Part. 10 - Remedial
I got some heavy flu 😵
Baru aja bangun, dan keingetan ada utang wkwkwk.
Kita main2 dulu sama Joel 💜
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Helaan napas lelah kembali terdengar, dan itu dari Alena. Wanita itu tidak bisa diam, berpindah posisi tiap lima detik, dan mencuri tatapan pada Joel yang sedaritadi mengabaikannya dengan fokus pada layar laptopnya.
Menempati sebuah jet pribadi untuk menuju ke Jakarta, Joel duduk berhadapan dengan Alena di sana. Penerbangan baru berlangsung sekitar satu jam, tapi wanita itu terus menggerutu seorang diri.
Bukan tanpa alasan Joel mengabaikannya, karena saat ini, perasaannya begitu dongkol dan tidak senang. Bukan karena Lamborgini Veneno terbarunya yang harus dibersihkan secara besar-besaran dan ada beberapa interior yang perlu diganti, sehingga harus mengeluarkan kocek ratusan ribu dolar untuk membuatnya seperti semula. Bukan itu. Tapi karena dengan kurang ajarnya, Alena melupakan apa yang sudah dilakukan mereka semalam.
Seharusnya, Joel tidak perlu merasa kesal karena dirinya pun tahu jika Alena sudah mabuk. Bisa dibilang, dirinya mencari kesempatan dalam kesempitan atas rasa berangnya terhadap sikap Alena yang sudah kelewat batas. Dalam hatinya berpikir, bagaimana jika dia terlambat datang dan Alena sudah keburu dikerjai oleh bajingan sialan yang menariknya ke koridor? Sial! Membayangkan hal itu, Joel mendengus kasar, sambil mengetik cepat di laptop untuk mengirimkan beberapa pesan kepada para pekerjanya.
"Bisakah kau berhenti bekerja? Jika karena mobil kesayanganmu harus diperbaiki, aku bersedia untuk bertanggung jawab dengan membayar semua biayanya," suara Alena terdengar, dan itu membuat Joel mendelik tajam dari balik layar laptopnya.
Melihat sorot mata Joel yang tidak senang, Alena terkesiap dan mengerjap cemas di sana. Wanita itu mulai memperlihatkan ekspresi takut padanya, meski berusaha keras untuk tidak terlalu kentara.
"Apa kau berpikir aku tidak mampu membiayai perbaikan mobilku sendiri?" tanya Joel sinis.
"Tentu saja kau mampu. Tapi tidak perlu sampai mengabaikanku seperti itu. Aku berada di pesawat yang hanya berdua denganmu sebagai penumpang di sini. Jika kau tidak mau, kau bisa meninggalkanku di bandara, dan aku akan kembali ke Jakarta dengan menggunakan pesawat komersil," jawab Alena menjelaskan.
"Dan berpikir untuk melarikan diri dengan membeli tiket ke negara lain, begitu?" balas Joel dengan alis terangkat setengah.
"Tentu saja tidak. Aku hanya bosan jika berdiam diri seperti ini. Jika di pesawat komersil, aku bisa bertemu dengan banyak orang, dan mengobrol dengan siapa pun yang duduk di sebelahku," ucap Alena lugas.
"Apa kau yakin ingin mengobrol denganku?" tanya Joel tengil.
Alena mengerjap gugup, lalu menghela napas sambil mengerucutkan bibirnya. Spontan tatapan Joel menunduk pada bibir yang sudah dilumat dan dihisapnya semalam. Manis, pikir Joel saat teringat ciuman itu. Meski tidak senang karena Alena melupakan ciuman itu, tapi ada rasa puas dalam diri Joel yang sudah mendapatkan ciuman pertama dan klimaks pertama yang ditampilkan Alena.
"Aku hanya merasa bingung dan tidak suka kau marah padaku," jawab Alena akhirnya.
"Kau merasa aku sedang marah padamu?" balas Joel.
Alena mengangguk. "Buktinya, kau mengabaikanku dan bersikap seolah kita adalah orang asing."
"Bukankah itu yang kau lakukan padaku selama lima tahun, Na?"
Ucapan Joel barusan, sukses membuat Alena terkesiap dan terdiam selama beberapa saat. Kembali merengut cemberut, lalu membuang muka ke arah jendela. "Sudahlah. Anggap saja aku tidak bertanya apa-apa padamu. Silakan lanjutkan pekerjaanmu."
Joel memperhatikan Alena yang mulai menekuni ponselnya dengan tatapan menilai. Meski tangannya memegang ponsel, tapi sorot matanya tidak terlalu minat pada apa yang tampak pada layar ponsel itu. Dan itu berarti, ada yang ingin disampaikan oleh Alena.
"Baiklah. Apa yang ingin kau bicarakan denganku? Aku akan mendengarkan," putus Joel kemudian, sambil menutup laptop, melepas kacamata, dan menatap Alena sepenuhnya.
Dengan posisi duduk yang begitu santai, kaki yang disilangkan, dan kedua tangan yang bertautan, Joel menatap Alena dengan sorot matanya yang tajam, penuh arti dan kendali, sama sekali tidak teralihkan. Membuat wanita itu menjadi salah tingkah.
"Aku merasa kau seperti ingin menghakimiku dan menghajarku habis-habisan," keluh Alena dengan ekspresi kesal, lalu berdecak pelan. "Kau adalah teman ngobrol yang payah."
"Tadi kau protes karena aku bekerja, kini aku sudah meluangkan waktu untuk mengobrol denganmu, tapi kau tetap protes. Bisakah menjadi dewasa sekarang? Aku tidak memiliki waktu banyak untuk melayani sikap kekanakanmu, Na," ucap Joel dengan datar.
"Aku seperti ini, bukan berarti tidak dewasa! Tapi kau terus bersikap seperti tidak ada yang terjadi! Jika kau marah padaku, katakan saja!"
"Baiklah, aku memang marah padamu," ujar Joel.
"Aku juga!" balas Alena.
Alis Joel mengerut dan menatap Alena heran. "Atas dasar apa kau marah padaku?"
"Karena kau sudah berbohong padaku!" jawab Alena dengan alis terangkat lantang.
"Bohong?" tanya Joel heran.
"Tidak usah berpura-pura heran! Kau yang sudah berbohong karena ternyata kau bukan pria beristri selama ini!" jawab Alena ketus.
Joel terdiam. Pikirannya sudah langsung bertuju pada Noel, pria sialan yang tidak akan bisa menjaga mulut besarnya dengan baik, jika berkaitan dengan urusan keluarga.
"Aku tidak berbohong, tapi kau yang berasumsi," ucap Joel kemudian.
"Dan kau membiarkan aku terus mempercayai asumsiku," balas Alena tidak mau kalah.
"Tapi kau yang menarik diri dan menolak untuk bertemu denganku, ingat?" timpal Joel dengan alis terangkat.
"Karena kau lebih memilih jalang itu dan aku melihat sendiri lamaran yang kau lakukan padanya!"
"Buktinya tidak seperti itu."
"Tapi aku tidak tahu hal itu!"
"Dan kenapa kau harus marah karena aku yang tidak jadi menikah?"
"Karena kau selalu bersikap seolah-olah apa yang kukatakan padamu adalah benar! Kau bahkan tidak pernah mengelak saat aku menyebut jalang itu dan mengira bahwa dirimu adalah pria beristri."
"Untuk apa aku mengelak, jika kau tidak percaya padaku? Aku diam, hanya karena tidak ingin membuatmu semakin membenciku tanpa alasan. Lagipula, kau tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan."
"Dan sekarang aku kembali salah?"
"Itu katamu, bukan aku."
"Tapi kau terus menuduhku!"
"Aku tidak menuduh, hanya menjelaskan."
"Itu bukan penjelasan!"
"Terserah."
Alena mendengus kasar, lalu menggeram kesal sambil menyilangkan tangan, dan menatap Joel dengan tatapan tidak suka. "Kau sangat menyebalkan!"
Joel menyeringai sinis, sambil menatap Alena tajam. "Lagipula, kenapa kau harus sampai semarah itu, hanya karena tidak mengetahui statusku yang sebenarnya? Apa kau masih menyukaiku, Na?"
"Tidak! Justru aku semakin geram dengan bajingan plin plan sepertimu! Tidak bertemu lima tahun denganmu, membuatku merasa bersyukur bahwa ternyata keputusanku untuk menjauh darimu adalah benar," jawab Alena dingin.
"Oh yeah?"
"Yeah! Aku bahkan sudah memacari berbagai macam lelaki bajingan dan meninggalkannya, tanpa perlu memberi cinta yang mereka harapkan. Seperti dirimu yang memperlakukanku seperti itu."
"Oh yeah?"
"Dan perlu kau ketahui bahwa aku tidak akan menerima dirimu dalam hidupku, El. Jika bukan karena ayah kita adalah sahabat, kurasa kita tidak akan bisa bertemu seperti hari ini."
Joel hanya tersenyum kecut mendengar ucapan Alena yang begitu sok tahu. Tidak perlu heran dengan keegoisan seorang Alena, karena memiliki watak yang keras seperti ayahnya, Nathan. Tapi, itu tidak menjadi masalah karena Joel sudah mengetahui kelemahan mereka untuk bisa mengendalikannya.
"Tidak masalah, Na. Aku tahu kau sudah tidak menginginkanku, tidak sampai ketika kau menerima ciuman dan sentuhanku, lalu berteriak memanggil namaku saat mendapatkan klimaks pertamamu. Seperti semalam," celetuk Joel, yang sukses membuat Alena tercengang dan wajahnya memerah.
"K-Kau...,"
Joel menyeringai sinis. "Terlalu mabuk, sampai melupakan momen pertama yang penting, dan menganggapnya sebagai mimpi, huh? Apa kau tidak tahu jika kau hampir dikerjai bajingan yang menarikmu ke koridor?"
"Jadi, aku dikerjai olehmu?" tanya Alena dengan suara tercekat, masih dengan ekspresi kagetnya.
"Hanya memberikan apa yang kau inginkan semalam, Na. Bahwa sepertinya kau sangat membutuhkan sentuhanku, hingga lupa bagaimana caranya bernapas. Jika kau memang tahu apa yang kau sebut mimpi, tentunya kau paham betul bagaimana kenikmatan itu, bukan?"
Betapa menyenangkan melihat wajah Alena yang semakin memerah, dan ekspresi yang semakin kalut di sana. Meski Joel terkesan dingin, namun degup jantungnya sudah bergemuruh cepat dengan ingatan tentang lembutnya kulit Alena, dan hangat tubuhnya yang menyenangkan. Shit! Joel bahkan sudah menegang di bawah sana.
"Aku tidak percaya kau akan melakukan hal itu padaku," ucap Alena lirih, sambil mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Kau benar-benar tidak menghargaiku sebagai adikmu."
"Karena aku memang tidak menganggapmu demikian, Na. Untuk mencari perhatianmu sekarang, kurasa aku perlu menjadi bajingan agar bisa diperhatikan olehmu. Bukankah kau adalah seorang unreachable mankiller, seperti julukan dari majalah sialan itu? Jujur saja, aku hanya ingin tahu seberapa sulit aku mendapatkanmu. Ternyata, sungguh mengecewakan bahwa aku bisa menyentuhmu dengan mudah, persis ketika kau sedang mabuk," ucap Joel tanpa beban.
PLAK! Sebuah tamparan melayang begitu saja, dan Alena melakukannya dengan sangat keras, sambil menatap Joel murka. Dadanya naik turun, pertanda bahwa wanita itu sudah sangat marah dan ingin sekali memuntahkan amarahnya sekarang.
"Bagiku, kau adalah pengecut yang berani menjebakku ketika aku lemah! Aku pastikan akan menjadi lebih sialan, dan membuktikannya padamu, bahwa aku tidak semudah yang kau katakan!" ucap Alena dengan suara bergetar dan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Na...,"
"Kau ingat baik-baik ucapanku, Bajingan!" sela Alena tajam.
Tidak lagi membalas ucapan Alena karena tak ingin membuatnya emosi. Sadar bahwa dirinya sudah melontarkan ucapan yang tidak seharusnya diucapkan, dan enggan melihat Alena yang berusaha untuk menahan tangis akibat luapan emosi yang tertahan, Joel memilih untuk terdiam.
Jika dulu, mereka jauh lebih dekat dan kompak dalam berbagai hal, meski sering berbeda pendapat, tapi itulah yang mendekatkan. Namun sekarang, jauh berbeda dengan sering berdebat dan adu pendapat, seolah mereka adalah musuh bebuyutan.
Alena sudah banyak berubah, dan Joel pun sudah jauh berubah. Perubahan yang terjadi, membuat hubungan yang terjadi di antara mereka menjadi canggung dan tidak nyaman. Ingin menjaga sikap, padahal itu adalah kelebihan yang dimiliki Joel, tapi justru dirinya tidak mampu menguasai diri jika berhadapan dengan Alena saat ini.
"Aku minta maaf," ujar Joel akhirnya. "Aku yang salah karena tidak menjelaskan lebih awal soal statusku, dan membuatmu mendengarnya dari orang lain."
Alena melirik Joel dengan sinis, lalu mengubah posisi duduk menjadi lebih tegak. "Kenapa kau tidak jadi menikah?"
"Apa kau ingin aku menikah?" tanya Joel balik.
Alena menggeleng dengan keras. "Aku hanya tidak ingin kau menikah dengannya. Dia tidak pantas untukmu karena dia adalah jalang."
Joel tidak menanggapi ucapan Alena karena memang benar adanya. Mendekati Chloe, melamarnya, lalu batal menikah bukanlah rencana yang diharapkan Joel terjadi dalam hidupnya. Kegagalan di masa lalu sudah membuatnya belajar banyak bahwa dia tidak ingin melakukan hal yang sama, karena tidak ingin menyakiti Alena dan mengubahnya menjadi wanita dengan titel yang menyebalkan.
"Bukankah itu hal yang bagus? Kau tidak menyetujuinya dan aku tidak jadi menikah," cetus Joel kemudian.
Joel berpikir Alena akan senang, tapi sebaliknya, wanita itu terlihat geram. "Hal bagus apanya? Apa yang sudah jalang itu lakukan padamu? Apakah dia menyakitimu? Atau dia berkhianat? Katakan padaku, supaya aku bisa melakukan sesuatu yang ingin kulakukan sejak dulu!"
Alis Joel terangkat takjub. "Apa yang ingin kau lakukan?"
"Menghajarnya! Aku tidak suka jika dia menyakitimu!"
"Kau tidak terima jika ada yang menyakitiku, tapi kau sendiri bebas menyakiti pria bajingan yang lain. Wah, aku terharu jika menjadi karma dari semua perbuatanmu," ujar Joel sambil terkekeh pelan.
"Bukan seperti itu, El! Apa yang kulakukan, tidak ada hubungannya denganmu, meski alasan awal adalah karena memang kesal padamu. Tapi, ada untungnya aku memberi pelajaran pada para bajingan itu! Setidaknya, aku bisa menjadi wanita dalam satu dari sejuta yang menjadi bodoh karena cinta," desis Alena.
Joel tidak memberi komentar, hanya mengawasi ekspresi kesal yang ditampilkan Alena, dan terlihat tidak terima. Memberikan perasaan familiar yang menyenangkan, ketika Alena menjadi dirinya sendiri dalam sikap yang selalu ditampilkan ketika mengetahui Joel dekat dengan seorang teman wanita.
Saat masih remaja, atau saat dimana Alena masih menduduki bangku SMP, wanita itu terus menjadi pengganggu dan tanpa malu-malu mengusir teman wanita yang sedang bersama Joel. Meski hanya melakukan kelompok belajar, dan Joel yang harus mengajar Alena dalam bimbingan belajar sekaligus, tapi Alena tetap bersikap menyebalkan hingga membuat semua teman-temannya kesal.
Juga, Alena terus melarang Joel, mengatur pertemanan, dan berusaha untuk menggagalkan setiap janji temu kepada teman-temannya, khususnya jika dia mendengar ada teman wanita. Hal itu membuat Joel menjadi terbiasa dan membiarkan Alena melakukan apa pun yang diinginkannya. Sampai akhirnya, ketika Joel bersama dengan Chloe, dan menjalani hubungan kekasih, di situ Alena semakin berlebihan, lalu patah hati karena Joel memilih orang lain.
Bukan tanpa alasan, Joel membiarkan Alena pergi begitu saja hingga lima tahun, atau sampai wanita itu menamatkan kuliahnya. Bagaimanapun, Joel sangat menyayangi Alena, tapi dia perlu memberikan kebebasan bagi wanita itu untuk mengenal dunia, dan tidak hanya mengenal Joel saja dalam hidupnya. Meski harus sampai terlewat batas, hingga menjadi tidak terkendali seperti ini.
"Apa kau merasa bangga dan bahagia dalam menjadi wanita seperti itu, Na?" tanya Joel kemudian.
Alena menatapnya. Tidak langsung menjawab, tapi terus memperhatikan ekspresi Joel yang datar dan tenang. Kemudian, dia menghela napas dan memutuskan tatapan dengan menatap ke arah jendela.
"Setidaknya, aku tidak membiarkan siapa pun mematahkan hatiku kembali. Aku tidak percaya lagi dengan cinta, kagum, atau apa pun yang berhubungan dengan perasaan, karena aku sudah terlalu kecewa," jawab Alena.
"Termasuk, tidak ingin mendengarkan penjelasan apapun, meski asumsimu adalah salah?" balas Joel.
Alena mendelik tajam. "Asumsiku tidak pernah salah! Buktinya, kau tidak jadi menikah dengan jalang itu! Aku sudah bilang jika jalang itu hanya mengincar hartamu dan tidak mencintaimu! Dia selingkuh! Aku pernah melihatnya kencan bersama pria lain! Jika kau tidak percaya, tanya saja Ashley! Kami berdua sama-sama...,"
Tiba-tiba, Joel maju dan berlutut tepat di pangkuan Alena, lalu membekap mulutnya yang terus mengeluarkan ucapan yang tidak ingin didengar Joel. Sebab, dia tidak ingin hal itu merusak suasana menyenangkan yang terjadi di antara keduanya saat ini. Menempati jet pribadi untuk penerbangan ke Jakarta, dan hanya berdua saja.
"Aku benci masa lalu," bisik Joel dengan suara dalam, tanpa melepas bekapannya pada mulut Alena, "Maaf jika aku terlambat menyampaikan kebenaran ini. Aku tidak memiliki hubungan spesial dengan wanita mana pun, juga belum menikah, selama kau dan aku berpisah."
Alena mengerjap lirih, sambil menurunkan tangan Joel yang membekap mulutnya. Keduanya bertatapan dalam posisi kepala sama tinggi. Alena yang duduk di kursinya, Joel yang berlutut tepat di pangkuannya, dan saling memberi tatapan penuh arti di sana.
"Apa kau tahu, jika saja kau mengatakan hal ini sekitar beberapa tahun yang lalu, aku akan melompat kegirangan dan memelukmu erat-erat karena terlalu senang?" ucap Alena dengan ekspresi dingin.
"Aku tahu," balas Joel dengan ekspresi biasa saja.
"Jika kau berpikir aku akan luluh dan jatuh cinta padamu seperti waktu dulu, maaf saja, itu...,"
"Aku tahu," sela Joel cepat. "Kau sudah berubah, demikian aku. Inilah alasan kenapa aku membiarkanmu pergi, dan tidak memaksakan kehendak untuk menjelaskan. Karena aku tahu kau masih muda, dan tidak ingin kau terjebak dalam ambisi masa muda yang kau sebut dengan cinta."
Alena mengerutkan alis dan menatap dengan bingung, lalu menunduk dan menganggukkan kepala. "Kau benar. Aku yang terlalu kekanakan dan tidak bisa membedakan antara cinta dan ambisi. Baguslah, kini kau tahu keadaan seperti apa yang ada di antara kita."
Joel mengangguk menyetujui. "Aku sama sekali tidak masalah."
"Benarkah?" tanya Alena kaget.
Joel kembali mengangguk. "Karena aku tidak harus bertanggung jawab untuk membantumu seperti dulu lagi. Jika kau berurusan dengan ayahmu, kau sudah bisa mengatasi. Aku juga tidak...,"
"Hey! Hey! Kenapa kau menyebalkan seperti itu? Kau adalah kakak tertua, dan sudah seharusnya melindungi adiknya," sela Alena protes.
Joel tertawa hambar. "Sayang sekali, aku tidak menganggapmu sebagai seorang adik lagi, Na."
Mata Alena melebar kaget, dan menatap Joel tidak percaya. "K-Kau benar-benar ingin membalasku, yah? Aku sudah berusaha menerima kenyataan dan berhadapan denganmu sekuat tenaga setelah kita tidak bertemu sekian lama."
"Aku juga," balas Joel sambil menurunkan tatapan pada bibir Alena yang merekah. "Aku bahkan tidak mampu mengendalikan diriku saat berdua saja denganmu, seperti saat ini."
"El," pekik Alena ketika Joel mulai mendekat, mendesak tubuhnya untuk mundur dan bersandar di kursi. "A-Apa yang...,"
"Kau lupa apa yang terjadi semalam, dan bermimpi buruk tentang aku yang sudah menyentuhmu dengan lancang, sampai kau mengira sudah dicumbu oleh suami orang, bukan?" bisik Joel dengan suara mengetat, dan kedua tangan yang mulai bekerja untuk mengelus kulit mulus Alena.
Satu tangan sudah bekerja untuk melebarkan kedua kaki Alena, agar tubuh besarnya bisa merapat pada tubuh mungil Alena, dan mengarahkan kedua kaki Alena mengapit pinggangnya.
"I-Itu hanya mimpi!" ucap Alena panik, dan berusaha menggeliat tapi tidak bisa, karena Joel sudah menahan kedua tangannya di sisi tubuh.
"Mungkin saja iya," jawab Joel sambil memiringkan wajah untuk memberi kecupan lembut di pipi Alena. "Karena kau sudah lupa."
"El, aku akan sangat marah jika kau melakukan hal itu padaku," ucap Alena dengan penuh penekanan, namum terdengar gemetar.
Joel mengalihkan tatapan dan menatap Alena dengan tajam sambil menyeringai sinis. "Apa kau berpikir aku tidak cukup marah karena kau melupakan apa yang terjadi semalam, Na?"
Alena mengerjap panik. "J-Jadi, kau bukan marah karena aku sudah mengotori mobilmu, tapi...,"
Seringaian Joel semakin terlihat sinis, seiring dengan himpitan tubuh besarnya yang semakin mendesak tubuh Alena. "Karena kau sudah sangat sadar sekarang, bagaimana jika aku mengingatkanmu kembali, tentang apa yang terjadi semalam? Aku janji, kali ini tidak akan membuatmu lupa, tapi justru mempersulitmu untuk melupakanku."
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Butuh lanjutan untuk scene pesawat yang nggak pernah ditulis sebelumnya?
Coba ketik yes, dan panggil Babang di kolom komentar 🤣
Aku mah gitu, suka banget bikin yang nanggung 😛
Night, Genks 💜
I purple you 💜💜💜
11.02.2020 (23.18 PM)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top