Part 12 - The meeting

Dear Wattpad, you are sucks!

Sudah seminggu berada di Jakarta, tapi Alena merasa asing di rumahnya sendiri. Belum lagi, Nathan seperti sedang menghukumnya dengan tidak berada di rumah selama dirinya di sana. Sungguh, terbiasa di mansion yang ramai dengan kehadiran para adik, kini harus berganti dengan rumah keluarga yang hening dan sepi.

Nathan yang selalu menjadi orang pertama yang menyambut kepulangannya, kini entah kemana. Ibunya, Lea, berujar bahwa ayahnya sedang menjalani perjalanan bisnis bersama dengan sahabatnya yang lain. Ingin menelepon, tapi Alena ragu, sebab terakhir kali bertemu, Nathan sudah begitu murka dengannya. Belum lagi soal kunjungannya pada klub malam, dimana Ashley memberitahunya lewat video call dua hari lalu, bahwa para ayah sudah mengetahui hal itu.

Alena menghela napas, lalu berdecak malas ketika mengingat semua yang terjadi. Tidak ada gunanya berdiam diri, juga tidak memiliki waktu untuk mengeluh, karena segala sesuatu harus dihadapi.

Meski Nathan tidak ada, tapi sudah ada perwakilan yang diutus untuk mengarahkan Alena. Tentu saja, orang itu tidak kalah menyebalkannya seperti Nathan, yaitu anak baptisnya, Noel.

Kakak sepupunya itu seolah ingin menyiksanya dengan berbagai tugas yang tidak dimengerti. Proyek merger itu sudah dalam proses pekerjaan, dan berbagai dokumen sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Menjabat sebagai CFO, Noel memberikan pengarahan tentang apa saja mengenai keuangan padanya.

"Jika sudah ada kau, untuk apa aku harus menjalani proyek sebesar ini?" keluh Alena untuk kesekian kalinya.

Noel melirik malas ke arahnya. "Setidaknya, itu lebih baik daripada kau yang mengurus semuanya tanpa aku."

"Kau terdengar seperti tidak rela," ucap Alena sambil menekuk bibirnya.

"Memang demikian, karena gara-gara kau, aku tidak bisa bersama dengan Nessie," balas Noel tanpa ragu.

Alena menggelengkan kepala dan kembali merasa tidak percaya dengan rahasia yang diketahuinya dari Noel. "Aku masih meragukan soal dirimu yang begitu menyukai Vanessha. Pantas saja, kau tampak tidak suka saat aku dan Ashley mengenalkannya pada pria lain, lalu...,"

"Jika kau memiliki banyak waktu untuk bercerita, lebih baik selesaikan laporan jurnal yang kuinginkan!" sela Noel tajam.

Berdecak kesal, Alena menaruh pulpen dengan kasar di atas meja. Berada di ruang kerja Noel, membuat Alena bosan setengah mati. Satu minggu berada di Jakarta, seperti sudah berbulan-bulan. Dia ingin bersenang-senang seperti dulu. Bekerja sebagai pegawai kantoran, bukanlah kesukaannya, sebab lingkungannya hanya itu-itu saja. Berbeda dengan modelling atau dunia entertain, sudah pasti dia akan bertemu dengan orang baru, dan akan semakin mengenal banyak orang.

"Aku bukan ahli keuangan seperti dirimu, Brother. Dasar pendidikanku ada di bidang lapangan, bukan di dalam ruangan!" protes Alena yang hanya ditanggapi dengan datar oleh Noel.

"Kebetulan sekali, orang yang akan membimbing di bidang lapangan itu sedang sibuk. Jadi, kesialan tetap berpihak padaku karena harus membimbingmu selama seminggu ini. Ambil pulpenmu dan kembali bekerja!" ucap Noel dengan nada perintah.

Alena mengambil pulpennya dengan ekspresi tidak rela. "Papa belum pulang. Sepertinya dia sangat marah padaku."

Noel menyeringai sinis. "Siapa yang bilang jika Daddy Nathan yang akan membimbingmu, Sayang? Meski dia adalah komisaris dalam proyek baru ini, tapi dia tidak akan ambil bagian dalam proses pekerjaannya."

"What? Lalu siapa?" tanya Alena bingung.

"Tentu saja, Kakak Tertua kesayangan para ayah, yang memiliki bakat dan kemampuan di atas rata-rata soal hitungan dimensi, ruang, keuangan, semuanya," jawab Noel yang semakin menyeringai lebar.

Alis Alena berkerut tidak suka. "Maksudmu, Joel?"

"Tentu saja. Sebab, dia adalah CEO dalam proyek ini. Kuharap kalian bisa bekerja secara profesional, meskipun affair adalah pengalihan terbaik dalam setiap aspek pekerjaan manapun."

"Aku tidak mengerti arah bicaramu dan tutup mulutmu, Noel!"

Alena mendengus kesal ketika Noel tergelak. Mengingat Joel, sudah membuatnya geram dengan kejadian pesawat itu. Dia tertidur di pesawat, tapu terbangun di kamar tidurnya sendiri. Tentu saja, dia kebingungan dan mempertanyakan sisa cerita dari bajingan itu. Hingga sekarang. Tanpa jawaban.

"Ada yang bilang untuk tidak saling berkomunikasi setibanya di Jakarta. Tapi lihat apa yang kau lakukan? Kau meneleponku lebih dulu, Cantik," ucapnya saat itu, dan Alena langsung membanting ponselnya dengan geram.

Ingin meluapkan amarah, namun tidak bisa, sebab pria sialan itu benar-benar tidak menunjukkan dirinya sampai hari ini. Alena pun enggan untuk menanyakan keberadaannya, dan tidak ingin menelepon lagi. Dia sudah berjanji pada diri sendiri akan membuktikan pada pria sombong itu, bahwa sudah tidak ada rasa yang tertinggal dalam diri.

Sialnya, rasa cinta yang katanya ambisi itu memang sudah hilang, tapi berganti dengan sensasi asing yang merindukan sesuatu yang berbeda. Sentuhannya. Shit! Alena bahkan terus membayangkan setiap detik kenikmatan yang Joel berikan padanya. Tidak, batin Alena sambil menggelengkan kepala. Dia harus menghapus ingatan itu dengan mencari yang lain.

"Merasa rindu, huh?" ejek Noel yang sedaritadi memperhatikannya.

"Rindu? Aku bahkan ingin mencekiknya. Tidak usah membahasnya, aku kesal."

"Benarkah? Kau ingin mencekik ayahmu sendiri?" balas Noel geli.

"Apa sih maksudmu?" decak Alena kesal.

"Pertanyaanku ditujukan pada ayahmu, bukan dia. Silakan berpikir sendiri, siapa yang membahasnya lebih dulu," sahut Noel yang langsung tertawa keras saat melihat ekspresi Alena sudah menggelap.

"Kalian sama-sama bajingan!" desis Alena sambil beranjak dan mengumpulkan kertas-kertas itu. "Aku akan mengerjakannya di ruanganku saja."

"Silakan saja," ucap Noel santai, lalu mengalihkan perhatian pada ponselnya dengan sorot mata yang serius.

Heran, itulah yang dirasakan Alena setiap kali melihat gerak gerik para anak lelaki sekarang. Mereka sudah jarang bercanda, dan cenderung serius. Setiap kali menatap ponsel, sorot mata dan ekspresi sepenuhnya akan berubah. Entahlah. Alena merasakan ada yang menjanggal melihat kesemuanya itu.

Baru saja masuk ke ruang kerjanya, Alena tersentak kaget ketika melihat ada Nathan sedang duduk di kursinya, dan membuka semua map dokumen di atas meja kerja. Nathan tidak sendirian, sebab ada Joel yang juga sedang membaca beberapa dokumen di sana. Sial.

"P-Papa?"

Nathan menutup map dokumen yang sedang dipegangnya sambil menatap Alena dengan tajam. Alena hanya menghela napas lelah diam-diam, pertanda bahwa pria tua itu akan kembali berteriak atau memerintahnya tanpa alasan. Mau bagaimana lagi? Sudah menjadi garis hidupnya untuk ditindas dengan sikap tegas ayahnya yang semakin menjadi.

"Mau sampai kapan kamu berdiri sambil bengong di situ? Nggak mau peluk atau apa gitu?" tanya Nathan dengan alis terangkat setengah.

Sebagai seorang anak yang masih sangat waras, tentu saja Alena tidak memiliki nyali untuk menghampiri ayahnya yang tampak seperti ingin memakannya hidup-hidup. Melirik cemas ke arah Joel, yang begitu sialannya masih membaca dokumen dengan fokus seolah tidak ada yang terjadi di sekelilingnya, dan sama sekali tidak melihat ke arahnya.

"Papa cuma tanya atau marah?" tanya Alena dengan nada hati-hati.

Nathan mengerutkan alis, lalu berjalan memutari meja dan berhenti tepat di depan meja, sambil melebarkan kedua tangannya. "Katakanlah Papa cukup marah dan sengaja pergi selama seminggu untuk nggak lampiasin ke kamu. Dan untuk jawaban dari pertanyaan kamu, Papa cuma tanya, bukan mau marah. Sini, ada yang kangen banget sama kamu."

Dengan mata yang berkaca-kaca, dan perasaan haru yang mendadak hadir, Alena segera berjalan cepat untuk menghampiri Nathan, lalu memeluknya dengan erat. Dia bisa mendengar kekehan Nathan saat mulai terisak pelan, antara rindu dan takut yang sudah bercampur, juga sentuhan lembut di pucuk kepala yang dilakukan Nathan, langsung melemahkan pertahanan dirinya.

"How are you, Daddy's girl?" bisik Nathan lembut.

Alena hanya mengangguk sambil memejamkan mata untuk memeluk Nathan lebih erat. Jika ayahnya berencana untuk memberi kejutan, kali ini sangat berhasil. Pantas saja, Noel tiba-tiba memanggil dan menyuruhnya mengerjakan laporan di ruang kerja pria itu selama beberapa saat.

"Ada yang menangis? Wah, ternyata bisa menangis juga," suara Noel dengan nada mengejek terdengar dari belakang.

Isakan Alena terhenti, lalu spontan menoleh ke belakang dan menatap galak pada Noel yang terkekeh geli di sana. Segera menarik diri dari pelukan, Alena menghampiri Noel dan memukul-mukul bahunya bertubi-tubi, dimana pria itu hanya tertawa keras, lalu meraih Alena dalam pelukan yang erat dan ciuman di pucuk kepalanya.

"Dasar cengeng! Begitu saja sampai menangis, tidak seru," ucap Noel geli, dan masih menahan Alena dalam pelukan ketika dia berusaha menggeliat.

"Aku membencimu!" desis Alena.

"Oh, aku tahu arti ucapan itu. Jika kau mengatakan benci, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Tenang saja, aku juga mencintaimu, Adik Nakal," balas Noel tanpa beban, lalu melepas pelukan dan membungkuk untuk menyamakan posisi kepala. "Maaf jika harus mengerjaimu."

Alena mengatupkan bibir dan mengusap pipinya yang basah dengan cemberut. "Kalian selalu tahu bagaimana caranya membully-ku."

"Alright, Kiddos. Let's have some meeting now," ucap Nathan kemudian.

"Meeting?" tanya Alena sambil memutar tubuh untuk menatap Nathan, lalu melirik singkat pada Joel yang sedang melihatnya sambil menyilangkan tangan dari posisinya berdiri.

Cih! Alena merutuk dalam hati melihat ekspresi datar yang diberikan Joel padanya. Haruskah seperti itu pada wanita yang sudah disentuhnya dengan kurang ajar? Terlebih lagi, sebagai seorang kakak yang paling sialan karena berani menggauli adiknya sendiri.

Tergoda untuk mengadu pada Nathan, tapi hal itu sudah pasti akan menjadi cibiran, sebab dirinya bukanlah anak kecil yang masih membutuhkan perlindungan dari orang tua tentang melewati batas teritori tubuh. Lagipula, dia menikmatinya dan selalu mengingatnya. Damn!

"Aku tiba tadi pagi dan datang bersama dengan kolega kita. Mereka sudah ada di ruang rapat dan menunggu kita. Sudah saatnya kau belajar lebih banyak, dan cukup perhatikan apa yang kami bicarakan. Jika ada pertanyaan, kau bisa bertanya pada dua kakakmu ini, mereka yang akan membimbingmu selama proses merger ini berlangsung," jawab Nathan sambil menyerahkan satu map pada Alena.

Alena menerimanya dan membukanya dengan alis berkerut. "Ini adalah yang kukerjakan kemarin."

"Dan kau sudah membuatku bangga dengan perhitungan dimensimu yang memuaskan. You did good, Baby. Ayo kita bekerja," balas Nathan sambil merangkul bahunya untuk berjalan berdampingan ke ruang rapat, diikuti Joel dan Noel di belakang.

Di ruang rapat, sudah ada tiga orang bersetelan resmi sedang menunggu. Ketiganya berparas import dengan perawakan tinggi besar. Seorang pria tua dengan putra pewaris dan orang kepercayaannya, pikir Alena. Firma konstruksi besar dari Inggris yang berhasil digandeng oleh firma ayahnya , cukup membuat Alena takjub.

Senyum Alena mengembang dengan manis, ketika pria muda yang menjadi koleganya itu, melempar senyuman dan sorot mata kagum di sana. Bermata biru, berambut gelap, tinggi, dan atletis. Hal itu sudah membuat Alena merasa tertarik.

"Berhenti menggoda, Na," bisik Joel tajam, dan itu membuatnya tersentak kaget.

Alena mendelik tajam dan meperhatikan Joel yang tampak biasa saja. Pria sialan itu menarik sebuah kursi dan mempersilakannya duduk. Sambil menyeringai sinis, Alena justru melengos dan mengambil kursi di samping Noel.

Noel hanya mengulum senyum geli melihat aksi Alena yang membuat Joel menggertakkan gigi di sana. "Jangan membuat kakak tertua menjadi marah."

"Dia sudah menghinaku," balas Alena dalam suara rendah yang hanya bisa didengar Noel.

"Tentu saja, mana mungkin adikku menggoda, jika tidak digoda lebih dulu? Break a leg, Girl. Tunjukkan kekuatanmu untuk membuat pangeran barbie itu lemah, supaya kita tahu kelemahan dari firma itu," bisik Noel santai.

Noel tersentak dan berusaha menahan diri untuk tidak mengumpat, ketika Alena sudah mencubit keras di pinggangnya. Merasa kesal dengan sikap dua pria yang semakin membuatnya geram. Tanpa dosa, Alena menyibakkan rambut dan menyilangkan kaki, lalu tersenyum ramah pada kolega dan Nathan yang sedang menatap mereka dengan heran.

Nathan duduk di kursi utama, sementara Alena duduk di samping Noel, dengan Joel di dekat Nathan, sementara di sisi kiri, adalah pihak dari Maxwell Land. Corp. Rapat sudah dilakukan dengan presentasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Joel maju sebagai perwakilan untuk melakukan presentasi yang harus diakui Alena, bahwa pria itu sangat berkompeten dalam bidangnya. Pantas saja, Nathan begitu mempercayainya dan melihatnya dengan sorot mata bangga.

Pihak kolega, diwakili oleh Colin Maxwell, yang adalah putra dari pemilik firma. Tutur kata yang lugas dan tegas, penuh percaya diri, dan sesekali melempar tatapan penuh arti pada Alena. Tentu saja, selama presentasinya berlangsung, Alena mempelajari gestur tubuh dan kontak mata yang dilemparkan Colin padanya.

Tiga jam kemudian, rapat itu berakhir. Alena mengembuskan napas lega dan merasa cukup lelah untuk hari ini. Dia merindukan liburan, atau setidaknya, bertemu dengan Ashley dan Vanessha untuk sekedar berkeluh kesah. Para pria sudah tenggelam dalam obrolan biasa, dimana sepertinya mereka akan melanjutkan perbincangan mereka di restoran untuk makan malam bersama.

Alena tidak tertarik dan ingin segera menyingkir dari situ. Sesudah mengumpulkan barang-barangnya, dia hendak pamit tapi tersentak ketika Collin sudah menghampirinya. Noel yang merasa menjadi hambatan di sana, segera menyingkir dari kursi sambil menahan senyuman. Sementara Nathan dan Joel masih sibuk berbincang dengan Mr. Alfred, beserta asistennya di sana.

"Hai," sapa Collin hangat.

"Hai," balas Alena.

"Apa kau akan pergi? Tidak ingin ikut bersama kami untuk makan malam?" tanyanya dengan tatapan berharap.

Alena meringis pelan sambil menatap Collin dengan ekspresi bersalah. "Aku tidak terbiasa makan malam dengan para gentleman."

"Tidak suka keramaian?" tanyanya lagi.

Alena menggeleng. "Yeah."

"Kalau begitu, apa kau mau makan malam bersamaku?"

Terlalu to the point dan kurang berbasa basi, pikir Alena. Hal itu sudah membuat daya tariknya sirna, karena Collin terlalu percaya diri dan tidak membaca situasi. Apakah dia sedang berada di atas angin dengan adanya merger yang sedang berlangsung? Alena bahkan tidak ambil pusing dengan nama besar firma ayahnya, karena firma konstruksi milik Nathan tidak kalah besarnya dengan mereka.

"Tidak, terima kasih. Aku sudah memiliki janji dengan ibuku untuk makan malam bersamanya," tolak Alena dengan lugas.

Collin tersenyum hambar dan terlihat kecewa. "Sayang sekali. Aku berharap kita memiliki waktu lebih untuk saling berbagi cerita, selain pekerjaan tentunya. Karena sepertinya, kita memiliki persamaan."

"Persamaan?"

"Yeah, sama-sama merasa jenuh selama rapat berlangsung, bukan begitu?"

Alena tertawa pelan. "Karena itu, beristirahatlah. Penerbangan panjang dan rapat yang cukup lama, memang cukup membosankan."

"Tidak terlalu bosan karena ada...,"

"Mr. Collin, bisakah Anda membantuku untuk melihat laporan pengadaan material yang diajukan oleh pihak Anda? Ada beberapa hal yang menjadi pertanyaanku," suara Noel tiba-tiba menyela ucapan Collin.

Alena tersenyum melihat Noel yang terlihat berpura-pura fokus pada apa yang tertera di layar laptopnya. Collin tampak menggumamkan maaf dan meninggalkan Alena dengan ekspresi tidak rela. Pria itu sudah duduk di samping Noel, dan mulai menjelaskan jawabannya, tanpa menyadari Noel yang memberi jari tengahnya dari balik bahu Collin pada Alena.

Memutar bola matanya, Alena menggeleng dan segera menyingkir dari ruangan itu, tanpa mengetahui jika sedaritadi, Joel mengawasinya dari kejauhan. Dia kembali ke ruang kerja, menaruh dokumennya, dan memeriksa panggilan di ponsel. Senyumnya mengembang ketika salah satu teman SMU-nya mengajak bertemu.

Terdengar pintu ruangannya terbuka, dan Alena segera mengangkat wajah untuk melihat kedatangan Joel di sana. Mendengus kesal, dia segera membereskan barangnya ke dalam tas, bersiap untuk pergi. Tapi, Joel sudah menahan langkahnya dengan mencengkeram lengannya dan membalikkan tubuhnya agar berhadapan.

"Lepaskan aku!" desis Alena tajam.

Joel hanya tersenyum dan menatapnya hangat. Sangat berbeda dengan sikap dinginnya yang dia tunjukkan sedaritadi. Tapi Alena tidak peduli karena ingin segera beranjak dari situ.

"Bisakah aku meminta waktu lima menit darimu?" tanya Joel pelan.

"Tidak bisa!" jawab Alena dingin.

"Lima menit saja. Aku janji tidak akan menjadi menyebalkan," balas Joel dengan nada membujuk, lalu menarik Alena untuk duduk di sofa panjang yang ada di dalam ruangannya.

Alena terduduk, hendak mengumpat, tapi tidak jadi karena Joel sudah merebahkan kepala di atas pangkuannya sambil memejamkan mata.

"Aku lelah," ucap Joel dengan ekspresi seperti yang diucapkan. "Juga merindukanmu. Beri aku lima menit untuk terbaring dan memejamkan mata seperti ini, okay? Kau bisa memasang waktu dan menghitung dari sekarang. Jika sudah lima menit, bangunkan aku."

Alena tidak membalas, hanya menunduk dan menatap Joel yang benar-benar terlelap di pangkuannya. Dengan posisi berbaring di sofa yang tidak mampu menyangga tinggi tubuhnya, dan tangan yang menyilang, Joel tidur dengan tenang.

Tidak ada yang bisa dilakukan Alena, selain bersandar dan melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam sore. Bukan untuk menghitung, tapi memberi waktu yang cukup untuk pria itu mendapatkan lelap yang bisa mengurai lelahnya.

Dari lima menit, berubah menjadi sepuluh, lima belas, sampai dua puluh lima menit kemudian, atau sampai Joel terbangun sendiri dan membuka mata untuk menatap Alena, dengan sorot matanya yang tajam, namun lembut di saat yang bersamaan.

"Bolehkah aku menciummu untuk merasakan kembali manisnya bibirmu, Na?" tanyanya setelah itu.

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Dari sore sampe sekarang,
Wattpad itu kayak 💩💩💩

Susah banget buat edit dan update.
Makin ke sini, lemot tiada tara.
Kalo kmrn work aku sempet ilang 23, karena error massal...
Tiap mau update, pasti kudu sewot.
😡😡😡😡😡

28.02.2020 (22.18 PM)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top