enam puluh tujuh
Kagett?
Hahahha eke kan lagi baek.
Itu yang nyinyir ngoceh-ngoceh "Mentang-mentang abis PO ga apdet lagi" sini, eke getok.
Makasih komennya yang banyak bejibun. Jadi kalo kaga apdet tau alasannya, yes? Ngapaaaaa? Pada males komen. Bukan karena PO. Karena jari kalian lemas bestie. Eke jadi ga nafsu lanjutin.
Dahlah. Karena besok dah Senin, eke kasih yang ini.
Mampir juga di work eke Madu in Training, ya. Kalo kagak, eke ngambek.
***
Ketika 67
Warga sekolah menjadi amat gaduh saat mereka melihat Magnolia datang dengan beberapa kantong plastik besar makanan ringan. Beberapa siswi kelas enam yang sempat berpapasan dengan guru olahraga tersebut juga ikut membantu. Para guru juga agak terkejut ketika mendengar kalau Magnolia telah memesan beberapa porsi bakso untuk teman-temannya dari warung bakso di depan sekolah.
"Syukuran ulang tahun aja." Magnolia menjawab diplomatis. Tentu saja, semua orang yang ada di ruang menjadi amat senang. Tidak setiap hari mereka bisa makan bakso. Apalagi bagi para guru honorer yang gajinya tidak seberapa. Magnolia saja ketika melihat slip gaji pertamanya hanya mampu tersenyum. Amat jauh beda dengan gajinya sebagai barista Kopi Bahagia. Bahkan, bila dibandingkan dengan hasil menjajakan kain lap dan cabe, gaji mengajarnya selama satu bulan tidak bisa dibandingkan sama sekali. Dia cukup beruntung karena memiliki simpanan tabungan serta tidak perlu banyak mengeluarkan uang untuk makan sehari-hari. Setelah kebun dan kolam ikannya menghasilkan, dia bisa memanfaatkan semuanya untuk hidup dan ternyata, makan dari hasil jerih payahnya amatlah membahagiakan.
"Kayaknya bukan ulang tahun aja." suara ibu Kepala Sekolah yang pagi itu masuk ruang guru dengan wajah semringah membuat semua orang bertanya-tanya.
"Tadi Ibu ketemu sama Mamangmu. Dia bilang, Yaya lulus PNS. Mengabdi di sini. Alhamdulillah, Ibu bilang."
Ruang guru menjadi riuh kembali akibat berita baru yang sebenarnya sengaja disembunyikan oleh Magnolia. Akibatnya, dia kemudian dibanjiri ucapan selamat serta peluk kebahagiaan dari rekan-rekannya. Beberapa guru yang telah mengabdi selama bertahun-tahun hingga batas usia untuk mengikuti ujian telah habis, tidak bisa menahan rasa terharu mereka ketika memeluk Magnolia.
"Ya Allah, Dek. Makan apa maneh bisa lulus? Teteh ikutan sepuluh kali tidak lulus-lulus."
Magnolia yang kewalahan menghadapi berhasil kabur saat ponselnya berdering. Meski agak sedikit aneh, dia mencoba tersenyum ketika menemukan nama Laura Hasjim tertera di layar. Mungkin bude kesayangannya itu mau melanjutkan obrolan karena tadi Magnolia hanya membalas seadanya. Mereka tidak cukup sering berteleponan, tetapi, Laura adalah penonton setia saat Magnolia siaran langsung entah itu di Instagram atau di Facebook. Bahkan, seingat Magnolia, Laura selalu jadi yang pertama ketika dia mengunggah status video atau foto di Whatsapp yang seharusnya diperuntukkan untuk Dimas.
"Assalamualaikum, Bude. Ada apa?"
Magnolia sengaja memilih duduk di ujung ruang guru yang kosong ditinggal penghuninya mengajar sementara dirinya sendiri baru masuk usai jam istirahat sekitar satu jam lagi dari sekarang.
"Waalaikumsalam."
Suara berat dan bariton itu bukanlah milik Laura Hasjim. Magnolia bahkan menjauhkan ponsel dan memandangi nama yang tertera di layar demi melihat kembali sang penelepon tersebut.
"Bude, kok, suaranya agak ngebas?"
Tawa terdengar dan Magnolia sadar, nada suara itu bukanlah milik Laura Hasjim melainkan milik pria paling tampan yang dulu pernah membuatnya amat tergila-gila, Malik Galih Kencana, si tukang PHP yang paling menyebalkan dalam hidup Magnolia.
"Ini Abang kesayanganmu."
Meski dia ingin berteriak ketika mendapatkan telepon dari Malik, Magnolia setengah mati menjaga agar nada suaranya tidak terdengar panik. Lagipula, kenapa, sih, Malik tiba-tiba menelepon? Selama ini Magnolia sudah memblokir nomornya dan dia tidak tahu bila pria itu punya seribu akal, memanfaatkan nomor ibunya supaya Magnolia mau mengangkat.
"Cuih," Magnolia pura-pura marah dan terdengar tidak tertarik, "kesayangan siapa? Keke palingan."
Malik tertawa lagi. Suaranya begitu renyah dan langsung masuk ke hati Magnolia sehingga dia harus memejamkan mata dan memaki dirinya sendiri. Bukan begini cara move on, Yaya bodoh.
"Kesayangannya Magnolia Rayya Hassan, lah. Ngapain kesayangan Keke? Dia bukan tipeku"
Huh. Magnolia memajukan bibir. Bukan tipenya, tapi kemarin ketika Dimas bertunangan, saudarinya itu malah bergelayut mesra di lengan Malik dan pria itu malah cengengesan ketika Kezia mengedip ke arahnya.
"Matiin, nih." Magnolia malas berbicara dengan seorang tukang tipu dan perayu gombal macam Malik. Tidak perlu perang urat leher dalam menghadapinya. Cukup tinggalkan saja dan tutup buku.
"Eeh, jangan. Susah tahu bisa dijawab teleponku sama kamu.
Lubang hidung Magnolia mengembang. Ingin rasanya dia melempar ponsel yang dia pegang sekarang ke wajah Malik. Kenapa dia bicara dusta lagi? Sedangkan kenyataannya, dia berbohong.
"Sudah, ah. Mau ngajar. Lo ganggu gue, tahu!" Magnolia membalas dengan suara agak tinggi. Dia tidak mau hari ulang tahunnya menjadi kacau dengan teringat perbuatan Malik kemarin.
"Jangan, Ya. Sebentar aja. Tolong jangan tutup. Kamu boleh benci dan nggak suka aku meneleponmu, tapi izinkan sekali saja aku ngomong. Nggak sampai satu menit."
Suasana berubah hening dan Malik memastikan kalau Magnolia masih mendengarkan dirinya.
"Yaya?"
"Ngomong aja. Sudah tinggal 55 detik."
Malik berdeham. Waktunya tidak banyak. Dia harus cepat bicara daripada menyia-nyiakan waktu. Bila Magnolia bilang sudah, maka itu artinya dia harus segera menyudahi pembicaraan. Tidak ada koma, langsung selesai. Begitulah sifat wanita yang dia kenal tersebut.
"Selamat ulang tahun. Selamat jadi PNS. Semoga kamu jadi guru yang baik dan tetap jadi Magnolia yang baik hati. Jangan nikah sebelum aku da…"
"Yaya?"
Sebuah suara mengalihkan perhatian Magnolia dari saluran telepon dan suara mencie-ciekan dari sesama rekan kerjanya membuat Magnolia terkejut.
"A' Hisyam aya naon? Nyari Yaya?"
Tetapi tidak hanya Magnolia yang terkejut ketika mendengar kegaduhan tersebut. Malik yang berada di saluran seberang sampai mengangkat alis dan menajamkan telinga sewaktu Magnolia terdengar memanggil seseorang dengan panggilan Aa'.
"Kamu nggak ngasih tahu kalau hari ini ultah dan lulus PNS. Wah, mau dikasih kado apa, nih?"
Magnolia tidak tahu dari siapa Hisyam, putra sang kepala sekolah mendengar kabar tersebut. Dia hanya bisa tersenyum kikuk dan berkata kalau semua itu tidak perlu kepada lawan bicaranya. Tetapi, penolakannya tidak bisa menghentikan keriuhan yang kini terjadi di ruang guru. Namun, Hisyam yang saat itu melihat kalau Magnolia sedang melakukan panggilan, segera mundur dan pamit dari ruang guru, membuat Magnolia menggaruk kepalanya dengan wajah bingung dan dia pada akhirnya kembali bicara kepada Malik.
"Halo? Lo masih di sana? Mau ngomong apa tadi?"
"Siapa cowok yang kamu panggil Aa'?"
***
Kesalahan Magnolia yang paling dia sesali hingga hari ini adalah memberi tahu Dimas tentang jadwal keberangkatannya ke Jakarta. Bodohnya lagi, ketika Dimas memintanya menunggu karena dia bakal dijemput, Magnolia menyangka, Dimas yang bakal melakukannya. Kenyataannya, begitu mobil milik Malik memasuki pekarangan rumah keluarga Nenek Een, dia langsung masuk kamar dan menelepon abangnya dengan suara berbisik.
"Lo ngapain nyuruh dia jemput gue?"
Magnolia bahkan harus mengatur napasnya yang seolah habis lari kencang. Padahal, kenyataannya, dia hanya berjalan dari teras menuju kamar yang jaraknya tidak lebih dari sepuluh atau dua belas meter.
"Gue nggak nyuruh. Dia yang mau." balas Dimas enteng. Magnolia yang mendengarnya merasa makin murka.
Hampir tujuh bulan sejak Magnolia lulus tes CPNS, Dimas telah menyelesaikan magang dan tinggal menunggu waktu untuk mendapatkan STR. Kesempatan tersebut juga dimanfaatkan olehnya untuk melangsungkan acara pernikahan. Magnolia sendiri, sedianya akan menjalani pelatihan Diklatsar CPNS yang berlangsung di ibukota kabupaten Sindang Sanjung dan dia kemudian meminta waktu kepada Kepala Sekolah untuk menghadiri resepsi pernikahan abang semata wayangnya.
Rencana Magnolia setelah pesta pernikahan Dimas dia akan berbelanja kebutuhan selama di asrama, termasuk membeli seragam putih dan bawahan berupa rok hitam. Dia sebenarnya punya satu stel, tetapi mengingat dirinya masih harus berada di asrama selama beberapa minggu, maka Magnolia memutuskan untuk membeli beberapa stel lagi termasuk dasi dan juga atribut dan pakaian yang belum dia punya.
Di Pagiran, dia hanya punya beberapa potong baju. Sisanya, dia kebanyakan memakai pakaian lama milik ibunya yang masih muat. Tapi, amat tidak mungkin dia memakai pakaian Mawardhani di dalam asrama mengingat ada banyak kegiatan formal yang harus dia lakukan.
"Gue, kan, sudah bilang bisa berangkat sendiri." Magnolia mengepalkan buku jari. Dia lupa kalau Dimas amat memuja sahabatnya dan selalu menuruti semua permintaan Malik.
"Gue nggak yakin, sejak lo kecelakaan kemarin, gue nggak mau kecolongan lagi."
"Kecolongan apaan? Mang Karim yang bakal nganter gue ke Penyanjungan." Magnolia yang sudah lupa kalau dia masih harus berbisik, meninggikan suaranya, "lo mau-mau aja dibujuk sama dia. Ntar kalau dia minta kawin sama gue, lo nurut juga."
Kalimat terakhir dibalas Dimas dengan mengalihkan topik, "Gue lagi dipingit. Nggak boleh keluar rumah sama Mama. Kalau cuma keliling Jakarta boleh. Tapi, ke Pagiran, dia bisa-bisa nangis darah. Siapa lagi yang bisa gue andelin kalau bukan Malik?"
"Lo bisa andelin supir bus. Cuma seratus lima puluh ribu, sampai di Jakarta."
Perang kakak beradik itu terpaksa berhenti karena kepala Malik tahu-tahu muncul dari balik gorden kamar dan Magnolia segera mendorong tubuhnya keluar.
"Nggak sopan banget, ih, masuk kamar gadis."
"Mau ambil tas yang ketinggalan. Disuruh Bibi masuk." sanggah Malik yang mengangkat tangannya seperti korban saat ditodong pistol oleh penjahat.
"Bibi mana mau nyuruh lo masuk kamar gue. Sana, ih."
Sudut ekor mata Malik sempat menangkap jam tangan miliknya yang berbulan-bulan lalu tertinggal di meja rias Magnolia saat dia izin salat Subuh. Setelah memastikan kondisi Magnolia sudah stabil, dia kemudian keluar kamar gadis itu dan bergegas mengambil wudu. Di situlah dia lupa harus mengambil kembali jam tangannya dan baru teringat saat berada di Jakarta. Kini, melihat benda kesayangannya berada di dekat tempat perhiasan Magnolia, mau tidak mau membuat senyum milik Malik terkembang.
"Malah cengengesan. Sana keluar. Pamali, ih."
Malik mengalah dan dia keluar sambil mengucapkan kata maaf. Meski begitu, dia senang karena tidak lama, Magnolia juga keluar dengan membawa ransel yang pernah dia bawa ketika mengunjungi Pagiran.
"Berantem terus. Sama pacar nggak boleh gitu. Nanti pas jadi suami gimana?"
Rosanawati yang keluar dari dapur dengan membawa satu kantong kain berisi makanan dan minuman untuk bekal sepasang anak manusia di hadapannya tersebut tidak berhenti mengulum senyum melihat kelakuan keponakannya.
"Teman Mamas, Bi. Bukan pacar Yaya." koreksi Magnolia yang membuat bibinya tergelak.
"Teman Mamas tapi tiap hari fotonya dilihatin terus."
Malik yang baru tahu berita tersebut berdeham senang sementara Magnolia membuat gerakan tidak dengan tangannya.
"Bibi jangan bohong, deh. Dosa. Mana ada Yaya nyimpen fotonya Abang."
Wajah Magnolia sampai berubah merah dan dia merasa amat malu ketika sang bibi memeluk dan mencium pipinya.
"Hati-hati di jalan. Salam buat Dimas, Mama, sama Kezia. Itu oleh-oleh dari Bibi dikasih langsung, ya. Buat nambahin bahan masakan di dapur. Mumpung dijemput sama pacarmu, jadi bisa nitip sekalian. Itu juga, kado buat Dimas jangan lupa. Bilang dari Bibi sama Nini."
Meskipun Magnolia merutuk dan mengatakan berkali-kali kalau Malik bukan pacarnya, tetap saja Rosanawati mengatakan kalau Magnolia lebih cocok dengan pria itu dibandingkan bujang kampung Pagiran.
"Aminin aja. Siapa tahu jadi pacar beneran." pesan Rosanawati usai pelukan mereka terlepas dan Magnolia buru-buru berlari menuju neneknya, seolah-olah hendak mengadu karena ulah sang bibi yang jahil menggodanya.
"Nini, Yaya ke Jakarta dulu. Habis ini langsung diklatsar di asrama tiga minggu. Nini sama Bibi dulu, ya. Sehat-sehat walau Yaya nteu di sini. Nanti Yaya beliin daster di Tanah Abang."
Nenek Een hanya mengangguk dan mengusap rambut cucunya yang telah dipotong pendek, di atas bahu. Belum genap satu minggu dia memangkas rambutnya dan penampilannya barusan sempat membuat Malik terdiam selama beberapa detik ketika tiba tadi.
"Hati-hati, Neng."
Malik yang kembali lagi ke dalam rumah untuk mengambil kantong berisi bekal dan tas ransel Magnolia. Wanita muda itu sempat menolak ketika Malik mencoba mengambil tas dari tangannya, tapi, kemudian Magnolia menyerah karena sang bibi lagi-lagi menggoda.
"Salah tingkah, deh."
Pada akhirnya, menghindari godaan dari bibir Rosanawati, Magnolia akhirnya bersyukur bisa kabur walau kemudian dia merasa agak sedikit menyesal telah membuat Hening menangis ketika mobil milik Malik mulai menjauh.
"Teteh masih harus diklat, Dek. Nanti pulang bawa oleh-oleh, ya. Ning jangan nangis." seru Magnolia dari dalam mobil sambil melambai-lambai kepada sepupunya. Setelah mobil Malik keluar dari gerbang desa, barulah dia tidak lagi bicara dan memilih untuk bersedekap.
"Marah?" Malik bertanya. Setelah ini mereka akan menempuh perjalanan selama satu jam lewat jalan PT yang berupa tanah merah.
"Percuma juga marah. Lo, kan, emang begini dari dulu."
"Duh, yang perhatian." Malik nyengir. Tapi, di saat yang sama, Magnolia malah memukul bahu kirinya sehingga dia pura-pura kesakitan.
"Aduh. Sakit, loh. Aku udah nyetir dari subuh tadi. Sekarang malah dimarah-marah."
"Lo bikin gue geli, tau?" Magnolia mendesis tajam. Dia malas berdebat, tapi Malik selalu memancing emosinya.
"Aku nggak lagi gelitik kamu." Malik mengangkat kedua tangannya dari setir. Karena itu juga, Magnolia lantas panik dan mulai mengoceh, "Lo yang bener kalo nyetir. Nggak tahu, kan, rasanya ditabrak mobil?"
"Nggak. Tapi, waktu melihat kamu terbaring nggak berdaya dengan kepala diperban, aku mikir, nyawaku bakal diambil saat itu juga."
Magnolia merasa sedikit bingung. Mengapa Malik menggunakan kata melihat untuk menggambarkan responnya pada kecelakaan yang menimpa Magnolia berbulan-bulan lalu? Padahal, kan, dia hanya mendengar beritanya dari Dimas. Lagipula, raut jahil yang tadi dia lihat nampak di wajah tampan sang dokter muda mendadak menghilang dan berganti dengan raut serius yang hampir tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Tunggu, dia ingat pernah melihatnya beberapa kali, saat Magnolia menolak diajak pulang bersama bertahun-tahun yang lalu atau saat dia selesai bercanda dengan Sandy atau Harry. Malik tidak segan memandanginya dengan alis naik dan dahi berkerut.
"Lo tahu dari mana kepala gue diperban? Seingat gue, nggak ada gue kirim-kirim foto kepala gue bocor sama Mamas."
Magnolia menoleh ke arah Malik dan menemukan kalau wajah pria itu jadi semakin tampan setelah nyaris satu tahun mereka tidak berjumpa. Rahang Malik menjadi lebih tegas dan tatapan matanya jauh lebih teduh. Umur juga mempengaruhi dan dia sadar, Malik sudah hampir berusia dua puluh enam tahun saat ini. Di usia yang sama, Mamas kesayanganya sudah memutuskan untuk menikah. Magnolia sungguh penasaran, siapa kekasih Malik saat ini. Setelah Ghadiza, dia pasti sudah mendapatkan seorang dokter cantik yang tidak kalah hebat atau bisa juga seorang perawat handal.
Sementara dirinya sendiri, masih memilih menyendiri dan lebih suka memandangi ayam dan bebek yang makin sering beranak pinak dibandingkan dengan tuannya yang terus melajang hingga detik ini.
"Memang nggak ada." Malik membalas. Dia menghela napas dan melirik ke arah jemari Magnolia yang kini sudah berpindah ke lututnya sendiri. Rasanya ingin sekali menggenggam tangan itu dan memberi tahu kalau dia bukan hanya melihat Magnolia berbaring tidak berdaya, melainkan terus menjaganya hingga akhirnya dia harus kabur dari Pagiran supaya dia tidak makin dibenci oleh gadis itu.
Bila Magnolia tahu kenyataannya, bukan tidak mungkin, detik ini juga, Magnolia bakal menendangnya keluar dari dalam mobil.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top