Empat Belas
Hari Rabu. Waktunya Yaya dan Malik. Ramein komen dan vote yaaa
***
Ketika 13
Sekitar pukul empat sore, Dimas yang baru kembali dari tempat les meminta bantuan Malik untuk mengantarnya ke pasar, tempat Magnolia biasa berjualan. Hari itu adalah hari ulangan susulan IPA dan Magnolia telah berjanji untuk ikut ujian kepada abangnya. Akan tetapi, saat Dimas menjemputnya, gadis itu sudah tidak berada di sekolah. Meski begitu, hatinya merasa lega setelah mendapat info dari salah satu guru bila Magnolia sudah menyelesaikan semua ujian dan langsung pulang.
Tapi, dia tahu adiknya tidak akan pulang ke rumah. Magnolia biasa menyimpan baju kaos di dalam tas dan dia berganti pakaian di WC umum dalam pasar lalu kemudian berjualan. Sepeda Magnolia juga tidak ada di rumah. Artinya sejak pagi dia sudah membawa sepedanya supaya bisa ke pasar dengan mudah tanpa perlu menaiki angkutan umum.
"Yaya? Ada tadi." jawab Jajang begitu Dimas kesulitan menemukan adiknya. Pasar sudah lumayan sepi walau masih ada beberapa penjual yang menggelar dagangannya. Lapak mereka biasanya berada di dekat jalan sehingga muda dicapai oleh pejalan kaki yang kebetulan lewat.
"Nggak kelihatan. Sepedanya masih di sana." Dimas menunjuk ke arah batang pohon seri alias kersen. Sepeda Magnolia memang terparkir di sana, tanda bahwa gadis tersebut belum pulang.
"Kalau nggak ada di luar, berarti dia nawarin barang sampai ke dalam. Lo masuk aja, deh. Jam segini masih ada yang jualan di los."
Jajang menunjuk ke arah los di belakang mereka. Baris pertama walau sudah agak sepi, masih terdapat beberapa penjual sayur. Dimas yang beberapa kali diminta oleh Magnolia untuk mampir ke tempat pedagang sayur tersebut mengenal beberapa penjualnya.
"Oke, makasih, Bang." Dimas tersenyum. Dia lalu menoleh kepada Malik yang masih berada di motornya. Sahabatnya tersebut masih memakai helm dan jaket yang sama yang sebelumnya dipinjam oleh Magnolia. Dua hari setelah pingsan di dekat rumah mereka, Magnolia mengembalikan jaket dan sandal Malik. Khusus jaket, dia sengaja mencuci dan menyemprotkan banyak pengharum pakaian agar Malik tidak marah.
"Makasih jaketnya. Udah gue cuci pake Dettol, Molto. Nyetrikanya pake Rapika. Pokoknya udah nggak ada kuman lagi. Sandalnya juga udah gue sikat."
Saat itu Malik bahkan belum sempat membuka mulut. Akan tetapi, Magnolia sudah kabur secepat kilat dan menolak menatap wajahnya lebih dari satu menit.
Setelahnya, Malik tidak lagi melihat batang hidung Magnolia hingga Dimas meminta bantuannya kembali untuk menemani pemuda itu mencari adiknya hingga ke pasar.
"Yaya mungkin masih di dalam. Gue mau masuk dulu cari dia. Lo mau nunggu atau balik?"
Malik sepertinya sedang menimbang-nimbang ketika pada detik yang sama ponselnya bergetar dan dia mendapat panggilan dari sang ibu.
"Ya, Bun? Aku lagi di pasar. Nemenin Dimas nyari Yaya."
Malik memanggil ibunya, Laura Hasjim dengan panggilan Bunda dan wanita itu ketika mendengar nama Magnolia disebutkan oleh putranya, jadi amat bersemangat.
"Ketemu Yaya?"
"Belum, Bun. Baru sampe. Dimas yang mau cari. Aku rencananya mau langsung pulang."
"Hei, jangan pulang dulu." potong Laura, "Bunda nitip beliin kecap asin, minyak wijen, sama daun bawang beli lima ribu. Pakai duit kamu dulu. Pulangnya Bunda ganti. Mau masak nasi Hainan."
Malik bahkan belum sempat menjawab karena Laura segera memutuskan sambungan. Dengan begitu, dia tidak bisa lagi menolak ketika dimintai melakukan sesuatu. Laura hapal benar tabiat putranya yang satu itu. Karena itu juga, dia kembali menoleh kepada Dimas yang masih menunggu jawaban darinya.
"Gue ikut masuk. Disuruh Bunda belanja."
Dimas mengangguk tepat saat Malik berkata kalau dia akan memarkirkan motor di dekat pohon kersen, tak jauh dari sepeda Magnolia berada. Baru kemudian si tampan idaman banyak gadis di sekolah tersebut bergegas menyusul Dimas yang sudah lebih dulu berjalan masuk los.
Seperti dugaan Dimas sebelumnya, pasar sudah agak sepi. Tapi, sejauh matanya memandang, tidak ada wajah adiknya di mana pun. Malik di belakangnya sudah bergegas ke toko manisan sehingga kemudian, Dimas memutuskan untuk berjalan melewati penjual sayur. Di sana, dia akan bertanya kepada penjual yang akrab dengan adiknya, siapa tahu mereka tahu keberadaan Magnolia.
Di dekat lapak bawang merah, milik Mak Surti, Dimas mendengar suara seorang perempuan paruh baya sedang mengomel diiringi suara tangisan yang amat dia kenal milik siapa. Karena itu juga, Dimas mempercepat langkah ke arah sumber suara dan begitu tiba, dia tidak bisa menahan rasa terkejut.
“Jangan gerak, Neng. Item semua. Sakit emang. Tapi, kalau nggak dikerok, nggak sembuh.” ujar Mak Surti dengan suara penuh nada prihatin, “Ya Allah, kasihan banget lo sampe kayak gini.
“Sakit, Mak. Yaya nggak pernah dikerok.”
Mak Surti memotong ucapan Magnolia, “Kalau lo nggak muntah-muntah kayak tadi, nggak bakal gue kerok. Kasihan banget dah, ah. Mana badan kurus kering begini. Untung lo putih cakep.”
Dimas yang sudah melangkah menuju sumber suara dengan perlahan pada akhirnya tidak kuasa menahan rasa pilu sewaktu menemukan adiknya duduk dengan separuh tubuh bagian belakangnya terbuka. Mak Surti dengan semangat mengerok punggungnya menggunakan koin lima ratusan warna kuning. Bau balsem yang khas merasuk ke indera penciumannya dan Dimas tidak kuasa memejamkan mata ketika melihat Magnolia mengusap air matanya dengan punggung tangan.
“Masih kecil udah cari duit sampe sakit begini. Kalau jadi anak gue, nggak gue biari lo jemur-jemuran di bawah panas matahari, kena ujan.”
Wajah Mak Surti nampak sedih dan Dimas sempat melihat seorang pria yang dikenalnya dengan nama Beni, sedang menyiram bekas muntah yang berada tidak jauh dari mereka. Tadi Mak Surti menyebut tentang muntah. Apakah adiknya juga muntah?
“Eh, ada Dimas.”
Suara Beni yang sudah selesai membersihkan sisa-sisa muntahan Magnolia membuat dua wanita yang kini duduk di bawah meja jualan, beralas terpal bekas menjual bawang merah, serempak menoleh ke arahnya. Dimas otomatis tersenyum walau dia merasa kikuk. Bekas kerokan di punggung Magnolia seolah menyayat hati dan jantungnya hingga terbelah-belah. Dia tidak tahu bahkan setelah berhari-hari, kondisi adik bungsunya belum juga pulih.
Padahal tadi malam mereka masih belajar bersama meskipun tidak seperti sebelumnya, Dimas menyudahi sesi belajar mereka pada pukul sebelas malam dan menyuruh Magnolia beristirahat.
“Yaya sakit?”
Dimas mencoba berjongkok di dekat adiknya. Tapi, Magnolia kemudian menyuruhnya menjauh, “Sanaan, Mas. Di sini bau balsem.”
Adiknya kentara sekali tampak tidak nyaman, tetapi Dimas tidak terpikir untuk menjauh. Mak Surti masih ngotot untuk menyelesaikan pekerjaannya sementara Magnolia sudah meringis tanda tidak tahan.
“Masuk angin.” Mak Surti memberitahu Dimas, “Badannya dingin banget, tadi. Untung aja udah muntah. Keluar semua sakitnya.”
Dimas mengulurkan tangan kanannya untuk menyentuh dahi Magnolia. Tapi, cuma satu detik karena gadis itu segera menepis tanda malu.
“Mas, ah, sanaan. Jangan lihat Yaya nggak pakai baju.”
Magnolia sempat menggeliat dan memejamkan mata saat ujung koin yang digerakkan Mak Surti menggores kulit punggungnya cukup dalam.
“Abis ini langsung minum Tolak Angin. Terus tidur. Besok nggak usah jualan dulu. Nekat banget cari duit padahal lagi sakit.”
Magnolia terlalu sibuk mengernyit menahan sakit sehingga dia tidak lagi memedulikan wejangan Mak Surti yang kemudian secara otomatis menitahkan semuanya kepada Dimas.
“Jangan kasih keluar malem dulu, Mas. ini kasihan si Yaya sampe gemetaran badannya. Kurung kalau perlu. Gue kasihan banget sama dia. Udah nggak ada bapak mesti cari duit sendiri, dia bilang mau masuk SMANSA. Kalau gue ada duit, udah gue kasih. Mana anaknya penurut… ”
Dimas mengangguk. Dipandanginya wajah Magnolia yang bahkan seolah tidak peduli sama sekali dengan wejangan Mak Surti. Bibirnya malah membalas, “Nanti nggak makan.” yang membuat bocah tersebut berusaha menahan tangis. Perseteruan mereka kemarin bermuara pada masalah yang sama dan dia yang merasa Magnolia tetap diurus oleh mama, merasa amat tertampar dengan keadaan ini. Bagi mama, Magnolia adalah anak tiri yang tidak berhak mendapat apa-apa.
“Sudah selesai?” suara Malik yang tiba-tiba muncul di belakang Dimas membuat Magnolia yang tidak menyangka akan kehadirannya meminta Mak Surti untuk berhenti. Dia seketika menjadi amat gelisah dan berusaha menutupi tubuh bagian belakangnya yang terbuka.
“Bentar, Dek. Dikit lagi. Ntar lo sakit lagi. Di rumah nggak ada yang bantu ngerok.”
Malik sempat terdiam sejenak saat matanya menangkap garis-garis merah kehitaman di punggung Magnolia yang kurus. Tetapi, secepat kilat dia menolah kembali kepada Dimas dan berusaha tersenyum seolah tidak melihat apa-apa, termasuk betapa merah wajah Magnolia karena menahan nyeri.
“Udah, Mak. Yaya udah baikan.”
Mak Surti akhirnya menyerah. Dirapikannya sisa kerokan di tubuh Magnolia dan dibersihkannya sisa minyak dengan kain lap entah dari mana. Setelah satu pijatan di tengkuk Magnolia, akhirnya dia menyimpan wadah balsem dan membantu Magnolia memperbaiki pakaian dalam dan kaus yang dipakainya.
“Jangan keluyuran. Langsung pulang dan istirahat.” pesan Mak Surti.
"Iya, Mak." Dimas yang lebih dulu menjawab. Dia tidak peduli pada saat itu Magnolia tidak setuju dengan ucapannya. Tapi, Dimas tidak ambil pusing. Setelah mengambil semua barang dagangan Magnolia yang sudah berada di dalam sebuah tas kain, dia lalu menggandeng tangan adiknya dan pamit dengan Mak Surti.
"Pulang, ya, Mak. Bang Beni, Yaya pulang."
Beni si tukang cabai melambai sembari menyulut rokok kretek di bibirnya, sementara Mak Surti bangkit dari tempatnya saat ini duduk untuk kembali ke lapak jualan bawang dan kentang miliknya. Magnolia sendiri, berjalan menundukkan kepala begitu dia melewati Malik yang seperti biasa membisu dan tidak memberi respon sama sekali. Dia hanya memperhatikan tangannya yang saat ini bertaut dengan jemari Dimas. Sesekali sang abang mengusap jemari kurus kering milik adiknya dan pada saat itu, Magnolia sesekali memejamkan mata dan mengingat kembali, perlakuan Dimas kepadanya begitu mirip dengan yang selalu dilakukan papa untuknya.
Andai waktu bisa kembali, dia ingin sekali papa bangun supaya dia bisa mengatakan kalau Magnolia amat merindukannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top