Tiga puluh sembilan

Makasih banyak atensinya seharian ini. Moga lanjut terus sampai nanti-nanti. Yang nggak sabar, silahkan ke Karyakarsa atau KBM. Search aja eriska helmi.

Nggak perlu donlot2 bisa lewat web. Tinggal login aja.

Insyaallah setelah lebaran dan tamat kita open PO ya.

Ceritanya panjang banget, loh. Hari ini aja mo up bab 90. Jadi kalo ga doyan cerita lelet dan bertele2 plis skip.

***

Ketika 38

Magnolia yang terpaksa datang ke lapangan setelah berganti pakaian sekitar sepuluh menit kemudian berusaha menahan malu dan berharap wajahnya tidak merah. Bagaimana tidak? Acara senam rutin yang selama ini ditangani oleh instruktur senam ternyata dihadiri oleh hampir semua warga kompleks. Dia bahkan nyaris tidak mau melanjutkan perjalanan menuju podium jika saja Laura Hasjim yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri menyongsongnya dengan penuh semangat.

"Aduh, aduh. Anak cantik Bude. Sini, sini. Bude anter ke tempat Bu RT."

Tanpa ragu dan malu, Laura Hasjim menggamit jemari kanan Magnolia dan membimbingnya berjalan melewati warga kompleks yang rata-rata mengenalnya. Beberapa di antara mereka malah ada yang berseloroh, "Aduh, calon mantu, ya, dipegangnya kuat banget. Takut lepas, Bu Lau?" 

Magnolia yang mendengar candaan para tetangga yang sebenarnya tidak masuk akal tersebut hanya mampu mengaminkan di dalam hati sementara Laura Hasjim membalas komentar tetangganya dengan tawa. Dari dulu ibunda Malik tersebut tidak pernah terlihat mendukung usaha Magnolia yang terang-terangan naksir putranya, tetapi, dia juga tidak melarang Magnolia untuk berhenti memendam perasaan pada si bungsu keluarga Hasjim tersebut.

"Mau nganter Yaya, takut nyasar." 

Magnolia berusaha menyunggingkan senyum tipis kepada siapa saja yang memandang ke arahnya. Dia bahkan bisa mendengar beberapa orang berbisik memuji mama, "Keren banget Bu Ira. Biar janda, bisa didik anak-anaknya sampai sukses jadi mahasiswa. Semuanya masuk Universitas Jakarta Raya, bukan main. Si Dimas jadi dokter, kan? Ini Yaya instruktur olahraga pula."

Magnolia merasa Laura Hasjim menggenggam tangannya sedikit lebih kuat saat nama mama disebut. Tapi, sebenarnya di dalam hati, Magnolia merasa bangga. Dia sudah berhasil membuat mama tidak dipermalukan oleh tetangga. Bila dulu dia tetap keras kepala nekat berjualan cabai dan lap di pasar, mengabaikan permintaan Dimas yang nekat memukulinya agar terus bersekolah, dia tidak mungkin bisa berdiri seperti saat ini. Bahkan, bila dia memilih minggat seperti di awal-awal masuk SMA. Daripada membuat bangga, dia yakin, namanya malah bakal membuat mama semakin malu.

Magnolia menahan napas begitu dia sudah berhasil mencapai podium. Semoga tidak ada warga yang mengomentari penampilannya yang pagi itu asal tarik pakaian. Dia memakai seragam voli bertuliskan namanya sendiri dengan nomor punggung 03 berwarna pink terang, yang merupakan seragam Srikandi SMANSA tim volinya saat SMA, sementara untuk bawahannya, Magnolia memakai celana training berwarna hitam sebetis serta sepatu jogging yang dihadiahkan Dimas kepadanya saat tahu Magnolia diterima di FKIP.

Dia hanya sempat menguncir rambut dan Magnolia sebenarnya tidak terlalu pandai menjadi pemimpin, walau di tahun terakhirnya sebagai anggota tim inti voli SMANSA dia sempat menjadi kapten selama satu bulan. Coach Nanda selalu merotasi jabatan kapten supaya saat keadaan genting, siapa saja bisa menggantikan kapten utama.

Magnolia menghadap ke arah lapangan dan merasa agak sedikit gugup. Untung saja Dimas ada di rumah, mama dan Kezia juga sudah minggat sejak pagi sehingga dia tidak perlu khawatir. Tetangga paling dekat hanyalah Bude Laura dan Magnolia tidak merasa sungkan sama sekali, terutama ketika melihat wanita enerjik itu melambai-lambai dengan penuh semangat ke arahnya.

Operator musik menekan tombol play dan alunan khas lagu Maumere terdengar ke segala penjuru. Buat Magnolia, hal tersebut berarti kalau dia sudah harus melakukan gerakan senam yang amat dia hapal sejak menjadi mahasiswa FKIP olahraga. 

Tidak butuh waktu lama buat para warga untuk mengikuti gerakan lincah yang dilakukan oleh instruktur baru mereka. Berhubung pada saat itu senam Maumere adalah senam yang baru diluncurkan, tidak semua warga mengetahuinya dan akibatnya, banyak yang gerakannya tidak serasi. 

Untung saja mereka tidak mempermasalahkan kacaunya gerakan tersebut dan memilih untuk bergoyang dengan penuh semangat mengabaikan susunan barisan mereka yang mulanya rapi menjadi acak-acakan terutama saat gerakan putar ke kiri yang membuat para bapak-bapak heboh dan berseru beramai-ramai sebagai tanda mereka menyukai gerakan yang baru mereka lihat tersebut. 

Magnolia yang mulanya merasa amat gugup kemudian tidak bisa menahan diri untuk tersenyum hingga gigi dan lesung pipinya tampak. Dia bahkan menyempatkan diri untuk mengucapkan yel-yel dan segera mendapatkan sahutan dari para warga yang merasa amat senang pada pagi itu. 

***

Setelah mengulang tiga kali senam yang sama karena permintaan warga yang berduyun-duyun datang, Magnolia pada akhirnya turun dari podium saat hari menjelang pukul sembilan. Dia sempat mendapat acungan jempol dari Pak RT dan Pak RW yang memuji kemampuan Magnolia. Bahkan ketika Bu RT datang dan menyelipkan amplop ke dalam saku celana, Magnolia hanya mampu menolak dan menahan rasa malu.

"Nggak usah, Tante. Yaya ikhlas. Hitung-hitung olahraga juga." 

Sayangnya, Bu RT pura-pura tidak mendengar dan malah mengatakan kalau dia bakal menyusahkan Magnolia setiap minggu karena baru kali ini mereka amat antusias ada warga sendiri yang bisa diberdayakan dalam acara-acara seperti ini.

"Sekalian ajarin voli, atuh, Ya. Tante lihat kamu sering menang. Sama kasih tahu tempat beli seragam modis kayak yang kamu pakai gini, ya. Yang bikin Pak RT kesengsem." 

Jiah, Magnolia serba salah menahan geli. Mana mungkin seragam voli SMA dan training sebetis yang dia pakai disebut modis. Dia, kan, tadi asal comot saja. Untunglah sekali lagi Laura Hasjim menyelamatkannya. Tanpa ragu tetangga mama yang amat baik hati itu menjemput Magnolia yang tampak salah tingkah diwawancarai Bu RT. 

"Eh, Yaya. Udah diskusi sama Bu RT? Temenin Bude, yuk, cari sarapan. Laper habis senam." 

Magnolia mengucap syukur karena Laura Hasjim berhasil membuatnya kabur. Dia benar-benar kikuk karena selama ini hanya banyak mendekam di dalam kamar bila tidak bekerja. Lagipula, setelah bertahun-tahun  tidak pernah berbaur dengan warga sekitar, dia jadi agak gugup sewaktu bertemu dengan orang sebanyak itu. 

"Tapi, Yaya masih harus ngelanjutin beres-beres, Bude. Mumpung Mama belum pulang."

Seperti pada Malik, Magnolia kadang keceplosan bicara kepada Laura yang sudah dia anggap seperti ibunya sendiri. Tidak jarang, Laura memanggilnya hanya untuk memberikan makanan kepada Magnolia dan memastikan perutnya kenyang serta keadaannya baik-baik saja. 

"Alah, Mama kamu itu. Kayak ibu juragan aja. Apalagi si Keke. Nggak ngerasa kalau kamu yang bantu-bantu beres-beres. Biarin aja, sekali-sekali ikutan Bude jalan pagi kayak gini. Bude, tuh, punya anak laki-laki tiga, udah pada gede semua, nggak ada lagi rewang. Lihat kamu udah gede tinggi kayak gini, kayak nemu temen lagi. Lihat, nih, kepala Bude cuma sampe bahu kamu. Apalagi sama Malik, kelelep."

Saat nama Malik disebutkan oleh Laura, Magnolia memilih untuk mengikat tali sepatunya yang entah kenapa, tiba-tiba lepas. Tapi, hal tersebut tidak membuat Laura yang ikut berhenti di sebelah Magnolia diam. Dia malah menyebut kembali nama putranya seolah lupa kalau Magnolia pernah naksir habis kepadanya.

Sekarang masih, sih. Cuma nggak segila dulu. Udah sadar diri, gue kerikil di selokan sementara Abang ya matahari yang bersinar terang.

"Kamu di sini juga? Kirain Bunda masih tidur tadi." 

"Aku dari abis Subuh sudah lari, Bun. Bunda aja yang nggak ngeh."

Magnolia yang hampir selesai mengikat tali sepatu mendadak menghentikan gerakannya dan berusaha mengangkat kepala. Dia menahan napas saat tahu sosok jangkung memakai baju basket sedang memegang bola di tangan kanan sementara ibundanya mengusap poni sang anak bungsu sambil berjinjit.

"Nggak Malik, nggak Yaya, semua tinggi kayak tiang. Tinggal Bundanya aja, nih, susah kalau mau peluk kalian." 

Terdengar kekehan tawa yang Magnolia tahu berasal dari bibir Malik dan dia berusaha menahan debar dalam hati dan berharap wajahnya tidak merah. Laura selalu berusaha menyuruh Magnolia memanggilnya Bunda daripada Bude. Tapi, dengan begitu dia seolah-olah menginginkan Magnolia menjadi anaknya juga. 

Memang nggak diridhoi jadi calon mantu, si Bude, mah.

"Yaya keringatan, Bude. Nggak boleh dipeluk. Ntar Budenya pingsan." Magnolia berusaha mencairkan kegugupan di hatinya dengan bicara seperti itu. Dia tahu kata-katanya sama sekali tidak lucu tetapi lumayan buat menghibur dirinya sendiri. Apalagi dia harus bersikap pura-pura tenang di hadapan Malik yang hari ini tampil bak pebasket handal. Dia bahkan tahu harga sepatu basket yang dipakai pemuda itu. Anita yang sempat mampir ke kedai Kopi Bahagia di mal tempatnya bekerja pernah menculik Magnolia saat jam istirahat dan mereka berkunjung ke toko olahraga paling terkenal di mal. 

Sebuah sepatu basket original bisa dibawa pulang dengan harga paling murah satu bulan gajinya. Tapi merk tersebut memang merk paling favorit para pebasket dan mahasiswi kere seperti dirinya sudah merasa cukup memakai sepatu sponsor dan hadiah dari sekolah yang untungnya tidak rusak hingga detik ini. 

"Mana ada pingsan. Wong kamunya bau bayi gitu." 

Jelas sekali Laura Hasjim suka melebih-lebihkan, pikir Magnolia. Tadi dia cuma sempat menuangkan minyak telon sebagai pengganti minyak wangi yang sepertinya sudah habis. Sekarang, dia malah dipuji seperti bayi. 

Bayi habis beol, kali, Magnolia menertawai dirinya sendiri. Dia bahkan tidak sadar setelah beberapa detik berjalan, hanya tinggal dirinya dan Malik sementara Laura Hasjim sudah menghilang entah ke mana.

"Loh, kok lo doang? Bude ke mana?" Magnolia menjulurkan lehernya, mencoba mencari keberadaan Bude tetangga yang tadi minta ditemani mencari sarapan. Tapi, karena suasana lapangan kompleks sedang ramai dan banyak anak kecil berlari-larian, Magnolia kehilangan jejak.

"Ngeliat bunga di rumah Tante Ida." Malik menjawab santai. Sesekali dia memantul-mantulkan bola basket ke jalan dan menangkapnya dengan tangan.

"Kok bisa, sih, gue nggak sadar?" Magnolia bicara pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Apakah gara-gara tadi dia berusaha menghindari malik lalu Bude Laura kabur meninggalkannya?

"Kayak nggak tahu Bunda aja." Malik mencoba menenangkan, seolah tahu penyebab diamnya gadis itu. 

"Lo ngapain ke lapangan? Tumben banget gue ngeliat lo tahu-tahu muncul. Nggak ngintipin gue jingkrak-jingkrak, kan?" Magnolia sengaja berhenti lalu bersedekap menatap Malik yang dia pikir sedikit mencurigakan pagi ini. Bila dia mengatakan sudah keluar sejak subuh dan dia bermain di lapangan dari pagi, Magnolia curiga dialah yang memberi usul kepada Bu RT untuk menyeretnya jadi instruktur senam.

"Main basket. Tapi temen-temen pada bubar waktu dengar musik Maumere."

Malik sepertinya hendak melanjutkan tetapi Magnolia keburu menyentuh pelipis dan menggelengkan kepala menahan malu. Berarti Malik benar-benar melihatnya berjingkrak di atas podium tadi.

"Gue bisa main basket dikit." Magnolia melirik ke arah bola basket yang masih memantul-mantul di jalan. Tapi, sebelum Malik sempat menjawab, Magnolia keburu bicara lagi, "gue lebih senang voli soalnya enak aja kayak habis gampar orang. Apalagi kalau lagi marah. Puas banget. Bisa sambil teriak."

Di rumah, Magnolia hampir tidak pernah berkegiatan dan Malik tidak pernah melihat gadis itu bermain basket. Tapi dia yakin semasa SMA Magnolia sering bermain di lapangan sekolah bersama teman-temannya. Di rumah dia agak tertutup. Alasannya jelas, mama tidak bakal senang melihat dia terlalu ekspresif dan lebih menonjol dibandingkan Kezia. Tetapi, saat Magnolia berjualan lap di pasar, mama terlihat bahagia seolah-olah takdir Tuhan menempatkan anak tirinya dalam keadaan seperti itu dan dia membayangkan madunya lah yang menjajakan lap demi bisa bertahan hidup. 

"Mau sparing sama gue?" Malik memamerkan deretan giginya yang rapi dan dia melemparkan bola dalam pelukannya kepada Magnolia. Gadis tersebut menerimanya dengan tangkas dan dia mulai memantul-mantulkan bola basket dengan amat cantik seolah bola itu hanya menyentuh ujung jari Magnolia lalu dia tanpa ragu menggiring bola menjauh dari Malik.

"Nggak ada ringnya di sini." Magnolia tertawa setelah beberapa menit dia sadar, Malik hanya memperhatikannya saja. Karena itu juga, Magnolia kemudian melemparkan bola kembali kepada sang pemilik sedang dia menarik lengan kaosnya ke arah bahu.

"Mau balik ke lapangan lagi?" ajak Malik. Wajahnya tampak antusias dan berharap Magnolia mengiyakan permintaannya. Akan tetapi, Magnolia malah menoleh ke arah langit dan mulai menyebut-nyebut tentang cucian.

"Nggak, ah. Mau jemuran lagi." 

"Serius?"

Magnolia membalas keheranan Malik dengan sebuah anggukan, "Karena bukan anak sultan, jadi gue mesti nyuci sendiri. Ntar kalo sudah ketemu sultan beneran, terus bajunya nyuci sendiri, baru deh kita sparring."

Magnolia melambai ke arah Malik yang menatapnya dengan raut amat terkejut seolah tidak menyangka, Magnolia yang selama ini selalu ingin bersamanya, lebih memilih cucian. Tapi, yang paling mencolok adalah saat gadis itu berjalan sendirian dan merasa tidak ada orang lain yang memperhatikan, bahu Magnolia yang tadinya tegap, mendadak melorot dan dia berjalan seolah-olah dia akan meninggalkan tempat itu selamanya. 

Malik bahkan tidak sadar, bahwa nanti, dia adalah penyebab gadis itu pergi meninggalkan semuanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top