Dua Puluh Lima
Hai, balik lagi.
Ramein komen ama vote.
Kalian emes ama Malik?
***
Ketika 24
Magnolia yang tidak menyangka bahwa Malik masih berada di dekat konter Kopi Bahagia lantas mengedarkan pandangan ke sekeliling tempatnya saat ini berada. Dia tidak ingin salah menduga, siapa tahu Ghadiza ada di belakangnya saat ini dan mereka sedang janjian di depan Kopi Bahagia sebagai titik temu, tapi, gadis itu tidak ada di sana dan Magnolia merasa heran.
"Yuk, Dek." panggil Sandy, usai dia selesai menerima panggilan telepon. Sandy memasukkan HP ke dalam saku dan meminta Magnolia mengikutinya. Harry sudah selesai memasang gembok dan sudah berjalan terlebih dahulu di depan mereka.
"Eh, iya. Tunggu, Mas Sandy." Magnolia mengangguk. Dia berbalik meninggalkan Malik yang masih berdiri di tempatnya, memandangi gadis centil yang bahkan tidak membalas pertanyaannya barusan.
"Kami pulang bareng, Mas." suara Malik membuat Sandy yang hendak berjalan kemudian menghentikan langkah. Sandy memandang bingung ke arah Magnolia dan Malin secara bergantian.
Magnolia sudah memberi kode agar Sandy cepat-cepat mengajaknya pergi dari situ. Tetapi, si barista tampan malah balik bertanya, "bareng? Lo kenal customer tadi?"
Magnolia tidak hendak menjawab. Dia bahkan sudah menggerutu kepada Sandy bahwa satpam sudah meminta mereka keluar. Tetapi, Malik kemudian menjawab, "Kenal, saya… "
"Temen Mamas." Magnolia memotong. Senyumnya lebar seperti model iklan Pepsodent dan dia yakin, jawabannya barusan bakal membuat Malik amat bahagia. Lagipula, kenapa tiba-tiba pemuda itu nongkrong di sebelah konter mereka? Apakah Ghadiza sudah pulang terlebih dahulu? Ataukah Malik takut pulang sendirian?
Idih, ngajak cewek bisa tapi takut pulang, Magnolia tertawa di dalam hati.
"Oh, lo kenal? Ya udah, kalau memang mau balik bareng."
Kini Magnolia dengan jelas-jelas menggeleng di depan Sandy dan Malik, "Nggak pulang bareng. Tadi Mas Sandy bilang mau nganter Yaya pulang."
"Ini minuman pesenan lo." Malik mengangsurkan kantong plastik berisi Americano dan Oreo Frappè yang dia buat tadi. Tapi, kapan dia bilang memesan minuman tersebut? Kepala Malik pasti habis menabrak tiang mal.
"Hah? Kapan gue pesan?" Magnolia bahkan tidak bisa menghentikan rasa terkejutnya begitu Malik berjalan mendekat tanpa ragu, membuat Sandy makin bingung menyaksikan tingkah dua ABG di hadapannya saat ini. Apakah dia telah ketinggalan sesuatu? Tapi, setahu Sandy, Magnolia belum punya pacar dan mustahil gadis lima belas tahun seperti dirinya sudah memikirkan hal tersebut.
"Dimas minta tolong jemput."
Nama Dimas sangat sakti membuat Magnolia yang mulanya hendak menyusul Sandy kembali jadi berhenti.
"Lo ngibul." Magnolia menggeleng tidak percaya. Saat itulah, Malik meraih sesuatu di sakunya yang Magnolia kenali sebagai ponsel. Dia kagum, di tahun 2013, pemuda seperti Malik sudah memiliki ponsel keluaran terbaru. Kezia bahkan sudah merengek kepada mama untuk minta dibelikan satu, tetapi belum dikabulkan. Di rumah, selain mama, baru Dimas yang memiliki ponsel. Itu juga karena Dimas menggunakan ponsel milik papa. Mama berpikir, Dimas lebih butuh dibandingkan Kezia yang cuma senang berswafoto.
Om Syarief memang baik bener, sih, sama anak-anaknya. Mereka juga keluarga berduit. Abangnya Bang Malik, kan, dua-duanya dokter. Mana belum nikah semua.
Malik mulai membuka pesan Whatsapp dan menunjukkannya kepada Magnolia akan tetapi, gadis muda tersebut menggeleng dan berkata kalau dia sebaiknya bergegas. Mal sudah semakin sepi dan satpam sudah memberi kode supaya mereka tidak berlama-lama di dalam.
“Kita, kan, searah.”
Ingin rasanya Magnolia berteriak kalau dia tidak sudi ikut Malik biarpun bocah sok ganteng itu memaksa. Tapi, Sandy kemudian menoleh lagi ke arah mereka, “Dek, lo ikut tetangga lo aja. Gue masih ada kerjaan.”
Usai bicara begitu, Sandy melambai dan mempercepat langkahnya menyusul Harry yang sudah lebih dulu menuju pintu keluar ke arah parkiran pegawai dan tenant.
“Yaya ikut sampai pertigaan, naik angkot.”
“Jangan. Nanti diperkosa orang jahat.” Sandy tidak setuju. Ucapannya itu membuat Magnolia teringat pesan Anita sebelumnya. Apakah Sandy telah dipesankan oleh gadis itu juga?
"Ini malam minggu." Magnolia hendak protes, tapi telinga Sandy sudah tidak lagi menangkap kata-katanya. Begitu dia keluar dari pintu timur mal, Sandy sudah berlari menuju parkiran motor. Sepertinya dia memang sedang ada urusan penting.
"Ya, udah. Jalan aja. Di depan pasti masih banyak angkot." Magnolia berbisik pada dirinya sendiri. Dia tidak mengira pada saat itu Malik ternyata mengekorinya dari belakang, dalam diam, tanpa protes sama sekali kalau dia diabaikan oleh gadis lima belas tahun tersebut.
"Sudah muter-muternya?" Malik bicara lagi. Dia lalu menunjuk ke arah gedung yang mulai gelap. Meski begitu, ruko-ruko di sekitar masih terang dan beberapa kendaraan masih terparkir di sana. Seperti kata Magnolia tadi, hari ini malam minggu.
"Gue nggak minta diajak pulang bareng."
Magnolia berharap dia bisa melarikan diri hingga ke gerbang depan mal. Tetapi kakinya seperti dipaku dan Malik malah dengan santai berjalan ke arahnya dan bicara, "Tumben nggak mau diajak pulang sama orang yang lo taksir."
Magnolia menjauhkan tubuhnya karena dia merasa pemuda itu berdiri terlalu dekat dengannya. Oke, dia naksir, tetapi Magnolia tidak pernah minta diantar, itu maksud ucapannya.
"Kebetulan main ke mal ini, setelah selesai lihat lo dan gue kasih tahu Dimas."
"Mamas tahu gue bukan anak cengeng yang butuh tumpangan pulang." balas Magnolia. Entah kenapa ketika Malik menyebutkan dia kebetulan main ke mal tempatnya bekerja membuat hati Magnolia sedikit sedih. Dia sudah minta ditempatkan di daerah yang tidak mungkin bakal didatangi tetangganya itu dan sungguh keanehan melihat Malik tiba-tiba muncul.
Mungkin Ghadiza yang tinggal di dekat kompleks mal tersebut sehingga mau tidak mau Malik mengajaknya kencan bersama. Tapi, omong-omong, bila benar hal tersebut terjadi, mereka bakal sering main ke tempat itu dan bukan tidak mungkin, Malik bakal mengajak Ghadiza minum kopi bersama lalu berkata, "Ini adiknya Dimas, si tukang lap dan cabai yang sudah ganti haluan jadi tukang kopi. Tetapi, sekeren apa pun dia, ujung-ujungnya tetap jadi pelayan."
Dasar otak sinting. Kenapa dia bisa berpikir seperti itu? Dia belum pernah mendengar Malik menjelek-jelekkannya dan kalau dia mendengarnya, Magnolia pasti akan mengadu kepada Dimas supaya abangnya menghajar Malik yang ternyata punya mulut amat pedas.
"Ini, minum. Nanti makin cair."
Malik menyerahkan Oreo Frappucino kepada Magnolia. Gadis itu menatapnya dengan bingung. Dia tidak berselera minum es ketika waktu hampir menjelang tengah malam. Lagipula, kenapa Dimas memberikan minuman yang sebelum ini dia beri untuk Ghadiza?
Tunggu. Apakah hal tersebut berarti mereka bertengkar lalu Malik memutuskan untuk berpisah dengan kekasihnya?
Yes!
"Ini punya cewek lo, kenapa ngasih ke gue? Gue udah sering minum ginian." Magnolia menolak menerima pemberian pemuda itu dan memilih untuk meninggalkan Malik. Seharusnya dari tadi dia sudah bergegas ke gerbang depan daripada meladeni tingkah mantan gebetan yang selalu tebar pesona dan sok dingin. Tahukah Malik kalau Magnolia merasa amat tersinggung?
"Cemburu?"
"Lucu." Magnolia pura-pura tertawa. Dia lalu teringat belum melepaskan bandana Kopi Bahagia yang terpasang di kepalanya. Magnolia kemudian menarik bandana tersebut hingga terlepas dan menyimpannya ke dalam tas. Bulan ini sudah dua kali dia menghilangkan benda tersebut. Untung saja Sandy masih menyimpan stok di rumah dan pria ikal itu membawakannya untuk Magnolia.
Magnolia melangkah meninggalkan Malik yang terdiam tidak menyangka mendapat perlakuan seperti ini. Dia juga tidak menoleh dan bersyukur Malik tidak memanggilnya. Dia bahkan tidak ingat kapan Malik pernah menyebutkan namanya. Selama ini dia hanya menyebut lo kepada Magnolia dan tidak pernah mau repot memanggil nama kepadanya.
Otak gue memang sedang sinting-sintingnya waktu naksir lo, Magnolia bicara dalam hati. Dia sebenarnya ingin menoleh ke belakang, tetapi rasa gengsi kemudian menahannya berbuat hal tersebut. Dimas sudah mewanti-wanti agar dia tidak perlu bersikap memalukan diri sendiri apalagi saat ini sudah ada anak perempuan maha sempurna yang bisa mengimbangi Malik baik itu dari segi kecerdasan maupun wajah.
Alhamdulillah, dia nggak nyusul, Magnolia mengucap dalam hati. Malik pasti senang, dia sudah bukan seorang Magnolia centil yang kebelet minta dijadikan pacar atau istri seperti dulu. Lagipula, sekarang, mencari uang adalah hal yang paling utama. Uang cicilan sekolah sudah hampir cukup dan Magnolia ingat, dia hanya butuh beberapa ratus ribu lagi untuk melunasi sisa tagihan. Lusa adalah waktu gajian dan dia akan menambah kekurangan tersebut lalu menyetorkannya kepada Ibu Ely, sang bendahara.
Ketika berada di gerbang depan, Magnolia mulai menjulurkan kepala. Jurusan angkutan umum yang dia cari belum terlihat sementara beberapa pegawai mal sudah mulai keluar. Beberapa sudah dijemput sementara yang lain, menunggu ojek atau angkot seperti dirinya.
Tapi, baru beberapa langkah keluar dari gerbang, sebuah motor menghentikan langkahnya dan sosok Malik yang melepaskan helm, turun dari kendaraannya tersebut.
"Keras kepala. Entah kenapa Dimas bisa tahan punya adek kayak lo."
Magnolia belum sempat menjawab. Malik sudah lebih dulu memakaikan dia helm dan menarik tangannya hingga gadis tersebut terpaksa duduk di jok bagian belakang. Setelah memastikan Magnolia duduk dengan benar, barulah Malik kembali memegang setang dan melanjutkan mengendarai motor.
"Lo yang keras kepala. Lo tahu gue sudah nyerah, tapi lo masih maksa gue buat percaya gue yang bakal lo pilih. Padahal kenyataannya, gue cuma mimpi."
Magnolia berusaha menarik tangannya, tetapi gagal. Malik memaksa gadis itu berpegangan pada pinggangnya dan mulai memacu motornya menembus kegelapan malam tanpa bicara satu patah kata sama sekali.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top