The Headhunter - A Thriller Drama With One Main Character
Mengaitkan satu strap tas ranselnya pada bahu kanan, ia keluar dari mobilnya dengan langkah sesantai mungkin sembari terus memperhatikan daerah sekelilingnya. Malam itu suasana terlampau sepi, orang-orang lebih banyak melakukan aktivitas di dalam rumah setelah makan malam.
Barangkali hanya akan ada kurir paket atau pengantar makanan yang melintas di jalanan komplek, singgah selama beberapa detik dan kemudian pergi. Napasnya terasa berhembus lebih cepat disusul dengan tangannya yang terasa basah karena keringat, seiring dengan adrenalin yang semakin terpompa di dalam dirinya.
Menghentikan tungkainya di depan pagar dengan plakat bertuliskan huruf kanji Kobayashi, ia mengangkat tangannya untuk menekan bel sebanyak tiga kali dan menunggu. Tas ranselnya yang terasa berat jika hanya digantungkan satu sisi membuatnya jengah sehingga kini ia benar-benar memakai tasnya dengan benar. Suara seseorang yang terdengar dari speaker kecil yang tertempel pada pagar membuatnya terkejut—ia tak mengetahui benda itu berada disana sebelumnya—dan segera mendekat.
"Siapa di luar?" suara lembut dari seorang wanita yang ia kira sebagai Ibunya sendiri terdengar dari intercom.
Ah, ini dia.
"Ini aku, Yui."
"Yui? Astaga, mengapa kau tidak menghubungi kami sebelum datang? Sebentar, Ayahmu akan membukakan pintu untukmu. Tunggu sebentar lagi, di luar pasti dingin sekali. Tolong bersabar ya, sayang."
Ia melepaskan tawa kecil yang lantas disahut oleh suara tawa pula dari seseorang di ujung sana. Sepersekon detik kemudian, suara gemerincing dari kunci pagar yang terbuka membuat Yui melangkah satu kakinya ke belakang. Pagar itu terbuka, dan Yui segera memaksa otot wajahnya untuk membuat senyuman lebar begitu ia berhadapan dengan sosok laki-laki tinggi dengan tubuhnya yang terlihat lebih bugar dari usianya—Kobayashi Subaru.
"Sedang mengambil hari libur, huh?" ia bertanya, membuka pagar lebih lebar dan menuntun sang anak untuk masuk ke halaman depan rumah. Mereka masih perlu menyusuri jalan setapak yang bersebelahan dengan halaman parkir yang terisi oleh dua unit mobil dan satu sepeda motor.
Yui menggumam pelan. Mengulum bibirnya dan mengangguk-anggukkan kepala. "Aku mengalami kecelakaan yang menyebabkan kepalaku mengalami pendarahan dalam. Karena itu aku diberikan waktu istirahat selama satu minggu untuk benar-benar memulihkan kondisi tubuhku."
"Kau tidak memberitahu kami tentang itu, Yui?" setengah terkejut, Tuan Kobayashi membalas penjelasan Yui dengan pertanyaan. Ia membukakan pintu depan untuk Yui dan membiarkan anak semata wayangnya itu masuk untuk menemui sang Ibu yang dengan antusias menunggu kedatangannya di ruang depan. "anakmu ini terluka tetapi dia tidak memberitahu kita sama sekali." Yui tertawa kecil, menghapus rasa terkejutnya ketika Ayahnya tiba-tiba menyentuh kepalanya dan memutarnya ke sisi kanan dan kiri secara bergantian untuk mengecek gulungan perban yang melingkar disana. "siapa yang membuatmu sampai seperti ini? Temanmu? Si Watanabe itu? Astaga, anak itu... benar-benar—"
"Jangan lakukan itu. Yui akan pening jika kau menekan kepalanya kuat-kuat kau seperti sedang menekan bola basket." Ibunya segera menepuk-nepuk lengan Yui dan membawanya menjauh dari Ayahnya, mereka berdua kini duduk di ruang utama. Ayahnya itu tidak akan berhenti menyentuh kepala Yui dan mengomel sembari menyebut-nyebut nama Watanabe Risa jika ia tida melakukannya. Yui duduk di sofa bersandingan dengan Ibunya, sementara Ayahnya berjalan ke arah dapur.
"Aku hanya ingin melihat seberapa parah lukanya agar aku dapat memperhitungkan balasan seperti apa yang pantas diberikan untuk polisi sialan itu. Siapa sih yang betah diam saja ketika melihat anaknya sendiri dilukai?"
"Aku mengerti mengapa Ayah begitu khawatir tentang ini. Tapi aku baik-baik saja, sungguh." Yui menjawab. "memang ada banyak hal berat yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir. Beberapa waktu lalu aku sempat terkena migrain karena memikirkan semua hal itu, tapi paling tidak aku masih hidup dengan sehat hingga sekarang."
Ibunya mendengus ketika mendengar jawaban Yui. Terutama saat putrinya itu tersenyum manis dan memamerkan gigi-giginya, membuat wanita berusia 40 tahunan gemas. Segera saja ia menarik tubuh putrinya, memeluknya dan menggoyang-goyangkan tubuhnya seperti ia sedang memeluk seorang anak TK. Yui hanya membuka mulutnya dan mengatakan aaaaaa seperti anak kecil—memang di mata Nyonya Kobayashi, putrinya ini akan tetap menjadi anak manis yang selalu ia sayang meskipun usianya sudah hampir menginjak kepala tiga.
Sementara masih berada di dalam pelukan Ibunya, Yui mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah. Meskipun ia sudah mengingat dan menandai beberapa ruangan dan spot yang berpotensi menjadi jalur pelarian yang pas, ia masih merasa rumah besar itu cukup asing di matanya.
Rumah keluarga Kobayashi termasuk yang paling besar disana, menempati tiga blok lebih banyak dari yang lain. Petak tanah seluas itu 20% digunakan sebagai kebun dan taman buatan yang ditumbuhi oleh berbagai macam jenis pohon kecil dan tanaman hias—letaknya di halaman belakang. Dari tempatnya berada, Yui dapat melihat setitik cahaya dari bola lampu taman dari celah tirai.
Di lantai satu terdapat delapan ruangan yang semua pintunya tertutup—kecuali satu ruangan yang menghubungkan dengan garasi mobil indoor. Ia berasumsi, akan sulit membuka salah satu ruangan tersebut dan kabur tanpa meninggalkan jejak di pintu depan. Ia tentu juga tak ingin meninggalkan bekas dobrakan atau merusak properti mahal yang ada di tempat itu.
Tapi sepertinya semua itu dapat menunggu. Saat ini, ia hanya ingin memuaskan hasratnya sendiri akan darah dan bau anyirnya yang menggelitik hidung. Ditambah lagi dengan bara api dendam yang menjilat-jilat rongga dadanya? Nikmat mana lagi yang kau dustakan? Mengenai jalur pelarian, ia dapat dengan mudah naik ke lantai dua dan melompat untuk melewati pagar. Toh, tinggi bangunan dari balkon lantai dua tidak akan melukai kakinya sama sekali.
Melepaskan kedua lengannya yang semula melingkar di tubuh Yui dan membiarkan wanita itu meletakkan tas ranselnya di samping sofa, Kobayashi yang lebih tua berucap ringan. "Sudah lima tahun sejak terakhir kau berada di fasilitas. Kau terlihat semakin baik saja, Yui."
"Sepertinya iya. Aku sudah bisa melakukan berbagai aktivitas fisik tanpa takut terluka atau apapun itu. Kupikir aku bisa mulai hidup lebih normal sekarang."
Terdengar suara dari dapur. Yui meminta izin untuk segera beranjak dari tempat duduknya dan mencari tahu apa yang dilakukan ayahnya disana. Dilihatnya sang Ayah tengah berdiri di depan counter dengan tangan kanan dan kiri masing-masing menggenggam wadah kaca berisi kantung teh dan bubuk kopi. Pria itu tampak menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya memilih untuk mengembalikan kopi pada tempatnya. Yui berjalan mendekat, berinisiatif mengambil wadah tersebut dari tangan Ayahnya dan meletakkan masing-masing satu kantung teh pada cangkir.
"Rasanya seperti baru kemarin saja aku melihatmu berdiri di sampingku, Yui." Ayahnya tiba-tiba berucap. Ia berdiri membelakangi Yui, berhadapan dengan pemanas elektrik yang mulai mengeluarkan uap putih. Sayup-sayup mulai terdengar suara mendenging dari mesin tersebut, yang berarti tinggal menunggu beberapa detik sebelum air panas dapat dituangkan. "sungguh. Saat itu kau masih setinggi pinggang, dan sekarang kau nyaris menyamai tinggi tubuhku. Kau bertumbuh tinggi lagi ya?"
"Tidak mungkin!" Yui tergelak. "usiaku sudah terlalu tua untuk itu."
"Yah, meskipun begitu, tak peduli setinggi apapun dirimu... kau masih tetap kuanggap sebagai anak kecil manja yang selalu datang pada orang tuanya saat ia ingin meminta permen." Lagi-lagi ucapan Tuan Kobayashi memancing senyum putrinya. Meski Kobayashi termuda itu menggelengkan kepala sebagai efek respon langsung dari dehaman pelannya, dalam hati ia menyetujui hal itu.
Pemanas elektrik di depan ayahnya mulai mengeluarkan suaranya yang begitu nyaring. Segera saja Tuan Kobayashi mencabut steker dan menuangkan air panas ke dalam masing-masing cangkir. Kali ini Yui tidak membantunya dan hanya memperhatikan air panas yang mengeluarkan uap putih disana.
Mengembalikan pemanas elektrik pada tempatnya, Tuan Kobayashi lantas mengambil tatakan kecil dan meletakkannya di bawah masing-masing cangkir panas. Kemudian mengambil sendok teh untuk mengaduknya. "Apa kau akan menginap?"
"Sayangnya tidak. Kau tahu, aku tidak bisa meninggalkan rumah. Ada orang asing yang sepertinya mengawasiku sejak bulan lalu. Tetanggaku—Koike dan Habu, memberitahu Yuuka tentang ini. Ia mengatakan orang itu tak lagi datang ketika aku di rumah sakit karena kecelakaan. Siapa tahu orang itu sedang berada di dalam saat aku tak ada di sana?"
"Kau sudah melaporkan itu pada polisi?"
"Aku sudah memberitahu Risa tentang hal itu. Dan ia meminta rekannya dari divisi lain untuk selalu lewat disana ketika melakukan patroli, jadi kupikir... semua akan baik-baik saja."
"Apakah kau keberatan jika Ayah memberimu pengawal pribadi?" Ayahnya mengangguk dan Yui berbalik badan, mengambil beberapa langkah menjauh dari Ayahnya dan berhenti di depan meja dengan sebuah asbak. Benda itu terbuat dari kaca tebal dengan motifnya yang menyerupai diamond saat disinari oleh cahaya. Bobotnya diperkirakan mencapai dua kilogram, cenderung ringan, memang. Tapi mampu memecahkan tengkorak manusia jika diayunkan dengan tenaga maksimum.
Ia meraba saku celana dan mengambil sarung tangan karet yang telah ia simpan disana sebelum tiba. Sembari diam-diam mengenakan sarung tangan tersebut dan merapatkannya pada jari-jarinya, Yui mengambil asbak dan menjawab, "Itu terlalu berlebihan, jangan khawatir. Aku bisa melindungi diriku sendiri. Lagipula, aku selalu bertanya-tanya mengapa semua orang begitu khawatir padaku? Mereka memintaku untuk selalu berhati-hati, dari apa, lebih tepatnya."
"Kau tidak menonton televisi dan membaca artikel di internet mengenai perkembangan kasus pembunuhan Black Mail? Watanabe sendiri yang menyampaikannya saat konferensi pers saat ia menjawab pertanyaan wartawan tentang keterkaitan kasus ini dengan insiden di Sakurazaka Academy."
Ia terhenyak sejenak, berusaha mengingat kembali insiden seperti apa yang dimaksud. Jika itu berhubungan dengan Sakurazaka Academy, itu berarti sepuluh tahun yang lalu. Saat ia terlibat dengan pembunuhan berencana yang dilakukan oleh beberapa orang. "...Rei, Endo, dan Takemoto... benar?"
"...Yui, kau masih mengingat nama-nama itu juga rupanya." Sang Ayah menjawab seraya membalik tubuhnya, namun berhenti di pertengahan jalan karena terkejut dengan raut wajah Yui yang tiba-tiba berubah menjadi lebih dingin. Juga dengan asbak kaca yang ia genggam di tangannya. "Yui, apa yang akan kau lakukan dengan asbak itu...?"
Sekarang... Kobayashi Yui. Lihat apa yang akan aku lakukan pada orang tuamu. Lihat baik-baik, aku tahu kau dapat melihatnya juga, iya kan?
PRAK
PRAK
Darah bercipratan dan menempel di wajah, menutupi pandangannya selama beberapa saat dan bahkan menyelip masuk ke dalam celah bibirnya. Dua pukulan keras di pelipis dan bagian belakang kepala sudah cukup untuk melumpuhkan Tuan Kobayashi dan membuatnya jatuh, membentur counter dan akhirnya tak sadarkan diri. Darah segera mengalir turun dari kepala, jatuh menempel di pakaian dan menggenang di lantai. Noda darah berbentuk cipratan juga ada pada rak, meja makan, dan dinding.
Yui menggoyang-goyangkan tangannya, tampak kelewat senang dengan apa yang telah ia lakukan. Ia tak memiliki waktu untuk mengeksekusinya langsung karena telinganya menangkap suara langkah kaki mendekati dapur. Ibunya pasti mendengar keributan itu dan datang dengan terburu-buru dari ruang depan. Ia berbalik, berjalan dengan langkah cepat mendekati daun pintu yang menghubungkan dapur dengan ruangan tempat suara langkah kaki tersebut berasal.
Disana, ia tak menduga jika ia akan langsung berhadapan dengan Ibunya—padahal sebelumnya ia berniat untuk mengejutkannya dari balik pintu dan menyerangnya tiba-tiba—jelas saja wanita itu menjerit karena melihat Yui yang wajah dan pakaian penuh darah dan membawa asbak kaca dengan noda darah pula. Bibirnya terbuka, seperti hendak berbicara. Namun, tidak ada kalimat apapun yang keluar dari sana. Meskipun begitu, Yui dapat menangkap rasa takut yang luar biasa dari sorot mata cokelat yang ada di depannya—dan ia menyukainya.
"Ada apa dengan wajah itu? Kenapa kau terlihat begitu takut denganku?" suara Yui yang terdengar sangat dalam dan diucapkan tanpa ekspresi apapun seketika membuat sang Ibu ketakutan setengah mati. Wanita itu melangkah mundur, berusaha untuk lari ke pintu depan meskipun usahanya gagal karena ia sempat menabrak sisi meja dan membuatnya jatuh terjerembab di lantai.
Yui tertawa dalam. Rasanya lucu sekali melihat mangsanya berusaha kabur untuk menyelamatkan diri tetapi malah menemui kegagalan yang bahkan malah mempersulit dirinya sendiri—seperti yang terjadi saat ini. Jika orang ini tidak lari darinya, mungkin ia tidak akan terseok-seok di lantai dengan kaki yang terkilir, bukan?
"Aku akan membantumu berdiri, Ibu. Ada sesuatu yang harus kau lihat dan kau tidak boleh menolak karena aku sudah mempersiapkannya dengan sangat baik."
"Tidak—Tidak... siapa kau? Kenapa kau melakukan ini pada kami dengan menyamar sebagai anak kami? Apa yang kau inginkan? Uang? Kami akan memberimu lebih banyak daripada yang kau inginkan, tapi kumohon, lepaskan kami—"
"Tck," Yui berdecak. Bicara apa dia? Uang? Yui memiliki cukup banyak uang yang lebih dari cukup untuk membeli rumah mewah di Kawasan Roppongi. Jelas ia tidak akan membutuhkan itu.
Mengayunkan asbak dengan noda darah yang masih basah di sisi tubuhnya. Beberapa tetes darah menempel di lantai karena ayunannya itu. Melihat asbak berlumur darah itu, Ibunya kini tak bisa menahan lagi untuk tidak menangis. Suaranya itu mungkin akan terdengar dari luar dan Yui tidak akan suka jika ada orang lain yang datang dan mengganggunya di saat-saat penting seperti ini. Jadi ia berjalan mendekat, kemudian menundukkan tubuhnya di depan wajah Ibunya. Wajahnya yang penuh cipratan darah itu terpampang jelas dan membuat sang Ibu bergetar hebat. "Aku Kobayashi Yui, putri satu-satunya keluarga Kobayashi. Hanya karena hal ini kau lupa denganku? Padahal baru beberapa saat yang lalu kau memelukku. Aku sangat menyukai itu, maukah kau melakukannya lagi padaku?"
Kobayashi Yui. Kobayashi Yui, kau tidak pernah melihat ekspresi Ibumu yang seperti ini, bukan? Sekarang kau melihatnya, bagaimana pendapatmu?
"Tidak mungkin—"
Tanpa menunggu Ibunya menyelesaikan ucapannya, Yui segera membuatnya bungkam dengan memukulkan asbak bertubi-tubi dengan sangat keras pada kepala. Suara hantaman benda tumpul yang nyaring terdengar dan menjadi satu-satunya suara disana. Suara crack terdengar, entah dari tengkorak wanita di bawahnya atau retakan asbak yang sejak tadi ia hantamkan. Yui baru berhenti ketika darah yang menggenang di lantai sudah menyentuh telapak kakinya.
Melihat sekali lagi pada seseorang yang pernah ia sebut Ibu, dan menyadari jika wanita itu masih dapat mempertahankan kesadarannya, Yui pun menyeret tubuhnya menuju dapur—menyisakan jejak darah di sepanjang jalurnya.
Yui menepikan kendaraannya pada bahu jalan, tentu saja setelah memastikan kondisi lalu lintas sedang dalam keadaan sepi dan tak ada kendaraan lain yang melintas disana. Selama beberapa waktu ia berdiam di dalam mobil dengan mesin menyala untuk mengecek pesan-pesan yang sempat masuk selama ia menyetir. Ia hanya membaca beberapa pesan dan tidak berniat untuk membalasnya—pesan tersebut dikirim oleh beberapa rekan kerjanya, beberapa pesan lain dikirimkan oleh Yuuka dan Koike. Ia merasa tak perlu menjawabnya, paling tidak untuk sekarang.
Ia tak menduga Risa akan pergi lebih lama dari yang ia perkirakan. Jadi ia bersyukur karena sebelumnya ia telah menghubungi Akane untuk memundurkan jadwal temu. Sungguh, ia tak mengira seluruh rencananya akan berjalan sempurna. Mulai dari caranya menangis saat dating ke rumah tempatnya membantai habis kedua orang tuanya, memainkan emosi hingga perasaan untuk semakin mendalami perannya sebagai seorang Kobayashi Yui di depan Yuuka dan Risa.
Sekitar dua minggu yang lalu, sebelum menghubungi Akane ia telah menghabiskan waktu puluhan jam untuk menggali informasi dari apa yang telah ia lewatkan selama bertahun-tahun untuk melakukan upaya pembalasan dendam dari buku catatan harian milik Yui, smartphone, komputer dan laptop kerjanya. Sesuatu yang menurutnya sulit adalah menghafalkan kebiasaan dan bagaimana Yui bersikap pada setiap orang. Ia juga harus memaksa menarik-narik otot wajahnya dengan jari untuk membuat beberapa ekspresi tertentu di depan cermin dan bahkan ia harus berpura-pura menangis.
Benar-benar kejahatan yang sempurna.
Pertama kali ia memainkan perannya sebagai Kobayashi Yui adalah waktu ia bertemu dengan Minami Koike dan ia berhasil membuat dokter itu percaya hanya dengan satu kali percobaan. Mungkin waktu itu ia berbicara dengan nada bergetar hebat seperti ketakutan dan hendak menangis, tetapi di balik itu ia menarik sudut bibirnya ke atas—tersenyum tipis sementara Koike mengusap pelan bagian belakang kepalanya.
Melihat dan mengingat kembali nama-nama yang ada dalam buku catatan tersebut tentu ia tak lagi terkejut saat tahu beberapa nama yang pernah ia tahu sebelumnya sudah tewas sejak lama, termasuk anggota The Elites pertama yang bertemu dengannya. Termasuk dengan anggota yang masih tersisa seperti Sugai Yuuka dan Watanabe Risa. Kalau tidak salah, Yui juga menuliskan sesuatu tentang mereka di buku catatannya. Tentang hubungan Moriya Akane dan Sugai Yuuka, juga betapa rumitnya hubungan pribadinya dengan Watanabe Risa. Juga pertemuan pertamanya dengan pelaku pembunuhan Black Mail.
Saat ia membaca dengan seksama analisis Yui mengenai peristiwa pembunuhan itu—juga berdasarkan informasi yang ia dapatkan dari Watanabe Risa, seperti yang dokter itu tuliskan dengan pensil di setiap informasi yang ia duga berasal darinya—ia sudah tahu siapa dalang di balik serangkaian pembunuhan yang menjadi ultimatum bagi The Elites. Ia masih ingat bagaimana Ozono Rei mengeksekusi setiap korbannya. Ia juga tahu seperti apa Endo Hikari menyiksa korbannya habis-habisan, ia juga tahu betul betapa kejam Takemoto Yui mengintai dan melumpuhkan korbannya untuk dieksekusi.
Dengan mengaitkan benang-benang merah yang saling tumpang tindih satu sama lain dan memaksa isi kepalanya untuk bekerja lebih keras demi mengumpulkan serpihan-serpihan memori dari labirin otaknya yang telah lama mati, si alter itu dapat menyimpulkan dengan mudah jika pelaku Pembunuhan Black Mail adalah Rei dan komplotannya. Ia tidak tahu di mana keberadaan Rei saat ini dan ia juga masih belum bertemu dengannya. Karena selama ini yang ia lihat dan temui adalah Endo—orang itu sempat mengintai di depan rumah Yui selama beberapa hari sebelum akhirnya ia diserang malam itu.
Sebaiknya Yui berterima kasih padanya karena seandainya ia tidak muncul tepat setelah ia tumbang dengan kepala berdarah-darah, mungkin Yui akan benar-benar mati mengenaskan dengan kepala hancur dan selembar kertas yang dijejalkan di tenggorokannya.
Hingga saat ini, yang menjadi tujuan utamanya adalah membuat Kobayashi Yui benar-benar menderita selama ia mengambil kendali penuh atas tubuhnya. Menghabisi setiap orang yang dekat dengannya dan memburu Rei dan teman-temannya. Ia sudah membunuh kedua orang tuanya dan memastikan Yui—yang berada di dalam dirinya—benar-benar melihat bagaimana ia menenteng kepala Ibunya di seluruh penjuru rumah.
Sebuah mobil sedan berwarna abu gelap tiba-tiba melambatkan laju tempat di samping mobilnya. Mobil itu kemudian berhenti tepat di depannya dan mematikan mesin. Yui menunggu selama beberapa menit untuk memastikan apakah benar mobil tersebut adalah mobil dari seseorang yang ia tunggu sejak tadi. Dan begitu seorang dengan setelan formal—kemeja abu-abu dan blazer hitam, dibalut oleh mantel hitam pula—keluar dari dalam mobil, Yui langsung merasa yakin jika wanita itu adalah Moriya Akane. Wajahnya persis sama seperti yang ada dalam foto. Perbedaan hanya ada pada warna rambutnya yang sebenarnya terlihat lebih terang.
Ia kembali menatap wajahnya sendiri pada kaca. Bagaimanapun ia perlu mengatur wajahnya sendiri agar tidak menunjukkan ekspresi yang berlebihan. Jadi selama beberapa detik sebelum ia keluar dari mobil untuk menemui Akane, wanita itu tampak seperti menepuk-nepuk dan menarik pipinya hanya untuk membentuk ekspresi tertentu, membentuk segurat senyuman tipis seperti yang selalu Yui tampakkan pada setiap orang.
"Risa tidak berbohong jika Yui terlihat cantik saat tersenyum." ucapnya. Wanita itu mengambil ponsel dan sebuah palu, kemudian menyelipkan senjata tumpul itu ke dalam selipan saku jaketnya. "tak heran banyak orang yang jatuh hati kepadanya. Pun dengan Watanabe Risa."
Melihat sekali lagi pada Akanen yang melambaikan tangan padanya seraya menempelkan punggung pada bagian belakang mobil, Yui membuka dashboard mobil dan mengambil sepucuk pistol, memasukkannya ke dalam saku mantel. Ia juga mengambil kantung plastik berwarna putih dan membawanya keluar dari mobil.
"Selamat malam, Akane." Yui menyodorkan telapak tangannya, menjabat tangan Akane selama beberapa detik.
"Aku tidak tahu mengapa kau memilih untuk bertemu di tempat seperti ini. Apak arena kau tak ingin diganggu ketika menghabiskan waktu pribadi?" Akane tersenyum—menunjukkan gigi taringnya pada Yui. Saat jaksa itu berbicara, tangan kanannya bergerak dan membuat gestur tertentu. Ia terdiam, sejenak memperhatikan Yui sebelum melanjutkan, "Kobayashi Yui. Kita tidak pernah berbicara secara pribadi seperti ini sebelumnya dan saat kau mengajakku bertemu, aku merasa... agak senang. Aku tidak tahu jika kau masih mengingat email yang kukirimkan saat itu..."
"Entahlah, Akane. Saat itu aku tengah memilah-milah cloud dan email itu tiba-tiba muncul dan itu membuatku teringat tentangmu, jadi aku langsung menghubungimu malam itu." Melirik ke samping, Yui perlahan-lahan mengangguk. Ia mengeluarkan sigaret dari kantung kemeja dan memantik ujungnya dengan pemantik api. Tanpa ragu, wanita itu menghisap batang rokok itu seperti ia telah lama melakukannya. Bahkan ia membuat dirinya seolah-olah menikmati kepulan asap putih yang sengaja dihembuskan keluar dari celah bibir. "Kau merokok?" Yui bertanya, menyelipkan puntung rokok di sela-sela jari.
Mungkin Akane sedikit terkejut ketika mengetahui jika Yui rupanya seorang perokok. Ia tidak menduga hal itu dan sama sekali tidak berpikiran demikian sebelumnya. Jadi begitu ia sadar bahwa Yui tengah bertanya padanya, ia segera menggeleng. "Tidak."
"Aku tidak tahu apa tujuanmu sampai mengirimkan foto-foto yang cukup mengganggu itu padaku. Tapi, aku jadi merasa bersyukur karena kau rupanya masih memiliki sedikit kepedulian. Meskipun pada waktu itu hampir semua orang membalikkan punggung mereka pada kami karena apa yang telah kami lakukan..." Yui menundukkan kepalanya sejenak. Kedua alisnya bertaut rapat untuk memberikan kesan bahwa ia tengah memikirkan sesuatu dengan cukup serius di sana. "uniknya, orang-orang yang pada foto yang kau lampirkan padaku waktu itu adalah orang yang masih hidup hingga kini. Tidakkah itu sebuah berkah?" ia tersenyum singkat.
Yui memutar tubuhnya dari yang semula bersandar pada mobil dan menghadap ke jalan raya yang sepi pada lawan bicaranya. Ia mengambil sebuah kaleng minuman dingin dari kantung plastik yang ia jinjing sejak tadi, mengangkat kaleng tersebut dan memamerkannya pada Akane. Wanita itu menunjuk kaleng latte yang tadi ia berikan pada Akane. "Pembicaraan kita akan panjang. Oleh sebab itu, aku sengaja membawakan ini untukmu, hanya agar bibir kita tidak kering nanti."
Menyadari keraguan yang sempat muncul selama sepersekian detik pada wajah Akane, Yui lantas tergelak. "Tidak ada racunnya kok. Lagipula, aku tidak mendapatkan keuntungan apapun saat melukaimu, jadi jangan khawatir."
Tetap saja, Akane masih merasa ragu. Tapi, apa sih yang ia ragukan? Malah, rasanya tak sopan karena telah bersikap seperti akan hendak menolak dan menaruh kecurigaan berlebih pada Yui.
"Kau tahu, Akane... aku juga bersyukur saat mengetahui bahwa kau juga selamat dalam insiden malam itu. Aku merasa sangat marah pada diriku sendiri karena... kau mungkin melihatku dalam kondisi yang tidak seharusnya."
Akane menggumam. Genggamannya pada permukaan dingin kaleng minuman tanpa sadar menjadi semakin kuat. Pikirannya menerawang jauh ke belakang, ketika terjadi kekacauan di apartemennya. Tepat seperti apa yang Ten ceritakan padanya bertahun-tahun silam, juga tentang kondisi khusus yang Yui derita sehingga ia terpaksa untuk menjalani perawatan selama belasan tahun.
Jangan katakan orang yang ada bersamaku sekarang ini bukanlah Yui yang asli. Melainkan hanya salah satu dari kepribadiannya?
"Kau tidak takut kepadaku?"
Si Moriya itu segera menggelengkan kepala dengan cepat. Sedikit membuat anak-anak rambutnya jatuh menutupi dahi dan sedikit pengelihatannya. Menggunakan tangannya yang tengah menggenggam kaleng minuman, Akane menyibak rambutnya ke samping. Permukaan dingin dan embun dari kaleng minuman menyentuh kulit dahinya—sangat dingin. Lebih dingin dari udara di sekitar mereka berdua saat ini.
"Bagaimana dengan Yuuka?" setelah menghembuskan kepulan asap putih dari bibirnya, Yui kembali bertanya. Tanpa Akane sadari, sejak tadi mata Yui seakan mengintai sesuatu di sekitar mereka. Mungkin Akane tak berfokus dengannya karena terlalu canggung dan itu menguntungkan bagi Yui. "ah... aku meninggalkan ponselku di rumah. Kau tidak keberatan jika aku meminjam ponselmu untuk menghubungi Koike? Akhir-akhir ini aku merasa seperti diikuti oleh seseorang, dan aku ingin mengecek apakah aku benar-benar sudah mengunci pintu depan atau tidak."
"Aku tidak tahu apakah aku bisa mengatakan ini padamu, tapi aku dan Yuuka baru saja memutuskan untuk, yeah, berhubungan. Huh, perlu waktu sepuluh tahun lebih lama untuk itu." Akane meraba kantung-kantung blazernya, berusaha mencari benda persegi panjang yang barangkali ia masukkan ke dalam salah satu kantungnya sebelum ia keluar dari mobil. Begitu ia menemukan benda yang dimaksud, wanita itu langsung menyodorkannya pada Yui. "Pakai saja, tak apa." Ponsel sudah berpindah tangan. Selama beberapa saat, si pemilik memperhatikan Yui yang kini berada satu meter lebih dekat dengannya. "Beberapa minggu yang lalu, Habu datang ke café. Ia juga mengatakan hal yang sama, tentang seseorang yang berkeliaran mondar-mandir di depan rumah mereka pada waktu tertentu. Jujur saja, Yui, kami terlambat menyadari bahwa sejak awal kau memang diikuti."
"Masalah ini memang tidak akan selesai sebelum kami semua mati."
Kalian semua mati. Dengan susah payah Akane menelan ludahnya sendiri melewati kerongkongannya yang mendadak terasa lebih kering dari tanah padang pasir. Kalimat yang dilontarkan Yui barusan benar-benar membuat dadanya seakan ditonjok oleh entitas tak kasat mata—nyeri, ia merasakan lecutan nyeri pada dadanya.
Akane mengangkat wajah, lantas berjalan mendekat pada wanita berparka hitam yang sejak tadi menjadi satu-satunya teman bicara. Bersamaan dengan itu, sebuah mobil melintas di depan mereka dengan kecepatan rata-rata. Angin yang disebabkan olehnya menghembus singkat, membuat rambut panjangnya beterbangan.
The Elites, student council, dewan pelajar atau apalah itu—memang berdosa. Mereka bodoh, sangat bodoh karena tidak mau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu, dan justru melakukan tindakan naif yang akhirnya membawa mereka masuk ke dalam neraka yang mereka buat sendiri. Tapi, meskipun begitu, mereka tak pantas diperlakukan sampai sejauh ini—bahkan setelah sepuluh tahun.
Ia juga pernah membenci mereka, sangat membenci malah. Tapi sekarang, setelah ia kembali ke Jepang dan dipertemukan kembali bersama tiga anggota The Elites lain yang tersisa... kebenciannya itu perlahan-lahan larut bersamaan dengan keluasan hatinya untuk memaafkan mereka. Mereka bertiga—Risa, Yuuka, dan Yui—barangkali telah merasakan neraka dunia yang sesungguhnya sejak di usia mereka yang sangat muda. Risa yang berdedikasi tinggi sebagai seorang penyidik, Yuuka yang tengah berusaha untuk menata kembali kehidupannya setelah keluar dari penjara, dan Yui yang mengabdikan diri pada masyarakat dengan menjadi tenaga kesehatan.
Menurut Akane, mereka sudah memanfaatkan kesempatan kedua mereka dengan baik. Mereka tak seharusnya perlu menanggung beban akibat dosa yang pernah mereka lakukan—tidak seperti ini.
"Tidak perlu sampai sejauh ini..."
"Maaf, apa?" Yui mengembalikan ponsel milik Akane setelah selesai dengan email yang ia kirim. Ia menengok ke samping, awalnya sedikit terkejut karena menyadari Akane tengah menatap lurus kepadanya.
"No, maksudku, kalian tidak pantas mendapatkan semua ini."
Orang ini memiliki tingkat empati yang cukup tinggi juga. Yui tersenyum tipis, tak serta merta langsung menjawab ucapan Akane. Karena ia sedang berpura-pura menjadi Yui, maka ia tak bisa langsung menjawab begitu saja. Ia perlu memikirkan ucapan yang tepat agar tidak menimbulkan kecurigaan. Senyuman yang ia lontarkan sekarang pun sebenarnya memiliki dua arti—pertama; menertawakan dengan sinis. Ia tak menduga Akane akan bersimpati pada seseorang yang akan mencelakainya beberapa saat lagi. Dan yang kedua; ia salut dengan ketabahan hati yang jaksa itu miliki.
Selama ini, ia tak pernah merasakan emosi apapun. Bahkan selama ia mengambil kontrol penuh atas tubuh Yui, ia tetap tidak memiliki kemampuan untuk merasakan emosi-emosi tertentu sebagaimana layaknya manusia. Yui memiliki apa yang ia tidak miliki, dan ia tidak marah atas hal itu. Justru, dengan tidak memiliki emosi apapun seperti ini, ia tidak dapat terpengaruh dengan mudahnya oleh orang lain. Singkatnya, ia tidak perlu merasa bersalah setelah menghabisi orang lain.
Ia justru merasa bangga sebab ia berhasil menunjukkan bahwa ia memiliki posisi yang lebih tinggi, lebih dominan. Mengakhiri nyawa orang lain atau tidak, itu adalah keputusan yang dapat ia buat sendiri semudah membalikkan telapak tangan.
Yui melirik ke samping, pada wajah Akane yang masih menunjukkan kekhawatiran. Sudah saatnya, batinnya. "Aku akan bertanya lagi padamu, Akane. Dan aku ingin mendengar jawaban yang jujur darimu."
"Tentu." Akane menjawab singkat. Menenggak habis kaleng minuman dan melemparkan wadah kosongnya jauh ke dalam semak-semak di pinggir jalan sebelum kembali melanjutkan kalimatnya, "tanyakan apa saja padaku."
"Apa kau mengingatku?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu aku mengingatmu!"
Yui memiringkan kepalanya, "Kau yakin?"
"Tentu saja. Kita sudah saling mengenal selama lebih dari sepuluh tahun, kau pasti bercanda." Akane kembali menyandarkan punggung pada body mobil sembari menghembuskan napas. Namun, ia tak menduga, bahwa sepersekian detik setelahnya Yui tiba-tiba melemparkan dua pukulan keras pada ulu hatinya.
Sama sekali tidak mempedulikan rintihan penuh pesakitan dari Akane, Yui melanjutkan dengan mendorong puntung rokok yang ujungnya masih menyala masuk ke dalam tenggorokan Akane, memaksanya untuk diam. Yui membawa satu sigaret utuh bukan untuk benar-benar merokok. Bagaimana pun juga, ia tak tahan dengan asap pahitnya yang seakan-akan menusuk rongga pernafasannya. Ia melakukan itu hanya untuk memanaskan ujung sigaret sebelum menjejalkan puntung rokoknya ke dalam tenggorokan Akane—memaksa wanita itu untuk menelan bara panas itu mentah-mentah.
Yui kembali mengepalkan tangan kirinya, memukuli rahang dan wajah Akane tanpa mempedulikan usaha wanita itu untuk melindungi kepalanya dengan menggunakan kedua lengan. Tenaga Yui jauh lebih kuat sehingga ia mampu menembus pertahanan Akane yang dibentuk ala kadarnya. Pukulan demi pukulan sukses membuat Akane nampak lemas. Cengkeraman tangannya pada lengan Yui terlepas dengan mudah, tubuhnya bahkan hampir merosot jatuh sekarang.
Tanpa membuang waktu lagi, ia segera menyeret tubuh Akane masuk ke dalam bagasi belakang mobil dan menutupi wajahnya dengan kain hitam. Setelah memastikan tidak ada jejak-jejak yang tertinggal dan membersihkan semua bercak-bercak darah yang menempel pada kaca dan body mobil, Yui memutuskan untuk menjalankan mobilnya untuk meninggalkan kota dengan kecepatan tinggi.
Perjalanan dari Tokyo menuju Sendai membutuhkan waktu yang cukup lama. Ia tidak mau Akane mati kehabisan oksigen di dalam bagasi sebelum ia menjalankan serangkaian rencananya, jadi ia tak memiliki waktu untuk benar-benar membersihkan lokasi seperti membawa mobil Akane ke suatu tempat atau membakarnya seolah-olah mobil itu mengalami kerusakan pada mesinnya.
BRAK
CRASH
Cairan kental berwarna merah mengalir deras dari pergelangan tangan dan menetes-netes di atas permukaan lantai semen. Yui menjauh dan mengambil beberapa langkah mundur dari posisi Akane yang cukup berbahaya. Wanita itu menggenggam erat pecahan kaca di tangan kanannya dan berhasil menyayat pergelangan tangan Yui dan membuat luka robek yang cukup dalam pada pergelangan tangannya.
Luka sayatan itu barangkali nyaris memotong pembuluh nadi yang ada pada pergelangannya, mungkin hanya terpaut beberapa milimeter sehingga dapat dikatakan kali ini Yui tengah beruntung. Namun, dengan luka sayatan kaca yang menyebabkan pendarahan sehebat itu Yui sama sekali tidak merasakan apapun. Akane sempat tertegun, sekaligus ngeri Ketika Yui membolik-balik tangannya, memperhatikan seberapa dalam kaca tersebut memotong tangannya.
Pasalnya, bagaimana mungkin seorang manusia normal dapat menahan rasa sakit yang disebabkan oleh putusnya pembuluh darah oleh sayatan benda tajam? Tidak ada. Manusia normal akan refleks berusaha menutup luka sayatan itu dengan tangannya sendiri seraya merintih menahan sakit.
Baik, mungkin Akane perlu menata ulang semua asumsi liar yang ada di dalam kepalanya—mengenai mutant atau senjata biologis yang dikabarkan tengah dikembangkan oleh militer—lagipula ini Kobayashi Yui. Seorang dokter sekaligus petinju kelas underground yang mungkin telah sangat terbiasa dengan rasa sakit.
Tapi ini... terlalu mustahil. Yui yang aku kenal tidak akan melakukan hal-hal semacam ini, terutama pada teman-temannya sendiri. Setelah apa yang ia alami sebagai pembalasan atas dosa yang pernah ia lakukan... tidak mungkin ia berani untuk melakukannya lagi sementara Risa akan selalu ada di belakangnya.
Peluhnya mengalir turun dari rambut hingga dagu, bercampur dengan merahnya noda darah yang tanpa sengaja turut terciprat dari wajahnya. Genggaman Akane pada ponselnya semakin kuat, begitu juga dengan genggamannya pada serpihan kaca yang kini justru melukai telapak tangannya sendiri. Bahunya bergerak naik turun seiring ia menghembuskan napasnya yang terdengar seperti decitan tikus yang terinjak. Ketika Yui membawa tungkainya untuk mendekat sebanyak dua langkah, Akane menodongkan pecahan kaca itu tepat di depan wajahnya hingga berjarak dua sentimeter dari mata Yui.
Kalau begitu, siapa orang ini?
Yui memiringkan kepalanya tanpa melepaskan kontak mata dengan wanita di depannya. Perlahan, ia menarik sudut bibirnya ke atas. Menunjukkan senyuman tipis yang tidak Akane kenal. Rasanya ia tengah berhadapan dengan sosok yang berbeda, dengan orang yang sepenuhnya berbeda meskipun di depannya ini adalah seorang rekan yang telah ia kenal sejak lama.
Hanya dengan kehadiran orang tersebut di dekatnya, sudah mampu membuat Akane merasa sangat tidak aman. Terutama saat orang di depannya ini mulai berani untuk mendekat, mencengkeram tangan Akane yang tengah menggenggam pecahan kaca.
"Ada apa dengan tatapanmu itu? Apakah kau takut denganku? Apakah kau marah denganku?" Ia memaksa tangan Akane untuk terus meremas pecahan kaca itu, membuat luka robek yang disebabkan oleh fragmen tajam menusuk semakin dalam pada lapisan kulitnya, mengirimkan rangsangan perih luar biasa yang mampu membuat lutut Akane lemas seketika. Akane berteriak, mengerang kesakitan. Air mata mulai menganak di sudut mata bersamaan dengan darah kental yang menetes-netes dari luka robek di tanganya. Yui lantas memutar tangan Akane ke samping dan membuat cengkeramannya pada kaca terlepas dan jatuh di atas genangan darah. Menggunakan tangannya yang lain, Yui menarik kerah pakaian Akane dan menariknya mendekat, satu mata cokelat mudanya menatap lurus pada sepasang mata penuh terror miliknya. "aku hanya ingin tahu apa yang kau lakukan dengan ponselmu, aku bahkan meminta dan bertanya dengan baik tetapi kau justru melukaiku. Bukankah kita teman, huh? Dan teman seharusnya tidak saling melukai, bukankah begitu?"
Seakan masih tidak merasa cukup karena telah menyebarkan teror, rasa sakit, serta perasaan tidak nyaman yang sengaja dihadirkan bersama dengan puluhan tanda tanya besar yang dibebankan di kepala Akane, si Moriya kembali dibuat bergidik ketakutan saat Yui meraih tangannya yang terluka dan menuntunnya untuk menyentuh wajah dinginnya—dimulai dari sisi wajah hingga turun dan berhenti di samping bibir. Ia ingin sekali mengalihkan pandangan dari sorot mata kelam bak predator berdarah dingin yang tengah memandangi mangsanya, predator yang kapan saja dapat mengeluarkan gigi-gigi taringnya untuk menusuk dan mengoyak daging dan organnya.
Tapi ia tidak bisa. Seakan sebuah magnet tengah sengaja menarik bola mata Akane agar tidak bergulir ke arah lain. Waktu satu menit terasa seperti satu tahun lamanya, dan selama itu ia tak bisa bernapas, mengantisipasi apa yang akan dilakukan Yui terhadapnya. Ia berada di dalam genggamannya dan ia jelas tak akan bisa lepas dengan mudah.
Akane menarik napas cepat, tersentak kaget dan refleks menahan napasnya sendiri ketika Yui membuka mulutnya dan mulai menyesap darah dari luka sayatan di telapak tangan Akane. Dari raut wajahnya... Akane tak bisa menyimpulkan apapun selain perasaan puas ketika Yui mengecap likuid kental berwarna merah pekat di lidahnya. Ia tak mengerti, dan juga tak berkeinginan untuk mencari tahu. Namun, tingkah laku Yui yang benar-benar tidak menunjukkan sisi manusia dari dalam dirinya telah berhasil membuatnya semakin yakin jika orang di depannya ini bukanlah seorang Kobayashi Yui.
Karena tak peduli seberapa besar kebencian yang sang dokter simpan untuk Akane, ia tidak akan pernah melukainya seperti ini. Yui juga tidak akan menatapnya seperti seekor binatang buas kelaparan dan menelan mentah-mentah darah segar seperti sekarang. Ia juga tidak akan menjilat darah orang lain dan menikmatinya seolah ia sedang menikmati saus pasta.
Saat ini, ia tak lebihnya menyerupai sesosok monster. Monster dengan hasrat membunuh yang begitu mendominasi. Dengan noda darah yang menempel di sekitar wajahnya serta cengkeraman jemari di balik sarung tangan hitam bernoda darah pada tangan kanannya, sukses membuat lutut Akane menyerah untuk menopang beban tubuhnya. Wanita itu merosot jatuh dengan napas berat dan memburu.
Ia meraba bahunya, sesuatu yang panas baru saja menusuknya tepat di sana. Betapa terkejutnya ia saat melihat darah yang menempel pada tangannya. Sejak kapan? Benar, sejak kapan luka itu ada disana? Saat Akane menundukkan kepala, barulah ia sadar jika Yui menempelkan pistol pada bahunya—sejak tadi. Ia telah ditembak dan peluru tajam itu berhasil menembus tubuhnya dan mengoyak daging dan jaringan ototnya. Ia sama sekali tidak mendengar suara tembakan. Apakah apa yang dilakukan Yui tadi sempat membuatnya kehilangan kontrol atas dunia nyata?
"Hah..." Yui akhirnya menurunkan tangan Akane dan melepaskannya. Akan tetapi, pandangannya masih tidak terlepas dari Akane yang terduduk lemas di lantai marmer yang basah oleh darah mereka berdua. Tubuhnya bergetar hebat saat Yui turut menundukkan tubuh, mengambil ponsel yang ada di tangan Akane dengan lembut seraya berkata dengan nada rendah, "ini gawat. Sepertinya aku telah lepas kendali. Aku nyaris tidak bisa mengontrol diriku sendiri saat menciummu."
"A—Apa yang kau bicarakan..."
Yui menarik napas panjang dan kembali menegakkan tubuhnya. Mengambil sapu tangan dari balik jaket trucker hitam yang setengahnya basah oleh darah dan menggunakannya untuk membersihkan noda darah dari wajah dan sudut bibirnya, Yui tahu Akane sudah tak memiliki bara panas yang menunjukkan semangat untuk bertahan hidup di balik sepasang netra coklatnya—yang mana Yui menganggap itu sebagai sesuatu yang tak ia rencanakan, juga yang ia inginkan. Presentasenya 50-50, ia suka mendominasi seseorang tetapi di sisi lain ia juga tak suka jika orang tersebut justru pasrah dan membiarkan dirinya melakukan hal yang ia inginkan.
Ia sedang ingin bermain. Sebuah permainan yang liar dan brutal. Dan ia kira Akane dapat memberikan lebih dari ini. Tapi sepertinya ia hanya terlalu berekspetasi tinggi. Di saat seperti ini, ia bisa langsung saja membunuh Akane dan memutilasi tubuhnya—seperti yang ia lakukan pada orang tua Yui, hanya ia tak sempat untuk mencoba mereka—dan mungkin... memakan beberapa potong bagian dari tubuhnya, selagi masih segar.
Atau mungkin hanya aku saja yang terlalu terburu-buru? Atau mungkin saja, kesadaran Yui tanpa kusadari masih dapat menguasaiku sehingga aku tidak bisa melakukan itu. Argh, sialan kau, Kobayashi.
Mengabaikan isi pikirannya yang berkelit kacau, si alter lantas memutuskan untuk mengabaikan hasrat tersembunyi yang ada di dalam pikirannya mengingat waktu kan terus bergulir dan jika ia melewatkan lima menit saja, bukan tidak mungkin rencana yang telah ia susun dengan sistematis akan hancur berantakan. Sudah lama sekali sejak ia benar-benar memuaskan nafsu yang tidak akan ia dapatkan saat Yui memaksa untuk menghapus presensi dirinya. Sehingga cukup wajar ia akan dengan mudah kehilangan kontrol saat merasakan sesuatu yang ia sukai.
Menggunakan jari untuk menggulir tampilan layar ponsel, ia akhirnya menemukan sesuatu yang ia cari. Ini adalah kecerobohannya sendiri karena lupa untuk tidak merampas ponsel Akane sebelum memasukkannya ke dalam bagasi. "Brengsek." Yui mencengkeram leher Akane, ibu jari dan jari telunjuknya terus menekan otot lehernya. Tangan kirinya mengepal, kemudian sebuah hantaman kuat dilayangkan tanpa ampun sebanyak tiga kali.
Pukulan itu barangkali cukup membuat isi kepala Akane berguncang hebat disana. Telinganya saja sampai berdengung keras dan pandangannya seketika berubah menjadi hitam pekat selama beberapa menit.
"Kau berharap Yuuka akan datang seperti superhero dan menyelamatkanmu? Justru sebaliknya, Akane. Tanpa sadar kau membawa Yuuka untuk menemui kematiannya lebih awal." Yui mengeluarkan buku catatan kecil dari dalam saku dan memegangnya dengan dua jari, membiarkan Akane melalui kedua matanya yang ditutupi oleh darah, melihatnya dengan baik. ". Semua nama kalian, identitas kalian... tercatat dalam buku ini dan aku tidak akan berhenti sampai semua orang yang ada disini mati di tanganku."
Yui berjalan beberapa langkah menjauh. Entah apa yang ia lakukan karena begitu ia menghilang dari pandangan Akane, terdengar suara nyaring dari serangkaian besi yang dihancurkan secara paksa. Setelah beberapa detik, Yui kembali dengan membawa gulungan rantai besi yang melingkar pada bahunya. Apa lagi yang ia ingin lakukan padaku, Akane menggigit lidahnya sendiri.
Akane terus memberontak ketika Yui berusaha meraih tangannya untuk diikatkan pada ujung rantai. Bahkan mencoba untuk bangkit, membalas menyerang dan kabur jika Yui tidak memukulnya lagi—kali ini tepat pada hidungnya sehingga ia tak bisa lagi melakukan apapun selain berteriak kesakitan karena hidung yang patah. "Yui tidak akan melakukan semua ini. Ia tidak akan pernah melukai orang lain lagi." Dengan penuh dendam Akane mendesis, tangannya juga kembali mencakar lengan dan menarik pakaian yang Yui kenakan. "siapa kau?"
"Hanya karena aku bersikap seperti ini lantas kau langsung melupakan aku? Melupakan siapa namaku dan identitasku?" Yui mengangguk pelan. Menutup buku catatan kecil tepat di depan wajah Akane sebelum memasukkannya ke dalam saku jaket. Ia menarik sarung tangan hitam yang sejak tadi membalut kesepuluh jarinya untuk menghindarinya meninggalkan jejak-jejak seperti sidik jari—kecuali darah. Mungkin polisi akan dengan mudah mengidentifikasi yang satu itu. Tidak masalah, toh ia dapat dengan mudah memutar balikkan kenyataan dan memainkan perannya sebagai Kobayashi Yui yang tengah berusaha menyelamatkan Akane nanti. "kau mungkin lupa denganku, tapi aku akan selalu mengingatmu sebagai berandalan sinting yang membuat kekacauan di hari pertamanya sekolah dan orang yang telah mengacaukan The Elites dari dalam, membuat beberapa orang mati terbunuh dan kau juga orang yang merusak hubunganku dengan Yuuka!"
Kobayashi... Yui? Tuhan... jika ini memang benar-benar dia, maka—
"Jadi—jangan katakan jika kau juga yang membunuh semua orang-orang itu dan kemudian kembali seakan tidak melakukan apapun...?"
"Black Mail, huh? Jika memang aku yang membunuh mereka, seharusnya ada lebih dari dua puluh lima mayat yang terkubur secara acak di dalam tanah atau pembuangan air kota ini." Yui menjawab. Tatapan mata lapar nya kini menghilang dan digantikan oleh sorot mata gelap yang terlihat menakutkan. Ditambah lagi dengan satu matanya yang ditutupi oleh eyepatch hitam—itu membuatnya seperti monster bermata satu di kegelapan malam. "lagipula orang-orang bodoh itu sebenarnya juga mengincar kalian, termasuk aku. Tidakkah kau beruntung karena aku membawamu terlebih dahulu? Jika kau dibawa oleh mereka, kau akan langsung dibunuh dan tidak mengobrol santai seperti ini."
"Tapi... jika kau bertanya tentang pembunuhan Keluarga Kobayashi... maka aku akan menjawab iya. Benar, aku yang membunuh mereka semua."
Akane terengah. Ia tak memiliki pikiran untuk menjawabnya. Lebih baik baginya untuk mencari barang-barang yang mungkin berguna di sekelilingnya, ia harus berpikir bagaimana caranya meloloskan diri dari ikatan rantai di tangannya. Mungkin dengan menghancurkan kaitan rantainya dengan palu, batu, atau benda keras lain—
"Aku harus tiba di Tokyo sebelum fajar menyingsing. Jangan khawatir, aku tidak akan membiarkanmu mati kelaparan disini. Aku akan meninggalkan botol air dan sedikit makanan tapi sebagai gantinya," Yui bangkit berdiri. Menepuk-nepuk lututnya untuk membersihkan celananya dari debu. "aku akan membawa ponselmu. Kita akan bertaruh. Jika polisi dan teman-temanmu yang tiba terlebih dulu disini, maka aku akan menyerahkan diriku. Tapi jika tidak..." Akane tanpa sadar menahan napasnya ketika Yui dengan tujuan tertentu memotong ucapannya sendiri. Entah apa lagi yang wanita itu pikirkan saat ini, bahkan saat Akane memberanikan diri untuk kembali menatap lurus pada mata coklatnya, ia tak dapat menemukan belas kasih dan rasa kasihan yang seharusnya ada pada diri manusia normal. "aku akan membunuhmu. Aku akan benar-benar membuatmu sangat menderita seperti aku menghabisi kedua orang tuaku sendiri. Akane... jika saat itu tiba, aku tidak akan menahan diri lagi untuk memiliki sebagian kecil dari dirimu."
Akane bergidik ketakutan. Bahkan rasa takut itu masih menggerayangi leher, punggung, hingga ujung kepalanya ketika ia mendengar suara mesin mobil yang perlahan-lahan semakin menjauh. Otaknya yang memberitahu bahwa ia akan segera dibunuh dan mungkin juga akan dimakan membuat wanita itu menggila.
Ia menarik-narik tangannya sekuat tenaga, berharap itu akan merusak rantai besi yang menahannya. Suara keras yang menggema beradu dengan suara teriakan putus asa miliknya, ia tidak meminta bantuan, karena ia tahu tidak akan ada siapapun yang mendengarnya.
Setelah beberapa menit, penat mulai menyerangnya. Nyeri, perih, dan ngilu dari luka yang ada di sekujur tubuhnya mulai mendera. Luka tembak yang ada di bahunya adalah luka yang paling membuatnya tersiksa.
Panas, nyeri, perih semuanya bercampur menjadi satu disana dan membuat Akane ingin sekali mengorek dan menekannya sedalam mungkin. Ia merintih, mengerang menahan sakit yang luar biasa. Sebuah kilatan cahaya membuat wajahnya kembali terangkat, benda yang menghasilkan cahaya itu menjadi satu-satunya pusat atensi Akane.
Orang itu meninggalkan ponselku.
Tetapi, alih-alih memaksa tubuhnya untuk bergerak lagi, Akane justru memilih untuk menjatuhkan kepalanya pada lantai yang dingin dan meringkuk disana. Tubuhnya sudah tak mampu lagi untuk ia gerakkan. Untuk saat ini, ia memutuskan untuk menyerah pada rasa sakitnya.
Kobayashi Yui adalah seorang pembunuh—manusia dengan tingkat kewarasan luar biasa rendah sekaligus seorang psikopat kanibal. Jangan lupakan sisi sadistik dan keinginannya untuk mendominasi orang lain dengan berbagai akal bulus yang ia lontarkan guna membuat orang lain tetap berada di bawah cengkeramannya.
Atau mungkin... lebih baik ia sebut saja dengan kepribadian lain dari Kobayashi Yui, Akane juga tidak mengingat pasti siapa namanya. Karena dari yang ia ingat, setiap orang dengan kepribadian lebih dari satu biasanya mengenali nama-nama dari kepribadian lainnya itu.
Tetapi berbeda dengan Yui. Wanita itu bahkan menutupi dan berusaha agar kepribadiannya yang satu ini tidak pernah muncul sejak ia berada di sekolah tinggi.
Kalau tidak salah, Akane pernah secara tidak langsung terlibat di dalamnya, dimana pada saat itu Yui sendiri yang mengatakan bahwa kondisinya ini merupakan sebuah aib yang harus ditutupi. Sehingga tindakannya melukai diri sendiri sampai-sampai ia rela memecahkan vas bunga keramik hingga membuat luka menganga pada telapak tangan dan berakhir mendapatkan 35 jahitan itu masuk akal—dan Akane pun paham, pada akhirnya. Ada alasan mengapa Yui menyiksa dirinya demi menjaga kesadarannya. Karena, jika tidak begitu, ia akan meloloskan seorang monster yang luar biasa ganas dari dalam dirinya.
Tidak ada yang tahu seorang wanita yang tenang dan cenderung memberikan kesan bijaksana, seorang vice president dari organisasi dewan pelajar dan juga seorang dokter bedah bersertifikasi ini menyimpan kepribadian yang sangat kelam di dalam dirinya. Seorang pembunuh kanibal yang tak mengenal rasa kemanusiaan.
Kepribadian itu mengubah Yui menjadi seseorang yang bahkan mampu memutilasi tubuh kedua orang tuanya dan mengangkat potongan kepalanya berkeliling rumah sebelum menggantungnya di depan pintu rumah—dengan tujuan menghina polisi sekaligus mengejutkan mereka.
Terakhir yang ia ingat, setelah insiden berdarah di Sakurazaka Academy, Yui kembali lagi ke dalam ruang lingkup fasilitas rehabilitasi selama kurang lebih delapan tahun lamanya—meski ia juga sebenarnya tidak yakin berapa tahun wanita itu menghabiskan diri bersama terapi dokter dan berbagai proses rehabilitasi yang menyakitkan. Jika begitu, sudah seharusnya kepribadiannya itu dapat ditekan dan tidak dapat lagi merebut posisi Yui sebagai host, bukan?
Lalu... mengapa semuanya jadi begini? Yuuka dan lainnya tidak hanya berhadapan dengan Rei, tetapi juga Yui yang akan menghabisinya.
Akane menjatuhkan pandangannya pada ponsel yang sempat ia pakai beberapa jam yang lalu untuk menghubungi Yuuka. Baterai ponselnya sudah nyaris habis dan ia tak bisa memakainya lagi jika ia ingin ponselnya menyala lebih lama. GPS pun menolak untuk menyala ketika baterainya sudah berada di titik merah, dan itu adalah hal yang benar-benar membuatnya frustasi.
Paling tidak, aku sudah menyebutkan nama Risa. Kuharap Yuuka bisa mengerti apa yang aku bicarakan.
Masalahnya sudah beberapa jam sejak Akane melakukan panggilan terakhir itu. Dan setelahnya, tidak ada panggilan lain atau bahkan email yang masuk ke dalam ponselnya meskipun ia rela untuk tidak tidur demi menunggu panggilan bantuan itu. Ia sudah mulai menyerah sekarang dan matanya yang berat barangkali akan membawanya masuk ke dalam dunia mimpi yang tak kalah mengerikan.
Dan benar saja.
Saat ia terbangun dari tidurnya, Akane mendapati sosok Yui berdiri di ambang pintu dengan membawa benda panjang menyerupai tongkat berwarna hitam di tangannya. Ia berjalan mendekati Akane dangan langkah cepat, raut wajahnya menunjukkan emosi yang tidak tertahankan, dan dengan itu Yui menendang tubuh Akane sekuat tenaga. Ia terhempas, dengan dada berdenyut nyeri. Saat ia menarik napas, dadanya terasa sesak dan panas di waktu bersamaan, membuatnya terengah-engah seperti sedang sekarat.
Sebuah cengkeraman tangan pada bahu Akane membuatnya tersentak. Saat ia mendongak, ia kembali dibuat sangat ketakutan dengan wajah Yui yang berada sangat dekat dengannya dan Akane bersumpah ia baru saja menemukan suatu emosi aneh di balik sorot mata setajam elang di sana.
"Kau telah melanggar peraturan yang kubuat, Moriya."
Begitu melihat rekaman video yang menunjukkan dirinya yang tengah mendorong masuk tangan Akane ke dalam mesin penggiling, Yui langsung mendorong tubuh Hono yang menghimpitnya dan segera berlari masuk ke dalam toilet. Ia menyalan kran air dan memasukkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke dalam tenggorokannya sendiri untuk membuatnya mual. Ia melakukannya beberapa kali meskipun sebenarnya ia tidak berniat untuk memuntahkan apapun.
Masih dengan kran air yang menyala, Yui berhenti. Meletakkan kedua tangannya pada wastafel dan menatap wajahnya sendiri di depan kaca. Sekali lagi, hanya ada wajah datar tanpa ekspresi apapun disana. Menghela napas, ia mengangkat kedua tangannya dan mulai menepuk-nepuk wajahnya. Ia perlu melemaskan wajahnya lagi dan membuat ekspresi-ekspresi menyebalkan itu lagi.
Dari luar, sayup-sayup ia dapat mendengar teman-teman Yui saling berdebat. Selama itu, Yui memutuskan untuk menahan diri di dalam toilet sembari memikirkan ulang apa yang akan ia lakukan setelah ini. Video tersebut sebenarnya tidak seharusnya ada jika Akane tidak diam-diam menggunakan ponselnya untuk menghubungi Yuuka tepat setelah ia meninggalkannya sendirian di pabrik.
Shit. Yui tertawa tanpa suara. Sudah kuduga Akane akan memakan umpan yang aku berikan itu. Rencananya telah berjalan dengan sangat mulus hingga saat ini.
Ia menangkupkan kedua tangannya, kemudian membasuh wajahnya dengan air. Memang benar, ia sengaja meninggalkan ponsel Akane bersama pemiliknya karena ia tahu Akane tidak akan mau menyia-nyiakan kesempatan itu untuk meminta bantuan pada orang terdekatnya. Seperti yang ia inginkan, Akane menghubungi Yuuka dan memberikan petunjuk tentang keberadaannya. Sedikit bodoh, tapi tak apa. Karena dengan begitu, Yuuka dan yang lainnya tahu dimana Akane berada sekarang.
Ia berada di Sendai, di komplek industri tua yang berada sekitar 8km dari laut. Sesuai dengan apa yang disampaikan Akane tentang dirinya yang sangat ingin pulang. Kalau boleh jujur, ia mengakui kecerdikan sang jaksa untuk tidak benar-benar memberitahukan lokasi pastinya, karena ia tahu Yui telah menyadap ponselnya sejak hari dimana ia berpura-pura meminjam ponsel dan berdalih untuk menghubungi Koike—yang sebenarnya hanya kebohongan belaka. Waktu itu, ia menuliskan email yang ditujukan pada Yuuka yang menjelaskan tentang keterlambatannya untuk pulang ke rumah dan email itulah yang dipermasalahkan oleh teman-temannya yang lain.
Sekarang, semuanya sudah tahu dimana posisi Akane. Selanjutnya, ia hanya perlu menuntun mereka untuk pergi ke Miyagi, memberikan lokasi palsu dengan meninggalkan ponsel Akane di lokasi yang mirip, dan berpura-pura bersimpati pada Yuuka agar tidak turut pergi bersama teman-temannya. Meski begitu, tujuannya tetap membawa Yuuka datang pada Akane sendiri. Ia ingin Yuuka melihat dengan jelas bagaimana Akane mati dan ia tak ingin melewatkan kesempatan yang luar biasa ini.
Ia kembali mendengar Yuuka yang tengah berdebat dengan Hono, dua orang itu selalu beradu mulut sejak tadi. Beberapa kali pula Yuuka menyebutkan nama Rei sebagai orang yang ia duga bertanggung jawab dibalik penculikan Akane—kasihan sekali orang itu selalu mendapat tuduhan. Aku tidak tahu jika aku bisa menirukan Yui semirip mungkin.
Ya, mungkin sebenarnya tidak terlalu mirip karena ia tahu ada satu dari beberapa orang yang sepertinya menyadari ada sesuatu yang janggal darinya.
Jelas orang itu adalah Yamasaki Ten. Dan orang ini akan melakukan segala cara untuk menghambat rencananya. Jadi dengan memasangkan Ten dan Hono untuk turut pergi untuk menemuinya di Sendai dengan alasan untuk mempermudah pencarian adalah opsi yang paling tepat untuk menghapus kecurigaan wanita itu padanya. Ia akan berpikir, jika Yui adalah orang yang pantas dicurigai, maka ia tak mungkin memintanya untuk ikut serta ke Sendai bersamanya. Jebakan dengan meninggalkan ponsel Akane yang akan ia ambil setelah ini akan ia berikan pada Ten dan Hono. Dengan begitu, mereka akan terkecoh dan tidak mengganggu Yuuka yang akan tiba di tempat Akane disekap.
Sekali lagi membasuh wajahnya dengan air sebanyak dua kali, Yui akhirnya membuka pintu kamar mandi untuk bergabung dengan teman-temannya yang lain dan mengatakan rencana palsu yang telah ia buat di dalam kepalanya sendiri. Seperti yang ia duga, mereka semua menyetujui apa yang ia katakan. Begitupun dengan Hono yang langsung menangkap maksudnya dan mengajak Ten untuk pergi bersamanya. Meskipun Ten menyadari ada darah yang merembes lilitan perban yang ada pada telapak tangannya dan Yui berkilah ia mendapatkan itu dari gigitan anjing—yang berakhir dengan tatapan tidak percaya dari Ten sendiri.
Anak itu memang cerdas. Dan aku tidak bisa membiarkannya hidup lebih lama.
Malam itu adalah malam dimana ia akan melaksanakan semua rencananya—menghabisi Akane dan membiarkan Yuuka melihat jasadnya yang masih hangat. Seperti yang telah ia rencanakan beberapa hari sebelumnya, ia akan berputar-putar di sekitar Sendai terlebih dahulu untuk mencari tempat yang cocok untuk meninggalkan ponsel Akane yang baterainya telah terisi penuh.
Karena dengan itu, ia akan menyalakan GPS dan membuat kepolisian mampu melacak keberadaan ponsel itu. Rekan kerja Risa akan dengan mudah mendeteksi sinyal GPS tersebut dan mengirimkan lokasinya pada pasangan Ten dan Hono.
Kali ini, Yui telah mengganti plat nomor mobilnya dengan plat registrasi palsu. Ia tak perlu khawatir jika secara kebetulan ia akan berpapasan dengan mobil Ten dan membuat anak itu kembali curiga padanya dan mengikutinya dari belakang.
Setelah beberapa menit menyusuri daerah pinggir pantai, pilihannya jatuh pada bekas pabrik pengolahan ikan yang berada sekitar 5km jauhnya dari bibir pantai. Pabrik tersebut tampak begitu kosong dan telah lama ditinggalkan karena jaraknya yang terlalu mendekati wilayah perairan. Mengingat daerah tersebut adalah daerah rawan tsunami, opsi pembangunan pabrik yang dekat dengan pantai adalah pilihan paling bodoh yang pernah dibuat. Beberapa bagian pabrik tersebut sudah rusak di sana-sini, dengan tanaman rambat yang menjulur memanjang di beberapa bagian dinding dan atapnya.
Setelah mengenakan sarung tangan karet, ia segera melompat turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam pabrik. Menghabiskan waktu beberapa menit untuk menyalakan ponsel dan sinyal GPS sebelum meninggalkannya di salah satu ruangan yang paling gelap daripada ruangan lain. Ia sempat berdiri diam selama beberapa menit disana, tepat ketika ia merasakan sengatan ngilu dari bagian belakang kepala seperti yang ia alami tepat setelah kembali dari rumah Yuuka.
Agaknya ia sempat merasa ada sesuatu yang aneh. Karena sejak kemarin ia mengalami black out dan akhirnya berhasil mendapat kesadarannya kembali saat ia sedang dalam perjalanan menuju perbatasan Miyagi. Saat ia mengecek kalender ponsel yang menunjukkan waktu dua hari dari hari di mana ia berrkumpul dengan teman-temannya. Ia yakin, Yui sempat mengambil alih kesadarannya selama jangka waktu itu dan ia tidak tahu apa yang dilakukan Yui selama rentang waktu 48 jam.
Toh, ia tak perlu khawatir. Yui tidak mengetahui apa yang telah dan akan ia lakukan. Barangkali ia akan mengucapkan beberapa hal yang tak selaras dan orang-orang yang telah menganggap hal itu biasa akan mengabaikannya—selalu seperti itu.
Tak menghabiskan waktu lagi, Yui pun berlari kecil untuk keluar dari pabrik dan masuk ke dalam mobil. Debu-debu dan dari jalanan kering itu beterbangan saat mobil BMW ice white yang ditungganginya berakselerasi dan melaju lebih cepat dari sebelumnya.Ketika ia melihat ke samping, Yui menemukan layar ponselnya berkedip-kedip. Sebuah panggilan telepon dari Watanabe Risa masuk dan Yui segera menerima panggilan telepon tersebut. Beruntung itu bukanlah panggilan video sehingga Yui tak perlu berusaha keras untuk menahan segaris senyuman yang ada pada bibirnya ketika ia mendengar Risa berhasil mendapatkan sinyal GPS dari ponsel Akane. Setelah ini, Ten dan Hono akan pergi ke lokasi tadi sementara dirinya akan langsung menuju tempat dimana Akane disekap dan menunggu.
Ia tak ingin terburu-buru membunuh Akane. Harapannya tentang teman-temannya yang akan datang untuk menyelamatkannya sudah terlalu tinggi dan ia tak ingin membuatnya terlalu cepat untuk kecewa. Lagipula, ia ingin melihat lebih jelas bagaimana keadaan Akane pada menit-menit terakhir menjelang kematiannya. Dan ia memastikan agar mendapatkan dokumentasi yang sangat baik karena Yui pasti akan menyukainya nanti.
Nampaknya Yui terlalu menikmati permainannya sendiri sampai-sampai ia tak sadar jika ia sudah melewati batas waktu. Ia baru berhenti menyerang Yuuka saat telinganya menangkap suara sirine polisi dari kejauhan dan apabila ia terlambat sedikit saja, ia tak akan memiliki cukup waktu untuk kabur dari wilayah pabrik menuju mobilnya yang terparkir lebih jauh dari sana. Ia sampai terengah-engah karena terus memaksa tungkainya untuk berlari sejauh satu kilometer lebih tanpa henti.
Saat ia sudah masuk ke dalam mobil dan hendak melepaskan sarung tangan serta pakaiannya yang penuh oleh darah, ia melirik ke samping dan mendapati cahaya merah yang menerangi gedung pabrik. Suara sirine yang saling bersahut-sahutan juga masuk ke dalam indra pendengarannya. Sekarang, ia tak ingin membuang waktu. Jadi begitu ia membungkus jaket dan sarung tangannya dengan kantung plastik, ia segera menyalakan mesin mobil dan meninggalkan wilayah itu dengan kecepatan tinggi dan menuju jalanan yang ramai.
Polisi akan melakukan pencarian di sekitar pabrik. Jika mereka menemukan bekas roda mobil, maka mereka mungkin akan menyelidikinya juga. Ia akan mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan tinggi di jalanan ramai, membuatnya seakan-akan sedang mengejar sesuatu. Saat itu, ia akan menghubungi Risa dan mengatakan bahwa ia sedang mengejar si pembunuh.
Jika di kemudian hari mereka akan menemukan fakta bahwa Yui lah orang yang ada di balik peristiwa itu, maka itu bukan urusannya. Yui yang akan menanggung semua hukuman yang mungkin akan ia terima dan bukan dirinya.
Dengan begitu, apa yang telah ia rencanakan telah berjalan dengan sempurna tanpa cacat. Itu berarti, hanya tersisa dua orang lagi.
Perlu waktu beberapa hari lebih lama baginya untuk mendapatkan informasi mengenai Endo Hikari yang masih menjadi buron. Ketiga orang bekas pembunuh itu menyembunyikan diri mereka di komplek apartemen tua, berada jauh dari pusat kota Tokyo, nyaris menyeberang hingga ke prefektur lain. Entah dengan cara apa, tetapi ia akhirnya dapat mengirimkan email yang rupanya merupakan email palsu yang digunakan oleh Endo selama ia kabur dan bersembunyi dari kejaran polisi.
Sebuah email singkat berisi keterangan lokasi dan ajakan bertemu. Memang ia tidak membalasnya tetapi Endo benar-benar datang saat Yui menunggu disana. Memang benar bahwa Endo lah yang memukulnya dengan palu pada malam itu, jadi ia tak perlu merasa ragu lagi saat mengeluarkan pistol dari dalam ikatan sabuknya.
"Aku tahu kau sudah merencanakan sesuatu saat aku datang." Endo berkata. Itu membuat Yui lantas menurunkan pistol, memiringkan kepala. Beberapa saat kemudian, Endo mengeluarkan ponsel yang sedang menyala. Detik itu juga, Yui tersentak. "polisi sedang dalam perjalanan kemari, Kobayashi. Kau tidak akan bisa lari."
Sungguh. Ini bukanlah sesuatu yang ada di dalam skenarionya.
Endo yang diam-diam menghubungi polisi dalam perjalanan kemari? Mengapa ia tidak bisa memperkirakan hal itu sebelumnya?
"Kau licik juga. Pantas kau berhasil kabur dari penjara tanpa menimbulkan huru-hara. Sangat berbeda dengan kedua temanmu itu." Menjaga nada bicaranya tetap tenang ketika menjawab meskipun ia menyimpan sedikit kekhawatiran disana, Yui melanjutkan. "tapi tak sadarkah kau jika apapun yang terjadi kau akan mati di tanganku malam ini?" diangkatnya kembali dessert eagle dan membidik kepala Endo.
Tak dinyana, lawan bicaranya justru memberinya senyuman sinis. "Memang benar apa yang dikatakan Rei bertahun-tahun yang lalu. Kau telah berhasil merubah dirimu menjadi mesin pembunuh. Kau memang tak terlalu berbeda dengannya, kalau aku boleh memberi komentar."
"Siapa?"
"Jangan katakan padaku jika kau juga yang telah membunuh Moriya Akane dan membunuh orang tuamu sendiri? Akhirnya kau menerima jati dirimu sebagai seorang pembunuh, meskipun memakan waktu sepuluh tahun lebih lama. Kau tidak bisa lagi denial dengan fakta yang sudah ada, Kobayashi."
"Jawab—"
"Jika aku mati disini, maka hidupku akan selesai dan aku tidak perlu menanggung hukuman. Tetapi kau, kau yang akan menanggungnya. Berdiri dengan pistol dengan mayat manusia? Juga kesaksian seseorang dan barangkali jejak-jejak yang kau tinggalkan? Sungguh, kau akan habis. Sama sepertiku, sama seperti kami. Kita hanya perlu membalik lembaran buku dan kau yang berada disana saat ini."
Berbicara saja. Lanjutkan saja... argh! Keparat ini! Kesaksian siapa yang dia maksud? Ten?
"Rei akan menemukanmu dan ia akan menghabisimu karena kau mengambil jatah makan siangnya. Kau telah berhadapan dengan orang yang salah, Kobayashi."
BANG
BANG
Dua tembakan dilepaskan. Tak berhenti disitu, Yui menahan kepala Endo dengan tangannya dan kembali melepaskan satu timah panas tepat di dalam tenggorokannya. Tembakan dalam jarak dekat itu membuat darah bercipratan ke mana-mana, termasuk pada wajah, mata dan mulutnya. Tangannya mengepal, memukul wajah hancur di bawahnya bertubi-tubi hingga ia tak lagi merasakan tekstur kasar dari tulang tengkorak.
Rasanya seperti ia menyentuh sesuatu yang basah tiap kali ia mengayunkan tangannya. Rasanya ia ingin sekali menghancurkan tubuh orang ini hingga tidak berbentuk. Tapi ia tak bisa dan tak memiliki waktu untuk itu karena polisi sedang dalam perjalanan sekarang. Ia pun menyimpan kembali pistolnya dan mengangkat tubuh Endo—karena hanya kepalanya saja yang hancur—dan membawanya masuk ke dalam gedung dan berniat untuk meninggalkannya di dalam sana. Tapi, saat ia berlari keluar dan baru saja mencapai pintu depan, ia melihat kilatan cahaya merah dan suara sirine yang berangsur-angsur mendekat.
Benar-benar brengsek. Tahu begini aku akan langsung membunuhnya tanpa mendengar kata-katanya yang tidak bermanfaat itu.
Aku tidak bisa kabur sekarang, sialan. Mereka bisa melihatku jika aku tiba-tiba melintas dan melompat disana. Tanpa menunggu lagi, Yui segera berlari masuk lebih dalam dalam salah satu gedung konstruksi. Saat ia bersembunyi di salah satu ruangan, ia dapat mendengar suara dengusan anjing dan dentuman sepatu yang menggema di sepanjang lorong. Matanya menajam, dahinya berkerut dan ia memfokuskan pendengarannya. Polisi itu masuk kemari, ya?
Ia menahan napas. Berusaha untuk tidak membuat suara apapun ketika suara gonggongan anjing menjadi semakin dekat dengan posisinya. Hingga pada satu titik, setelah memperhitungkan sebaik mungkin, Yui mengeluarkan pisaunya dan langsung menyerang siapapun manusia yang berada disana. Ditendangnya lutut sang lawan, dan menggunakan kedua lengannya, ia mendorong lawannya hingga menghantam dinding. Mengalungkan lengan pada leher dan mencekiknya sekuat mungkin.
Ini adalah Watanabe Risa. Orang yang ia cekik sekarang adalah Watanabe Risa.
Sial. Sekali lagi, kepalanya kembali terasa nyeri. Tepat setelah ia mengetahui bahwa orang yang tengah berhadapan dengannya ini adalah Risa. Ia tak pernah merasakan sakit sebelumnya, bahkan ia tak merasakan apapun saat tangan dan kakinya ditebas. Tapi... kali ini, ia dapat merasakan kepalanya yang begitu nyeri. Persis seperti yang ia rasakan saat meletakkan ponsel Akane di pabrik. Tidak—tidak, Yui tidak boleh kembali.
Sialnya, anjing polisi itu berhasil menggigit lengannya. Ia dapat merasakan taringnya menembus kulit dan dagingnya jadi dengan terpaksa ia melepaskan cekikannya dan menusuk bagian leher anjing itu. Menyayat dan memotongnya hingga kepala si anjing putus dan menggelinding di bawah kakinya. Tangannya kini basah oleh darah anjing. Sama dengan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya.
Aku harus lari dari orang ini.
Nyaris terpeleset oleh genangan darah anjing yang membasahi permukaan lantai, Yui segera berbalik dan berlari sekencang mungkin tanpa tujuan. Ketika ia menemukan tangga, ia berbelok dan menyusuri tangga tersebut untuk mencapai atap. Suara tembakan bertubi-tubi terdengar, Risa telah mengeluarkan pistolnya dan gagal mengenai sasaran. Ia sadar betul Risa tidak akan berhenti disana, jadi ia tidak terkejut saat Risa mengejarnya.
Hanya saja, ia tak menduga Risa akan melemparkan dirinya sendiri dan menabrak tubuhnya—membuat mereka berdua jatuh menghantam belasan ember cat. Sial, kini ia harus bertarung satu lawan satu dengannya, dengan kondisi kepala yang seperti dipukuli oleh benda tumpul. Yui bahkan baru saja akan berdiri saat Risa mencekiknya dari belakang, dan menjatuhkannya ke bawah. Dia akan memborgolku? Menggunakan segenap kekuatannya, ia menendang borgol dari tangan Risa dan menendang ulu hatinya. Borgol pun terlempar entah kemana, menyisakan suara nyaring yang terdengar saat benda logam itu mendarat.
Ia hampir saja kewalahan. Tubuh Risa jauh lebih besar dan tinggi. Dengan mudahnya polisi itu mengangkat dan membanting tubuh Yui sekeras mungkin. Bahkan Yui sempat kehilangan momentum untuk menghindar dan berakhir Risa yang melemparnya menjauh. Sudah tiga kali Risa membanting tubuhnya, membuat pakaian hitamnya berubah menjadi warna putih karena partikel semen yang menempel. Kepalanya menjadi semakin sakit sekarang, dan rasanya tak mungkin untuk meneruskan perkelahian dengan Risa yang terus mengamuk seperti pejudo.
Dia cukup pandai sebenarnya, ia tahu dirinya akan kalah jika bertarung dengan pukulan. Jadi ia terus melakukan kontak dengan Yui agar ia dapat menarik pakaiannya dan melemparnya seperti karung pasir. Dan kini, Yui juga sudah membaca taktiknya. Ia tetap harus menjaga jarak aman dari Risa agar ia tidak mendapatkan pegangan untuk melempar. Pada satu momen, Yui berhasil memanfaatkan bobot tubuh Risa dan balas membantingnya tepat di atas tumpukan batu bata.
Risa masih mampu untuk berdiri dan memasang pertahanannya—dengan darah mengalir dari kepala dan buku-buku jarinya. Menggunakan mulutnya untuk bernapas saja tampak begitu kepayahan. Staminanya sudah berada di titik darurat dan ia bisa ambruk kapan saja. Memanfaatkan kondisi Risa, Yui mengambil langkah memutar dan dengan cepat menendang satu kaki Risa—sontak membuatnya nyaris tersungkur jika Yui tidak menahan tubuhnya. Di waktu yang bersamaan, Yui menari keluar pisaunya dan menusuk tubuh Risa berkali-kali.
Jari-jari Risa mencengkeram punggungnya, bahkan ia dapat merasakan kukunya menancap pada punggung. Tusukan-tusukan itu tampak menyakitinya, wajahnya terlihat menunjukkan keputusasaan sekaligus ekspresi menyedihkan. Darah mengalir keluar dari dalam mulutnya, menetes dari dagu dan jatuh ke pakaian yang Risa kenakan. Pada tusukan ketujuh, Risa sudah tidak sanggup menahan beban tubuhnya sendiri.
Melihat kondisi Risa yang sedang sekarat di bawah kakinya membuat Yui mengangkat pisaunya tinggi-tinggi. Seharusnya ia dapat dengan mudah membunuhnya sekarang, merusak wajahnya dan membuatnya sulit dikenali. Seharusnya.
Namun kini, tangannya seketika membeku dan menolah untuk digerakkan. Tangannya berubah menjadi dingin, seiring dengan terlepasnya pisau dari genggamannya. Mungkin Yui sudah menguasai sebagian dari dirinya sekarang sehingga ia tak bisa menggerakkan tangan kirinya lagi. Itu juga menjelaskan mengapa ia tiba-tiba menangis di depan wajah Risa. Perasaan aneh itu kembali muncul, membuat degup jantungnya tiba-tiba berpacu lebih cepat dari sebelumnya.
Tidak. Ini bukanlah perasaan senang atau puas yang ia dapatkan setiap kali ia melihat darah. Perasaan yang ada padanya saat ini memberinya rasa sakit yang tak bisa dijelaskan di dalam dada—membuat air matanya tak berhenti mengalir bahkan setelah ia berpaling dan menyeret tubuh Risa mendekati bibir bangunan.
Dadanya menjadi semakin sakit saat ia menangkap suara bisikan yang Risa keluarkan. Polisi itu nampak sangat tersiksa saat ia mencoba berbicara. Tapi dibalik bisikannya yang samar, ia tahu, Risa memohon agar tidak dibunuh.
Kenapa?
Kenapa aku tidak bisa membunuhnya?
Tembus 10.000 kata!
Jadi ini yang sebenernya terjadi di beberapa chapter ke belakang. Pembunuhan Keluarga Kobayashi dan Akane. Juga permainan peran yang sangat baik dari alter Kobayashi Yui. Bahkan, Risa tergocek 🗿
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top