Lima
Bel pulang berbunyi tanda pelajaran selesai. Anak - anak bersorak kegirangan. Banyak yang sudah berencana untuk hangout bareng di mall atau tempat tempat nongkrong seperti kafe. Berbeda dengan para pengurus OSIS yang terpaksa menghabiskan dua jam mereka untuk pembahasan mengenai event event sekolah, demi kepentingan umat.
Tara berjalan menuju ruang OSIS untuk menemui Fero, si ketua OSIS.
"Fer, gue izin ya. Sakit. Bentar lagi dijemput sama Trian."
"Yaudah hati - hati."
Dasar Fero, bicaranya irit banget sih. Ketua OSIS SMA Pelita yang satu ini berbeda dengan ketua OSIS lainnya, dia bukan tipe yang banyak omong namun satu kata darinya selalu tepat sasaran. Dan katanya juga dia cuma nunjukin bukti bukan janji. Alhasil begini, OSIS tahun ini mengalami progres yang cukup bagus dibandingkan tahun tahun sebelumnya.
Tara sudah sampai di halte depan gerbang sekolah, menunggu Trian yang belum datang juga. Ia mengirimkan pesan singkat melalui sms.
"Dek dimana?"
"Kakak udah pulang nih"
"Lo dimana sih? Gue udah mau pingsan rasanya"
Setengah jam berlalu, Trian masih sibuk dengan kegiatan basketnya. Mereka hanya berbeda setahun, Trian kelas 10 namun mereka memutuskan untuk berbeda sekolah. Trian bilang kak Tara suka ngerepotin walau akhirnya dia mau juga membantu Tara.
Aduh kepala gue sakit. Mukanya pucat. Tara terjatuh. Untung saja ada kursi di belakangnya untuk menopang tubuh mungil itu.
Lalu sebuah sepeda motor berhenti di hadapannya dan berjalan mendekatinya. Pandangan Tara masih buram. Dia membuka kedua matanya perlahan untuk melihat siapa itu.
Roy.
"Tara? Kok tidur disini?" tanya Roy, berniat bercanda. Tapi ia urungkan niatnya saat tubuh tak berdaya itu mundur selangkah. Tara menjauh darinya, menghindar dari ketakutan ketakutan yang biasanya ia pikirkan.
"Haha bercanda. Kok menjauh? Gak bakal aku apa - apain kok."
Roy membantu Tara untuk bangkit dengan memegangi kedua lengan Tara.
"Sakit?" Tara mengangguk. Lidahnya terasa berat untuk berbicara, terlalu sakit bahkan untuk sepenggal kata. "Jangan sakit dong, sedih abang liatnya." Roy memasang wajah khawatir ---menurut Tara--- itu terlalu dibuat buat.
Tara menunduk, masih takut sesuatu akan terjadi padanya.
"Rumahnya dimana?"
"Jalan Mawar."
"Ayo abang antar," ajaknya.
Tara mengangguk lagi. Roy menyerahkan helm kepada Tara dan disambut gadis itu dengan baik.
"Helmnya kok cuma satu? Abang gak make?" Roy menggeleng dengan seulas senyum di bibirnya. Namun Tara tidak membantah.
Ya Allah, lindungilah aku.
"Udah jangan takut." Roy menghidupkan mesin sepeda motornya.
"Waduh, kamu kok diem aja? Eh kamu anak OSIS ya? Emang enak jadi babu?" yaelah kok jadi ngejekin OSIS sih. Dasar.
"Iya bang." Sungguh saat ini Tara sedang tidak dalam mood yang baik untuk menjawab pertanyaan tidak penting seperti itu.
"Enak jadi babu?" Tara mati kutu. Kenapa sih orang ini harus bertanya yang membuatnya memutar otak untuk menjawab?
"Eng.. gak."
Roy tertawa terbahak bahak. Dia memang tipikal manusia yang suka bercanda tanpa ada niat untuk menyakiti siapapun.
Setelah itu keadaan menjadi sepi.
Mereka sampai di rumah Tara.
"Makasih ya."
"Iya abang balik ya, jangan lupa minum obat." Roy menjalankan motornya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top