tujuh puluh
Makasih komennya yang bejibun.
Di sini baper di sebelah tempatnya Dedes pada misuh-misuh. Ntar kalo jatuh cinta ama Mas Nana kek Malik, awas ya.
Tapi, kayaknya ga bakal cinta😜
***
Ketika 70
Pagi-pagi sekali, ketika hari masih menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit, Magnolia sudah keluar dari lobi hotel. Hari itu dia memakai celana jin hitam sebetis, sepatu lari berwarna pink dan juga jaket kaos yang melindungi tubuhnya dari dinginnya angin pagi. Di tangannya kanannya terdapat sebuah kantong kertas dan dia sedang menelepon Dimas sewaktu menuruni undakan tangga hotel.
“Ngak usah jemput. Gue udah jalan. Sekalian lari pagi. Nggak jauh juga dari rumah.”
Sejak semalam, usai makan bersama Malik dan Dimas, Magnolia sudah sudah memikirkan rencana untuk hari ini dan begitu pagi tiba, dia menjadi amat tidak sabaran. Dimas yang sebelumnya ingin menjemput Magnolia mendapat penolakan halus dari adiknya.
“Tapi, lo tungguin gue di depan rumah Om Danil kayak biasa, ya. Gue masih nggak pede pulang sendirian.”
Di dalam hati, Magnolia mesti berperang dengan egonya sendiri. Dia ingin sekali datang dan mencium punggung tangan ibu tirinya, tetapi, perasaan khawatir terus menghantui terutama karena dia tahu sekali perangai Ira Saraswati yang belum tentu mau menerimanya kembali.
Sebelum berangkat ke Jakarta, ingatan tentang Ira yang selalu berdoa agar dia cepat-cepat pergi dari rumah keluarga Hassan selalu menghantui. Dia tidak pernah bercerita tentang hal ini kepada Dimas karena takut pria itu akan marah kepada ibunya. Tapi, rasa sayang kepada Ira mengalahkan perasaan takut akan disakiti baik dengan kata-kata atau perbuatan ibu tirinya yang sebenarnya tidak layak dia lakukan kepada putri tirinya dengan dalih sebagai pelampiasan atas ulah kedua orang tua Magnolia.
Magnolia juga mempersiapkan sebuah kantong lain berukuran lebih kecil yang dia masukkan di dalam kantong yang pertama sebagai oleh-oleh buat Kezia. Walau tidak yakin kalau kakak perempuannya itu akan menerima, Magnolia dengan penuh percaya diri membawa semuanya untuk dia persembahkan nanti kepada dua wanita di rumah keluarga Hassan tersebut.
Magnolia mulai berjalan cepat saat dia sudah berada di trotoar jalan. Suasana masih sedikit gelap tetapi dia tidak sendirian. Beberapa jamaah sepertinya baru kembali usai menunaikan salat Subuh dan dia berpapasan dengan mereka. Setelah berjalan sekitar seratus meter, Magnolia mulai berlari-lari kecil.
Jarak menuju ke rumah keluarga Hassan sekitar satu kilometer. Magnolia selalu melewati hotel yang dia tinggali sekarang ketika pulang dari pasar atau juga dari Kopi Bahagia. Gara-gara itu, dia teringat dengan kenangan saat Malik menjemputnya pulang malam-malam usai bekerja. Senyumnya terbit. Entah kenapa, dia baru menyadari bahwa dulu, hampir setiap malam Malik sengaja nongkrong di Kopi Bahagia demi menunggunya dan setelah mereka mengobrol, Dimas hanyalah dalih yang selalu menjadi senjata sakti buat Magnolia menurut kepada kehendaknya.
Baru saja berbelok menuju kompleks perumahan, Magnolia merasa ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Rasanya begitu jelas tetapi dia tidak berani menoleh.
Tenang, Ya. Stop dulu.Pura-pura benerin sepatu. Kalau dia beneran orang jahat, pasti berhenti. Kalau cuma orang yang jalan, pasti cepat lewat, Magnolia meyakinkan diri. Tidak butuh waktu lama, dia langsung pura-pura berlutut dan memperbaiki tali sepatunya. Sesekali, Magnolia mencoba menoleh ke arah belakang, tetapi langit yang belum terang serta terbatasnya jarang pandang membuat usahanya tidak berhasil.
Ntar coba lagi. Sekarang gue mesti lari agak cepat, lagi, Magnolia bicara kepada dirinya sendiri. Dia bangkit dan mempercepat langkah. Di dalam hati, dia berharap berpapasan dengan pengemudi motor atau pejalan kaki yang lain. Rasanya amat tidak enak. Tapi, seperti inilah Jakarta. Tidak semua orang yang dia temui adalah orang baik.
Magnolia masih merasa kalau dia diikuti, walau sudah hampir lima menit berjalan. Dia sesekali pura-pura memperbaiki rambut dan menemukan sosok tadi masih berada di belakang.
Gimana kalau hadapi aja? Lo, kan, bisa silat.
Tapi, kalau dia bawa pisau, gimana?
Belum selesai berperang dengan pikiran, sebuah tepukan di bahu kirinya membuat Magnolia refleks melayangkan tendangan memutar dengan kaki kiri. Gerakan tidak disangka itu dengan cepat membuat lawannya terjengkang dan mengaduh dengan nada suara yang amat dia kenal. Begitu Magnolia menoleh, dia nyaris terpekik melihat Malik sudah berlutut memegangi perut sekitar tiga meter dari posisinya saat ini.
"Abang?" Magnolia hampir melempar kantong kertas yang berada di tangan saking kaget dengan kejadian barusan. Tendangannya barusan tidak benar-benar mengenai Malik, kan? Tapi, kenapa dia sampai berlutut dan meringis seperti itu?
Magnolia segera mendekat dan ikut berjongkok di depan Malik. Alisnya berkerut dan jantungnya berdebar cepat. Dia mencoba menyentuh perut Malik yang tertutup oleh kedua tangannya.
"Lagian, kenapa juga sampai buntutin orang dari belakang. Lagaknya kayak penguntit. Gue, kan, takut."
Magnolia yang panik mencoba memegangi lengan kanan Malik.
"Abang. Kena apanya tadi? Ketendang perutnya?"
Malik hanya mengangguk, tidak sanggup bicara untuk saat ini. Tendangan telak dari Magnolia telah membuat perutnya nyeri dan wajahnya memerah menahan mual. Hingga detik ini, berarti sudah dua kali perutnya merasakan hantaman nona lesung pipi di depannya. Yang pertama dengan pukulan dan yang barusan, lewat tendangan. Semoga setelah ini dia masih tetap hidup.
"Duh, apa panggil Mamas aja biar diperiksa? Ntar luka dalam. Ususnya, ginjalnya, atau lambungnya yang kena?"
Malik meringis. Magnolia mulai menyebut-nyebut nama Dimas dan sekarang, dia sudah merogoh kantong jaketnya, mencoba mencari ponsel untuk menghubungi sang abang.
"Nggak perlu." Malik mencoba menahan, "Calon suami kamu juga dokter, bukan dia doang."
Mendengar kata calon suami, Magnolia menaikkan alis, "Lah, baru juga ketemu dua hari, udah kelas akselerasi aja jadi calon suami."
Malik ingin sekali tertawa tetapi perutnya nyeri dan hal tersebut bukan main-main. Dia bahkan harus menjatuhkan bokongnya ke aspal supaya bisa bernapas dengan benar.
"Kalau udah nikah nanti, jangan main kekerasan kayak gini. Cukup punyaku aja yang keras, kamu jangan."
"Astaga, sempat-sempatnya ngaco pas lagi begini, sih? Ini lagi bahas nikah mulu. Lo sensi karena Mamas selangkah lebih maju, ya? Jangan-jangan, selama ini, pas Mamas pacaran, lo jadi obat nyamuknya?"
Wajah Magnolia terlihat puas sekali ketika dia membantu Malik bangkit. Meski begitu, Malik sempat mendengar Magnolia meringis ketika mengangkat lengan kanannya, "Ya Allah, berat banget. Habis makan apaan, sih?"
"Belum makan." Malik menjawab dengan jujur, "soalnya tadi dengar Dimas mau jemput kamu dan kamunya nolak. Aku nggak pernah bisa lihat kamu keluar pagi-pagi kayak gini. Langsung pusing kalau bukan aku sendiri yang mastiin kamu aman. Dari dulu selalu begitu."
"Dari dulu?" Magnolia memandangi Malik dengan wajah bingung. Bukannya baru pagi ini Malik mengikutinya? Kenapa pria itu bisa mengatakan kalau dia seolah-olah sudah terbiasa mengikuti Magnolia pagi-pagi sejak dulu?
Lagipula, jika hal tersebut berarti dia berangkat saat hari masih gelap, berarti waktu itu ketika dia berjualan di pasar?
"Nggak. Salah ngomong aja." Malik nyengir. Diusapnya puncak kepala Magnolia yang tertutup tudung jaket. Membayangkan ada orang jahat yang berani menyakiti atau menggoda Magnolia saja dia tidak suka. Karena itu, dia senang saat akhirnya bisa menemukan Magnolia sedang berjalan cepat keluar dari hotel.
Tapi, gara-gara itu juga, dia malah disangka sebagai pria jahat. Kenyataannya, dia adalah pacar si cantik ini. Untung saja, Malik masih bisa berjalan walau sesekali dia mengernyit. Tenaga Magnolia malah semakin kuat selama dia berada di Pagiran.
"Bisa jalan, nggak? Lagian kenapa nyusul subuh-subuh gini? Gue kira lo masih tidur."
Malik berjalan sembari memegang perutnya dengan tangan kiri sementara Magnolia dengan santai melangkah di sebelahnya. Kedua tangannya tersembunyi di saku jaket yang berada di depan perut sementara kantong kertas tadi melingkar di pergelangan tangannya. Tidak ada niatan sama sekali dari dalam diri wanita muda itu untuk memapah Malik dan Malik yang melihatnya hanya menahan gondok di hati.
Seharusnya, Magnolia memegang tangannya lalu membantunya berjalan. Tendangan tadi benar-benar luar biasa. Untung saja sedang tidak ada orang. Jika tidak, belum tentu dia bakal selamat. Mereka yang memergoki, sudah pasti bakal ikut mengeroyok Malik hingga babak belur.
"Sudah dibilang kalau aku kepikiran." Malik membalas. Sudah lama momen seperti ini tidak terjadi. Terakhir, mereka berjalan bersama saat Magnolia diminta untuk jadi instruktur senam di lapangan dekat rumah.
Gue nggak percaya gombalan lo lagi. Basi." Magnolia mengedikkan bahu. Kakinya sudah gatal ingin kembali berlari, tetapi, melihat kondisi tukang kuntit di belakangnya tampak merana, dia lantas memperlambat langkah.
"Udah bertahun-tahun lewat, masih aja nggak percaya. Jangan-jangan sekarang masih mikir kalau dirinya jomlo, benar, kan?" Malik dengan seenaknya meletakkan tangan kanannya di sepanjang bahu Magnolia dan seperti biasa, lawan bicaranya segera mundur.
"Tangan." Magnolia memperingatkan, "Jangan sembarangan pegang-pegang kalau lagi di jalan. Banyak tetangga lewat. Ntar heboh satu kampung. Kalau ketahuan Bude, gimana?"
"Bunda sudah tahu, kok." Malik kembali menarik bahu Magnolia ke arahnya dan pura-pura mengaduh supaya dia tidak ditinggalkan. Akal bulusnya berhasil dan Magnolia pada akhirnya mau membantu Malik melangkah.
"Mulut lo bocor banget, sih. Bude pasti nggak demen soal ginian. Gue tahu banget, lo tuh seharusnya dijodohin sama sebangsa Ghadiza atau Keke, yang asalnya dari keluarga baik-baik."
"Yang bilang kamu bukan orang baik, siapa?" Malik setengah melotot memotong ucapan Magnolia tersebut, "Oh, khusus buat pacarnya, dia memang kurang perhatian. Sampai detik ini, nomor HP-ku masih diblokir, dan satu lagi, kamu nggak nerima rikues FB dan IG-ku. Bertahun-tahun, loh. Sama yang ini, udah tahu kita jadian, masih aja lo-gue. Aku aja, sudah dua tahun lebih nggak pernah lo-gue sama kamu. Atau sudah tiga tahun. Kamu tahu, nggak? Dari detik aku manggil kamu begitu, mentalku sudah lebih dari siap buat nembak kami, tapi, kamunya seolah mau nerkam aku."
Malik berhenti bicara tepat saat dia melihat mulut Magnolia komat-kamit seolah menirukan ucapannya barusan. Dia bahkan tidak percaya, guru muda yang sudah bertahun-tahun dia incar memperlakukannya, seorang Malik Galih Kencana, idola di SMANSA JUARA, seperti itu.
"Sori. Kebiasaan lihat bocah suka jahilin Bu Narsih." Magnolia nyengir. Bu Narsih adalah salah satu guru di SD Pagiran yang sering sekali marah kepada siswa kelas lima dan bila beliau sedang mengoceh, beberapa siswa suka menirukan mulutnya seperti itu.
"Aku nggak pernah nemu perempuan kayak kamu seumur hidupku, sumpah. Kamu satu-satunya yang bisa kayak gitu waktu aku sedang bicara serius." Malik mengeluh. Dia merasa amat gemas dan Magnolia lebih memilih melihat ke arah jalan.
"Temen-temen lo nyebelin semua, ya, di kampus? Pantes betah banget sama Mamas. Kalo di sekolah gue, ibu-ibunya suka gosip. Dari panci sampe daster, sampe urusan laki dibahas semua. Lo tahu, nggak? Gue yang masih gadis, berasa jadi emak-emak kalau dah ngumpul sama mereka, apalagi makanya cireng."
Karena tubuh Magnolia cukup tinggi, hanya berbeda sekitar enam atau tujuh sentimeter dari Malik yang mencapai 178 cm, ketika menoleh ke arah Malik, Magnolia merasa dirinya berada terlalu dekat dengan pria itu sehingga seketika dia memilih berpaling dan kembali memandangi jalan.
"Asal kamu nggak kepincut sama suami mereka, nggak masalah."
"Ampun, dah."
Untung saja, jarak menuju rumah tinggal sedikit lagi. Begitu melihat bayangan Dimas sedang menunggu di bawah pohon asam, di depan rumah tetangga yang selalu Magnolia panggil dengan nama Om Danil,
"Loh, kenapa ini?" Dimas mendekat saat dilihatnya Magnolia memapah Malik yang kemudian bersikap biasa begitu melihat Dimas. Tetapi, Magnolia yang merupakan pelaku sekaligus saksi mata kunci insiden tadi segera membalas tanpa ragu, "Kena tendang ama gue, soalnya tadi gue kira preman mau perkosa."
"Astaghfirullah," Dimas mengucap istighfar.
Sepertinya sang adik telah mengumpulkan segenap tenaga untuk menghajar Malik setelah kemarin dia teperangkap di dalam mobil yang sama dengannya selama seharian. Meski begitu, Respon Malik sama sekali tidak menunjukkan kalau dia sempat tersiksa karena tendangan barusan.
"Pura-pura kuat dia, mah." Magnolia membalas saat Dimas menyentuh perut sahabatnya, "tadi mukanya pucat pas habis kena tendang."
"Sori." Dimas berbisik. Wajahnya sedikit malu karena kelakuan Magnolia.
"Biasa aja, Bro. Kalau nggak cinta, nggak mungkin masih nekat jalan di sebelahnya."
"Heh, Malik. Gue denger lo ngomong apaan." Magnolia melotot sembari berkacak pinggang. Jika bukan karena Dimas mencubit hidungnya, dia masih akan melotot kepada Malik.
"Nggak boleh gitu, Ya. Nanti kalau Malik pergi, lo nangis-nangis kangen."
Magnolia merasa wajahnya dilempari tomat seember. Kenapa juga Dimas berubah haluan jadi pendukung Malik? Apa dia juga sudah tahu kalau Malik kemarin menembaknya? Kenapa sekarang bibir Malik lebih nyinyir dari bibir emak-emak yang doyan bergosip? Tadi saja dia mendengar kalau Laura Hasjim sudah tahu. Sekarang, giliran Dimas.
"Bukan cuma tahu." Malik nyengir sehingga Magnolia merasa pria itu punya kemampuan membaca isi kepalanya dan hal ini tidak sepertinya pernah terjadi di masa lalu. Malik lantas membuka penutup tudung kepala Magnolia dan mulai mengacak-acak rambutnya.
"Jauh-jauh hari aku udah ngelamar kamu sama dia."
Kantong kertas yang dipegang Magnolia terjatuh dan dia hanya bisa memandangi Malik yang kini berjalan menyusul Dimas dengan mulut ternganga.
"Kalian berdua bikin konspirasi apa selama gue di Pagiran, hah? Mana ada cerita lamar-lamar padahal gue belum setuju. Heh?"
Apa yang terjadi dengan isi kepala mereka berdua? Magnolia tidak habis pikir dan bisa-bisanya Dimas memendam semua ini tanpa memberitahunya sama sekali.
Dia kira, Mamas adalah sekutunya yang paling setia, ternyata dia salah.
***
Suka-suka kaw ajalah, Yaya.
Netizen capek meleyot-meleyot mulu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top