III

Shaki kesulitan Bangun keesokan hari setelah pesta.
Tubuhnya benar-benar terasa lelah dan napasnya sesak, dadanya sakit meski dia sudah meminun obatnya.
Stress selalu membuat jantungnya memburuk.!

Shaki meraba dadanya, merasakan debaran nya yang lemah.
"Berapa lama lagi?" Bisiknya parau.
Setiap saat penyakitnya semakin parah, setiap saat dia bisa saja mati.
Dia tidak ingin mati. Shaki ingin hidup dan bahagia.

Namun bukan kematian yang Shaki takutkan.
Dia lebih takut mati dalam kesendirian, tanpa teman atau tanpa sempat mengucapkan salam perpisahan, entah pada siapa, karena dia selalu sendirian.

Tau tidak punya tempat bergantung selain Tante Amira, Shaki memaksakan diri bergerak. Setidaknya kalau dia mati, dia ingin bicara untuk terkahir kalinya dengan tantenya itu.
Mungkin Shaki terlalu berlebihan, penyakit Bradikardi yang dideritanya belum masuk tahap akhir.
Kemungkinan sembuh juga besar selama dia melakukan perawatan yang tepat.

Bukankah itu yang dikatakan Tante Amira, alasannya mencari suami kaya agar dia bisa memberi pengobatan yang layak bagi keponakan satu-satunya, yaitu Shaki.
Tapi sayang ketika keinginan tante Amira benar-benar terkabul, niat awalnya seperti terlupakan.
Bahkan Tante Amira sanggup saja menyuruh Shaki tinggal sendiri, tidak mengakui hubungan mereka pada om Martin.

Melupakan kekecewaan nya,
Shaki meraih gelas, mengeluarkan obatnya, menelan lagi lalu memejamkan matanya, berharap debaran jantungnya bisa kembali normal.
Tapi justru terasa makin lambat, membuat dadanya sesak dan napasnya terputus.

Shaki meraih gagang telpon, mengeluarkan kartu dan memencet nomor tersebut.
"Tante Amira." Isaknya tertahan dengan napas berdecit.
"Aku kesakitan. Aku mohon datanglah" pintanya bercucuran air mata sebelum gagang telpon terlepas dan dia mulai kehilangan kesadarannya.
.
.
.

"Shaki.. Shaki.!"

Ada suara yang memanggil nya, suara yang sangat dia kenali.
Dada Shaki langsung terasa sakit.
Dipaksakan matanya terbuka, menatap buram pada sosok yang menunduk melihatnya.
"apa yang kau lakukan di sini.?" Desahnya berat.
"Siapa..?"

"Ini aku Addar" jawab Orang itu.

Kening Shaki berkerut, mencoba menjelas penglihatan nya dan melihat sosok tersebut dengan kacamata nya.
Ya. Dia memang Addar meski orang pertama yang tadi Shaki pikir adalah Ailan.
Yah, Shaki ingat kalau suara mereka sangat mirip, tidak bisa dibedakan, begitu juga dengan wajah. Hanya sifat mereka yang berbeda.

"Addar.! Kenapa di sini?" Bisik Shaki melirik sekitarnya.
Dia masih berada di rumah.

"Aku tadi yang menjawab telponmu. Aku cemas jadi langsung menghubungi tante Amira dan bertanya dimana rumahmu." Jawab Addar merapikan rambut Shaki yang lepek di keningnya.

"Tante Amira?" Gumam Shaki.

"Dia dan Om Martin sedang berbulan madu, keliling dunia selama seratus hari" senyum Addar menjawab pertanyaan Shaki.
"Mereka baru saja berangkat saat kau menghubungi.
Aku tidak ingin merusak momen mereka, karena itu aku tidak mengatakan alasan ku meminta alamat mu pada tante Amira.
Aku memutus kan untuk datang ke sini mengganti kan tante Amira"

Kenapa tante Amira tidak mengatakan pada ku?
Rasanya Shaki benar-benar merasa kecewa.
Dia sudah berusaha menjadi orang yang tau diri dan lapang dada, berpikir tante Amira berhak mencari kebahagiaan dan tidak perlu merawat dirinya yang sakit-sakitan ini.
Tante Amira tidak punya hutang apapun padanya.!
"Terimakasih karena sudah datang.!" Lirihnya pada Addar.
"Sekarang kau boleh pulang, aku sudah baikan."

Addar mengangkat alisnya.
"Benarkah, kalau begitu kenapa napas mu terlihat begitu berat dan wajahmu pucat.?"
Addar memasang wajah khawatir.
"Menurutku sebaiknya kita ke rumah sakit saja.
Aku baru saja akan menghubungi ambulans saat kau sadar tadi.
Aku benar-benar menyesal karena kau sendirian dalam keadaan seperti ini.
Selain tante Amira, apa ada yang lain yang bisa kuhubungi.?"

Shaki menggeleng.
"Tidak ada. Aku sudah baikan. Biasanya kalau aku terlalu lelah jadinya memang begini."

"Maaf. Tapi apa kau begini karena Ailan.
Apa dia semalam menganggumu.?" Addar terlihat begitu menyesal.

Shaki langsung menggeleng.
"Kata-kata Ailan tidak bisa menyakiti ku" jawabnya ketus.

Addar menelan ludah.
"Ailan. Semua kata-kata kasarnya itu.. tolong jangan dianggap serius.
Aku rasa dia hanya..
Entahlah, terkadang aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan.
Dia selalu bicara tanpa memikirkan baik dan buruknya dan itu membuatnya sering terlibat masalah dan entah kenapa dia justru menyukai nya."

Shaki mencoba tersenyum.
"Aku tahu siapa Ailan. Aku mengerti apa yang kau maksud.
Meski tidak enak untuk mengakuinya, aku senang kau yang disini bukan Ailan.
Dia selalu membuatku takut dan gugup."

Addar berdiri, mengangguk.
"Baiklah kalau begitu. Kita sepakat.
Sampai keadaanmu membaik aku akan disini menjagamu, Menganti kan tante Amira.
Bagaimana pun kita sekarang punya ikatan lain selain mantan teman sekolah"

Shaki mencoba bangun menggapai lengan Addar, menahannya.
"Tidak. Tidak usah. Aku baik-baik saja. Pulang lah."

Addar menggeleng.
"Tidak. Aku akan tetap disini menjaga hingga kau kembali bugar. Tapi jika kau menolak, sebaiknya aku menghubungi ambulans agar kau bisa dirawat di rumah sakit. Di sana ada dokter sesungguhnya sedangkan aku hanya pria yang pernah bercita-cita jadi dokter" ucapnya setengah bergurau.

Shaki tersenyum.
"Aku tidak menyangka kau pernah bercita-cita jadi dokter sebab dulu aku ingat sekali kau muntah dan nyaris pingsan saat ada teman sekolah yang jatuh saat berolahraga dan kepalanya bocor"

Addar memgangguk.
"Saat itu aku sadar kalau aku tidak bisa jadi dokter" jawabnya enteng.

Shaki kembali memggeleng.
"Pulanglah. Aku sudah biasa seperti ini.
Aku akan baik-baik saja."
Addar memasukkan tangan ke saku celananya.
Saat itu Shaki memperhatikan penampilan nya.
Pria ini terlihat seperti seorang CEO yang akan menghadiri rapat.
"Kau pasti sibuk dengan pekerjaan mu, jadi sebaiknya tinggalkan saja aku." Gumam Shaki yang tiba-tiba saja dihantam rasa rendah diri.

"Pekerjaan ku bisa diselesaikan yang lain. Aku bukan orang penting. Tapi saat ini kau sangat penting bagiku."
Kata Addar menusuk ke mata Shaki.
Sadar kalau kata-katanya aneh, Addar berdehem memperbaiki kata-katanya tadi.
"Maksudku, memastikan kau baik-baik saja lebih penting dari apapun. Uang tidak lebih besar dari kemanusiaan."

Entah kenapa Shaki tertawa.
"Aku mengerti maksudmu. Jangan takut kata-kata mu akan membuatku salah paham.
Tapi masalahnya aku ini bukan korban bencana jadj aku tidak penting"
Setelah bicara begitu, Shaki merasa dadanya berdenyut sakit, dia meringis memegang dadanya.

Addar langsung membungkuk meraba Shaki.
"Kau baik-baik saja.
Aku akan menghubungi ambulans" paniknya.

Shaki menarik lengan Addar daat pria itu akan berbalik.
"Tidak. Aku lebih senang kau rawat daripada di ruang serba putih itu.
Aku akan membaik, ini bukan yang pertama.
Aku tau kondisiku."

Addar melihat tepat ke mata Shaki, bibirnya bergerak tanpa suara ragu untuk bicara.
Shaki tau Addar ingin bertanya tapi memilih diam, pastinya hanya untuk sementara sebab pada akhirnya rasa penasaran selalu menang.
Tapi setidaknya Shaki berterima kasih karena Addar tidak bertanya ataupun menuntut nya bercerita.

"Di atas laci ada obat dan di dalam laci nomor satu ada kartu nama dokter ku.
Kalau sewaktu-waktu aku butuh kau bisa menghubungi nya." Beritahu Shaki melirik pada Laci diseberang tempat tidur.

Addar menghela napas dan mengangguk.
"Dari dulu kau selalu jadi yang terlemah. Tapi sebagai remaja aku tidak pernah berpikir serius.sekarang aku menyesal karena tidak lebih memperhatikan mu."

Shaki tertawa.
"Bagaimana bisa.? Kita hanya pernah satu sekolah selama satu semester."

"Itu karena kau tiba-tiba saja menghilang" bisik Addar.

Dada Shaki kembali berdenyut.
Dia tidak ingin membahas masalalu atau mengatakan apa alasannya dia menghilang.
Masalalu hanya membuat semuanya jadi gelap.
Sudah cukup penyakitnya yang membuatnya kehilangan harapan untuk hidup lebih lama jangan sampai masalalu yang hancur membuatnya jadi tidak bersemangat menjalani sisa hidupnya yang mau berapapun panjangnya.
"Tolong ambilkan obatku.
Dan aku sudah memutuskan kau bisa tetap disini merawatku sampai kau bosan"
Kata Shaki memutus pembicaraan apapun yang akan membawa mereka ke masalalu.

Addar terlihat mengalah, tapi hanya untuk saat ini.
"Baiklah." Katanya berbalik menuju.
"Aku akan disini sampai kau tidak membutuhkan ku lagi"

"Addar.!" Panggil Shaki sampai pria itu melihatnya.
"Terimakasih.!" Bisiknya berkaca-kaca.

Addar tidak menjawab, tapi jakunnya bergerak naik turun.
Lalu dia berbalik kembali membelakangi Shaki yang cepat-cepat mengusap air mata yang keluar di sudut matanya.

*******************************
(18072021) PYK.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top