidak seperti itu. Aksi mogok bicara yang sudah dilakukan selama seminggu itu dilakukan karena sudah terlalu lelah menjadi seorang Alena Josephine Hadiwijaya.
Jika dia membuka suara pada ayahnya, maka akan dibilang terlalu banyak protes. Membuka suara pada ibunya, pasti akan disuruh untuk bersabar. Membuka suara pada kakak sepupunya, Noel, sudah pasti akan dibilang terlalu manja. Pada Joel? Cih! Bajingan itu bahkan sempat mengatakan bahwa dirinya terdengar seperti wanita jalang.
Mengingat kesemuanya itu, Alena mendengus kesal dan mengumpat dalam hati. Apa yang dilakukan selalu salah. Yang benar adalah dia harus menuruti semua kehendak orang, suka atau tidak suka, dan mau atau tidak mau. Geram, itu sudah pasti. Marah, skala kemarahannya sudah melewati batas jarum toleransi. Akhirnya, dia memilih untuk diam sebagai aksi pertahanan terakhir karena sudah terlalu lelah, yang diberi julukan mogok bicara oleh semua orang. Bahasa yang mudah untuk dimengerti? Ngambek.
Kembali menyeka peluh yang terus keluar dari kening, Alena mulai kepanasan. Penderitaannya seperti tidak ada habisnya dengan harus mendampingi Joel untuk terjun lapangan. Perusahaan baru yang didirikan oleh Nathan untuknya, mengharuskannya untuk mengikuti semua kegiatan secara internal ataupun external.
Joel, yang diutus sebagai perwakilan yang menduduki bangku CEO, adalah orang terkutuk yang harus diikuti Alena setengah hati. Setiap harinya, bajingan sialan itu akan memimpin rapat, memberi perintah ini itu, dan Noel hanya duduk manis di bangku sialannya sambil melempar senyum geli melihat ekspresi Alena.
Kini, Alena sedang menelusuri lokasi yang akan segera dibangun jembatan dan perluasan jalan raya sambil memperhatikan struktural desain yang dipegang oleh beberapa insinyur yang ada di lokasi itu. Alena sibuk mencatat apa saja yang dikatakan Joel saat pria itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, berjongkok lalu berhitung, dan menyebutkan beberapa angka untuk dicatat olehnya.
Tingkat kemacetan ibukota bukanlah berita baru karena meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, yang sudah jelas menambah pekerjaan bagi pemerintah untuk segera merancangkan struktur tata kota yang bebas macet, meski hal itu masih terbilang mustahil. Joel adalah salah satu dari insinyur senior yang sudah beberapa kali ikut dalam membangun infrastruktural pembangunan kota, juga rancangan konstruksi dalam sistim irigasi, bendungan, sampai tower telekomunikasi. Tidak heran jika dirinya terpilih kembali untuk memberikan masukan dan perhitungan pembangunan secara struktural untuk proyek kali ini.
JC-Holdings.Inc adalah firma teknik yang didirikannya dan sudah diperhitungkan sebagai salah satu firma terbesar dalam pembangunan kota. Dan Alena mendengus karena mengingat betapa hebatnya kemampuan bajingan itu dalam pekerjaan, sehingga tidak ditemukan celah untuk dijatuhkan. Terlalu sempurna dalam dunia nyata, hingga terasa begitu menyakitkan mata dan hatinya. Shit.
Cuaca yang panas membuat Alena merasa gerah tapi tidak ingin mengeluh karena tidak ada gunanya, sebab sudah pasti akan dicemooh. Meski Joel tampak menyimak pembicaraan para insinyur, namun sesekali dia melirik ke arah Alena yang berdiri di sampingnya untuk melihat apa yang dilakukan. Menjadi satu-satunya wanita yang ada di situ, sudah pasti Alena sudah menarik banyak perhatian.
Sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, Alena tampak biasa saja dan mengabaikan sekelilingnya dengan tatapan menunduk pada iPad yang dipegangnya. Dari antara semua musim, yang paling dibencinya adalah musim panas. Hawa panas yang terlalu terik akan membuat kepalanya pening, dan jika dihitung dalam waktu lima belas menit ke depan, bisa jadi dia akan mengalami epistaksis.
Tidak mengikuti perbincangan, sebab Alena sudah merasa tidak nyaman. Matanya sudah terpejam, dan langsung tersentak ketika merasakan adanya cengkeraman di bahu. Dengan panik, dia menoleh dan mendapati Joel sudah mendesaknya maju untuk berjalan meninggalkan sekelompok insinyur itu.
"Aku berharap mulai besok kau mengganti pakaian kerjamu dengan celana panjang! Lihat, apa yang sudah kau kenakan dan mengundang perhatian banyak orang? Setelan kerjamu terlalu pendek!" desis Joel dengan tajam, namun dalam suara yang begitu rendah.
See? Tidak membuka suara saja kembali mendapatkan teguran yang tidak diperlukan. Bahkan, cara berpakaiannya saja dikomentari, seolah semua yang dilakukannya sudah benar-benar salah. Alena hanya bisa menghela napas dan tidak membalas karena rasa peningnya semakin menjadi.
Pintu mobil sudah terbuka untuknya, dan Alena segera masuk, lalu duduk dalam posisi tegak sambil mengarahkan tubuh sedikit ke depan. Matanya terasa memberat dengan kedua pipi mulai memanas. Dia benci harus mengalami hal yang tidak diinginkan seperti ini.
Ketika dia bisa merasakan darah segar mulai mengalir keluar dari hidung, di situ sesuatu yang dingin mendarat tepat di batang hidungnya. Sebuah gel pendingin yang dipegang Joel memberi sedikit kenyamanan baginya, juga sapu tangan pria itu sudah diarahkan tepat di bawah hidungnya.
"Nyalakan pendingin, Brant," ujar Joel dengan tenang pada supir pribadinya.
Supir pribadi yang lebih menggairahkan ketimbang majikan itu menjalani perintah Joel dengan patuh. Lucu, pikir Alena. Apakah di Indonesia sudah kehabisan tenaga supir, sehingga Joel perlu mencarinya di luar negeri? Cukup aneh dengan kenyataan seorang bule bekerja menjadi supir pribadi yang juga terlihat seperti tukang pukul.
Mobil sudah melaju, tapi keduanya masih dalam posisi awal. Alena yang duduk tegak sambil menahan sapu tangan di bawah hidungnya, dan Joel yang memegang gel pendingin di batang hidungnya. Satu tangan Joel mendarat di tengkuk, membantunya untuk menahan posisi kepala agar tidak terkulai karena kepala yang masih terasa pening.
"Kau tidak menikmati sarapanmu dan datang dengan perut kosong. Apa seperti ini caramu menghargai dirimu sendiri, Na? Berpakaian terbuka, tidak makan secara teratur, dan terus... damn! Kenapa aku harus terus memarahimu seperti ini dan kau hanya diam seribu bahasa?" sewot Joel sambil menggeram pelan.
"Aku membencimu. Benci sekali!" balas Alena dengan sungguh-sungguh.
Joel mengangguk. "Setidaknya, mulutmu sudah bisa membalas dan tidak hanya terdiam. Apa kau sudah merasa lebih baik?"
Saat memberi pertanyaan terakhir, suara Joel melembut. Sorot matanya pun demikian, tampak cemas dan terus menatapnya seolah ingin mencari jawabannya lewat sorot mata tajam yang dilemparkan Alena padanya.
Alena mengangguk sebagai jawaban karena memang seperti itu. Pendarahan sudah berhenti, meski rasa pening di kepalanya masih belum hilang. Sapu tangan yang dipegangnya diambil oleh Joel, bersamaan dengan gel pendingin yang ditarik olehnya. Dengan gerakan cepat, Joel menaruh gel pendingin di tengah mobil yang adalah pendingin serbaguna yang berisi banyak botol kecil dan beberapa gel pack di sana.
Seperti dulu, kesukaan Joel akan otomotif tidak hilang. Menyukai mobil sport dan SUV, lalu memodifikasi dengan berbagai macam interior yang canggih. Bahkan sepertinya, kegilaan pria itu akan teknologi disalurkan lewat interior mobilnya yang tidak pernah dilihat Alena sebelumnya.
"Ke mansion keluarga, Brant," tukas Joel memberitahu tempat tujuan pada supirnya.
"W-Wait, kita kemana?" tanya Alena bingung sambil mencengkeram lengan Joel untuk menuntut penjelasan.
Joel berbalik dan mengarahkan tissue basah untuk membersihkan hidung Alena dengan hati-hati. "Mom dan Dad ingin bertemu denganmu. Mereka sudah kembali dari LA dan katanya merindukan putri baptisnya. Bukankah mereka sudah menghubungimu dan kau bersedia datang untuk bertemu dengan mereka? Tadi pagi, mereka sudah mendarat."
Alena melupakan janji yang dilakukannya sejak dua hari yang lalu, lalu mengumpat pelan karena memiliki janji yang sama dengan orang lain.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya Joel dengan alis terangkat.
Alena mengabaikannya dengan meraih tas dan mengambil ponsel. "Aku harus membatalkan janjiku dengan Rene. Dia...,"
"Rene?" sela Joel tanpa ekspresi, namun tatapannya menajam.
Alena tidak menggubris kesan tidak suka dari Joel karena sudah menempelkan ponsel di telinga. Sudah seminggu ini, Alena kembali menjalin pertemanan dengan temannya semasa SMU. Tidak terkecuali Rene Yonathan, si ketua klub basket yang menjadi pujaan pada masa itu. Tidak sampai menjalin hubungan, tapi sempat dekat, karena Alena cukup kagum dengan ketampanannya yang abadi.
Seminggu itu juga, pria itu selalu menjemputnya setiap pulang kerja, atau mampir ke kantornya untuk mengajak makan siang bersama. Bertemu dengannya, Alena merasa nostalgia untuk mengenang masa SMU yang terbilang cukup menyenangkan. Setidaknya hal itu bisa membuat perhatiannya teralihkan dari berbagai tuntutan ayahnya, juga kehadiran Joel yang menjengkelkan.
Dengan nada pelan dan lembut, Alena menyampaikan maafnya pada Rene, yang sudah pasti pria itu tidak akan mempermasalahkannya. Pengertian dan cukup dewasa, tapi memiliki selera humor yang payah. Namun, Alena cukup berbangga hati karena pria itu adalah satu-satunya orang yang tidak pernah memerintah atau memarahinya, selain menuruti apa yang dikatakannya.
"Kau sudah menjalin hubungan dengan pria yang kau baru kenal?" tanya Joel dingin, saat Alena menyudahi teleponnya.
"Hanya sekedar hang-out, bukan kekasih. Lagipula, itu bukan urusanmu," jawab Alena ketus.
"Sudah merasa lebih baik, dan kau bisa menjawabku seperti itu," balas Joel.
Apa sih masalahnya? Keluh Alena dalam hati. Entah kenapa pria itu selalu bersikap seperti orang yang sok tahu dan merasa berhak mengekangnya.
"Apa kau tidak lelah seperti ini, El? Kenapa kau terus menaikkan suara, mengatur hidupku, dan menghakimiku seperti itu? Jika kau berpikir hal itu bisa membuatku tertarik, lebih baik buang jauh-jauh pikiran itu! Sebaik apa pun dirimu, aku tidak akan pernah memilihmu lagi!" ucap Alena dengan sinis.
"Kau bukan seseorang yang seperti ini, Na," balas Joel lagi.
"Dan itu bukan tanggung jawabmu untuk membuatku berubah. Dengar, mungkin dulu aku memang menyukaimu, tapi sekarang tidak. Persis seperti apa yang kau katakan bahwa apa yang kurasakan padamu hanya sekedar obsesi. Bukan cinta yang sebenarnya," sahut Alena dengan penuh penekanan dan menatapnya dingin. "Satu lagi, apa yang pernah kita lakukan, seperti di mobil dan di pesawat waktu itu, adalah kesialan terbesar yang pernah kualami. Jadi, jangan coba-coba untuk terus mengungkitnya atau aku akan membuatmu menyesal."
Rasanya sangat puas melihat ekspresi Joel berubah menjadi gelap seperti itu. Ditambah lagi, pria itu tidak lagi membalasnya dan bungkam sampai mereka tiba di rumah keluarganya. Jika Alena merasa kesal dengan kehadiran Joel, lain halnya jika berurusan dengan orangtuanya. Daddy Christian dan Mommy Miranda adalah orangtua baptis yang sangat dikasihinya setelah Nathan dan Lea.
Begitu mobil sudah memasuki pekarangan rumah dan tampak Miranda sudah berdiri di depan lobby untuk menyambut, Alena segera keluar dari mobil dan berlari untuk memeluknya dengan erat.
"Mommy!" pekik Alena senang, sambil melompat-lompat kecil ketika sudah memeluk wanita yang sangat dikaguminya.
"Apa kabar, Sayang? Udah betah di Jakarta?" tanya Miranda lembut, sambil menarik diri untuk menatap Alena dengan mata yang berbinar kagum. "Anak Mommy tambah cantik, yah."
"Aku baik, Mom. Thanks," balas Alena senang.
Miranda mengerutkan alis ketika melihat Joel datang menghampirinya dengan ekspresi masam, mencium keningnya dengan cepat, lalu masuk ke dalam tanpa berbicara apa pun. Dia menoleh pada Alena yang langsung mengangkat bahu dengan acuh tak acuh. Biarkan saja bajingan itu merasa kesal karena sudah membuatnya naik pitam.
Christian muncul dan langsung tertawa ketika Alena sudah melompat dalam pelukannya. "Daddy's Big Girl, my Alena. How are you, Beautiful?"
"Awesome, Dad. Abis balik honeymoon atau gimana? Kok bisa dua-duaan gitu perginya sama Mommy?" goda Alena setelah melepas pelukan.
"Suami siaga harus temenin istri kemana aja. Kan udah jadi satu," balas Christian sambil terkekeh geli dan membiarkan Miranda menoyor kepalanya, lalu tertawa geli bersama-sama.
"Bisa nemu dimana lagi sih, suami kayak gini, Mom? Kasih tahu aku kalo ketemu, aku mau daftar," ujar Alena sambil menatap pasangan itu dengan sumringah.
"Itu tadi yang masuk, emangnya kurang mirip?" tanya Christian geli sambil menunjuk asal ke belakang.
Alena mengerucutkan bibirnya, tanda tidak setuju. "Dia nyebelin. Galak. Aku nggak suka."
"Wah, kalau udah nyebelin dan galak, itu tandanya kalian bisa jodoh. Kan, emang udah tradisinya kayak gitu. Sebel-sebel tapi sayang. Galak-galak tapi perhatian. Intinya, jangan terlalu sering ngomong nggak suka, apalagi bilang benci. Nanti kenyataannya jadi lain," ujar Christian sambil merangkul bahu dan membimbingnya untuk masuk ke ruang utama.
"Aku tuh...," Alena yang hendak bersuara, langsung berhenti ketika melihat Joel kembali, tapi sudah berganti pakaian.
"Hey, Man. Where are you going?" tanya Christian sebal.
"I have a lot of things to do, Dad," jawab Joel langsung.
Joel tampak begitu... sempurna. Bagaimana bisa bajingan itu tetap menarik perhatian Alena dalam berbagai situasi? Dalam keadaan suka, senang, kesal, dan benci sekalipun, Alena sanggup memberi perhatian lebih dari apa yang dikenakan pria itu. Memakai balutan serba hitam yang membungkus pas di postur tubuhnya yang tinggi dan besar, juga jaket kulit yang membuat penampilannya tampak begitu meyakinkan.
"You can't go before you have lunch with us!" tegas Christian.
"But..,"
"No more but, Buddy. Sit!" sela Christian sambil menunjuk ruang makan dengan alis terangkat menantang.
Alena mengatupkan bibir untuk menahan senyuman ketika melihat Joel berdecak pelan dan menuruti perintah Christian dengan berjalan ke ruang makan. Miranda hanya melebarkan cengiran sambil menepuk pipi Joel dengan hangat ketika pria itu sudah tiba di dekatnya.
"Kau harus makan lebih dulu, sebab pekerjaan masih bisa menunggu," ujar Miranda dengan suara pelan, tapi masih bisa didengar oleh Alena saat melewati keduanya.
"Kau tahu pekerjaanku selalu mendesak," balas Joel.
"Dan aku tahu kau pasti sudah memperhitungkan semuanya. Aku berani bertaruh bahwa kau memiliki satu jam lebih awal dari waktu yang ditentukan, bukan begitu?" sahut Miranda dengan alis terangkat setengah.
Joel hanya tersenyum pelan dan mencium pucuk kepala ibunya dengan dalam. "I love you."
Perasaan Alena menghangat ketika melihat interaksi antara Joel dan Miranda sambil duduk di kursinya. Bahkan, dia tidak repot-repot untuk mengalihkan tatapan ketika Joel sudah berbalik dan mendapatinya sedang memperhatikan.
"Kenapa wajahmu seperti itu? Jangan menangis, Cengeng," celetuk Joel sambil menarik kursi dan duduk di sampingnya.
Christian terkekeh sambil menyodorkan selembar tissue pada Alena untuk mengusap wajahnya.
"Alena tidak cengeng, hanya saja hatinya terlalu lembut dan mudah terbawa perasaan," koreksi Miranda yang sudah duduk tepat di sebrang Alena.
"Dia sering mengataiku, Mom," lapor Alena sambil mengusap matanya yang basah tanpa disadarinya.
Setiap kali mendengar kisah hidup keluarga ini, setiap kali itulah Alena merasa terharu. Cukup rumit dan menyesakkan, sampai Alena tidak sanggup memahami bagaimana mereka bisa melalui masa-masa sulit seperti itu. Sebuah tangan besar mendarat di atas kepalanya, dan itu dari Joel. Tangan itu membelai lembut, lalu turun di punggungnya untuk mengusap pelan seolah menenangkan. Bisikan hangat terdengar dan itu membuat Alena harus menghela napas dengan berat.
"Itu sudah berlalu, jangan cemas. Kami baik-baik saja dan akan selalu seperti itu," bisik Joel.
Alena menoleh padanya dan menganggukkan kepala, lalu keduanya saling melempar senyuman, dimana Christian dan Miranda memperhatikan mereka dengan perasaan yang menyenangkan.
Makan siang itu berlangsung seperti biasa. Tidak canggung dan begitu ramai. Sebab, semuanya memiliki cerita untuk dibagikan dan dibalas dengan gelak tawa yang memenuhi ruangan. Terkecuali Joel yang hanya menyimak sambil menikmati makanannya dalam diam, sesekali memeriksa ponselnya dengan alis berkerut dan ekspresi serius, lalu menekan sisi telinganya sambil memejamkan mata seolah mendengarkan sesuatu. Melihat hal itu membuat Alena harus mendengus pelan. Apakah harus sampai sesibuk itu? pikirnya heran.
Makan siang itu pun usai, dimana Joel langsung beranjak berdiri dari kursinya. "Aku harus pergi sekarang. Brant akan tetap di sini untuk mengantar Alena."
"Tidak usah! Nanti Dad yang akan mengantarnya," seru Christian cepat.
"Tunggu!" cegah Alena sambil beranjak dan mencengkeram pergelangan tangan Joel untuk menahan langkah pria itu.
Semuanya menoleh padanya dengan tatapan bertanya, dan membuat Alena salah tingkah.
"Ada apa?" tanya Joel dengan alis berkerut.
"Dad dan Mom baru mendarat tadi pagi," jawab Alena cepat.
"Lalu?"
"Mereka masih lelah dan kurasa tidak perlu mengantarku."
"Aku sudah mengatur Brant untuk tetap di sini, tapi Dad yang ingin mengantarmu. Katakan saja padanya."
Alena mendengus tidak suka ketika Joel kembali menjalani peran bajingannya. "Itukah caramu memperlakukan wanita?"
"Apa?"
"Kau membawaku ke sini, lalu membiarkanku pulang dengan orang lain? Seharusnya kau juga yang mengantarku pulang! Itu baru namanya tanggung jawab! Atau, jangan-jangan kau tidak mengerti arti kata itu dan selalu berakhir menjadi pecundang?" desis Alena geram.
Christian dan Miranda sama-sama menopang dagu untuk melihat bagaimana Alena sanggup membuat Joel bungkam dan seperti kewalahan di sana. Mereka mengulum senyum geli dan tidak berusaha untuk membantu, saat Joel sudah melirik mereka untuk meminta pertolongan.
"Maafkan aku, Na. Tapi, ada hal yang harus kulakukan dan...," Joel menghela napas lelah dan menatap Alena pasrah. "Haruskah melihatku seperti itu?"
"Sudahlah, El. Antar Alena pulang terlebih dulu, baru selesaikan urusanmu," ujar Christian sambil menengahi mereka. "Alena benar, kami masih lelah dan sampaikan pada Nathan jika aku akan berkunjung besok. Okay?"
Miranda beranjak dan menghampiri Joel untuk merangkul bahu putranya. "Be good, Honey."
"Kalau begitu, ayo kita pulang. Jangan salahkan aku jika nanti kau akan merasa tidak nyaman. Juga, jangan mengeluh karena ini adalah keinginanmu!" ucap Joel sambil menarik Alena untuk menyingkir dari situ.
"Eh, tunggu. Sabar, aku belum siap, aduh. Bye, Mom! Bye, Dad! Arrrggghhh, El, tidak usah menyeretku seperti ini karena..."
Alena tidak sanggup melanjutkan karena sudah menatap ngeri pada apa yang dilakukan Joel sekarang. Pria itu menyeringai puas melihat ekspresi Alena saat melihat motor besarnya.
"K-Kau...,"
"Sudah kubilang jangan mengeluh dan jangan salahkan aku, Sayang. And yes, aku akan mengantarmu dengan motor ini," ucap Joel sambil memakai sarung tangan kulitnya.
Alena bersedekap, lalu bertekad untuk kembali ke dalam rumah. "Aku lupa jika masih ada yang ingin kusampaikan pada Daddy dan... ouch! Lepaskan aku, El."
Tiba-tiba, Joel sudah mencengkeram lengannya ketika Alena sudah berjalan kembali ke pintu utama. "Ada yang bilang untuk bertanggung jawab dan harus mengantarmu pulang karena aku yang membawamu ke sini. Tapi, kenapa kau yang berubah menjadi pecundang, Na?"
Alena menoleh dengan ekspresi cemas. "Tapi tidak dengan motor. Aku benci kendaraan itu. Aku lebih baik berkuda."
"Sayangnya, tidak ada kuda di sini. Tenanglah, kau aman bersamaku karena aku yang membawa kemudi. Tidak akan jatuh, aku janji," balas Joel sambil menyeretnya kembali ke arah motor.
"A-Aku memakai rok pendek, El. Seperti yang kau bilang jika aku akan menarik perhatian!" pekik Alena kencang.
Joel mengabaikannya dengan menerima sebuah kantung hitam dari supir pribadinya. Pria itu mendelik tajam pada Brant. "Gantikan aku sampai aku tiba di sana, Brant."
Brant mengangguk dan segera berlalu. Alena hanya mengerang pasrah ketika Joel sudah memakaikannya sebuah jaket besar yang menutupi seluruh tubuhnya sampai batas lutut. Dia menyeringai puas sambil memakaikan sebuah helmet pada kepalanya.
"Jangan lupa ini adalah keinginanmu," ujar Joel mengingatkan.
"Habisnya aku kesal melihatmu begitu sibuk sampai tidak ikut dalam obrolan keluargamu. Apa sih susahnya menyisihkan waktu yang tidak sampai setengah jam untuk mengobrol? Apa kau memiliki janji dengan wanita lain? Atau cemas jika nanti hubu...,"
Cup! Sebuah kecupan ringan mendarat di bibirnya dengan cepat. Joel mengulum senyum sambil menatapnya penuh arti. "Tidak ada janji dengan wanita lain, karena aku tidak menjalani hubungan dengan siapa pun. Aku memang sibuk, sangat sibuk sampai kurang memperhatikan keluargaku. Terima kasih sudah mengingatkan."
Alena merengut cemberut. "Jika kau pergi bersamaku nanti, aku tidak akan membiarkanmu memegang ponsel atau memakai alat konyol yang ada di telingamu! Kau benar-benar teman makan yang payah."
Alis Joel terangkat sambil menaiki motornya. "Apa aku bisa menyimpulkan jika kau berniat untuk mengajakku makan bersama?"
"Dalam mimpi!" balas Alena ketus, sambil berdecak untuk mengulurkan tangannya dengan enggan. "Bantu aku menaiki motor jelekmu. Oh dear, aku benci dengan motor ini. Kenapa harus ada benda konyol diciptakan dengan dua roda? Aku benar-benar takut jika kita akan jatuh."
Joel tersenyum sambil membantu Alena untuk duduk di belakangnya, mengatur posisi untuk kenyamanannya, dan berbalik sebentar untuk memastikan keadaannya. Satu tangannya sudah membelai lembut sisi paha Alena yang tersingkap, dan langsung mendapat desisan tajam, bersamaan dengan tepisan kasar darinya.
"Jangan menyentuhku!" desisnya kesal. "Cepat jalankan motor sialan ini, aku ingin tiba di rumah secepatnya."
Joel masih tersenyum dan menurunkan kaca helmet yang dikenakan Alena, lalu mengarahkan dua tangan Alena untuk memeluk pinggangnya. "Tidak usah takut, kau sudah bersamaku."
"Aku tahu," balas Alena sambil mengerjap cemas dan tampak tegang.
Joel menyalakan mesin, dan suara motor itu sudah mengaung, dimana Alena langsung mengeratkan pelukan di pinggangnya. Tampak semakin tegang dan gugup. Joel masih menyempatkan diri untuk menoleh dan menatap Alena dengan penuh arti, lalu mengucapkan sesuatu yang mendebarkan hati Alena, sebelum menutup kaca helmet-nya.
"Saat aku sudah kembali, aku janji akan mengajakmu kencan, Na," ujarnya.
"Dalam mimpi!" sahut Alena ketus.
"Sure, aku memang sedang menjalani mimpiku dan akan membuatnya menjadi kenyataan."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Na, kalo gak mau naik motor sama El, sini aku gantiin aja 😵
Kapan lagi bisa peluk2, dan kalo lagi hoki, sekalian pegang2 dikit? 🙈
BAPER BAPER BAPER...
AKU BAPER YA LORD 😢
Ngayal sendiri, tulis sendiri,
mencak2 sendiri, trus baper sendiri.
💜💜💜💜💜
10.03.2020 (17.18 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top