I
Shaki merasa lututnya gemetar dan kepalanya pusing.
Gelas ditangannya bisa jatuh kapan saja jika dia tidak segera meletakkannya.
Shaki tidak ingin mengacaukan atau menarik perhatian hingga membuat malu Tante Amira.
Tante memintanya datang ke pernikahannya saja sudah membuat Shaki gembira setengah mati.
Mati Shaki berkelana mengelilingi ruangan untuk mencari meja atau atau pelayan yang berjalan membawa nampan.
Dan tentu saja yang terutama sekali Shaki butuh duduk dan berbaring.
Sayangnya matanya tidak menemukan salah satu diantara yang dicarinya.
Otak Shaki bekerja cepat, sebaiknya dia keluar dari tempat ini atau pergi ke toilet untuk duduk sejenak, mengumpulkan tenaga lalu setelahnya pulang ke rumah, minum obat dan istirahat.
Rumah sekarang pasti sangat sunyi karena hanya dia satu-satunya yang ada di sana, mulai malam ini Tante Amira tidak akan tinggal di sana lagi, sebagai seorang istri tentu tante Amira akan ikut kemana suaminya pergi.
Memikirkan hal itu membuat Shaki jadi merasa mual.
Panik dan cemas satu-satunya yang bisa Shaki lakukan adalah bergegas mencari pintu, atau apapun yang bisa membuatnya keluar dari tempat ini.
Akhirnya dengan langkah terhuyung Shaki melihat pintu keluar,
Begitu melangkah melewati pintu tersebut wajah Shaki langsung di terpa tiupan angin kencang dan air yang ternyata gerimis.
Inilah yang membuat tak ada satu orangpun disini dan hal tersebut membuat Shaki merasa sangat lega.
Shaki melangkah menembus gerimis dan hujan.
Mencari tempat gelap di balik pohon dan tembok rumah ini yang seperti istana.
Shaki bersandar dan melorot ke rerumputan hingga gelas yang masih dipegangnya jatuh membasahi pakaiannya yang merupakan pakaian bekas Tante Amira.
Shaki membungkuk terbatuk dan mulai mengeluarkan isi perutnya yang hanya berupa cairan asam.
Shaki masih berpikir suara muntahnya bisa terdengar hingga dia memilih menutup mulut dengan telapak yang jadi belepotan cairan muntahnya.
"Benar-benar menjijikan dan kampungan. Itulah dirimu dari dulu!!"
Sekujur tubuh Shaki bagai tersengat aliran listrik.
Rasa mualnya langsung hilang tapi sekarang Shaki merasa akan mendapat serangan jantung.
Shaki tak berani menoleh ke asal suara tersebut.
Tanpa menoleh Shaki bisa tahu siapa yang berdiri di sebelahnya dan menunduk memperhatikannya.
"Berapa lama tidak bertemu, kau masih sama seperti dulu.
Tapi ngomong-ngomong, siapa yang mengundangmu datang ke sini?"
Suara itu masih sedingin dan seberat dulu. Suara yang selalu membuat para gadis berdebar-debar dan berebut menarik perhatiannya, apalagi dipadukan dengan wajah sempurna bak dewa.
"Aku tak tahu kalau kau punya kenalan dari orang-orang kelas atas.
Atau jangan-jangan kau adalah pendamping salah satu pejabat atau pengusaha di dalam sana?"
Berapa lama Shaki akan diam dan mendengarkan ejekan ini?
Berapa lama Shaki harus menahan malu dan marah.
Perlahan dia meluruskan tubuh, menekan tangan pada dinding dan mencoba berdiri, gelas yang tergeletak di pangkuannya, berguling jatuh ke atas rerumputan tapi Shaki tak peduli, dia hanya ingin pergi dari tempat ini secepatnya.
Shaki berhasil berdiri tapi saat dia melangkah dia justru tersungkur dan jatuh ke dada keras si pemilik suara.
Kedua lengan kuat memeluk pinggang dan punggung Shaki, membuatnya tak bisa menjauh barang seincipun.
Bibir hangat dan lidah yang hangat menyusuri samping leher dan belakang telinga Shaki.
"Apa kau ingin mengulang kejadian delapan tahun yang lalu?"
Bisik suara berat yang semakin dalam.
Shaki mencoba menggeleng tapi bawah rahangnya di cengkraman kuat saat bibirnya dipaksa membuka dan pria tersebut mulai melumatnya seperti orang kelaparan.
"Malam ini kau takkan bisa menghindariku" desahnya disela-sela ciuman dan remasan jemarinya ketubuh Shaki yang sudah hampir sampai pada batas ketahannya.
"Ailan... " bisik Shaki gemetar.
"Jadi kau masih ingat namaku" balas si pria.
"Tolong lepaskan aku" isak Shaki memohon.
Pelukan Ailan makin kuat dan erat.
"Apa kau akan bicara hal yang sama jika saat ini Addar lah yang sedang memelukmu?" geram si pria yang suaranya gemetar menahan amarah.
"Tolonglah... " parau Shaki yang tidak punya kekuatan lagi untuk menahan tubuhnya hingga kini bersandar sepenuhnya pada tubuh si pria yang baru saja dia panggil Ailan.
"Sama seperti sebelumnya, kau bisa menganggapku sebagai Addar.
Wajah, suara dan tubuh kami sama persis seperti bayangan dalam cermin. Jadi nikmati saja semuanya dan anggap aku Addar" ucap Ailan lagi yang seperti sedang membujuk tapi terdengar sedang menghina di telinga Shaki.
"Tidak.. Baik dulu atau sekarang, aku tak pernah menganggap kalian sama.
Kau dan Addar berbeda"
Sanggah Shaki terengah-engah.
Ailan tertawa tapi terdengar menyedihkan dan juga menakutkan.
"Tentu saja, aku dan dia ibarat setan dan malaikat di matamu"
Shaki memggeleng.
"Terserah apa yang kau pikirkan. Tapi sekarang aku hanya ingin pergi dari sini" bisik Shaki yang tanpa sadar mencengkram kelepak jas Ailan agar dia bisa bertahan.
Ailan menunduk, mencium kembali Bibi Shaki yang tadi belepotan muntah tapi sama sekali tidak membuatnya jijik.
Puas mencium Shaki diangkatnya tubuh Shaki yang terkulai tak berdaya dalam gendongannya.
Ailan berjalan membawa Shaki memasuki sebuah pintu yang dibaliknya begitu redup dan sunyi.
Samar Shaki bisa merasakan mereka menaiki tangga dan tak lama memasuki sebuah ruangan gelap.
Ailan membaringkan Shaki yang bahkan tak mampu untuk menggerakkan satu jarinya karena rasa lelah yang menghimpit tubuhnya.
Hanya matanya yang terbuka memperhatikan semuanya.
Ini adalah sebuah kamar yang bisa membuat pemilik hotel Bintang lima merasa minder.
Kamar ini luas dengan furniture khas laki-laki, sayangnya kamarnya gelap dengan pencahayaan alami dari sinar bulan yang menembus masuk lewat pintu balkon dan ventilasi.
"Tolong jangan melakukan apa yang kau lakukan dulu padaku.
Aku tidak mabuk.!" mohon Shaki.
Ailan mendengus.
"Tentu saja. Aku sangat percaya padamu" ledeknya sambil meraba kening Shaki.
"Tapi kau juga tidak sedang demam"
Shaki menggeleng.
"Bukan urusanmu. Aku tidak akan bicara apapun padamu" desisnya.
Ailan tertawa sinis.
"Jadi kau tidak mau lagi menceritakan semuanya padaku ya. Padahal dulu kita kan cukup akrab."
Wajah Shaki merah padam, dia berpaling marah karena diingatkan kebodohannya dulu, bagaimana Ailan menipunya.
"Terimakasih karena sudah mengingatkan aku" ketusnya.
Ailan tersenyum.
"Sama sama. Bagaimanapun kita kan teman.
Nah karena itu aku ingin bertanya padamu. Kenapa kau bisa hadir di pesta ini.
Aku kaget sekali melihatmu di sana tadi. Dicari kemanapun kau tidak ketemu lalu tiba-tiba saja kau sudah di depan mataku."
Shaki masih tetap menolak melihat Ailan.
"Aku juga kaget melihatmu. Kalau aku tahu akan bertemu denganmu di sini, aku pasti tidak akan datang." Meski Tante Amira memohon, tambah hati Shaki.
"Lalu kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini.?"
Ailan tersenyum menggoda.
"Kau penasaran ya.?" Godanya Dengan maksud main-main.
Shaki membuang wajah, terlalu lelah melayani Ailan.
"Ini rumahku. Lebih tepatnya ini rumah papaku" kata Ailan yang tahu dia tak bisa mempermainkan Shaki.
Shaki perlahan menoleh, matanya membesar.
"Kau putra tuan Martin?"
Ailan menggeleng.
"Martin pamanku. Dia adik dari ibuku." Jawab Ailan
Shaki terdiam. Kenapa dia tidak tahu ini?
Apa dia melewatkan bagian ini saat tante Amira bercerita?
"Dan kau, dengan siapa kau ke pesta ini?" Tanya Ailan menyentuh pipi Shaki yang tirus dan pucat.
Shaki menepis tangan Ailan.
"Tadi kau sudah menebaknya bukan" dia takkan bicara pada Ailan.
Tante Amira juga tak mau hubungan mereka diketahui siapapun. Karena katanya dari awal dia sudah berbohong pada tuan Martin dengan bilang kalau dia sebatang kara di dunia ini hingga tuan Martin yang seorang duda jadi kasihan, membuat mereka jadi dekat dan perlahan jadi menjalin hubungan serius sampai menikah.
Ailan tersenyum miring.
"Aku hanya bicara asal-asalan. Aku tidak serius."
Shaki berusaha duduk.
"Aku tidak peduli dan aku juga tidak pernah tahu kapan kau serius dan kapan kau sedang main-main" ketusnya yang berdiri melangkah ke arah pintu yang diyakininya sebagai pintu keluar.
"Dan jangan bicara padaku seolah kita punya hubungan dimasalalu. Kita tidak punya, dan aku tidak mau bertemu kau lagi"
Ailan tidak mencegah, hanya mengikuti langkahnya.
"Sampai sekarang aku tidak mengerti kenapa kau terus membenciku.
Apa yang kulakukan adalah hal yang wajar" katanya dengan nada merendahkan.
Shaki menahan gemetar tubuhnya, memaksa kakinya melangkah.
Ruang gelap hanya membuat kilasan masalalu menganggu nya.
Suara jeritan dan tawa bercampur masuk ke telingannya.
Shaki membuka pintu, berniat lari tapi wajahnya malah membentur dada yang keras. shaki terjerembab, hampir jatuh kalau saja tidaj ada tangan kokoh yang menahannya.
"Shaki?!"
Suara itu..?!
Shaki perlahan mengangkat wajah, bertemu pandang dengan wajah Ailan yang memakai kacamata.
Bukan. Ini bukan Ailan.
"Addar?" Bisiknya pelan, menoleh ke belakang untuk memastikan.
Ya Ailan berdiri dibelakangnya.
Saudara kembar yang identik ini sedang mengapitnya.
*******************************
(02042021) PYK.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top