Part 13 - Global Positioning System
Ciyeee yang gemes 🤣
Gpp yah, biarkan Daddy istirahat.
Kasih Joel buat isi hari kalian 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Pletak!
Joel mengadu kesakitan ketika mendapat pukulan keras di kepalanya. Spontan, dia beranjak dan menegakkan tubuh sambil menangkup kepala. Pukulan itu diterima dari Alena yang tidak main-main dalam melayangkan pukulannya. Shit! Kepala Joel yang tadinya terasa lebih ringan setelah mendapat tidur singkat, kembali pening disertai denyutan nyeri di sana.
"Untuk pria yang tidak tahu diri seperti dirimu, kau pantas mendapatkan itu, El!" desis Alena tajam, dimana sudah beranjak dari sofa dan mengambil tas tangannya yang ada di meja.
"Aku hanya bertanya, dan kau tinggal menjawab," balas Joel sambil mendelik tajam.
Alena menoleh padanya dengan alis terangkat lantang. "Dan itu adalah jawaban untuk pertanyaan sialanmu! Masih bagus aku memberimu pukulan. Tadinya, aku ingin menginjak dadamu dengan heels-ku!"
Joel bersandar di sofa, lalu menyilangkan kaki untuk menatap Alena dari atas hingga bawah. Seperti biasa, wanita itu selalu tampil menawan, dan mampu memikat siapa pun yang melihatnya. Termasuk bajingan sialan yang ada di ruang rapat tadi.
"Kau masih marah," ucap Joel kemudian.
"Apakah itu masih perlu dipertanyakan?" desis Alena tajam.
"Kenapa? Bukankah itu yang kau inginkan, bahwa kau tidak mau bertemu atau melihatku lagi setelah tiba di Jakarta?" balas Joel dengan alis terangkat setengah.
Alena memejamkan mata sambil mendengus kasar, lalu membuka matanya kembali untuk melotot pada Joel. "Yang kau lakukan itu bukanlah hal yang patut dilakukan! Dan kau berutang penjelasan padaku. Oh, God! Kenapa hidupku selalu saja memiliki hutang penjelasan dari bajingan plin plan yang satu ini! Apa salahku sampai aku harus menyukainya waktu itu?"
Joel mengulum senyum geli melihat ekspresi Alena yang tampak begitu kesal. Bukan tanpa alasan dirinya langsung meninggalkan Alena di kamarnya, karena sudah ada pekerjaan yang harus dilakukan. Juga karena wanita itu membutuhkan waktu lebih untuk menenangkan diri dan mencerna semua yang terjadi, daripada menjadi histeris.
"Aku ada pekerjaan mendesak, dan baru mendarat bersama ayahmu," jawab Joel jujur.
"Tidak meneleponku?" seru Alena tidak terima.
"Untuk?" tanya Joel bingung.
"Kau berhutang penjelasan!"
"Aku tidak merasa berhutang penjelasan, tapi kau yang demikian. Penjelasan seperti apa saja, aku tidak tahu."
"Kau bajingan!"
"Memang."
"Kau jahat!"
"Aku tahu."
"Kau menyebalkan!"
Joel menghela napas dengan lelah. "Jika kau memang memiliki pertanyaan dan membutuhkan jawabanku, kenapa tidak menghubungiku? Kau memiliki nomor pribadiku, sebab aku tidak pernah mengubah nomorku."
"Aku tidak sudi! Memangnya kau pikir siapa, sampai aku harus menghubungimu lebih dulu? Bukan aku yang bersalah, tapi kau! Seharusnya kau yang menghubungiku dan meminta maaf, lalu menjelaskan apa yang terjadi padaku setelah di pesawat!"
"Baiklah," putus Joel lelah. "Aku minta maaf untuk semua tuduhan yang kau layangkan padaku."
Bukannya senang, Alena terlihat semakin dongkol. "Aku tidak menuduhmu, El! Aku... aarrrrggghhhh! Sudahlah! Aku kesal denganmu. Lebih baik aku pergi saja dengan temanku."
Alena sedang mengetik di ponsel dengan cepat, seperti akan memberi jawaban pada siapapun yang dia sebut sebagai teman. Joel melirik jam tangan, dimana dia masih memiliki waktu sekitar 10 menit. Nathan dan Noel sudah mendampingi kolega untuk pergi makan malam bersama, sementara dirinya diutus untuk mengantar Alena pulang.
Jika bukan karena Noel, mungkin saja Joel sudah bersama dengan Nathan sekarang. Bajingan kecil itu menyuruhnya untuk membina hubungan baik dengan menjadi orang yang tahu diri. Sial! Situasi yang dialami Joel selalu tidak menyenangkan, dan dirinya masih mendapat predikat tidak tahu diri dari orang lain. Heck.
"Jangan pergi, Na," ucap Joel yang kini sudah berdiri berhadapan dengan Alena.
Alena mendesis sinis padanya. "Tidak usah ikut campur. Aku pergi dengan siapa saja, bukan urusanmu."
"Tapi aku diminta oleh ayahmu untuk mengantarmu pulang," balas Joel.
"Masih ada Noel yang...,"
"Dia sudah pergi mendampingi ayahmu untuk makan malam bersama dengan pihak Maxwell," sela Joel cepat.
"Kalau begitu, aku bisa menelepon supir pribadiku untuk menjemput, atau taksi," ujar Alena keras kepala.
"Hanya duduk di mobilku, tidak akan membuatmu terluka," tukas Joel sambil memutar bola matanya.
"Yeah, tidak akan membuatku terluka, tapi menyesal! Apa kau lupa apa yang kau lakukan padaku di mobil?" balas Alena lantang.
Joel menyeringai licik. "Kita tahu siapa yang lupa tentang hal itu, bukan? Apa kau sudah mengingatnya setelah pengulangan di pesawat? Atau jangan-jangan, kau merindukanku?"
Wajah Alena memerah, tampak gelisah dan membuang tatapan ke arah lain. Sesuai dugaan bahwa wanita itu mengingatnya dalam cara yang berbeda. Joel menyukai hal itu. Menggemaskan, pikirnya.
"Aku benar-benar sudah membuang waktu di sini," gumamnya pelan, sudah beranjak sambil menggenggam tas tangan, tapi langkahnya terhenti oleh Joel yang sengaja menghalangi langkahnya.
"Ada apa lagi?" decaknya pelan.
Sambil tersenyum, Joel meraih Alena dalam pelukan yang erat dan mantap. "Maafkan aku, Na."
"Jika kau tidak tahu alasan kau meminta maaf, maka...,"
"Untuk semua kesalahan yang sudah kuperbuat. Semuanya. Dari sejak dulu, hingga sekarang. Termasuk meninggalkanmu dan tidak mengabarimu setelah kejadian di pesawat. Meski sebenarnya aku tidak menyesal, tapi aku benar-benar tulus untuk meminta maaf," sela Joel hangat, dan mencium pucuk rambut Alena dengan dalam.
"Bersikap seperti ini, tidak akan meluluhkanku, El. Sorry not sorry," balas Alena sambil menggeleng pelan dan mendorong Joel menjauh. "Aku tetap tidak ingin terlibat dalam hubungan apapun denganmu."
"Baiklah, itu berarti kau ingin aku pergi lagi, bukan begitu? Atau kau yang ingin pergi lagi dariku? Kita bisa merundingkan soal aksi kabur-kaburan seperti ini," tanya Joel dengan nada menggoda.
"Kau benar-benar ingin mencari mati denganku, yah?" balas Alena dingin.
Joel melebarkan senyuman sambil membungkuk untuk menatap Alena dalam jarak pandang yang sama tinggi. "Aku hanya pergi selama seminggu karena ada pekerjaan mendesak, bukan seperti dirimu yang pergi dan menghindariku selama lima tahun. Dua hal itu sangat berbeda."
Alena semakin menatapnya dengan ekspresi penuh kebencian, tapi Joel tidak peduli. Terasa menyenangkan untuk bisa mempermainkan emosinya yang masih begitu labil, terutama terhadap dirinya. Sebab, itu menandakan bahwa dirinya masih memberi pengaruh cukup besar bagi Alena dan merasa senang akan hal itu.
"Pada intinya, aku merindukanmu. Sangat," lanjut Joel dengan tatapan penuh arti.
Alena hanya memberi respon biasa saja dan menautkan rambutnya ke belakang telinga, lalu menatapnya dengan sorot mata dingin. "Bukankah tadi kau bilang jika Papa memintamu untuk mengantarku pulang?"
Joel mengangguk. "Sure."
"Baiklah. Kalau begitu antar aku dan kau bebas tugas setelahnya," balas Alena sambil berjalan mendahului Joel tanpa menoleh lagi ke belakang.
Joel tertawa pelan dan mengikuti Alena keluar dari ruangannya. Tidak ada pembicaraan selama perjalanan menuju ke pelataran parkir, sebab Alena sudah sibuk sendiri dengan ponselnya. Joel sempat melirik layar ponsel Alena yang berisikan chat penuh di sana, dan memutar bola mata sambil menggelengkan kepala. Kebiasaan lama kembali muncul, keluhnya dalam hati.
"Sudah kubilang untuk tidak terus menggoda, Na," komentar Joel sambil membukakan pintu depan.
Alena tidak menggubrisnya, tapi justru membuka pintu belakang. Hendak masuk ke dalam, tapi Joel sudah lebih dulu mencengkeram lengannya dan menatapnya dengan sinis. "Duduk di depan, atau aku akan menindaklanjuti apa yang ada dalam pikiranku jika kau sengaja duduk di belakang. Aku bukan supir!"
"Dan aku membutuhkan supir! Jika kau tidak mau, aku bisa mencari taksi! Atau menelepon satu dari para pria yang mendekatiku saat ini untuk...,"
BRAK! Pintu belakang ditutup dengan keras oleh Joel, sehingga Alena memekik kaget dan mengerjap cemas. Rahangnya sudah mengetat dengan napas yang sudah mendengus kasar.
"Masuk!" perintah Joel tegas.
Alena mengerut cemberut dan segera masuk ke dalam mobil dengan emosi yang tertahan. Joel menutup pintunya dengan keras, mengedarkan pandangan ke sekeliling untuk memperhatikan pelataran parkir basement yang sepi, sambil berjalan memutari mobilnya, dan masuk ke bangku kemudi.
"Aku tidak menyangka kau akan menjadi bajingan yang bertingkah seenaknya dan kasar seperti ini," ucap Alena ketus.
"Jadikan itu satu pelajaran bahwa tidak ada gunanya merajuk atau bersikap semaumu dimulai dari sekarang. Seperti dirimu, aku juga berubah. Kita berdua adalah orang asing yang baru bertemu dan tidak mengenali satu sama lain. Paham?" balas Joel sambil melirik sinis Alena. "Dan satu lagi, jangan pernah membandingkan diriku dengan koleksi bajinganmu. Itu sama sekali tidak keren, karena kau terdengar seperti wanita jalang."
Shit! Joel mengumpat dalam hati untuk mulutnya yang begitu lancang dalam mengeluarkan sebuah kalimat yang akan semakin memperkeruh suasana. Dia bisa melihat Alena tertegun dan bergeming sambil menatapnya tidak percaya.
Kemudi sudah dilajukan, dan suasana begitu hening. Alena tidak membalas dengan keras kepala seperti biasa. Dia terdiam sambil menatap keluar jendela. Joel menggertakkan gigi karena sudah mengeluarkan ucapan yang begitu buruk untuk didengar Alena, meski dia sama sekali tidak bermaksud untuk menyakiti.
Pertemuan dengan Alena kembali, seharusnya menjadi hal terindah bagi Joel setelah menahan diri selama beberapa tahun untuk terus dianggap seperti yang sering dituduhkan padanya. Bingung, itu yang dirasakannya. Karena ternyata, dirinya belum cukup siap untuk menghadapi Alena yang dirindukannya. Damn to myself, rutuknya pada diri sendiri.
Ponsel berbunyi dan Alena segera mengangkat telepon itu. Joel melirik singkat pada Alena yang terlihat sedang mendengarkan dengan tenang, memaksakan sebuah senyuman, sebelum membalas dalam nada yang terdengar begitu pelan. Telepon itu dimatikan dan Alena masih belum memberikan reaksi.
"Kurasa...," suara Joel terdengar dan menggantung, karena dia tidak tahu apa yang ingin disampaikan. Hanya saja...
"Kurasa kau bisa turunkan aku di depan sana," timpal Alena dengan lugas.
Joel mengangguk sebagai persetujuan. Entah kenapa kebersamaan yang terjadi saat ini, membuat keduanya merasakan gejolak amarah yang sama dan enggan untuk diluapkan pada satu sama lain.
"Apa kau yakin?" tanya Joel untuk sekedar memastikan.
"Seyakin aku ingin melemparmu ke neraka saat ini," jawab Alena tanpa menoleh ke arahnya.
Joel mengambil sesuatu dari sisi pintu mobilnya, secepat kilat memindahkan hal itu ke tangannya yang lain, dan menyelipkannya pada tas tangan Alena dengan mudah, karena wanita itu masih menatap ke luar jendela.
Membelokkan kemudi untuk memasuki sebuah pusat pembelanjaan, dan menghentikannya tepat di depan lobby utama. Alena segera menarik tas tangan untuk keluar. Kembali Joel menahannya sebentar untuk sekedar memastikan, tapi Alena langsung menggeram dan berdecak kesal.
"Lepaskan!" desis Alena.
Menatapnya selama beberapa saat dalam diam, Joel menganggukkan kepala sambil melepas cengkeramannya. "Hati-hati. Dan maafkan ak...,"
BLAM! Pintu sudah ditutup dengan kencang oleh Alena, tanpa perlu repot-repot mendengarkan lanjutan ucapan Joel.
Wanita itu berjalan dengan cepat dan begitu anggun memasuki lobby, dimana setiap orang yang melewatinya, sudah pasti menoleh untuk melihatnya lebih lama dengan tatapan kagum di sana. Mendengus kasar, Joel segera mengambil ponsel dan melakukan panggilan.
"Follow her, Brant. And I don't want any shit around her. Is that clear?" ucapnya datar sambil mendelik tajam pada sosok Alena yang sudah melewati petugas keamanan untuk memeriksa tas, dan menghilang setelah melewati pintu kaca.
"Copy that, Sir."
Joel segera mematikan sambungan telepon, dan mengetik sejumlah angka dalam sebuah aplikasi khusus untuk mengaktifkan sesuatu. Layar ponsel sudah menampilkan sebuah sinyal gelombang mikro dalam titik merah yang mengedip di sana, menangkap keberadaan yang diinginkannya untuk mengawasi dari kejauhan.
Hal yang sudah biasa dilakukan selama lima tahun terakhir, dan sudah menjadi tugas hariannya untuk memantau keberadaan Alena dari kejauhan. Tujuannya adalah untuk menjaganya dan memastikan agar wanita itu tetap aman, meski tidak diketahui olehnya.
Karena baginya, pembuktian diri jauh lebih penting dibanding rangkaian kata-kata manis yang hanya indah untuk didengar. Lagipula, dia bukan roman picisan. Bukan juga pemimpi, melainkan pemimpin. Sebab, dia lebih dari itu. Bahkan, jauh lebih baik dari itu.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Mau kabar baik?
Oke! Karena aku sayang kalian,
maka aku akan update 2x hari ini.
Lapak ini dan lapak yang lain.
Ditunggu aja, yah.
Gausa terharu, aku mah gitu orangnya 😛
04.03.2020 (19.54 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top