Sembilan belas
Yang nggak sabar silahkan ke KK atau KBM ya. Udah bab 43
***
Ketika 18
Hanya butuh waktu satu bulan bagi tim inti voli SMANSA JUARA untuk bisa mengikuti kejuaraan tingkat kota. Masa-masa tersebut menjadi dilema buat Magnolia karena dia harus berlatih hingga petang. Dia yang sebenarnya merasa tubuhnya remuk tetap memaksakan diri untuk tetap berjualan di terminal pada malam hari. Alasannya karena dia harus melunasi cicilan uang masuk yang batas jatuh temponya semakin dekat.
Tapi, setelah pengumuman hasil lomba, dia merasa bisa sedikit bernapas lega karena pihak sekolah membebaskan hadiah untuk dibagi-bagikan kepada seluruh anggota tim dan juga pelatih. Karena itu juga, saat menghitung semua tabungannya, dia masih punya beberapa rupiah untuk melunasi cicilan yang kedua, maka Magnolia lantas mempercepat pembayaran cicilan kepada guru yang bertanggung jawab mengurusi penerimaan mahasiswa baru.
"Sudah ada uangnya?" tanya Bu Ely sewaktu Magnolia datang dengan membawa uang cicilan siswa baru kepadanya.
"Sudah, Bu. Uang hadiah lomba kemarin bantu banget nambahin." terang Magnolia kepada sang guru. Bu Ely tersenyum dan mengucapkan terima kasih begitu Magnolia mengangsurkan sekitar dua puluh lembar uang seratus ribuan kepadanya.
"Mama sehat, Ya?"
Magnolia yang mulanya mengikuti tulisan tangan Bu Ely mengangkat kepala, "Alhamdulillah, sehat."
"Pas Dimas datang minta keringanan beberapa waktu lalu, Ibu nggak nyangka kalau dua adiknya masuk ke sini."
Magnolia hanya mengurai sebaris senyum. Dia mendapatkan kabar tersebut dari Dimas sehingga tahu garis besar ceritanya. Mama, tentu saja sempat marah dan tidak setuju apalagi saat tahu ternyata diam-diam putra sulungnya ikut berjualan di pasar saat akhir pekan tiba.
"Mau ditaruh di mana muka Mama, Mas? Kamu jualan kayak Mama nggak sanggup ngasih makan kamu. Mama lebih dari sanggup bahkan menyekolahkan kamu ke fakultas kedokteran sekalipun. Jangan kamu berbuat kayak anak yang nggak dikasih makan."
Saking marahnya, mama sempat mendiamkan Dimas selama satu minggu. Tapi, abangnya tidak gentar. Dimas tetap menemani Magnolia hingga akhirnya mereka punya uang yang cukup untuk mendaftar ke sekolah.
"Nggak usah dipikirin kata-kata Mama. Yang penting lo sekolah dan selama gue masih bisa bantu, gue bakal usahain sekuat tenaga."
"Iya, Bu. Biar bisa bareng."
Alasan yang masuk akal, pikir Magnolia. Siapa saja yang melihat tiga orang bersaudara bersekolah di tempat yang sama bakal berpikir seperti itu. Apalagi, Dimas telah menempelkan embel-embel anak yatim yang membuat pandangan orang-orang jadi berbeda.
"Oh, iya. Mending bareng. Enak, toh, ada abang yang bisa jagain dua adiknya. Tapi Dimas udah kelas 12."
Kembali Magnolia tersenyum. Dimas memang sebaik itu. Walau tahu Kezia dan dirinya tidak akur, dia tetap menyayangi mereka berdua. Meski begitu, menyatukan Kezia dan Magnolia dalam satu ruangan yang sama adalah hal yang amat rumit dan tidak bisa dia wujudkan sama sekali.
"Ini kuitansinya. Simpan baik-baik. Cicilannya tinggal satu kali lagi, ya."
Magnolia menerima kuitansi yang diulurkan oleh Bu Ely kepadanya. Setelahnya, dia pamit dan berjalan menuju pintu keluar dari ruang guru, saat yang sama dia bertabrakan dengan Malik.
Buru-buru Magnolia memeriksa hidungnya. Luka akibat pukulan bola dari Anita baru saja sembuh dan dia tidak ingin kembali berjalan ke mana-mana dengan hidung diplaster seperti kemarin.
"Abang! Kalau jalan lihat-lihat. Doyan banget matahin hidung Yaya." Magnolia mengeluh dan menunjuk hidungnya yang mulai merah sementara Malik yang tidak menyangka bakal bertemu dengan tetangga rasa penggemar, memandangi Magnolia dengan pandangan khawatir.
"Patah?"
"Iya, patah. Ganti lima juta." Magnolia berkacak pinggang.
Malik sempat melihat kuitansi pembayaran cicilan uang sekolah yang mencuat dari saku baju gadis tersebut. Dia kemudian mengerutkan alis dan menggeleng, "Hidung lo masih utuh."
"Tapi merah, nih." Magnolia berjinjit, menunjuk hidungnya kepada Malik. Tapi, si tampan itu malah memalingkan wajah dan bersiap untuk masuk ruang guru.
"Minta Dimas yang ngurusin. Sana minggir." usir Malik dengan halus membuat Magnolia protes, "Lah, kenapa mesti Mamas? Kan Abang yang salah. Lo yang bikin hidung gue bocor."
Magnolia tanpa ragu menarik seragam bagian belakang milik Malik sehingga langkahnya terhenti.
"Ini, nih. Lari dari tanggung jawab." Magnolia ngotot tidak mau kalah. Entah apa yang membuatnya nekat menarik baju Malik. Tapi, dia merasa dengan begitu, dia bisa mendapatkan perhatian si tampan idola sekolah tersebut.
"Lepasin. Lo apa-apaan, sih?"
Wajah Malik tetap datar seperti biasa. Dia juga tidak tersenyum seperti yang selalu dia lakukan kepada Kezia. Bahkan raut wajahnya lebih ke arah dia merasa amat terganggu dengan perbuatan Magnolia. Padahal, dia cuma ingin mendapatkan perhatian dari sahabat Dimas tersebut.
"Hei, bocah! Pacaran aja kelen di depan ruang guru. Berisik kali pun. Kuping aku sakit kau buatkan."
Pintu ruang guru yang terbuka menampakkan wajah sangar milik Jamaluddin Hasibuan guru matematika kelas sepuluh. Magnolia yang selalu merasa kaget dengan suara besar khas Sumatera Utara dari gurunya itu mendadak melepaskan pegangannya pada seragam Malik.
"Kaget, Pak." Magnolia berusaha tersenyum. Tapi, gara-gara itu juga, dia makin kena sembur.
"Aish, kau ini, Magnolia. Sudah kau buat PRmu?"
Magnolia mengangguk takut-takut. Meski amat suka dengan pelajaran yang diberikan oleh Pak Jamaluddin, dia belum bisa terbiasa dengan logat pria tersebut.
"Tidak bohong, kau? Jangan cengkunek, nanti kulihat di kelas tahunya bohong."
Magnolia tidak tahu arti kata cengkunek seperti yang disebutkan barusan oleh guru matematikanya tersebut. Tapi, dia bersumpah kepada Pak Jamaluddin kalau PR yang diminta oleh pria tersebut sudah diselesaikannya dengan baik.
"Sumpah, Pak. Nggak bohong. Nanti di kelas saya kasih lihat, deh."
Untung saja dia punya guru les paling baik dan amat sayang kepadanya. Dimas selalu memastikan kedua adiknya mengerjakan semua tugas walau untuk Magnolia, dia terpaksa harus menunggu hingga si bungsu kembali dari berjualan. Tetapi, pada saat itu, biasanya hanya tinggal soal-soal sulit saja yang belum Magnolia selesaikan.
Pak Jamal hanya melirik Magnolia selama beberapa detik untuk mencari jejak kebohongan di wajah gadis lima belas tahun berambut kuncir dua tersebut. Setelah tidak menemukan apa-apa, pandangan Pak Jamal kemudian beralih kepada Malik yang berdiri mematung di sebelah Magnolia.
"Kau, mau apa?"
"Mau ngasih buku kemajuan kelas sama Bu Mardiyah, Pak." Malik menunjuk map plastik transparan dengan isi buku kemajuan kelas di dalamnya.
"Ya sudah. Masuk sana."
Malik mengucapkan kata permisi kepada Pak Jamal sebelum memasuki ruang guru sementara kepada Magnolia, guru berusia empat puluh delapan tahun tersebut menyuruhnya untuk cepat-cepat meninggalkannya yang mana segera dituruti oleh Magnolia tanpa banyak protes.
Dia baru bisa menarik napas lega setelah berhasil bersembunyi di depan lapangan sepak bola, di bawah pohon angsana tua yang entah kenapa, telah jadi tempat persembunyiannya selama beberapa minggu terakhir.
"Padahal baru mau ngajak ngomong Abang." Magnolia yang telah duduk, mulai mengusap hidungnya. Masih terasa berdenyut tetapi untungnya tidak berdarah seperti waktu itu.
Magnolia kemudian menarik lembaran kuitansi yang berada dalam sakunya lalu dia pandangi angka yang tertera di sana. Tinggal satu kali cicilan lagi yang berarti dia masih harus bekerja giat sekitar satu atau dua bulan lagi. Tetapi, sejak masuk SMA waktunya untuk berjualan berkurang amat drastis. Dia hanya bisa berjualan dari subuh hanya di hari minggu atau tanggal merah sementara pada hari biasa, hanya hari Jumat dia bisa menjual lap, itu pun agak siang, sekitar pukul sebelas lewat tiga puluh menit.
Sisanya, dia manfaatkan untuk berjualan kopi dan minuman di terminal. Untung saja banyak pembeli yang pulang bekerja yang memakai jasanya. Sehingga setiap dia pulang dari berjualan kopi, pada malam hari, Magnolia bisa mengantongi sekitar enam puluh hingga seratus ribu rupiah belum dipotong modal.
Tapi, untuk menghidupi dirinya, dia merasa uang segitu sudah lebih dari cukup. Magnolia malah masih bisa menyisihkan sebagian untuk membayar cicilan. Beruntung buku bekas Dimas bisa dia pakai dan Kezia terlalu anti memakai barang-barang bekas sehingga buku sang abang bisa dia ambil tanpa perlu berebut dengan saudara perempuannya tersebut.
"Dua juta lagi lunas. Ayo semangat, Yaya. Lo bisa." Magnolia tersenyum menyemangati dirinya sendiri. Dia sebenarnya masih menyimpan sekitar empat juta rupiah lagi di dalam tabungannya, yang dia simpan di bank. Papa sempat membuatkannya rekening ketika Magnolia kelas lima SD dan dia telah belajar menyimpan uangnya di sana sejak saat itu. Hanya saja, bila semua uang dia pakai untuk melunasi cicilan sekolah, bila nanti ada kebutuhan mendesak, Magnolia tidak bisa membayar. Lagipula, berkaca dengan betapa giatnya dia mencari uang, Magnolia yakin, dia tidak akan kesulitan.
"Moga ada lomba lagi, Ya Allah. Kalau menang, lumayan nambahin bayar cicilan."
"Nih."
Sebuah suara membuat Magnolia mendongak. Alangkah kagetnya dia ketika melihat Malik berdiri di belakangnya sembari menyodorkan sekaleng Sprite dan sedotan untuknya.
"Lo, kok, tahu gue di sini?"
Malik tidak menjawab. Magnolia juga heran, kenapa Malik bisa tahu minuman kesukaannya? Mereka, kan, hampir tidak pernah bicara.
Malik kemudian berbalik dan berjalan meninggalkan gadis itu tanpa sepatah kata pun, membuat Magnolia hanya mampu melongo sembari memegang kaleng minuman favoritnya yang masih dingin dan belum terbuka sama sekali.
"Ini nggak lo kasih jampi-jampi atau pelet, kan, Bang?"
Malik yang berjalan menuju gedung utama, tempat kelasnya berada, segera memejamkan mata dan menggaruk kepala.
"Abaang! Lo gak kasih pelet, kan?"
Dia tidak perlu menjawab, buang-buang waktu. Magnolia juga tidak bakal percaya kalau dia memberikan minuman kaleng tersebut sebagai tanda dia merasa bersalah sudah menabrak hidung Magnolia untuk kedua kalinya.
"Gue nggak perlu lo kasih. Udah naksir duluan."
Dan cuma dia yang bisa bertingkah norak seperti itu hingga membuat Malik seolah-olah habis dipergoki maling jemuran oleh orang-orang yang lewat di sekitar mereka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top