Enam puluh lima- enam puluh enam
Udah g ada yang baca, ya? Atau kalian udah tamat semua baca di KBM atau KK? Komennya kisut kayak dompet lagi ga ada isi.
Yang PO udah ditutup. Yang masih mau pesan silahkan pesan ke admin Iik atau toko online langganan kalian. Kalo shopee eke dibuka insyaallah 2 minggu lagi.
Tebel banget loh, 700 halaman lebih, seharusnya jadi 2 buku. Eke cemas juga takut copot.🤣🤭
110 ribu worth it banget, apalagi yang bundel. Dapet kopi, dapet lap juga. Kalo di tempat lain 110 rb itu cuma 400-500 halaman.
Yang masih mau baca di sini ngacung, yes.
Komen yang banyak ugaa.
Ini dua bab loooooh. Masih kaga komen, eke getok.
***
Ketika 65
Hikmah dari kecelakaan yang menimpanya (minus tidak tahunya Magnolia bahwa ada seseorang yang menungguinya hingga subuh) adalah dia harus lebih banyak menjaga diri dan memasang perhatian lebih pada sekelilingnya. Magnolia sempat meminjam motor milik bibinya, Rosanawati untuk mengikuti ujian. Dia sebenarnya sudah memiliki SIM yang sengaja dibuat sebelum keberangkatannya ke Pagiran. Dia juga telah berencana ingin membeli sebuah motor matic yang bisa digunakannya sebagai alat transportasi.
Sayang, sebelum sempat dia mewujudkan impian membeli motor, Magnolia malah mengalami kejadian mengerikan. Motor Rosanawati baik-baik saja. Tapi, dia yang terjatuh dengan benturan cukup keras di kepala merasa telah merepotkan semua orang. Tidak peduli setelahnya, Rosanawati mengatakan kalau Magnolia yang masih selamat jauh lebih berarti dibanding motornya yang memang sudah berusia tua.
"Udah atuh, Neng. Memang Bibi mau beli motor baru. Yang kemarin itu sudah soak mesinnya. Bannya udah nggak bagus. Mungkin gara-gara itu juga kamunya malah dapat sial."
Magnolia merasa sang Bibi memperlakukan dirinya dengan amat baik hingga kadang dia merasa canggung. Neneknya pun begitu. Mereka bahkan sudah punya rencana untuk memberikan harta Mawardhani kepadanya dan langsung dia tolak mentah-mentah. Magnolia tahu, neneknya seorang janda sehingga kebutuhan hidupnya amat bergantung dari kebun. Walau, dibandingkan dengan warga sekitar, lahan sang nenek jauh lebih luas dan terdapat beragam tanaman.
Meski begitu, rencana Magnolia untuk mewujudkan kebun sayur dan kolam ikan di belakang rumah tidak lama lagi akan menjadi nyata. Setelah bekerja keras selama dua bulan, dengan bantuan paman dan bibinya, sebentar lagi mereka akan memindahkan bibit yang sudah disemai ke ladang. Magnolia juga sudah membeli beberapa anak ayam dan bebek, membuat kandang yang cukup tinggi agar ular, biawak, bahkan musang tidak masuk.
Untuk mewujudkan semua itu, dia tidak meminta dana sama sekali dari keluarganya. Magnolia merogoh tabungan yang selama bertahun-tahun dia simpan. Selama ini dia kira keluarganya tidak mampu sehingga dia selalu menghemat pengeluarannya agar bisa menghidupi keluarganya yang sekarang. Tidak tahunya, sang ibu telah meninggalkan banyak hal agar neneknya tidak menderita di akhir usia. Karena itu juga, Magnolia memanfaatkan lahan yang masih luas untuk menambah penghasilan dan mengisi waktu luang mengingat tidak banyak lagi yang harus dikerjakan seperti saat di Jakarta.
Magnolia masih saja mempertanyakan keberadaan jam tangan misterius yang tiba-tiba saja ada di dalam kamarnya, termasuk sebuah kursi yang lupa dikembalikan oleh Rosanawati ke tempatnya. Raut wajah takut ketahuan yang ditampakkan sang bibi membuat Magnolia makin yakin, tamu yang datang saat dirinya sedang tidur adalah bukan warga sekitar.
Lagipula, dia tahu sifat bibinya yang tidak memperbolehkan sembarang laki-laki masuk kamar Magnolia tanpa izin. Sehingga mustahil, yang datang waktu itu adalah orang yang tidak dia kenal.
Pikiran gue jamnya punya Abang. Gue inget banget dia sering pake yang model kayak gini. Jam kesayangan dia banget. Tapi, biarpun gue merasa ini punya dia, nggak masuk akal Abang yang datang tengah malem cuma demi mastiin gue baik-baik aja.
Siapa lo, Ya, pake dicariin segala ama dia? Nggak inget apa, kalau selama bertahun-tahun, dia nggak pernah peduli sama sekali dengan perasaan lo?
Magnolia kemudian setuju dengan pikirannya. Amat sangat tidak mungkin Malik tiba-tiba datang lalu kemudian pulang. Jika dia bisa melakukannya, maka Magnolia bakal sangat kagum sekali. Tapi, sekali lagi dia bersyukur. Malik yang nekat datang bakal membuat imannya luntur.
Kangen, ya? Berbulan-bulan nggak ketemu.
Magnolia lagi-lagi menertawai dirinya. Sebetulnya, bila tidak mendapat kecelakaan, dia sudah tergoda untuk kembali ke Jakarta dan hadir dalam acara pertunangan Dimas. Dia bisa saja menonton dari jauh dan sekalian melirik sahabat abangnya. Tetapi, Magnolia kemudian memaki dirinya sendiri.
Udah tahu nggak kuat iman, malah milih ngeliatin dia. Pasti nggak mau lagi balik ke Pagiran.
Jadi, dia hanya bisa menonton lewat tayangan video. Mulanya, Dimas meminta Malik untuk memegangi ponsel miliknya dan merekam kegiatan tersebut khusus untuk Magnolia. Tapi, entah kenapa kemudian, dia merasa beberapa kali Malik pura-pura mengarahkan kamera berbalik ke wajahnya sendiri dan buntut dari sikapnya itu membuat Magnolia nyaris berteriak di dalam kamarnya. Bagaimana tidak, walau ponselnya tidak sekeren ponsel orang lain, dia masih bisa melihat wajah Malik yang ternyata semakin tampan dalam balutan batik tulis berwarna dasar hitam dengan lengan panjang dan model slim fit.
Sayangnya, di saat yang sama, dia juga melihat Kezia yang tanpa ragu menyandarkan kepala di lengan Malik yang tepat saat kamera mengarah ke arah mereka berdua. Kezia juga tidak ragu memeluk lengan kiri Malik dan mengedipkan mata beberapa kali tanpa tahu kalau video tersebut ditujukan kepada adik bungsunya.
Kok kalian serasi banget, Ke? Lo sama Abang kayak diciptain Allah sengaja berpasangan gitu.
Magnolia menyentuh layar seolah-olah dengan begitu dia bisa mengusap pipi saudarinya yang selalu tampil cantik. Apalagi hari itu, Kezia memakai kebaya berwarna mint dengan motif payet dan kain batik berwarna senada dengan milik Malik yang sempat membuat Magnolia mengira kalau kain tersebut memang dibuat berpasangan untuk mereka. Tapi, kemudian selang menit, Magnolia sadar bahwa mama dan beberapa anggota keluarga Inggit juga memakai kain batik dengan motif yang sama.
"Gue pengen ke sana, tapi tahu gue nggak pantes."
Magnolia berusaha tersenyum. Semakin lama menonton video tersebut, dia merasa hatinya nyeri dan memutuskan untuk berhenti walau tayangannya belum selesai. Dia lebih memilih mengembalikan ponselnya ke atas meja rias dan berjalan keluar kamar. Dia sebaiknya berada di kebun belakang, menyiangi rumput dan memberi makan ternaknya. Hari memang belum siang. Dia sudah memasak lauk untuk dirinya dan Nenek Een. Magnolia juga sudah mengirim seporsi soto ayam buat Rosanawati dan dia tidak bisa melakukan hal lain selain menyibukkan diri dan tidak lagi memikirkan keriuahan dan kebahagiaan yang yang sedang dirasakan Mamas dan keluarganya.
Tempat lo di sini. Jangan sedih lagi, Yaya sayang. Suatu hari, lo juga bakal bahagia. Suatu hari, lo bakal temukan seseorang yang bisa menggantikan dia dan menjadikan lo orang yang paling dia cintai.
***
Magnolia yang mulai menikmati kesibukannya sebagai guru SD dan juga petani sayur serta peternak ayam dan ikan amatir, tidak sadar bahwa dia telah berada di Pagiran selama lima bulan. Dia telah akrab dengan semua murid dan mulai mengenal hampir semua orang yang tinggal di sana. Dia juga telah berteman akrab dengan beberapa guru dan pegawai puskesmas sebelah sekolah yang kadang berpapasan saat mereka makan di warung kecil yang letaknya di depan SD. Mereka juga kadang makan bersama dan momen tersebut juga dimanfaatkan untuk berbagi gosip, termasuk tentang anak kepala sekolah yang rutin mampir ke SD demi melihat guru olahraga yang ternyata amat menarik perhatian.
"Ya, ada salam dari Hisyam. Dia baru balik dari Sindang Sanjung." ujar Ninis, salah satu perawat honorer dari puskesmas. Sindang Sanjung adalah ibukota Kabupaten dan di sana juga, Magnolia mendapatkan tragedi kecelakaan usai mengikuti tes CPNS. Sementara Hisyam sendiri adalah nama putra sang kepala sekolah.
"Waalaikumsalam. Tumben, mau salam aja lewat orang ketiga."
Magnolia menyendok pentol bakso ke mulutnya. Dia sudah tahu tentang gosip ini. Hisyam pun sudah beberapa kali mengajaknya mengobrol. Tetapi, perasaannya biasa saja. Hisyam juga tidak terlihat seperti pria agresif. Usia mereka sebaya dan Hisyam adalah sarjana pertanian tamatan sebuah institut negeri di Bogor. Dari Hisyamlah, Magnolia mendapat banyak sekali ilmu tentang menanam sayur dan palawija.
Mungkin, karena akrab jadi mereka mulai dijodoh-jodohkan oleh hampir semua kenalannya.
"Hari ini dia nggak bisa mampir. Makanya, sekalian urang salamin."
"Oh, baiknya Teteh Ninis. Nggak sekalian ngasih sangu? A' Hisyam suka ngasih aku sangu."
Suasana warung mulai gaduh terutama saat mendengar Magnolia mengucapkan kata tersebut. Gadis-gadis yang mengerubunginya kemudian minta penjelasan dan senior di sekolah kemudian berkata mereka akan memberi tahu Kepala Sekolah tentang berita gembira ini.
"Astaga. Dikasih sangu emangnya gimana? Yaya dikirimin bibit, kok. Suka heboh, ya, kalian."
Magnolia senang sekali melihat teman-temannya ribut. Entah kenapa, dia baru merasakan kehangatan seperti ini setelah tinggal di Pagiran. Bukan berarti dulu dia kesepian tanpa teman. Anita, Utari, Sandy, Harry, adalah teman yang amat baik. Belum lagi teman-temannya di terminal. Mereka malah menganggap Magnolia anak atau adik sendiri.
Walau sebenarnya, yang paling dia inginkan memperlakukannya sebaik itu adalah mama dan Kezia. Tetapi, keinginannya hanyalah khayalan dan dia tidak lagi mengharapkan khayalan itu menjadi nyata, sama halnya seperti dia dulu mengharapkan Malik. Kini, hampir tidak pernah lagi dia memikirkan pria tersebut sejak video terakhir yang dikirimnya Dimas.
Dia juga bersyukur, Dimas tidak lagi melakukan panggilan video saat berada di dekat Malik. Kadang, Magnolia sengaja bertanya posisi abangnya, apakah sedang sendirian atau bersama teman-temannya. Bila Dimas sedang sendiri dia akan menerima panggilannya. Bila sebaliknya, Magnolia hanya meminta Dimas mengirimi pesan WA saja dengan alasan dia tidak mau mengganggu kebersamaan abangnya. Padahal itu cuma alasan supaya dia tidak perlu melihat atau mendengar apa pun tentang Malik Galih Kencana.
Tepat di hari ulang tahunnya, tanggal 12 September, Magnolia dikejutkan oleh teriakan Bi Rosanawati dan Mang Karim yang masuk rumah dengan membawa koran. Wajah mereka berdua cerah semringah dan begitu menemukan Magnolia sedang memasak sarapan, Rosanawati tanpa ragu memeluk dan menciumi pipi keponakannya.
"Aduh, geulis-nya Bibi. Wilujeng tepang taun. Selamat juga, sudah jadi PNS. Aduh, Bibi senangnya dobel hari ini."
Rosanawati yang masih memeluk Magnolia bahkan melompat-lompat kegirangan. Dia menunjukkan nama Magnolia yang di dalam koran yang dipegang Mang Karim. Pria itu bahkan dengan semangat memberi tahu bahwa sejak subuh dia sudah mengendarai motor menuju Penyanjungan hanya untuk membeli koran.
Magnolia bahkan tidak menyadari bahwa hari itu adalah hari pengumuman hasil tes seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil. Dia merasa, setelah kecelakaan tersebut, dia mulai melupakan banyak hal. Tetapi, menyenangkan melihat Rosanawati kemudian berlari memanggil ibunya yang sedang asyik menonton ceramah di televisi.
"Ambu, Yaya lulus PNS. Cucu Ambu, mah, hebat pisan. Pinter pisan kayak abahnya. Ros bangga sama Yaya. Pasti Bapak dan Ibunya bangga juga kayak kita. Alhamdulillah."
Magnolia memperhatikan nenek dan bibinya mengucap hamdallah berbarengan. Di saat yang sama, Mang Karim mengucapkan selamat sambil menepuk bahu Magnolia tanda dia amat bangga dengan keberhasilannya. Magnolia hanya mampu tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dia masih bingung mendefinisikan perasaannya saat ini. Ingin meluapkan kebahagiaan, tetapi, orang yang paling berjasa di dalam hidupnya tidak ada di sisinya.
Bagaimana bila dia memberi tahu mama dan Kezia juga? Apakah mereka sama bangganya seperti bibi dan neneknya saat ini?
"Wah, mau Mamang gunting potongan korannya. Mau divinil terus dibingkai biar nteu rusak."
Magnolia hanya bisa membalas antusiasme yang ditunjukkan oleh pamannya dengan seringai salah tingkah. Pria berusia empat puluh tahun tersebut bahkan masih memakai sarung dan baju koko padahal seingatnya, Mang Karim melakukan perjalanan menuju Penyanjungan yang jaraknya bisa dikatakan tidak dekat.
"Ah, buat ponakan, mah, apa yang tidak boleh, Neng."
Setelah berhasil membebaskan diri dari keriuhan keluarganya, sebelum berangkat mengajar, Magnolia menyempatkan diri untuk menyapa Dimas lewat Whatsapp.
Mas, lo sibuk? W Mo tlp.
Magnolia sempat menunggu selama beberapa menit hingga akhirnya sang abang yang menghubungi. Sambil menahan debar di dalam hati, Magnolia mengangkat panggilan tersebut dengan sebuah salam sebagai pembuka.
"Assalamualaikum."
Dimas membalas salam dan menanyakan kabar yang dibalas Magnolia kalau dia baik-baik saja. Setelah tiga puluh detik basa-basi, akhirnya Magnolia menyampaikan berita penting yang dia dapat pagi itu.
"Gue lulus. Di SD Pagiran."
Magnolia tidak berharap Dimas bakal antusias, terutama karena setelahnya, dia akan makin terikat di desa ini. Tapi, buat Magnolia, hal tersebut adalah alasan agar abangnya tidak lagi memaksanya pulang. Bila telah menjadi abdi negara, dia harus mau tinggal di tempat tugasnya selama jangka waktu tertentu, kecuali bila menikah dengan TNI atau Polisi, atau abdi negara yang lain. Hanya saja, mengingat Magnolia belum ada keinginan menikah, dia tidak berpikiran untuk menjauh sama sekali dari Pagiran.
"Alhamdulillah, Ya Allah. Adikku lulus. Anak pintar, anak baik. Mamas sayang banget sama lo, Ya." Dimas berseru sambil mengucap syukur.
"Makasih atas doa dan bimbingannya buat Yaya selama ini, Mas. Kalau bukan karena Mamas, gue nggak bakal bisa kayak gini. Kalau bukan karena lo maksa gue milih sekolah daripada jualan, gue mungkin masih jualan cabe atau lap di pasar."
Suara Dimas yang terdengar tenang dan renyah di telinga Magnolia seolah menunjukkan kalau saat ini perasaan abangnya sedang senang.
"Iya. Sekarang lo tahu, kan? Kenapa dulu gue nekat maksa lo harus belajar. Kita sudah nggak punya Papa, kita juga nggak punya duit. Tapi, itu bukan alasan buat kita menyerah."
Meski tahu Dimas tidak melihat, Magnolia memilih untuk menganggukkan kepala.
"Iya, Mas. Makasih banyak lo selalu sabar menghadapi gue yang keras kepala dan cuma mikirin diri sendiri."
"Tapi gue bangga. Serius." Dimas memotong ucapan Magnolia, seolah dia tidak ingin mendengar adiknya terus-menerus mengucapkan terima kasih. Bagaimana pun juga, tetap Magnolia yang bekerja amat keras selama bertahun-tahun.
"Gue yang tahu gimana lo memaksa diri nggak menyerah bahkan sampai titik terakhir. Walau kurang kasih sayang orang tua kita, walau lo mesti menangis. Gue nggak bisa lebih bangga dari ini, Yaya. Gue bangga banget sama lo."
Magnolia mengusap air mata yang tiba-tiba menggenang di sudut matanya. Entah sudah berapa kali orang-orang terdekatnya mengucapkan kata bangga, tetapi, dia sendiri merasa dia tidak melakukan hal sehebat itu. Masih banyak kegagalan yang dia buat sebagai manusia dan hal tersebut tidak membuatnya bangga.
"Tapi, setelah ini, luangkan waktu datang ke acara Mamasmu ini, ya. Kalau lo nggak bisa datang seminggu, berangkatlah di hari Jumat siang, setelah mengajar. Izin nggak mengajar di hari Senin, karena kalau lo nekat pulang hari Minggu, bakal sampai di Pagiran malem banget." pinta Dimas. Saat dia bertunangan kemarin, absennya Magnolia membuatnya amat kehilangan dan setelah mengirim video, adiknya malah diam seribu bahasa, tidak memberikan respon apa pun yang membuatnya bertanya-tanya.
"Iya. Ntar Yaya usahakan."
Dimas memejamkan mata, merasa amat lega begitu tahu adiknya tidak menolak. Setelah berita kelulusan Magnolia menjadi abdi negara, si bungsu yang setuju untuk kembali ke Jakarta demi menghadiri pernikahannya adalah hadiah yang paling indah. Sudah berbulan-bulan mereka tidak bertemu dan janji Magnolia untuk kembali seperti sebuah angin segar buat Dimas.
"Kalau bisa lebih dari satu hari. Gue juga mau nikmatin masa sebelum nikah sebelum jadi suami orang."
"Ini yang namanya ngelunjak." Magnolia tertawa. Dia sudah hampir siap berangkat. Sudah pukul enam lewat empat puluh dan walau sekolah masuk pukul tujuh lewat tiga puluh menit, dia ingin datang paling awal agar bisa menyapa semua peserta didik. Magnolia akan mampir di sebuah warung dan memborong beberapa pak makanan kecil untuk mereka semua sebagai tanda rasa syukurnya untuk hari ini.
"Please?" pinta Dimas, tanpa ragu, "Gue juga mau traktir lo makan, sebagai hadiah kelulusan."
"Gue nggak janji." balas Magnolia. Sekarang dia sudah memakai sepatu dan telah pamit kepada neneknya. Pintu rumah sengaja tidak dikunci dan Hening sudah menunggu di seberang jalan.
"Gue usahain, ya, Mas. Lo juga mesti sehat- sehat. Selesaikan magang lo, dapetin ijazah apalah itu namanya, baru kawin. Tapi, lo ngebet banget, ya, mau jadi suami orang."
Entah kenapa, setelah bicara seperti itu, Magnolia teringat pada Malik. Padahal sejak tadi, mereka tidak membahas tentang pria itu. Akhirnya, demi menghindari pemikiran konyol tentang mantan gebetan yang selama bertahun-tahun membuatnya hilang arah seperti saat ini, Magnolia mencoba menutup pembicaraan mereka.
"Udah dulu, Mas. Yaya mau ke sekolah. Salam buat Mama dan Keke."
"Iya. Lo juga sehat-sehat. Mau disalamin ke Malik, nggak?"
Candaan Dimas membuat Magnolia menyebut namanya dengan lengkap dan mengancam tidak akan datang ke acara pernikahannya. Hal tersebut berhasil membuat Dimas minta ampun dan memutus panggilan mereka.
"Teteh, hayuk." jemari Hening terulur ke arah Magnolia usai dia memasukkan ponsel ke dalam tas. Magnolia yang saat itu memakai pakaian olahraga lengkap dan sepatu kets berwarna putih bersih, tersenyum dan menyambut tangan sepupu kesayangannya itu.
"Hayuk. Nanti mampir jajan di warung, ya. Teteh mau belanja ciki."
Tidak ada anak kecil yang menolak diajak jajan dan Hening adalah salah satunya.
"Hening mau jajan apa nanti?"
Hening hanya menggeleng. Dia memamerkan gigi serinya yang tanggal satu. Sejak awal bertemu, gadis kecil itu selalu malu-malu, tetapi, Magnolia malah sayang sekali kepadanya. Kehadiran Hening seolah membuatnya punya satu lagi saudara perempuan. Bedanya dengan Kezia, yang satu ini amat menyayanginya. Hening bahkan tidak ragu menemani Magnolia tidur saat malam atau ikut berkebun bersama-sama hingga sore.
"Sama Teteh, ya."
Baru selesai Magnolia bicara, sebuah pesan WA masuk dan dia menyempatkan diri untuk memeriksanya. Dari Laura Hasjim.
Yaya😭 slmt sygku. Kmu llus PNS. Bude dikasih th sm Malik.
Magnolia mencerna pesan tersebut selama beberapa detik, termasuk memperhatikan kiriman foto yang diambil dari tangkapan layar ponsel yang menunjukkan nama Magnolia, nomor ujian, tulisan lulus serta lokasi tempat mengabdi. Tapi, yang membuat alisnya naik pada pagi hari yang amat cerah itu adalah kalimat terakhir yang ditulis oleh Laura.
Bude dikasih tahu sama Malik.
Dia kira, pria itu sudah melupakannya sama sekali.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top