Then, Now, and Forever
Ketukan sepatu pantofelnya yang terdengar lantang dan menggema menjadi tanda bagi setiap orang yang berada di dalam ruang rapat tersebut untuk berdiri dan membungkukkan tubuh ketika wanita berambut pendek itu melangkah dengan tubuh tegap di depan mereka. Wanita itu kemudian berhenti di kursi yang berada di paling depan, cukup dekat dengan petugas yang akan mempresentasikan rekapan hasil penyelidikan dari kasus yang mereka tangani sekarang.
Ia jadi bernostalgia. Dulu ia pernah berdiri di sana dengan perasaan tegang dan kedua tangan basah oleh keringat, dengan pandangan lurus pada file PowerPoint berisi foto-foto berdarah yang berhasil membuat beberapa orang petugas polisi yang hadir di dalam ruangan meminta izin keluar ruangan rapat untuk memuntahkan isi perut mereka di toilet. Ah, bagaimana ini? Ia jadi ingin tertawa karena kenangan lama itu. Sayang sekali ia harus menjaga wibawa dengan menggigit bibir bawahnya agar ia tidak tertawa.
Namun entah mengapa, ia merasa bahwa usahanya dalam menahan keinginan untuk terkekeh itu jauh lebih sulit daripada saat ia menyelidiki kasus-kasus kriminal. Itu disebabkan oleh dua orang personel yang sedang berdiri di depannya terus menerus melemparkan senyum tipis dan menunjuk-nunjuk ke arahnya dengan sembunyi-sembunyi. Astaga, mereka memang tidak pernah berubah.
Sungguh, terakhir kali mereka bekerja sama dalam satu tim, Ozeki dan Aoi termasuk anggota yang sangat serius dan tidak terlalu suka bermain-main seperti sekarang. Lihat saja, mereka hampir seperti anak SD yang sedang mengikuti acara pawai dengan seragam dan atribut kepolisian yang disematkan pada seragam mereka.
Mungkin ada yang bertanya-tanya mengapa mereka tidak lagi bersama lagi seperti dulu. Itu karena mereka mulai mengambil jalan yang berbeda, dan ditugaskan ke tempat lain atau dikembalikan ke divisi mereka masing-masing. Sebagai informasi, 3 bulan setelah kasus Pembunuhan Berantai Black Mail dan Doberman, tim investigasi khusus yang dipimpin oleh Risa secara resmi dibubarkan setelah tim tersebut menyelesaikan segala hal yang berkaitan dengan urusan administrasi perkara, pengarsipan berkas penyelidikan ke direktori kepolisian, dan juga pemindahan barang bukti ke tempat yang seharusnya.
Semua benda yang digunakan sebagai senjata pembunuhan dalam kasus tersebut disimpan di tempat khusus, bersandingan dengan barang bukti dari kasus Pembunuhan Sakurazaka Academy yang terjadi 10 tahun sebelumnya. Itu dilakukan sebagai tanda bahwa kedua kasus tersebut masih saling berkaitan dan dapat dijadikan rujukan jika ada kasus serupa yang terjadi di kemudian hari.
Risa juga mendapatkan kenaikan pangkat secara signifikan karena perannya dalam menyelesaikan kasus rumit tersebut. Ia dianggap sebagai polisi yang berani dan rela berkorban demi kepentingan masyarakat umum serta negara sehingga selain mendapat kenaikan pangkat, ia juga mendapatkan bintang kehormatan. Sebenarnya ia ingin menolak semua itu karena jika ia menerimanya, itu sama saja dengan menginjak darah orang-orang yang mati saat menjalankan perintahnya waktu itu.
Hanya saja, ia juga tidak bisa menolak karena ia tidak ingin membuat pimpinan kepolisian yang memberinya kesempatan ini kecewa. Ia juga mempertimbangkan jenjang karirnya nanti apabila ia nekat menolak kesempatan kenaikan pangkat tersebut, bukan tidak mungkin dirinya justru akan terjebak di satu tempat saja dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya di tempat yang lebih tinggi. Ia pun menerima tawaran tersebut dan sekarang, tiga tahun setelahnya, ia sudah nyaman dengan pekerjaannya dengan pangkat mayor--istilah lainnya komisaris polisi.
Ozeki kini menjabat sebagai sersan kepala dan bekerja di Departemen Investigasi Kriminal Tingkat Satu. Ia memiliki timnya sendiri sebanyak tujuh orang dan Risa pernah bertemu langsung dengan wajah-wajah baru tersebut. Aoi kini juga memiliki pangkat yang sama dengan Ozeki, namun ia kembali bekerja di Departemen Kejahatan Siber dan menjadi sangat sibuk.
Sementara dua orang rekan kerjanya masih bekerja di kantor regional yang sama, hanya Akiho yang pergi meninggalkan Tokyo untuk bertugas ke daerah lain setelah mendapat kenaikan pangkat. Sersan Kepala Onuma Akiho kini bertugas di Kantor Polisi Regional Kanto dan tergabung dalam Departemen Kriminal Anak yang bertugas mengurusi tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur.
Memang mereka sudah tidak lagi berkumpul untuk menyelesaikan kasus--terutama Akiho yang sudah berbeda wilayah yuridiksi--kalaupun mereka bertemu, tetap saja Risa tidak bisa ikut bersama mereka untuk turun langsung ke lapangan seperti dulu. Seperti kasus yang sedang Ozeki dan Aoi tangani sekarang yang memerlukan kerja sama antara divisi mereka masing-masing. Di sini, Risa tugas Risa hanya memantau pekerjaan mereka--sebenarnya tidak hanya pekerjaan Ozeki dan Aoi, ia juga melakukan pengawasan pada polisi-polisi lain yang berada di tingkat di bawahnya dalam menangani kasus.
Melalui presentasi hasil penyelidikan yang dipaparkan oleh Ozeki, kasus ini berkaitan dengan penyiksaan anak di bawah umur, kekerasan dalam rumah tangga, penyalahgunaan obat-obatan, pembunuhan dan juga penyanderaan. Berawal dari seorang pasangan suami istri yang bercerai dan sang istri mendapatkan hak asuh atas putri mereka yang masih berusia 6 tahun. Perceraian tersebut didasarkan pada sikap pihak laki-laki yang tidak pernah memberikan hak yang seharusnya didapatkan oleh anak dan istrinya serta gangguan emosional yang membuatnya menjadi sangat pemarah hingga sering sekali melakukan kekerasan fisik.
Beberapa bulan setelah perceraian tersebut, si mantan suami mulai meneror mantan istri dan anaknya dengan membuntutinya saat ia pulang kerja di malam hari hingga meninggalkan barang-barang aneh seperti bangkai burung atau tikus di depan pintu apartemen. Puncaknya, pada suatu malam si mantan suami nekat mendobrak masuk ke dalam apartemen mantan istrinya. Mereka bertengkar hebat hingga berakhir pada pembunuhan yang dilakukan oleh si mantan suami. Ia meninggalkan mayatnya dan membawa anak tersebut ke suatu tempat untuk disandera.
Perlu waktu satu minggu penuh untuk melacak keberadaan mereka dan ketika polisi melakukan pengepungan, pria itu justru mengancam akan menggorok leher anaknya sendiri dengan pisau silet. Saat itu, Ozeki lah yang berusaha melakukan pendekatan secara damai dengan si pelaku. Ia bernegoisasi selama kurang lebih 10 menit di dalam ruangan tertutup itu, tanpa ditemani oleh satu orang pun personel polisi meski pada akhirnya negoisasi gagal dan berakhir dengan lengannya yang ditebas saat ia berusaha mengamankan anak perempuan itu dari si pelaku.
Di belakangnya, Aoi yang seharusnya berjaga di luar, begitu mendengar suara keributan dan teriakan Ozeki di dalam pun segera masuk dan refleks menembak pria itu di bagian pergelangan tangan dan betis. Dua tembakan itu berhasil melumpuhkannya dan membuatnya menjatuhkan pisau yang ia bawa sehingga ia dapat memborgolnya dengan mudah sementara Ozeki menggendong putrinya keluar untuk diserahkan pada tim medis.
Risa yang memperhatikan jalannya presentasi dari awal hingga akhir tidak bisa berbohong bahwa ia sangat bangga dengan kedua rekannya itu. Dari yang awalnya mereka bergerak di bawah perintahnya, kini mereka mampu memberikan perintah taktis pada anak buah mereka sendiri dan berhasil melakukan misi penyelamatan dengan berani. Mayor muda itu lantas tersenyum seraya memberikan tepukan ringan, merasa lega bahwa Ozeki dan Aoi dapat berjalan maju tanpa bantuannya lagi.
Ketika presentasi selesai dan hampir sebagian besar orang sudah keluar dari ruang rapat, Risa yang masih duduk di kursinya dan setelah memastikan tidak ada lagi personel atau pejabat yang masih tinggal di ruangan, ia pun bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Aoi yang tengah menutup laptop. Melihat Risa berjalan mendekat, wanita bertubuh pendek itu menampilkan senyum tipis. Diletakkannya laptop di atas meja dan ia mengangkat tangan kanannya untuk memberi hormat pada Risa.
"Apa-apaan?" tertawa, Risa menurunkan paksa tangan Aoi dan menggenggamnya. "Akhirnya kalian kembali ditugaskan bersama, ya? Aku iri sekali. Seandainya aku tidak dihadapkan dengan tumpukan berkas yang perlu divalidasi dan urusan lain dengan kepala polisi dari kantor regional tetangga, aku mungkin bisa membantu kalian di tempat kejadian perkara." sesal Risa. Pundak tegapnya tampak turun dan lemas. Jelas sekali ia merasa sedih.
"Apapun yang kau coba lakukan, satu-satunya hal yang bisa kau lakukan untuk kami adalah memberikan personel tambahan dari divisi lain," Ozeki berjalan mendekat dan menyahut. Ia kemudian mengepalkan tangannya untuk memukul lengan Risa. Dengan nada setengah bercanda, ia mengejek, "Pejabat polisi sepertimu tidak pantas menyentuh hal-hal kotor semacam ini secara langsung, Risa. Sudahlah, masa kerjamu di lapangan sudah selesai. Kenapa kau tidak duduk saja dan melihat kami berkeliaran di luar sana. Lagipula kau juga senang melihat kami, 'kan? Wajahmu itu tidak bisa berbohong!"
Risa merentangkan tangannya, siap menerima pelukan dari Ozeki dengan senyum lebar. Agak terkejut dengan perubahan tingkah laku dari mantan atasannya dan sedikit bertanya-tanya apa yang telah membuat Watanabe yang muram ini menjadi lebih banyak tertawa. Namun, ia tak lagi ingin mempertanyakan apa yang sudah dilalui Risa selama beberapa tahun ini. Melihat dirinya yang lebih cerah sekarang saja sudah cukup membuat Ozeki lega.
Jadi ia melangkah maju dan benar-benar memeluk Risa. Kedua lengannya yang lebih kecil itu melingkar dengan nyaman di pinggangnya selama beberapa detik sebelum Ozeki sendiri yang melepaskan pelukan mereka dan memberi jarak.
"Apa kalian memiliki pekerjaan lain setelah ini?" Risa bertanya. "Aku memiliki beberapa hal untuk ditanyakan. Jika kalian sedang senggang, aku berniat mengundang kalian ke kantorku untuk minum teh."
Aoi menggumam sejenak. Kemudian ia menjawab seraya mengambil laptop yang semula ia letakkan, "Setelah ini kami hanya akan mengembalikan beberapa barang di ruanganku. Singgah sebentar di kantormu rasanya tidak akan menjadi masalah, Mayor Watanabe."
"Itu bagus," Risa mengangguk senang. Ia kemudian membungkukkan tubuh dan merentangkan tangan kanannya untuk menunjuk ke arah pintu keluar, "Kalian bisa berjalan duluan. Aku akan mengikuti di belakang. Kantorku tidak jauh dari ruangan ini, kok."
Mereka pun berjalan keluar dari ruang rapat bersama-sama. Meski awalnya Risa meminta Aoi dan Ozeki untuk berjalan duluan, pada akhirnya Risa-lah yang harus berjalan sedikit di depan mereka dan bertugas sebagai penunjuk arah. Kedua rekannya ini tidak pernah pernah tahu di mana kantor Risa berada sehingga ia perlu menuntun mereka agar tidak mengetuk pintu kantor milik petugas lain.
Memang jarak antara kantor Risa dengan ruang rapat tidak terlalu jauh--tepat seperti yang ia katakan sebelumnya. Tidak kurang dari 5 menit, mereka bertiga sudah tiba di depan ruangan dengan pintu hitam berplakat nama Major Watanabe yang diukir di atas papan emas yang berkilat mewah.
Saat Risa membuka pintu itu dengan menggunakan fingerprint dan mempersilakan kedua rekannya masuk, mereka berdua langsung disambut oleh aroma lembut lavender dari pengharum ruangan otomatis yang terpasang di dinding. Di ujung sana, terdapat meja besar dengan komputer, laptop, tempat alat tulis, sebuah vas kaca transparan berisi bunga tulip, dan tiga buah buku. Tidak ada tumpukan berkas dan kertas yang berserakan di atas meja kerja tersebut dan Ozeki yakin Risa sudah membereskan semuanya ke dalam satu map. Beberapa meter di depan meja kerja tersebut, terdapat sebuah meja panjang dengan beberapa kursi nyaman yang sepertinya memang disediakan untuk tamu yang datang ke ruangannya.
Di belakang meja kerja Risa terdepat jendela besar yang lebarnya hampir menyamai lebar dinding. Risa menutup jendela itu dengan tirai otomatis karena ia sudah menyalakan lampu. Biasanya ia membuka tirai tersebut saat sedang bekerja hingga larut untuk menikmati pemandangan lampu-lampu kendaraan dan gedung-gedung bertingkat di luar sana.
Ozeki berjalan mendekati jendela tersebut untuk menyibak tirainya dan sedikit mengintip keluar. "Sejak kapan kau jadi rapi begini? Dulu saat kau menumpang di apartemenku, kau selalu meninggalkan handuk, pakaian dalam, dan kaus kaki di sofa ruang TV." ia menutup tirai dan kembali berjalan untuk duduk di kursi yang sudah disediakan. Aoi sudah ada di sana dan Risa sedang menggunakan pesawat telepon untuk memanggil staff.
Terdengar Risa berbicara selama beberapa detik dengan seseorang di ujung lain panggilan telepon tersebut. Ia meminta agar dibawakan minuman dan makanan kecil untuk menemani mereka mengobrol. Barulah setelah ia menutup telepon, Risa berani menanggalkan kewibawaannya dan melemparkan buntalan tisu kering ke arah Ozeki. "Jangan mempermalukanku begitu, sialan," desisnya. Dan responnya itu justru membuat Aoi dan Ozeki tertawa terbahak-bahak.
Menghembuskan napas, Risa berjalan dari meja kerjanya dan bergabung bersama kedua temannya. Aoi memberikan tempat untuk Risa dengan menggeser tubuhnya ke samping. Ia berkata, "Kau terlihat lebih sehat. Wajahmu juga jadi lebih cerah sekarang."
"Aku mengikuti terapi selama beberapa bulan terakhir dan berusaha untuk mengubah pola hidup menjadi lebih sehat. Akhir-akhir ini aku juga lebih sering berolahraga di rumah jadi mungkin semua itu yang mengubahku menjadi lebih baik sekarang," Risa menyandarkan punggung pada kursi. Pandangannya kini turun ke bawah, pada kedua kakinya sendiri. "aku tidak bisa terus-menerus menyiksa diriku seperti dulu. Lagipula, Yui pasti akan marah padaku jika ia tahu aku terus menangis seperti orang sinting dan menenggak 3 botol alkohol setiap malam."
Ozeki tersenyum tipis. Sorot matanya mendadak berubah gelap, "Hah... baguslah. Kalau boleh jujur, sejak hari kematian Ten kami sangat khawatir dengan keadaanmu terutama setelah kau memutuskan untuk kembali ke rumahmu. Setiap malam aku dan Aoi bergantian lewat di depan rumahmu dengan mobil untuk memastikan kau tidak menggantung dirimu sendiri atau semacamnya."
"Yang benar saja!" Risa menjawab. Sebenarnya, hampir.
Terdengar suara ketukan pada pintu dan Risa segera berdiri untuk membukanya. Di luar, berdiri seorang staff pantry yang mengantarkan teh hangat dan makanan ringan yang tadi ia minta via telepon. Risa mempersilakannya masuk agar ia bisa meletakkan semuanya di atas meja. Mungkin karena berada di ruangan perwira tinggi dan tidak berada di ruangan biasa, staff itu terlihat gugup saat ia lewat di depan Risa dengan kepala tertunduk.
Risa menganggukkan kepala dan membisikkan ucapan terima kasih setelah staff itu selesai dengan urusannya dan mendekat ke arahnya untuk memberi hormat. Setelah ia keluar, Risa pun menutup pintu dan kembali bergabung dengan teman-temannya. Agaknya ia tidak perlu mempersilakan mereka untuk mengambil apa yang sudah disediakan karena Ozeki sudah langsung membuka bungkus biskuit cokelat dan langsung memakannya.
"Apakah kalian mendapat kabar dari Akiho? Minggu lalu ia menghubungiku dan mengatakan ia akan mengirimkan 5 paket ikan kering dari kampung halamannya. Kemarin, paket itu datang dan aku memberinya kabar. Tapi hingga sekarang ia belum menjawab." Risa mengambil cangkir teh miliknya dan menyesapnya. Sedikit terkejut karena rupanya teh itu masih sangat panas sampai membuat ujung lidahnya seperti terbakar. Buru-buru ia mengembalikan cangkirnya dan memilih untuk membiarkannya dingin selama beberapa saat.
Aoi menjawab, "Ah, dia selalu begitu. Tunggu saja 3 atau 4 hari, pasti balasan darinya akan muncul. Kabarnya ia sedang menangani kasus perdagangan anak di bawah umur, jadi wajar ia tidak begitu memperhatikan pesan-pesan yang masuk di ponselnya jika itu bukan sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan."
"Berbicara tentang anak, korban hidup dari kasus yang baru saja kami tangani sekarang sudah resmi dipindahkan ke pusat rehabilitasi." Ozeki menyahut. "Bawahanku baru saja menghubungi. Dia datang sendiri ke lokasi untuk memantau langsung."
Risa terdiam sejenak untuk mencerna ucapan Ozeki. Setelah beberapa sekon, wanita itu bertanya lagi, "Apakah ada wali untuk merawatnya nanti? Saudara orang tuanya mungkin?"
Ozeki menggeleng, "Sayangnya, tidak. Ayah dan Ibu korban adalah anak tunggal dan orang tua masing-masing dari mereka sudah lama meninggal. Jadi anak itu sekarang tinggal di pusat rehabilitasi khusus untuk anak-anak selama beberapa bulan sebelum nantinya dipindahkan ke panti asuhan."
"Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang itu? Jangan bilang kau ingin melakukan sesuatu padanya?" sahut Aoi.
Risa meletakkan cangkir di atas meja dengan satu dentingan lembut. Tanpa menatap kedua sahabatnya, ia menjawab santai, "Apakah aku terlalu mudah dibaca?"
Mendengar respon Risa yang benar-benar di luar dugaan, Aoi dan Ozeki kompak tersedak minumannya sendiri. Apakah mereka tidak salah dengar? Seorang Watanabe Risa yang selama ini menganggap anak-anak sebagai pengganggu kini justru terlihat tertarik dengan mereka? Oh, astaga. Jangan-jangan dunia akan kiamat sebentar lagi.
Ozeki menggelengkan kepala, masih sedikit bingung dengan respon Risa. Ia pun berucap, "Kau... Risa, kau ingin apakan anak itu? Jangan bilang kau akan menjualnya ke pasar gelap? Sial, aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal semacam itu. Dia terlalu suci untukmu!"
"Sudah gila, ya? Mana mungkin aku melakukan hal semacam itu!" Risa refleks menyahut dengan nada sengaja ditinggikan. Ia sungguh tidak habis pikir dengan isi otak sahabatnya ini, ternyata masih sama tidak warasnya seperti dulu.
"Lalu? Kenapa kau tiba-tiba bertanya?" kali ini Aoi yang berbicara. Setidaknya ia bisa membawa suasana dengan lebih serius dari Ozeki jadi Risa tidak perlu menjawab pertanyaannya nanti dengan berapi-api karena kesal seperti tadi. "Tidak biasanya kau tertarik dengan kasus yang berhubungan dengan anak seperti ini. Katamu hal semacam ini tidak memiliki daya tarik."
Mayor muda itu kemudian menggumam pelan. Sejenak kemudian, ia menjawab, "Aku juga tidak tahu apa yang terjadi denganku. Tapi aku merasa anak itu memerlukan pendampingan khusus, tidak dalam waktu beberapa bulan saja. Tetapi untuk selamanya. Sepanjang anak itu hidup."
Melirik ke arah Ozeki yang sedang kebingungan, Aoi menjawab pelan, "Jika kau berbicara tentang pendampingan anak, pihak panti bisa menjamin hal semacam itu hingga ia dewasa. Kau tidak perlu khawatir dan pusing memikirkannya karena itu bukan tanggung jawabmu."
"Aish, bukan begitu maksudku," Risa mengusap wajahnya dengan frustasi. Tapi kalau dipikir lagi, itu juga salahnya sendiri karena tidak langsung berterus terang dengan kedua temannya ini. "langsung ke poinnya saja, aku berencana untuk mengadopsi anak ini."
Ozeki menghembuskan napas lega dan mengusap dadanya. Ia menjulurkan tangan untuk mengambil cangkir teh dan hendak meminumnya, "Oh, syukurlah. Kupikir kau akan menjualnya ke pasar gelap. Ternyata kau hanya ingin mengadop--tunggu, apa?" ucapannya terputus di tengah-tengah saat ia sadar bahwa Risa mengatakan hal lain yang lebih tidak terduga. Saking terkejutnya, Ozeki hampir menyemburkan teh yang sedang ia minum. "Kau? Mengadopsi seorang anak?"
"Iya. Kenapa? Ada yang salah dengan itu?"
Aoi merapatkan bibirnya membentuk garis lurus. Rasanya ia tidak tahan ingin memukul kepala Ozeki karena ucapannya yang terlalu frontal tadi. Jadi untuk menguasai situasi dan menghindari ucapan menyebalkan lain dari Ozeki, Aoi buru-buru menyahut, "Mungkin ia hanya tidak menyangka kau akan sampai di titik di mana kau ingin merasakan kehadiran seorang anak dalam hidupmu. Tapi, hei, tidakkah itu sesuatu yang bagus? Aku percaya kau bisa menjadi sosok ibu yang baik untuk anak ini, Risa. Tapi mungkin, kau akan mengalami beberapa hambatan karena sepertinya anak ini masih trauma dengan apa yang terjadi pada ayah dan ibunya."
"Itulah mengapa aku ingin membantunya mengatasi rasa trauma itu. Kau tahu sendiri aku sudah melewati hal semacam ini berkali-kali selama aku hidup, jadi aku bisa sedikit memahami apa yang ia rasakan."
Aoi memilih untuk diam dan tidak menjawab. Ia memandang wajah Risa dengan serius, berusaha mencari-cari adanya kebohongan yang mungkin sengaja ia sembunyikan. Sesuatu yang berhubungan dengan urusan adopsi anak tidak bisa dipandang sebelah mata. Aoi juga tidak bisa tinggal diam jika suatu hari nanti Risa memutuskan untuk lepas tangan dengan anak itu dan memilih untuk mengembalikannya ke panti--itu jelas bukan sesuatu yang baik dan Aoi tidak ingin masuk penjara karena kasus penembakan pada Mayor polisi suatu hari nanti.
Banyak kasus penelantaran anak di luar sana dan ia tidak ingin hal itu kembali terjadi pada anak ini. Ia sudah melihat neraka di usianya yang terlalu muda, dan ia tidak ingin anak itu kembali merasakannya saat ia beranjak remaja nanti. Aoi mungkin tidak mengenal Risa sedekat mendiang teman-temannya--The Elites--tetapi selama 3 tahun bekerja dengannya dalam satu tim dan melihat secara langsung bagaimana kehidupan Risa baik di lingkungan kerja maupun kehidupan pribadinya, Aoi yakin Risa bukanlah orang yang dapat dengan mudah melepaskan diri dari tanggung jawab.
Jadi mungkin, Risa adalah orang yang tepat untuk anak itu.
Aoi mengeluarkan ponsel dari saku seragam. Ia menggulir layarnya selama beberapa saat dan mengetikkan sesuatu di sana hingga ponsel Risa yang ada di atas meja kerja bergetar, menandakan ada notifikasi yang masuk. Setelah itu, Aoi mematikan ponselnya dan mengembalikannya kembali ke dalam saku. "Dia ada di pusat rehabilitasi khusus anak milik yayasan Ryoichi. Aku sudah mengirimkan alamat lengkapnya melalui pesan pribadi agar kau bisa datang sendiri untuk mengecek lokasinya."
"Terima kasih, Aoi!"
Risa mungkin tidak menyangka bahwa senyumannya menjadi kian lebar dari waktu ke waktu. Apalagi karena Aoi baru saja memberinya izin sekaligus lokasi pusat rehabilitas di mana ia bisa bertemu langsung dengan anak tersebut. Refleks, ia bangkit dari tempat duduknya dan memeluknya dengan sangat erat hingga wanita bertubuh kecil itu perlu memukul-mukul bahu Risa karena ia jadi kesulitan bernapas.
Perlu diingat bahwa tubuh Risa dua kali lebih besar dan tinggi darinya. Jadi dengan Risa memeluknya seperti itu, sama saja dengan lemari besi penuh buku yang ditindihkan di atas tubuhnya. Tapi apa boleh buat, Risa tetap tidak mau melepaskan Aoi karena terlalu terharu dan bersemangat. Jadi mau tak mau Aoi membiarkannya saja meski ia harus bisa mengatur napas agar tidak pingsan di tempat karena kehabisan napas.
Ozeki terkekeh melihat tingkah Sersan dan Mayor itu. Ia kemudian menyahut, "Dan satu lagi, Risa. Tolong, berikan kabar tentang anak itu secara berkala pada kami, ya?"
Tanpa melepaskan pelukannya dari Aoi, Risa mengangguk-angguk dengan semangat, "Tentu saja, jangan khawatir."
Sejak saat itu, Risa selalu menyempatkan diri untuk mampir ke pusat rehabilitasi untuk mengawasi perkembangan terapi dari anak korban. Terkadang ia hanya menanyakan bagaimana keadaan anak itu dari perawat yang bertugas karena ia datang di waktu istirahat, dan sesekali ia ikut masuk bersama perawat ke kamar untuk mengajak anak itu berbicara.
Bisa dibilang selama ini hanya Risa yang selalu aktif mendekatkan diri pada anak tersebut. Di sisi lain, anak itu hampir tidak pernah merespon atau memberi jawaban berarti pada pertanyaan Risa. Ia berpikir, mungkin saja ia masih tidak berani mengajaknya berbicara sehingga Risa merasa wajar. Toh, hal seperti ini tidak mungkin bisa diselesaikan secara instan.
Berbulan-bulan berlalu, bahkan hampir satu tahun lamanya Risa mencoba memancing anak itu untuk berbicara padanya. Selama itu juga usahanya hampir sepenuhnya tidak membuahkan hasil yang ia inginkan. Nyaris saja ia menjatuhkan harapannya dan berpikir apakah sebaiknya ia mundur saja. Mungkin bukan dirinya yang gadis ini inginkan. Mungkin bayangan akan Ibunya masih tertempel erat di dalam kepalanya dan bagaimanapun juga, Risa tidak akan bisa menggantikan sosok tersebut dalam kehidupannya.
Tapi apakah akan seperti ini saja akhirnya? Seandainya bukan dirinya, lantas siapa orang yang akan merawatnya dengan baik nanti? Siapa yang menjamin bahwa orang tersebut tidak memiliki niat buruk? Tidak, tidak bisa. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Dengan tekad yang ia miliki, Risa kembali mengangkat kepalanya dan fokus dengan satu tujuan. Ia tidak akan mundur, bagaimanapun juga.
Akhirnya, di sinilah ia sekarang. Berada di pusat rehabilitasi yang sama, di bangsal tempat ruang rawat yang selalu ia datangi. Biasanya ruangan tersebut selalu hening, namun kali ini suatu kekacauan sepertinya telah terjadi karena dari kejauhan ia sudah dapat melihat beberapa perawat terlihat bolak-balik masuk dan keluar dari ruangan tersebut dengan langkah tergesa. Dan memang benar, setelah ia mendekat telinganya menangkap suara teriakan dan tangisan anak kecil.
Bukan pertanda baik, sepertinya.
Risa melihat salah seorang perawat wanita keluar dari ruangan tersebut. Segera saja ia berjalan mendekat dan sengaja berdiri di depannya dan membuat si perawat tersentak kaget. "Maaf, tapi apa yang terjadi? Kenapa ia berteriak dan menangis seperti itu?" ia bertanya.
Si perawat tak langsung menjawab. Nampaknya ia ragu memberikan informasi pada Risa. Namun ketika ia memperhatikan penampilan dan wajah Risa dengan lebih baik dan menyadari bahwa Risa adalah polisi yang selama ini selalu datang menjenguk, maka ia pun segera menjawab, "Maaf, itu kesalahan kami. Beberapa waktu lalu ada perawat laki-laki yang masuk. Ia orang baru, jadi ia tidak tahu jika pasien tidak boleh bertemu dengan laki-laki selama beberapa waktu."
Astaga, Risa mendesah frustasi. "Apakah aku boleh masuk? Aku... mungkin bisa membantu."
"Maaf, tapi saat ini pasien sedang tidak bisa ditemui."
"Tunggu, kumohon. Aku tidak bisa melihat dia menangis seperti itu." Risa menggelengkan kepala. Ia tidak menghentikan langkahnya mendekati pintu ruang rawat dan terbuka, dan begitu ia merasakan lengan pakaiannya ditahan oleh si perawat, Risa lagi-lagi menghentikan langkahnya dan menatap si perawat dengan kedua mata sembab.
"Maaf, tapi jika prosedur sudah--"
Tak disangka, di antara beberapa orang perawat yang berusaha mengelilinginya dan tengah berusaha menenangkannya, anak itu langsung menyadari kehadiran Risa. Kedua lengan kecilnya terulur, berusaha menggapai Risa yang masih berada di ambang pintu. Melihat itu, Risa segera melangkah melewati si perawat dan langsung membungkukkan tubuh di depannya.
"Hei..." Risa berbisik lembut. Dengan berhati-hati ia menggenggam tangan kecil Riko dan mengusapnya, berusaha sebisa mungkin untuk menenangkan tangisan dan kepanikannya begitu melihat perawat laki-laki yang tanpa sengaja muncul untuk mengantarkan sesuatu di kamar rawatnya. "Sssshhh... sudah, tidak apa-apa. Dia bukan orang jahat. Jangan takut, dia tidak akan melukaimu."
Risa memastikan tubuhnya menutupi pandangan anak tersebut dari si perawat laki-laki. Tak henti-hentinya ia mengalihkan perhatiannya dengan mengajaknya berbicara, meyakinkannya bahwa tidak akan ada lagi orang yang menyakitinya. Ajaibnya, tindakannya itu berhasil. Tangisan si anak yang semula menjerit-jerit ketakutan kini berubah menjadi isakan-isakan kecil. Sorot mata sendunya lurus, tertuju pada sepasang mata coklat milik Risa. Ia menghela napas lega, masih tidak melepaskan genggamannya dari telapak tangan anak perempuan itu.
"Namaku Watanabe Risa," ucap Risa. Ia menjilat bibirnya sejenak, menundukkan kepala guna menyembunyikan wajah sedihnya karena melihat kondisi anak kecil di depannya ini. Sepertinya ia masih trauma dengan apa yang dilakukan ayahnya sehingga ia langsung ketakutan begitu melihat sosok laki-laki. Sedetik kemudian ia mengangkat wajahnya, kali ini dengan senyuman manis. "Aku polisi yang suka menangkap orang-orang jahat. Aku tidak menangkap kakak yang tadi karena dia orang baik. Lihat, dia membawakanmu sesuatu untuk dimakan. Baik sekali, bukan?"
Anak itu tidak menjawab dan hanya diam sembari terus memandang Risa.
"Kau suka kucing?" ia bertanya lagi dan kali ini lawan bicaranya memberikan respon berupa anggukan kepala. Risa pun mengeluarkan ponselnya dengan antusias, membuka galeri foto dan memilih salah satu dari sekian banyak foto kucing yang ia ambil saat ia sedang menghibur diri di kafe kucing. Foto yang ia pilih adalah foto kucing dengan corak tutul-tutul seperti macan--kalau tidak salah kucing dengan corak semacam ini termasuk dalam ras kucing Bengal. "Di antara banyak kucing di kafe ini, hanya dia yang tidak pernah mau lepas dari pangkuanku. Namanya Neo, pemilik kafe bilang usianya masih 8 bulan. Dia sangat cerewet dan selalu menyahuti apa yang aku katakan dengan suara meow yang lucu." jelasnya.
Ia memberikan ponselnya selama beberapa saat agar anak itu bisa semua foto-foto kucing yang ia simpan dalam galeri ponselnya. Semenit kemudian, ponsel itu pun dikembalikan pada pemiliknya. Merasa yakin anak kecil di depannya ini sudah lebih baik dan tidak lagi dalam fase ketakutan setengah mati karena trauma yang terpancing, Risa pun mencoba untuk bertanya lebih jauh, "Siapa namamu?"
"...Endo Riko."
Endo? Astaga, kenapa nama itu mengingatkanku pada seseorang? Jangan katakan jika dia bereinkarnasi menjadi anak ini? Risa menelan ludah, kemudian sekali lagi memperhatikan anak kecil di depannya dengan seksama. Sepertinya tidak. Lagipula itu tidak mungkin terjadi.
Ia mengulum bibir sementara tangannya yang lebih besar kini menimang kedua tangan milik Endo Riko yang lebih kecil. Masih tidak berhenti memberikan usapan demi usapan lembut guna memberi rasa aman pada gadis kecil itu. Sesaat kemudian, ia kembali melontarkan pertanyaan. "Berapa usiamu?"
"6 tahun."
"Baiklah. Saat kau sudah sehat nanti..." Risa mengusap pucuk kepala Riko dengan lembut, "aku akan membawamu pergi ke sana. Sebagai gantinya, kau harus bersikap baik dan mengikuti apa yang dikatakan dokter. Bagaimana? Sepakat?"
Dan Endo Riko mengangguk.
"Hei," Risa melemparkan senyuman manisnya. Ia melepaskan mantel dinasnya dan menggantungkan pakaian tebal itu di tempat gantungan baju. Pandangannya tertuju pada bocah kecil yang sedang duduk di kursi ruang kerjanya. Sepertinya anak itu tidak mendengar panggilannya dan itu membuat Risa terkekeh gemas. "Apakah kau sibuk? Tidak lapar, hm?" ia berkata lagi seraya memeluk tubuh kecil itu sekilas dan mencium pucuk kepalanya.
Si bocah hanya bisa mendesis, kesal karena Risa membuatnya terkejut setengah mati. Ia sedang fokus membaca buku tebal yang biasanya dibaca oleh orang dewasa. Buku ini terlihat sangat menarik dan perlu pemahaman yang mendalam ketika membacanya. Tindakan Risa barusan berhasil membuat fokusnya pecah.
"Risa-san jangan begitu, dong! Aku jadi tidak bisa fokus membaca!" Riko menggeram kesal. Ia mendorong lengan Risa menjauh dan membuat wanita tinggi itu tertawa lepas. "Jangan tertawa!"
"Baiklah, oke," masih dengan kekehannya yang menyebalkan, Risa menjawab. Kali ini ia duduk di atas meja dan memandang turun pada buku yang sedang di baca oleh Riko. "Memangnya kau sedang membaca buku apa? Fokus sekali."
Riko menjawab singkat, "Outbreak."
Outbreak? Oh, itu buku kesukaan Yui. Risa tersentak kaget, buku itu mungkin tidak terlalu cocok dibaca oleh anak SD.
Riko lantas memasang pembatas buku berbentuk es krim dan menutup bukunya. Ia tampak lelah membaca, jadi ia mengeluarkan hembusan napas berat setelahnya. Melihat itu, Risa tersenyum tipis. Memang benar Riko masih terlalu kecil untuk membaca jenis buku yang memiliki konflik yang berat seperti itu. Tapi ia berusaha sangat keras untuk dapat memahami isi buku hingga ia kelelahan begini.
Membaca itu bagus. Ternyata menyimpan buku-buku peninggalan Yui di rak ruang TV dan ruang kerjanya adalah ide yang bagus.
"Risa-san. Saat aku besar nanti... kupikir aku ingin menjadi seorang dokter." Riko berucap dengan antusias.
"Dokter, ya..." Risa menyentuh dagunya dengan jari, berpura-pura berpikir selama beberapa detik. Ia kemudian tersenyum lebar dan menjawab, "Itu hebat! Kau akan membantu menyelamatkan hidup banyak orang seperti malaikat saat sudah besar nanti. Tapi... aku penasaran, mengapa kau tidak ingin menjadi polisi?"
Anak perempuan itu menggeleng pelan, tangan kanannya terjulur untuk mengusap cover buku yang tadi ia baca. Ujung jarinya berhenti pada sebuah nama yang ditulis menggunakan tinta hitam. Sebuah tulisan tangan yang sangat Risa kenal. "Aku ingin menjadi seperti Kak Kobayashi. Mendedikasikan hidupku untuk mengobati orang lain dan menjadi dokter yang paling hebat di Jepang!"
"Ah... Kobayashi Yui?" Risa mencoba memaksakan senyum ketika ia menyebut nama itu. "Kau benar. Dia memang dokter yang hebat. Dulu sekali, setiap kali mendekati waktu ujian, Kobayashi tidak pernah berhenti membaca catatan kecil yang ia bawa dan merapalkannya sepanjang hari seperti mantra sihir."
"Dokter Kobayashi juga suka membaca?" mata Riko berbinar seketika. "Kalau Risa-san suka melakukan apa?"
"Kalau aku suka menangis karena Dokter Kobayashi sering mengabaikanku saat ia sedang belajar."
"Risa-san memang nakal," Riko menghembuskan napas, memandang Risa melalui sudut mata dengan tatapan sinis. "tapi, Risa-san juga baik, kok! Baik sekali malah. Dokter Kobayashi pasti sangat menyayangi Risa-san! Eh, tapi jika Risa-san bersikap nakal saat Dokter Kobayashi sedang belajar, ia pasti akan memukul kepala Risa-san dengan buku tebal."
Risa tertawa lemah. Ia mengacak rambut Riko dengan lembut guna menyamarkan nyeri dalam dadanya. "Riko, Dokter Kobayashi sudah pergi ke tempat yang sangaaaat jauh. Jadi, dia tidak akan bisa lagi memukul dengan buku."
"Oh... benar juga. Kenapa bisa begitu, ya? Padahal aku ingin sekali bertemu dengan Dokter Kobayashi dan teman-teman Risa-san yang lain. Aku lihat mereka di foto dan mereka semua sangat cantik seperti model dan idol! Aku ingin berfoto dengan mereka dan memamerkannya di hadapan teman-teman."
"Kau ingin bertemu dengan mereka?" Risa bertanya, dan Riko menganggukkan kepala. "Baiklah, hari minggu nanti kita akan pergi untuk menemui mereka semua. Tapi sebelum itu, Riko harus membantu Risa-san mencari bunga yang cantik, ya?"
"Tentu saja! Aku paling ahli memilih bunga. Mereka semua pasti akan suka semua bunga yang aku pilihkan untuk mereka."
"Iya," ujar Risa. "mereka pasti akan menyukainya."
"Dan juga, Risa-san..."
"Ya?"
"Bolehkah aku memanggil Risa-san... mama?"
Risa tertegun dan tidak bisa menjawab apapun. Sebuah perasaan hangat mendadak menjalar dari dada dan menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia tidak mengerti apa yang sedang ia rasakan, tapi apakah ini yang orang sebut sebagai sebuah kebahagiaan? Suatu perasaan ketika ada guncangan emosi yang membuatnya kelewat bahagia hingga ia ingin menangis ini... apakah ini pantas disebut sebagai kebahagiaan?
Tanpa ia sadari, tubuhnya bergerak turun dari posisi awalnya yang berdiri dan menggunakan tangan kirinya sebagai tumpuan tubuh. Wanita berambut pendek itu kini berlutut di lantai, menyamakan tinggi tubuhnya dengan anak perempuan yang memandangnya dengan tatapan lembut dari iris cokelat mudanya yang indah. Risa seakan ditenggelamkan ke dalam tatapan tersebut dan sepertinya... ia pernah merasakan hal yang sama sebelumnya.
Kobayashi Yui.
Risa ingat. Satu-satunya orang dalam hidupnya yang mampu menghentikan dunianya hanya dengan tatapan mata adalah dirinya seorang--cinta pertama dan terakhirnya. Sejak ia meninggal dunia, Risa hanya bisa melihat kekosongan absolut dari dalam dirinya. Itu membuatnya tidak memiliki perasaan cinta dan tidak bisa menemukan cahaya dari dalam mata orang lain. Tapi di sini, semuanya mendadak dijungkir balikkan secara paksa.
Ia bisa menemukan cahaya yang sama di dalam mata anak ini. Cahaya yang sama dengan milik Yui.
"Ya... iya, boleh," Sang Mayor itu akhirnya menitikkan air mata. Runtuh sudah pertahanan yang sudah ia buat selama ini--sebuah janji kepada dirinya sendiri bahwa ia tak lagi boleh menangis. Tapi sekarang, siapa sangka ucapan polos dari seorang anak kecil di depannya. Ia merasakan tangan kecil mengelus kepala dan sisi wajahnya, membuatnya mendongak dan menemukan anak tersebut tengah memandangnya dengan tatapan penuh harap, sekaligus kebingungan.
Anak perempuan tersebut memeluk kepalanya dengan erat. Tangan kecilnya tanpa henti mengusap-usap punggung dan bagian belakang kepalanya. Dan itu semakin membuatnya menangis terisak-isak. DI sela tangisannya, Risa berucap, "Tentu saja kau boleh memanggilku mama, Riko-chan."
Yui, apa kabar? Apakah kau sudah bertemu dengan Yuuka, Hono, Karin, Seki, dan yang lainnya? Aku harap kalian selalu bersama-sama dan tetap berbahagia di atas sana. Omong-omong, sampaikan salamku pada mereka.
Katakan bahwa aku merindukan Hono dan ingin memukulnya lagi seperti dulu, katakan pada Karin bahwa aku meminta maaf atas kesalahanku dan aku ingin menraktirnya minum segelas kopi dan makanan kesukaannya, katakan pada Seki bahwa aku meminta maaf karena aku tidak bisa melindungi dan menyelamatkannya, dan terakhir... katakan pada Yuuka bahwa aku selalu menangisi kematiannya setiap malam dan aku ingin memutar waktu agar aku bisa mencegahnya untuk membunuh dirinya sendiri di laut.
Sungguh, aku selalu berpikir... kira-kira kalian lakukan dan kerjakan seandainya semua ini tidak terjadi dan kalian masih hidup. Apakah aku akan tetap seperti sekarang, ataukah lebih baik lagi? Ahahaha, aku sangat penasaran.
Hah... Yuuka... aku membaca suratmu setelah tiga tahun, maaf. Selama ini aku tidak memiliki keberanian untuk menyentuh satu-satunya barang peninggalanmu untukku karena aku masih tidak percaya bahwa malam itu kau mati bersama dengan surat ini. Jujur saja, setelah kembali dari Gunung Kumotori dengan membawa jenazah Yui, aku hanya memikirkanmu. Aku ingin kembali memelukmu, menangis di bahumu, dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja meskipun hanya tersisa kita berdua.
Tapi ternyata kau sudah lelah, ya? Tidak apa-apa. Pergilah, jika memang dengan itu kau bisa merasa lebih baik dan tidak lagi merasa sakit. Pergilah dengan tenang.
Oh, ya. Kalian tentu ingat dengan Yamasaki Ten. Anak itu... dia meninggal 5 bulan setelah insiden. Kala itu aku tertidur di ruang kerja saat panggilan telepon dari pusat rehabilitasi membangunkanku. Dan saat mereka memberitahuku bahwa dia ditemukan meninggal dengan pergelangan tangan teriris, aku merasa sekali lagi duniaku berhenti. Saat kupikir duka yang kurasakan sudah berakhir dan aku tidak perlu merasa kesepian... panggilan telepon itu datang dan menghantam isi kepalaku seperti bongkahan batu raksasa.
Aku ingat betul bahwa aku mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi ke pusat rehabilitasi. Aku ingin melihatnya, aku ingin melihat anak itu dengan kedua mataku sendiri karena aku yakin ia masih belum mati. Aku percaya Ten adalah orang yang sangat kuat. Ia bisa hidup setelah pergelangan tangannya dipotong, jadi tidak mungkin ia mati hanya dengan sayatan di pergelangan tangan, 'kan?
Tapi... apa yang aku temukan justru sebaliknya. Ten... Yamasaki Ten... dia benar-benar--mati. Aku menangis, berusaha menyentuhnya dan berniat membangunkannya dengan satu atau dua tamparan pada wajah. Sayangnya para perawat yang ada di sana tidak mengizinkanku mendekati tubuhnya dan menarikku keluar, aku... aku hanya bisa melihat mereka membawa tubuh Ten dengan brankar, mereka menutupi tubuhnya dengan kain putih bernoda darah pekat dengan pergelangan tangannya yang teriris tergantung keluar.
Ada satu hal yang kuingat sebelum kain putih itu menutupi wajahnya. Dan... aku tak tahu mengapa, tapi itu membuatku merasa sedikit tenang meskipun kesedihan di dalam diriku jauh lebih besar. Sebab, aku yakin dalam tidur panjangnya itu ia tersenyum.
Ya. Ten tersenyum.
Sejak kematiannya aku merasa lebih kacau. Hidupku berantakan, tidak pernah tidur selama beberapa hari, makan tidak teratur, berat badanku turun drastis, dan aku menjadi lebih sering berhalusinasi. Itu terjadi selama kurang lebih tiga bulan. Tiga bulan penuh aku merasa hidupku sudah tidak berarti. Setiap hari dalam tiga bulan itu aku selalu mencoba untuk membunuh diriku sendiri dan tentu saja berakhir dengan kegagalan.
Hingga suatu malam, aku duduk sendirian di dalam ruang kerjaku--bekas ruang kerja milik Yui. Aku membongkar kotak kardus berisi barang-barangnya yang sudah aku bereskan beberapa bulan lalu. Aku membaca semua catatannya, surat-surat yang tidak pernah dikirimkan olehnya, juga buku hariannya. Dan dalam semua tulisannya itu... tidak pernah sekalipun ia tidak menuliskan namaku. Tak hanya itu, aku juga menemukan rekaman suara yang ia rekam tiga hari sebelum ia tewas di Gunung Kumotori.
Aku mendengarkannya sembari menahan tangis. Meskipun aku sudah menyakiti dan menghancurkan hatinya, ia masih sudi berdoa untukku. Ia ingin aku menjalani hidupku dengan baik meski tanpa kehadirannya, ia ingin aku hidup dengan keberuntungan dan kesehatan, ia ingin aku menjadi orang yang kuat... apapun yang terjadi. Dia bilang, jangan membiarkan dirimu sendiri tenggelam dalam kesedihan. Orang yang sudah mati, telah mengakhiri semua cerita dan kenangan mereka di hari mereka meninggalkan dunia.
Perlu waktu beberapa hari bagiku untuk memahami ucapannya, hahaha. Tapi, berkat rekaman dan semua surat itu, aku merasa bahwa aku telah menyia-nyiakan hidupku selama tiga bulan ke belakang. Aku tidak menghargai hidup yang aku dapatkan dari mereka yang telah mengorbankan nyawanya. Karena itulah perlahan-lahan aku mulai mengubah kehidupanku. Aku mulai mengikuti sesi terapi dan itu berhasil membuatku melawan semua emosi negatif yang berhasil menguasaiku.
Sekarang, aku tidak lagi kesepian karena aku sudah punya seorang anak. Dia sangat, sangat cantik sepertiku dan cerdas seperti Seki. Aku mendapat hak adopsi dari panti asuhan setelah dua tahun lamanya. Gadis ini adalah korban kekerasan dan pernah melihat sesuatu yang tidak seharusnya di usianya yang masih anak-anak. Ibunya dibunuh oleh Ayahnya dan Ayahnya ditembak hingga sekarat di depan matanya. Ia tidak memiliki kerabat lain di sini sehingga ia dibawa ke pusat rehabilitasi untuk anak-anak.
Entah mengapa aku melihat diriku sendiri di dalam kepribadiannya sehingga aku merasa bertanggung jawab atas dirinya. Mulai saat itu, aku terus mengunjunginya secara rutin, mengajaknya bermain, mengobrol tentang hobi dan kegiatan sehari-harinya, juga mengajarinya beberapa hal meskipun ia lebih banyak mendiamkanku dan hanya menatapku dengan tatapan sendu. Banyak orang yang mengatakan padaku bahwa apa yang aku lakukan itu sia-sia, mereka bilang anak itu tidak akan bisa sembuh dari trauma atau semacamnya. Memangnya mereka tahu apa? Iya, 'kan?
Well, pada akhirnya aku tidak mendengarkan mereka. Aku tetap datang mengunjungi anak itu di sela-sela waktu kerja dan terus mencoba mengakrabkan diriku kepadanya. Hingga akhirnya ia mulai berani berbicara denganku. Oh, kalian ingin tahu anak ini memanggilku sebagai apa? Dia memanggilku sebagai Bu Polwan! Kupikir ia akan memanggilku Bibi, Kakak, atau semacamnya. Tapi ternyata ia memanggilku seperti itu. Lucu sekali.
Memang perlu waktu cukup lama baginya untuk menerimaku dalam kehidupannya. Karena dii matanya, aku hanya orang asing dengan wajah menakutkan (orang-orang masih mengatakan aku menakutkan, rupanya) dan bukan merupakan keluarga. Apalagi aku adalah polisi dan ia mungkin menganggap polisi sebagai orang jahat karena sudah menembak ayahnya, yah... meskipun pria brengsek itu pantas mendapatkannya.
Tapi, lihat? Berkat kegigihan dan ketulusanku, aku berhasil membuat anak itu membuka hati dan mulai menerimaku dalam hidupnya. Kami menghabiskan waktu berbulan-bulan, bahkan hampir satu tahun bersama sampai aku mendapat kepercayaan dari pihak panti asuhan dan dirasa layak untuk menjadi wali dari anak ini. Memang prosedurnya tidak mudah, tapi terima kasih pada teman-temanku di Kantor Pencatatan Sipil dan Pengadilan Negeri, semuanya dapat selesai lebih mudah.
Dia adalah cahaya hidupku yang baru dan aku bersumpah atas nama nyawaku sendiri, aku akan melindunginya dan tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya. Aku akan mengajarkannya menjadi orang yang kuat, gigih, tetapi tetap berhati lembut--sama seperti Yuuka. Omong-omong, dia selalu menanyakan siapa kalian setiap kali ia menemukan foto The Elites di rumah. Sepertinya ia ingin sekali bertemu dengan kalian. Jadi, kami mungkin akan pergi untuk menemui kalian semua di akhir minggu nanti.
Aku hanya ingin memberitahu bahwa di sini, aku berhasil menjalani hidup dengan baik seperti yang aku janjikan pada kalian. Mulai hari ini, aku akan menutup buku yang pernah kita tulis bersama. Tapi jangan khawatir, aku akan menyimpan buku itu di tempat paling spesial yang ada di dalam hatiku. Dengan ketabahan hati, aku akan melepaskan kalian. Aku akan merelakan kepergian kalian.
Jadi, ini aku. Watanabe Risa, eksekutor... ah koreksi, sekretaris Dewan Pelajar, akan segera pergi dan menyelesaikan rekaman suara ini.
Beristirahatlah dengan tenang. Aku sayang kalian.
Author Notes:
Jadi... gimana? Ada yang kangen Unnatural? Aku saranin kalian baca ini sambil dengerin lagu Wish You The Best - Lewis Capaldi.
Rencananya bonus chapter ini mau dipublish bulan depan, barengan sama anniversary tamatnya Unnatural. Tapi takutnya malah kelupaan dan jadinya terbengkalai, jadi mending dipublish sekarang. Khusus chapter ini, tepatnya pada sequence awal smp tengah, umurnya Risa sekitar 30 tahunan. Karena latarnya disetting 3 tahun pasca insiden di Chapter 27-29. Terus pas menjelang akhir, umurnya dia kurang lebih 32 atau 33 tahun.
Wow, ngga kerasa ya. Perasaan di Unnatural I dia masih 17 tahun.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top