[M] Chapter 29: But In The End, You Still Walk Away

Rated 18+ for violence and hard gore. Please, be careful.

Pertama kali dalam hidupnya Ten berhadapan langsung dengan alter milik Kobayashi Yui. Kepribadian yang diperbincangkan sebagai sosok yang berbahaya oleh para dokter di Silver Lake. Sebegitu berbahayanya hingga mereka perlu menerapkan prosedur keamanan setiap kali si alter ini muncul dan mulai mengintimidasi mereka.

Ia mengerti mengapa semua orang sangat ketakutan dan berusaha sebisa mungkin untuk menghapus atau menyingkirkan kepribadian Yui yang satu ini. Yui sudah membunuh paling tidak tiga orang ketika ia berada di bawah pengaruh si alter, dan jika seandainya tidak ada yang menghalanginya, ia mungkin sudah membunuh lebih banyak orang—bahkan mungkin lebih banyak daripada rekor pembunuhan yang dilakukan Rei.

Kepribadian yang satu ini juga sangat aneh menurut Ten. Ia membuat Yui tidak bisa merasakan sakit dari berbagai luka di sekujur tubuhnya. Ketika Ten memukul wajah dan rahangnya kuat-kuat untuk melepaskan diri dari cengkeramannya, Yui hanya memalingkan wajah ke samping. Meskipun darah tampak mengalir keluar dari sudut bibirnya, wanita itu sama sekali tidak tersentak atau mengaduh. Ia dapat dengan mudah berdiri lagi tanpa terhuyung atau semacamnya.

Lebih parah lagi, Yui justru kembali menyergap Ten dan menyabet pergelangan tangan yang sudah tersayat lebih dalam lagi. Terjangan yang terlalu mendadak itu juga menyebabkan tubuh Ten terjungkal ke belakang dengan Yui menindih tubuhnya. Golok kembali ditarik ke atas, dan dihujamkan lagi pada pergelangan tangan Ten. Darah memercik semakin banyak, bercipratan ke mana-mana. Menempel di wajah Yui, dan membasahi jaket yang Ten kenakan.

Yui masih terus mengayunkan golok tersebut hingga serat-serat daging yang menempel di pergelangan tangan Ten terpotong, menunjukkan sesuatu berwarna putih tersembunyi di dalam dagingnya. Ten menarik napas semakin cepat, tubuhnya lemas seketika saat golok tersebut diangkat ke atas dan dihujamkan ke bawah dengan sangat kuat—Yui berniat memotong satu persatu tangan dan kakinya, membuat Ten menyerupai boneka kayu tanpa alat gerak.

Ten sudah hampir kehilangan kesadarannya saat Yui menarik putus pergelangan tangannya. Pandangannya sangat buram dengan air mata menggenang. Ia tidak bisa mendeskripsikan rasa sakit yang ia rasakan ke dalam kata-kata. Ia hanya bisa menangis. Merasakan semuanya perlahan-lahan membunuhnya.

Tapi sepertinya Yui tidak membiarkannya beristirahat. Ia menarik rambut Ten dan memaksa wanita itu duduk. Kemudian tanpa persetujuan, Yui langsung memotong salah satu jari Ten dan menggelonggongkan potongan jari tersebut ke masuk ke dalam kerongkongan Ten. Ia hampir saja memuntahkannya lagi, tapi Yui justru menginjak lehernya dengan kaki dan kembali mendorong potongan jari tersebut.

Ia membuat Ten menelan jarinya sendiri dan Ten tidak tahu apakah ada yang lebih buruk dari ini.

Beruntung Ten dapat menemukan celah dan langsung membawa kedua tungkainya untuk lari sejauh mungkin dari tempat itu. Dan disinilah ia sekarang, sedang berusaha menyelamatkan nyawanya dari kejaran predator yang siap menerkamnya dari segala arah. Ia tidak peduli dengan aliran darah yang terus menetes dari tangannya yang dimutilasi, ia hanya peduli tentang keselamatannya saja. Persetan dengan semuanya.

Sensasi yang tidak nyaman masih tak juga hilang dari kerongkongannya. Baru kali ini ia dipaksa merasakan bagaimana rasanya darah dan daging manusia, bahkan ia merasakan jari tangannya sendiri. Ten tidak bisa mengatakan apa-apa. Semua itu benar-benar membuatnya trauma setengah mati. Amis dan rasa asam besi yang memuakkan bergelut di dalam tenggorokannya. Dan karena ia terus menerus berlari tanpa henti, membuat isi perutnya bercokol tak nyaman.

Ia sangat ingin memuntahkan semuanya, juga mengorek kerongkongannya sendiri dengan jari demi mengeluarkan potongan jari tersebut. Akan tetapi, ia tak mau mengambil risiko untuk berhenti dan membuat Yui menangkapnya.

Sejauh ini ia sudah berlari selama sepuluh menit. Dan setiap langkah kakinya, ia tidak berhenti berharap dan berdoa agar ia dapat menemukan apapun atau siapapun yang dapat menjadi penyelamatnya.

Ia tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Ten sudah terlalu lelah. Bahkan untuk bernapas saja dadanya terasa begitu berat. Jika berbagai macam serangan tidak mampu menghentikannya, lantas apa yang harus Ten lakukan agar kepribadian Yui yang asli kembali dan menyelamatkan diri dari kejaran si alter? Tidak ada. Sepertinya tidak ada. Yui tidak bisa dihentikan dan mungkin lebih baik bagi Ten untuk menyerahkan nyawanya secara cuma-cuma.

Percuma saja ia terus berlari dan menyelamatkan diri. Sejauh apapun, Yui pasti dapat menangkapnya lagi. Jadi untuk apa ia membuang tenaga untuk bermain kucing-kucingan?

Atas pikirannya sendiri yang mulai memberikan isyarat untuk menyerah, didampingi dengan penat dan perih tak terbendung dari luka yang ia derita, membuat Ten tanpa sadar memperlambat kecepatan larinya ketika ia hampir mencapai sungai kecil dengan aliran airnya yang mengalun lembut.

Beberapa ratus meter di depan sana terlihat sekelebat cahaya lampu yang berpendar terang. Beberapa kali menghilang karena terhalang batang pohon, tetapi cahaya lampu itu kembali muncul dan membuat Ten merasakan setitik harapan untuk selamat.

Ada orang lain di sini!

Rasanya ia hampir menangis seperti anak kecil. Air matanya yang berwarna merah darah mengalir turun dari pipi hingga dagu. Dengan harapan ia akan menemukan ranger dari sorot lampu yang ia lihat tadi, Ten segera memaksa kedua kakinya untuk berlari lebih cepat dan menerobos semak belukar hingga lumpur yang licin.

Sayangnya, Ten tidak tahu jika ada seseorang yang sudah menunggunya di antara rerumputan lebat di dekat sungai.

Ia duduk dalam diam. Mengintai Ten yang semakin lama berada semakin dekat dengan posisinya bersembunyi. Golok berlumuran darah di genggamannya ia angkat perlahan hingga pada satu titik, tepat ketikan Ten berada di dekatnya, ia melompat dari semak-semak dan menerjang Ten hingga wanita itu terdorong beberapa meter dan jatuh mendarat di atas bebatuan yang keras.

"Kau tahu seekor anjing tidak akan kehilangan mangsanya semudah itu. Aku sudah menunggumu di sini, Yamasaki Ten." Ten bergidik ngeri ketika Yui berbicara padanya dengan nada bicara dan aksen yang berbeda. Dengan satu matanya yang mengerikan, Yui sudah cukup membuat Ten berteriak-teriak seperti orang gila.

"Kobayashi, berhenti! Lepaskan! Lepaskan aku! Aku berjanji tidak akan membunuhmu, maafkan aku. Jadi, tolong biarkan aku pergi!"

Ten menatap ke atas, pada golok yang sudah diangkat tinggi-tinggi di depan matanya. Ia berpikir, sesaat lagi golok itu akan melubangi wajahnya, membuat isi kepalanya terburai keluar dan lagi-lagi Ten akan dipaksa menelannya. Tapi kemudian golok tersebut dijatuhkan, lalu sebuah hantaman keras mendarat di pelipisnya. Awalnya hanya satu kali. Hingga akhirnya pukulan demi pukulan lain merajam kepalanya tanpa ampun dan membuatnya kehilangan kesadarannya.

Semuanya tiba-tiba berhenti. Hening. Tidak ada lagi suara tengkorak manusia yang dihantam dengan kepalan tangan, hanya terdengar suara rintik hujan yang membasahi tanah serta pepohonan lebat. Dan Yui yang semula menindih tubuh Ten dan menghajarnya habis-habisan kini hanya bisa berdiri terhuyung-huyung dengan sorot mata penuh ketakutan.

Dan saat itulah, Kobayashi Yui yang asli kembali.

Ia tidak mengerti apa yang telah terjadi. Begitu ia sadar, Ten sudah tergeletak bersimbah darah dengan dirinya sendiri menindih tubuhnya. Segala kemungkinan terburuk terlintas begitu saja di dalam kepalanya. Dan itu menjadi benar ketika Yui melihat kedua tangannya yang dipenuhi oleh lumuran darah, serta golok berwarna merah darah yang tergeletak di samping tubuhnya.

Apa yang sudah aku lakukan?

Sekali lagi Yui kehilangan kontrol atas kesadarannya. Dan karena itu, hampir saja ia membunuh juniornya sendiri. Yui mendengus karena bau darah yang menyengat merangsek masuk ke dalam hidungnya. Ia tidak mau membayangkan apa saja yang sudah dilakukan oleh kepribadiannya yang lain—melihat golok dan pergelangan tangan Ten yang terpotong saja sudah cukup memberitahunya. Jika ada yang lebih buruk lagi, Yui tidak akan mau mendengarnya.

"Wah, kau sudah melakukannya lebih dulu dariku."

Langkah berat terdengar dari belakang tubuh, disusul oleh suara familiar yang membuat bulu kuduknya berdiri. Yui tersentak, buru-buru ia berbalik dan memasang posisi bertahan. Kaki kirinya menginjak golok dan mengamankan benda itu, berjaga-jaga jika ia membutuhkannya beberapa saat lagi.

Mengetahui siapa yang datang, Yui merasa beruntung karena ia segera berbalik sehingga orang tersebut tidak berdiri terlalu dekat dengannya. Itu adalah Rei. Ia datang dengan jaket hitam berlumur darah, tetapi juga dengan tangan kosong dan tidak membawa senjata apapun. Senyuman lebar terpatri di bibirnya sementara ia bertepuk tangan seperti telah melihat pertunjukan yang sangat menyenangkan hati.

Tanda bahaya muncul dalam benak Yui. Kaki kirinya refleks menapak ke belakang, memberikan sedikit jarak di antara mereka. "Akhirnya kita bertemu kembali, Rei." ucapnya. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Kapan saja siap membabat habis leher Rei kapanpun ia memiliki kesempatan.

Berbeda dengan Yui yang terlihat tegang, Rei justru berkebalikan dengannya. Ia tampak begitu santai mendekati Yui dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket. Itu membuat Yui refleks melangkah mundur. Tidak ada yang tahu apa yang Rei simpan di dalam saku jaketnya, dan ia tidak ingin sebuah pisau tiba-tiba menusuk lehernya hanya karena ia tidak waspada.

"Kau memaksanya menelan jari tangannya sendiri, Kobayashi. Whoa, aku tidak percaya kau benar-benar melakukan itu semua seperti kau sedang kerasukan, sungguh. Kalau begini, aku jadi percaya bahwa memang benar kau yang membunuh Endo waktu itu." Rei berkata. "Sejak hari di mana Endo gagal membunuhmu di tebing, aku selalu mengawasimu. Mencari tahu apa yang membuatmu begitu spesial. Dan hari ini, aku menemukan jawabannya. Hah... tidak kusangka altermu yang pernah kupanggil itu kembali lagi dan menggila."

"Brengsek! Karena perbuatanmu aku menjadi seperti ini! Karena kau... argh... sejak kau menyekapku dan menjadikanku mesin pembunuh sepuluh tahun yang lalu, dia menjadi semakin kuat dan tidak terkendali. Rei... keparat kau!"

"Jangan marah seperti itu. Lihat, aku bahkan tidak turut andil dalam semua pembunuhan yang kau lakukan selama ini. Aku hanya datang ke lokasi untuk melihatmu kabur dari tempat kejadian, memotret bentuk jasad korban beberapa kali untuk koleksi, setelah itu pergi tanpa meninggalkan jejak apapun."

Rahang Yui menegang. Kedua tangannya bergetar hebat. Melihat wajah sengak Rei di depannya membuatnya sangat ingin menghabisinya saat itu juga. "Aku akan menghabisimu, Rei. Aku akan benar-benar menghancurkanmu. Aku akan membuatmu merasakan sakit seperti yang pernah aku rasakan selama ini. Aku bersumpah..."

"Yeah, yeah!" Rei menyahut cepat. Ia menunjuk-nunjuk Yui dengan jarinya. "Seperti itu, Kobayashi! Bunuh aku, ayo bunuh aku! Pakai golok itu untuk memenggal kepalaku ini, seperti kau memotong lengan Yamasaki beberapa saat yang lalu!" Rei sontak tertawa lebih keras dan Yui, yang semakin memanas sudah tidak bisa lagi menahan gejolak aneh di dalam dada. Segera saja ia menerjang Rei, menghantam lehernya dengan siku hingga psikopat itu terjatuh di tanah dengan posisi telentang.

Bahkan dalam keadaan seperti itu, Rei masih bisa berbicara leluasa dan menghinanya secara verbal. "Kau pembunuh, tidak berbeda jauh denganku. Aku ingin bertanya, apakah Takemoto terasa enak bagimu? Aku melihat tubuhnya tergantung di sana. Sepertinya wajahnya juga tidak utuh. Jadi aku berasumsi kau sempat memakannya juga, benar? Wah... rupanya kau juga kanibal ya? Aku jadi takut, bagaimana ini?"

"BRENGSEK! TUTUP MULUTMU!"

BUG

CRACK

"Kau ingin aku memakanmu? Kau ingin aku mengulitimu? Katakan padaku, apa yang kau inginkan agar kau mau melepaskan kami! Kau menghancurkan hidup kami semua dan kau tertawa seakan-akan itu semua tidak berharga!"

Buku-buku jari Yui berdenyut nyeri ketika tulang belulangnya bertemu dan beradu dengan tulang wajah dan rahang Rei, berkali-kali. Tenaganya ia pusatkan pada setiap lecutan pukulan tersebut, membuat kepala Rei sampai terhuyung ke samping karena impact pukulan yang terlalu kuat. Dan sebagai gantinya, buku jari tangan kiri Yui tampak membiru--sepertinya ia mengalami sedikit keretakan di sana. Tetapi ia sudah tak lagi mempedulikan cidera-cidera kecil seperti itu, sebab api di dadanya sukses membakar emosinya dan membuatnya meledak seperti volkano.

"Takemoto... dia seharusnya tetap menjadi peliharaanku. Tak kusangka dia harus pergi lebih dulu di tanganmu." Rei kembali berucap, mengusap darah yang mengalir keluar dari luka robek di wajahnya. Senyumannya yang lebar tadi menghilang, menguap entah kemana. Digantikan oleh raut wajah datar yang tidak mencerminkan emosi apapun. "Kau juga mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. Semua mangsaku, kau merebutnya tanpa izin."

Detik itu juga Yui merasa nyawanya turut tercabut dari tubuhnya. Tatapan kosong Rei seperti merangsek masuk ke dalam jiwanya, mengobrak-abrik dinding kokoh yang melindunginya dari rasa takut. Ini kah yang dikatakan sebagai tatapan dari seorang pembunuh? Lantas sejak tadi, wanita gila ini hanya bermain-main saja dengannya?

Dan benar saja, Rei menggunakan lututnya untuk menendang ulu hati Yui, membuatnya terjengkang ke belakang dan melepaskan cengkeramannya dari jaket yang Rei kenakan. Yui berteriak, mengumpat keras-keras. Nyeri sekali, rasanya seperti dihantam mobil dengan kecepatan tinggi. Rei berlari mendekat, menendang kepala Yui dengan sangat kuat. Ia berhasil membuat Yui nyaris kehilangan kesadarannya, tapi seakan belum cukup melihat darah yang menetes dari bibir Yui yang robek, ia segera mencengkeram rahang Yui, membantingnya di tanah dan memukulnya berkali-kali.

Mangsanya tidak boleh mati sebelum ia mengizinkannya, itu curang.

Diambilnya sebilah golok yang menancap pada salah satu batang pohon, ia menggesekkan sisi tajamnya pada batang kayu tersebut sekaligus membersihkannya dari getah dan kotoran. Rei mengayunkan golok itu di samping tubuhnya, bersiap-siap akan menyabetkannya. "Berani sekali kau merebut mangsaku, huh? Kau pikir kau ini siapa?"

Dicengkeramnya tangan kiri Yui, lantas menggunakan kakinya untuk menginjak lengannya sekeras mungkin. Yui berteriak, berusaha membebaskan dirinya dari injakan sang predator. Tapi, Rei lebih cepat. Ia mengangkat goloknya, kemudian mengiris jari kelingking tangan kiri Yui--dengan sangat perlahan. Merobek kulit dan serat-serat dagingnya, membiarkan darah merembes keluar dari bekas sayatan golok setengah tumpul karena dikotori oleh getah pohon.

Percayalah, pisau yang tumpul akan membunuhmu perlahan-lahan. Ia lebih memberikan rasa sakit yang tak tertahankan ketimbang pisau tajam. Merobek lapisan kulit dan dagingmu... seperti kau tengah memotong daging sapi di atas tatakan kayu.

Setelah beberapa kali menggerakkan golok, Rei dapat melihat sesuatu yang berwarna putih tersembul keluar di balik merahnya darah dan daging. Tanpa basa-basi, ia mengangkat lengan Yui dan memutar jari kelingkingnya sekaligus menariknya. Ia tidak menggunakan golok untuk memotong jalinan sendi dan otot yang menempel pada tulang jari, melainkan menggunakan tenaga paksa.

Jelas saja itu membuat Yui semakin tersiksa setengah mati. Ia tidak bisa mendeskripsikan rasa sakit dari jari kelingkingnya yang dimutilasi dengan cara yang paling buruk dari yang pernah ia bayangkan. Pandangannya buram oleh air mata sebagai akibat dari siksaan tersebut-ya, Yui benar-benar sedang menangis sekarang. Teriakannya menjadi semakin keras saat suara crack terdengar dan Rei menunjukkan potongan jari kelingkingnya tepat di depan matanya sendiri.

Rei mendekatkan potongan jari itu dengan matanya, memutar-mutarnya sejenak sebelum memasukkannya ke dalam kantung jaket. Ia kemudian mengusapkan golok pada celananya dan bersiap-siap untuk memotong jari Yui-lagi. "Untuk apa kau melakukan semuanya sampai sejauh ini, Kobayashi? Kau marah karena aku membunuh teman-temanmu sepuluh tahun yang lalu? Ah... lucu sekali. Hanya karena itu kau dendam denganku?"

"Hanya katamu? Kau tidak tahu seberapa besar kehancuran yang terjadi karena-ARGH! FUCK!"

Kali ini Rei mengiris jari manisnya, tepat di bagian perpotongan tulangnya. Memang tidak sepenuhnya seperti yang ia lakukan pada jari kelingkingnya beberapa saat yang lalu karena ada sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya-siapa sangka Rei cukup menghormati makna cincin itu, jadi ia memilih untuk tidak mengusiknya dan hanya memotongnya sebagian.

"Kobayashi, mereka semua tidak memiliki arti penting di mataku," Rei menekan goloknya dengan tangan kirinya. Ujung tajamnya menyentuh tulang jari Yui, membuatnya tersentak. Teriakannya tertahan karena Rei segera membekap mulutnya. "Semuanya sama saja, tidak ada yang meninggalkan kesan tertentu yang pantas diingat. Yang mereka lakukan hanya berlutut di depan wajahku, memohon-mohon sampai menangis agar tidak dibunuh. Terutama anak-anak remaja dan wanita muda, mereka selalu seperti itu sampai-sampai aku ingin muntah karena jijik."

Jari manisnya akhirnya terpotong sepenuhnya. Meninggalkan aliran darah yang masih terpancar dari bekas sayatan terbuka. Tenaganya sudah terkuras untuk memberontak, ia juga kehilangan terlalu banyak darah dan itu faktor penyumbang paling besar dari lemasnya tubuhnya sekarang. Jari tengahnya adalah yang selanjutnya, ia tidak mau menunggu kelima jarinya dibabat habis begitu saja. Dengan masih berusaha melepaskan diri, mata Yui menatap liar ke seluruh arah, mencari sesuatu yang dapat diraih oleh tangan kanannya dan dapat membantunya menyingkirkan Rei.

"Tahu tidak, mungkin aku tidak akan memburu kalian sampai sejauh ini dan aku juga tidak akan mengusik hidup kalian jika kalian tidak mengusikku terlebih dahulu." Ucap Rei. Senyuman miringnya kembali muncul. "The Elites... dasar anak-anak bodoh."

Ucapan Rei menghantam pikirannya. Memang benar. Hanya satu saja kesalahan kecil yang mereka lakukan, namun memiliki akibat yang luar biasa fatal. Seandainya mereka tidak datang ke hutan belakang sekolah dan menggali lubang tempat pembuangan mayat, mereka jelas tidak akan berada dalam kondisi seperti ini. Rei tidak akan menghancurkan hidupnya, kepribadiannya yang lain tidak akan memberontak keluar dan Akane, Seki, Karin, Habu dan kedua orang tuanya pasti masih hidup sekarang.

Seandainya...

CRACK

Rei menarik putus jari manisnya dan mengangkat goloknya sekali lagi untuk memotong jari tengahnya. Untuk yang satu ini, ia tidak melakukannya dengan perlahan, melainkan dengan menghantam jari tengah Yui dengan golok seperti ia sedang memotong tulang sapi. Perlu enam kali hentakan sampai golok itu berhasil memotong jari Yui karena ketajamannya sudah mulai menurun dan ketika hanya tersisa sedikit saja bagian tulang yang masih menempel, Rei meletakkan golok dan mematahkan tulang itu dengan tangannya sendiri.

"Kalian semua terlalu lemah untuk menghentikanku. Padahal aku sudah memberikan petunjuk yang sangat jelas, tapi kalian terlalu lambat sampai aku menjadi tidak sabaran dan memutuskan untuk menghancurkan penjara."

Selama Rei menarik-narik dan mengiris jari tangannya, Yui berusaha keras untuk menjangkau batu di sampingnya. Berusaha mengabaikan perih luar biasa yang ia rasakan, menangis pun ia lakukan dalam diam. Ujung jarinya berhasil menjangkau batu. Perlahan namun pasti, ia berhasil menyeret batu itu mendekat dan mencengkeramnya.

Tangan kiri Yui sekarang hanya tersisa dua-ibu jari dan jari telunjuk-sementara tiga lainnya hanya menyisakan darah dan tulang berwarna putih yang terpotong dengan tidak rapi. Yui mengerang, diambilnya bongkahan batu yang sejak tadi berusaha ia raih dengan tangan kanannya dan memukul kepala Rei dengan batu besar tersebut.

Rei mengumpat keras. Bongkahan batu besar itu tepat mengenai pelipisnya dan membuatnya terguling ke samping dengan darah yang mengalir keluar dari kepala. Pandangannya sempat menghitam selama beberapa detik dan begitu ia sadar, tahu-tahu Yui sudah berdiri di depannya dengan golok di tangan kanan.

"Aku tahu kau tidak memiliki sesuatu yang bisa digunakan untuk menutupi cela dalam dirimu, menutupi kelemahanmu hingga kau melakukan semua ini untuk memberimu anggapan bahwa kau berada di atas orang lain. Kau boleh percaya jika kau adalah Tuhan, Dewa Kematian, atau semacamnya tapi kau tidak bisa mengelak jika kau sebenarnya hanya seorang manusia tidak berguna yang sangat menyedihkan."

Kalimat Yui terasa seperti anak panah yang menusuk tepat pada jantungnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Rei merasa sesuatu dalam hatinya tercambuk dan terbakar di waktu bersamaan. Ia merasakan sebuah emosi tidak dikenal, sesuatu yang menurutnya asing. Sensasi panas yang semula hanya berputar-putar di dadanya mulai merambat naik ke seluruh tubuhnya dan berakhir di pucuk kepala-semua itu hanya karena Yui menyebutnya sebagai manusia yang menyedihkan.

Atas dasar apa orang ini memanggilnya begitu? Aneh sekali. Rei tidak pernah merasa ia hidup sebagai orang yang menyedihkan. Buktinya orang-orang selalu takut apabila berhadapan dengannya, seantero negeri memburunya dan memberinya cap sebagai orang paling berbahaya. Mereka tidak melakukan itu pada orang yang menyedihkan, bukan?

"Kau menyebutku apa? Menyedihkan?" Rei bangkit berdiri. Tubuhnya limbung dan menabrak salah satu batang pohon hingga ia terjatuh. Tapi ia segera memaksa untuk berdiri lagi. Yui berdiri beberapa meter di depannya, dengan tangan kanan mengayun-ayunkan sebuah golok penuh darah dengan tatapan yang menyalang liar-seperti hewan buas yang mengamuk. Sejenak Rei tertawa, terang-terangan meremehkan ucapan Yui yang terdengar seperti omong kosong di telinganya. "Tak pernah dalam hidupku aku merasa menyedihkan atau... perlu dikasihani. Justru, orang sepertimu lah yang lebih pantas disebut menyedihkan, Kobayashi."

Rei menepuk-nepuk lumpur dan tanah yang menempel pada jaket dan celana, kemudian dengan sedikit terseok-seok ia melangkah mendekati Yui. "Hidupmu menyedihkan. Dikhianati, ditinggalkan, disisihkan secara paksa, lalu kau memohon untuk dicintai seperti kucing terlantar... ya, itu lah dirimu. Kau tidak tahu siapa orang tuamu sebenarnya karena mereka membuangmu, mereka melakukan itu karena mereka benar-benar tidak menginginkanmu. Risa bahkan turut menyingkirkanmu dari hidupnya, dan lagi... bagaimana jika Sugai Yuuka sampai tahu jika kau adalah orang yang membunuh Moriya Akane? Kau sadar jika kau akan segera dibuang lagi, 'kan?"

"DIAM!"

Rei menyukai tatapan seperti itu. Sudah lama sekali ia mencari seseorang dengan tatapan bengis yang mampu menggentarkan jiwa seseorang, sebuah tatapan yang sama seperti miliknya. "...sepertinya aku mulai menyukaimu, Kobayashi. Kau pantas menjadi penerusku, headhunter."

DEG

Gelenyar nyeri mendadak menyerang seluruh bagian kepala, menyerang bagian-bagian kecil syaraf otaknya. Dunianya seakan diputarbalikkan, membantingnya ke bawah. Ribuan titik-titik hitam seketika mengisi pandangan matanya. Telinganya berdengung hebat dan itu membuat keseimbangannya hancur seketika. Sementara Yui meraung kesakitan dan terjatuh di depannya, Rei hanya menatapnya dan tertawa. Semudah itu ia memancing sesuatu dalam diri Yui dan membuat wanita itu tersiksa setengah mati tanpa disentuh.

Rei menggelengkan kepalanya, lihat siapa yang menyedihkan sekarang. Ditariknya jaket Yui, kemudian mengayunkan pukulan tepat pada leher, dada, dan rahangnya. Suara-suara keras dari kepalan tangan yang menghantam tulang wajah dan rahang terdengar begitu keras, menunjukkan Rei benar-benar menggunakan seluruh kekuatannya ke dalam pukulan-pukulan itu.

Ia menarik kepala Yui memperhatikannya selama beberapa saat, menikmati sebarapa menyedihkannya ia sebelum Rei menendang wajahnya dengan lutut dan membuat Yui terkapar dengan wajah berdarah-darah. Ia tak bisa melawan dan melindungi diri. Gejala aneh yang ia rasakan seolah membuatnya lumpuh. Tangannya menolak untuk bergerak, seperti ada sesuatu sengaja menahan gerakannya.

Ini adalah gejala yang selalu ia rasakan tiap kali alternya akan menguasainya.

Lagi-lagi gejala itu muncul. Dan Yui tidak bisa melakukan apapun selain sekuat tenaga menahan diri agar kesadarannya tidak berbalik dan direbut paksa oleh kepribadiannya yang lain. Yui tidak tahu mengapa, tapi kali ini, nyeri yang menjalar di dalam tempurung kepalanya terasa lebih mengerikan dari sebelumnya. Seperti seseorang tengah menggunakan mesin bor untuk melubangi tengkorak dan sebagian kecil otaknya-dan karena itu lah Yui merasakan darah mulai merembes keluar dari hidungnya.

Kilatan-kilatan memori mengerikan yang menunjukkan betapa keji kejahatan yang pernah ia lakukan beberapa waktu lalu kembali muncul dalam kepalanya. Dengan jelas ia melihat bagaimana dirinya sendiri menusuk, memutilasi, menggantung, menggorok, semua korban-korbannya. Juga tindakan menjijikkan yang ia lakukan pada Akane karena menganggapnya sebagai seonggok makanan.

Semua itu terlalu nyata untuk dilakukan oleh alternya. Dan itu membuat Yui hampir tidak dapat membedakan kepribadian mana yang tengah menguasainya sekarang. Ingatan-ingatan itu melebur menjadi satu dengan miliknya sendiri. Semuanya tersusun secara sistematis, mengisi kekosongan memori yang pernah ia alami seperti kepingan puzzle yang menemukan tempatnya sendiri.

Dan... mengapa kini ia merasa memiliki keinginan untuk menghabisi seseorang? Yang mana naluri itu seharusnya hanya dimiliki oleh alternya.

Ini tidak mungkin terjadi.

Ya, mungkin apa yang terjadi padanya sekarang adalah sesuatu yang paling tidak Yui inginkan. Adalah proses integrasi yang dimaksud oleh dokter yang menanganinya sewaktu menjalani rehabilitasi di Silver Lake. Dia yang tidak berkeinginan dan masih menolak fakta bahwa ia adalah seorang pembunuh keji, pada akhirnya benar-benar menjadi pembunuh karena naluri dan ingatan dari si alter telah sepenuhnya menyatu dengan dirinya-seorang host.

"Ya... ya, aku lah headhunter..." Yui akhirnya berucap, perlahan-lahan membawa tubuhnya bangkit menghadap Rei yang siap menyambutnya, masih dengan senyuman lebar yang tampak antusias. "Kau ingin aku mengucapkan itu, bukan? Benar, aku headhunter!"

Dengan itu, Yui merangsek maju. Menabrakkan tubuhnya pada tubuh Rei dan membuat mereka berdua berguling. Pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan mereka lontarkan satu sama lain tanpa ampun. Saling menabrakkan tubuh lawan ke batang pohon dan menghantamkan kepala mereka pada permukaannya yang kasar dan keras. Seiring waktu, tenaga Yui yang mulai terkuras dan perih menusuk di setiap bagian tubuhnya berhasil kekuatan serangannya berkurang.

Hingga pada satu momentum yang tepat, Yui menendang lutut Rei, bermaksud untuk mematahkan kakinya dengan satu injakan kuat. Golok yang ada di tangan kanannya ia balik dan ia hujamkan pada leher Rei. Lawannya sempat menahan golok tersebut dengan tangannya, tetapi Yui cukup baik untuk mencabut golok tersebut dari lehernya. Gelembung-gelembung darah segera merembes keluar dari bekas tusukan tersebut dan Yui, membeku di tempatnya setelah menyadari apa yang telah ia lakukan.

Ia benar-benar membunuh orang dengan sadar.

Rei mengangkat tangannya untuk menutup lubang tusukan golok di leher, meski ia melakukan itu agar perih yang ia rasakan ketika darah membanjir keluar dari batang tenggorokannya yang setengahnya terpotong. "Itu dia!" ucapnya, suaranya itu bercampur dengan gelegak aneh. "Senyumanmu itu. Ah, adalah senyuman dari seorang pembunuh!"

Otot leher Yui menegang seketika. Ucapan dari manusia sekarat itu kembali membuatnya naik pitam untuk yang kesekian kalinya. Berkali-kali ia menyebut Yui sebagai seorang pembunuh-sebuah panggilan yang sangat ia tidak sukai. Ia tidak ingin seseorang mengingatkannya dengan tindakan brengsek yang alternya lakukan, tetapi Rei malah memancingnya dengan memanggilnya seperti itu.

"Benar. Aku ini seorang pembunuh. Dan sekarang, aku akan membunuhmu!" Yui menyeringan lebar. Melepaskan aura mengerikan yang mampu membuat siapa saja gentar ketika bertatapan langsung dengannya. Percikan darah yang menempel di wajahnya seakan membuatnya menjadi sesosok monster dalam tubuh manusia. "Ini untuk Seki dan Fujiyoshi, untuk semua orang tidak berdosa yang telah kau bunuh!"

Golok di tangannya kembali ia angkat tinggi-tinggi. Darah dan serpihan-serpihan daging menempel di seluruh permukaannya. Yui sudah tidak peduli lagi dengan bau amis yang menusuk hidung atau perih dari tangannya yang retak dan dipotong karena yang ia pedulikan hanya siksaan macam apa yang dapat membunuh dan membuat Rei merasakan balasan dari tindakannya semasa hidup.

Golok tersebut melesak cepat, membuat sayatan yang sangat dalam pada leher Rei. Darah memercik deras menyerupai keran air, mengenai wajahnya dan bahkan berhasil masuk ke dalam mulutnya. Yui tidak berhenti dan kembali mengayunkan goloknya. Telapak tangan kirinya ia gunakan untuk menahan kepala Rei sementara tangannya yang lain digunakan untuk menghujam golok itu hingga memenggal kepalanya.

"MATI KAU, MONSTER!"

Tepat ketika kekacauan mengerikan itu terjadi, Ten perlahan-lahan mendapatkan kesadarannya kembali. Awalnya, ia hanya mendengar suara-suara keras yang terdengar menggema di dalam telinganya. Hingga akhirnya suara tersebut berhasil membuat jiwanya yang hampir tidak bisa kembali ke tubuhnya seketika tersedot masuk dan membuat ia dapat membuka kedua matanya, lagi.

Ten berharap begitu ia terbangun, ia berada di dalam kamarnya sendiri. Dengan alarm pagi yang berbunyi dengan suara keras agar ia tidak terlambat untuk mandi dan pergi ke akademi. Tapi kenyataannya, begitu ia bangun, ia hanya menemukan langit hitam dan kegelapan. Sementara wajahnya basah oleh darah dan tetesan air hujan.

Begitu Ten sepenuhnya siuman, ia langsung dihadapkan dengan percikan darah yang bercipratan ke segala arah. Yui ada di sana, menindih tubuh Rei dan mengayunkan golok dengan brutal. Ia berteriak, melemparkan sumpah serapah serta berbagai ungkapan kalimat yang luar biasa kasar kepada Rei yang sepertinya sudah menjadi mayat. Ia hanya bisa menganga, melihat kepala Rei menggelinding dari tubuhnya dan Yui mengangkat kepala itu setinggi mata sebelum menusuk bola matanya dengan golok yang ia genggam.

K-Kobayashi membunuh Rei? Apa yang telah terjadi selama aku pingsan? L-Lagipula, apakah dia Kobayashi Yui yang asli?

Ia membeku. Benar-benar tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Ia seakan dipaksa melihat pembunuhan brutal yang terjadi di depan matanya. Satu hal yang Ten tahu, ia tidak bisa membiarkan ini terus terjadi.

"Kau bukan host! Kau bukanlah Kobayashi Yui, berhenti berpura-pura!" Ten berteriak hingga tenggorokannya sakit. Ten memaksa tubuhnya untuk merangkak mendekatinya, tapi rasanya percuma. Energinya sudah dibabat habis karena terlalu banyak kehilangan darah. Ia mengerang kesakitan, lantas kembali berteriak kepada Yui. "Aku tahu kau ada di sana, aku mohon, sadarlah! Kobayashi Yui, ingat siapa dirimu! Kau bukan headhunter, kau Kobayashi Yui! Tolong, hentikan semua ini!"

CRASH

Ten memejamkan matanya semakin erat. Kedua lengannya terpaksa ia tutupkan rapat-rapat kedua kedua telinga agar ia tidak perlu mendengar suara-suara menjijikkan dari kulit, daging, dan organ manusia yang ditusuk dan disayat berkali-kali dengan golok. Ia sudah cukup melihat pemandangan mengerikan yang tersaji langsung di depannya. Sesuatu yang lembut, basah, sekaligus lengket menempel dan masuk ke dalam mulutnya. Seketika Ten memuntahkan benda tersebut yang rupanya adalah potongan bola mata manusia.

Astaga. Astaga. Astaga.

Teriakannya itu tidak diindahkan oleh Yui. Setan sepertinya berhasil mengambil alih tubuh Yui. Dan menggerakkan semua tangan dan kakinya. Akhirnya, Ten memberanikan diri untuk membuka mata dan ia langsung disambut oleh kepala Rei yang sudah terpisah dari tubuhnya-yang juga sama-sama dalam kondisi yang mengerikan-dengan Yui yang berada di atas, masih menusuk-nusuk kepala yang sudah tidak berbentuk itu seperti sedang kesetanan.

Ten tidak bisa membiarkan itu terus berlanjut, jadi ia memaksa tubuhnya untuk berdiri, kemudian menggunakan tangan kanannya yang masih untuk untuk merangkul tubuh Kobayashi. Ia perlu mengeluarkan tenaga lebih besar agar ia dapat mendorong Yui menjauh dari atas jasad Rei. Memang berhasil, tapi itu membuat mereka berdua jatuh berguling ke belakang dengan Ten yang menindih tubuh Yui.

Persetan, wanita itu akan membunuhnya atau memotong salah satu jarinya lagi. Ia tidak peduli. Asalkan ia dapat menghentikan tindakan gila tersebut.

"Sudah... hentikan! Dia sudah mati, Kobayashi. Rei sudah mati!"

Kobayashi menggeram, sedikit terengah-engah. "Aku tahu." Ia membiarkan tubuhnya terjatuh ke belakang karena tenaga yang tersisa sudah tak mampu digunakan untuk menopang beban tubuhnya. Menatap kedua tangannya yang berlumur darah kental, untuk kesekian kalinya Yui merasakan perasaan aneh setelah menyadari bahwa ia benar-benar membunuh orang-membunuh Rei. Ten terlihat berdiri dengan ragu, antara keinginan untuk membantu atau tidak. Ia pasti takut jika Kobayashi yang ia lihat bukanlah Kobayashi yang sebenarnya. "Jangan takut. Ini aku. Bantu aku berdiri."

Ten menatap lurus. Berusaha mencari-cari celah kebohongan dari wanita yang duduk bersimbah darah di depannya. Alter Kobayashi terlalu banyak dipenuhi oleh tipu daya yang licik dan Ten tidak ingin terjebak untuk yang kedua kalinya. Ia kehilangan satu tangannya karena si alter dan kali ini ia tidak ingin kehilangan kepalanya juga. Setelah melihat apa yang alter Yui lakukan kepadanya, keinginannya untuk membunuh Kobayashi menghilang entah ke mana.

Yui mengerang tertahan. Ia kemudian menundukkan kepala dan sedikit membuka mulutnya. Darah menetes keluar dari dalam. Ia tampak begitu tersiksa dan Ten tidak memiliki pilihan lain untuk melingkarkan lengan kanannya pada bahu Yui dan membantunya berdiri dengan sangat berhati-hati. Ia tidak ingin menyentuh bekas luka tusukan yang ia berikan pada Yui, pun dengan jari-jari tangannya yang ternyata dipotong oleh Rei.

"Aku... tidak bisa menyelamatkan Tamura." Menggigit bibirnya sendiri dan melepaskan kontak mata dengan Yui, Ten mengingat kembali saat ia melihat sendiri cengkeraman tangan Hono terlepas dari tangannya, membuat wanita itu jatuh ke dasar jurang dengan batu-batu tajam menembus tubuhnya. "aku menendangnya hingga jatuh ke dalam jurang. Aku-Aku sempat meraih tangannya tapi... aku melepaskannya."

Ten tidak mendengar jawaban apapun dari Yui. Malahan wanita itu hanya menatapnya kosong dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia tampak terkejut dengan pernyataan Ten dan seperti akan melakukan sesuatu, namun Yui segera mengurungkan dan memilih untuk melangkah pergi sembari berucap, "Maaf tentang tanganmu."

Yui berjalan melewati Ten. Namun baru saja dua langkah, wanita yang lebih tinggi tiba-tiba menghadang di depannya. Membuat Yui terpaksa menghentikan langkah dan menengadahkan kepala.

Dahi Ten mengernyit ketika melihat wajah Yui. Terlihat jelas ia sedang menahan sakit dan Yui merasakan semua hal itu hanya agar Ten tidak dibunuh oleh Rei atau Takemoto. Rasanya tidak adil, Ten hampir membunuh Hono dan membuat wanita itu mati setelah gagal menyelamatkannya sementara ia masih terus hidup karena Yui berkali-kali berkorban untuknya.

"Kita harus pergi." Yui kembali melangkah melewati Ten dan sekali lagi wanita itu membuatnya berhenti berjalan.

"Kobayashi..." Ten kembali berbicara. "Bunuh aku."

Yui menghentikan langkahnya ketika suara Ten masuk ke dalam indra pendengarannya. Ia lantas memutar kepala, sedikit terhuyung karena trauma kepala parah yang ia dapatkan setelah berjam-jam disiksa dan dipukuli-beruntung ia masih dapat bertahan kendati luka-luka sudah tak terhitung banyaknya dan darah yang tak henti-hentinya mengalir dari tubuhnya. Tangannya masih tak henti bergetar setelah merajam dan memutilasi tubuh Rei hingga ke potongan-potongan kecil, bau anyir darah juga masih melekat kuat di pakaiannya dan Ten dengan mudahnya mengatakan hal seperti itu di belakangnya.

Menghembuskan napas dengan agak tersengal, Yui menjawab. "Jika aku ingin membunuhmu, aku sudah melakukannya sejak awal,"

"Apa?"

"Tolong, jangan buat aku membunuh lagi. Jika kau ingin mati, lakukanlah sendiri."

Jawaban Yui seketika membuat Ten terhenyak. Ia pun menarik bahu Yui, kemudian berteriak di depan wajahnya. "Kenapa? Kenapa kau selalu bertindak bodoh dan terus menyelamatkanku seperti ini? Kenapa kau tidak membiarkanku mati saja! Aku tidak memiliki alasan untuk hidup lagi... kenapa kau memaksaku untuk merasakan kehidupan yang kejam ini?"

"Kenapa?" Yui balas menatapnya dengan tatapan tajam. Mata kanannya yang kosong sempat membuat Ten gentar dan refleks melangkah mundur. "kau pikir aku memiliki alasan untuk hidup sejak teman-temanku mati dibunuh olehnya? Sejak aku tahu bahwa aku lah yang membunuh Ayah dan Ibuku, dan juga Akane?" suara Yui menjadi semakin tinggi saat ia melanjutkan. "aku tidak memiliki alasan khusus selain ingin memberimu kesempatan hidup lebih lama dariku. Yamasaki, bagaimanapun juga, aku tidak akan bisa membunuhmu. Kau bukan musuhku."

"Aku hampir membunuhmu, Kobayashi. Aku juga membunuh sahabatmu. Untuk apa kau menahan diri lagi untuk menghabisiku? Apa yang kau tunggu?"

"Kau tahu jika aku seharusnya bisa menghabisimu sekarang karena kau mengaku telah membunuh Hono. Aku bisa melakukan itu sekarang jika aku memang menginginkannya, tapi... aku tidak mau melakukan itu padamu, Yamasaki." Sekali lagi, Yui menggeleng. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya pada kita semua. Rei dan Takemoto sudah mati, roh-roh orang yang ia bunuh sepertinya sedang sangat berbahagia di atas sana." Wanita bermarga Kobayashi kembali menatap potongan kepala di dalam genangan darah berbau anyir beberapa meter di depannya. "barangkali mereka menyeret jiwanya untuk dihajar habis-habisan sebelum membawanya ke pintu neraka."

"Kobayashi..."

"Semuanya sudah selesai sekarang tapi... mengapa aku merasa begitu kosong? Rei memang sudah mati tapi ada berapa banyak yang harus dikorbankan demi membunuhnya?"

Berapa banyak yang dikorbankan? Ten mengulum bibirnya sendiri, sementara tangan kanannya mempererat cengkeramannya pada pakaian basah Kobayashi. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu, pun ia tidak juga ingin memberikan respon terhadapnya. Pikirannya sudah terlalu berkabut dan hatinya perlahan-lahan diselimuti oleh perasaan yang sama. Seperti suasana hutan yang mencekam dan begitu gelap telah memberikan pengaruh pada jiwa mereka.

"Aku sangat meminta maaf kepadamu atas kematian Morita Hikaru dan apa yang terjadi padanya menjelang kematiannya. Setelah mengetahui kebenarannya dan apa yang ia lakukan di belakang kami, jujur saja, aku jadi merasa sangat bersalah. Ia orang baik. Bahkan, ia juga menolong Akane dan Yuuka." Yui menekan dadanya lebih kuat. Merasakan darahnya sendiri bercampur dengan darah Rei di telapak tangannya. Matanya terpejam rapat ketika ia membawa dirinya untuk mengulik kembali labirin otaknya. Ada banyak sekali memori baru yang tidak pernah ia temukan, ia yakin memori tersebut adalah milik si alter. "aku ingat semuanya. Apa yang terjadi pada malam itu. Semua memori ini... adalah milik kepribadianku yang lain yang sekarang menjadi milikku juga."

"Hikaru... dia masih hidup." Jawab Ten.

"Ya, benar sekali. Dia masih hidup di dalam kepalamu bersama dengan kenangan-kenangan yang tidak ingin kau hapus." Yui menyahut cepat. Ia mengangkat kepalanya dan menjatuhkan atensi pada salah satu batang pohon yang penuh bekas sebatan dan tusukan golok. "terkadang ia menjadi bagian dari imajinasimu. Aku tahu kau melakukan ini pada Hono dan aku karena kau mendengar suara Hikaru, 'kan? Percayalah, itu hanya manifestasi dari keinginanmu yang sebenarnya. Hanya kau tidak memiliki keberanian untuk melakukan."

"Bagaimana kau-"

"Aku melihat Fujiyoshi Karin. Aku tidak tahu dia memang nyata atau memang sebagai akibat dari gangguan psikologis yang aku derita. Tapi, jika memang dia berkeliaran di luar sini sebagai arwah yang bergentayangan, aku harap dia dapat beristirahat dengan tenang."

Yui bangkit dari duduknya. Membuat rangkulan Ten pada bahunya terlepas dan membuat Ten agak terkejut meskipun ia juga turut mengikuti apa yang dilakukan oleh Kobayashi. "Tugas The Elites memang sudah selesai, tapi tugasku masih belum. Aku harus membawamu kembali dalam keadaan hidup. Kau dan aku-akan mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang sudah kita perbuat di gunung ini."

"...ya, tentu." Ten menjawab singkat, dan Kobayashi memberikan senyuman tipis padanya sebelum berbalik. Namun, baru saja ia akan melangkahkan kaki, tubuhnya tiba-tiba saja ambruk. Segera saja Ten mendekatinya. Wajah Kobayashi tampak lebih pucat dari sebelumnya. Napasnya pun semakin memberat dari waktu ke waktu.

"Aku baik-baik saja, Yamasaki. Aku hanya kehilangan tiga jari dan bukan kehilangan seluruh lenganku sepertimu." Bahkan di saat seperti itu, Kobayashi masih memiliki waktu untuk bercanda.

"Biarkan aku membantu-"

DOR

Ten refleks menurunkan kepalanya begitu sebuah tembakan terdengar, menyasar tepat dan menembus lutut kiri Kobayashi membuatnya seketika limbung dan terjatuh sembari mengerang kesakitan. Ia mengerahkan tangannya ke depan, menyentuh pakaian Ten yang basah oleh darah, kemudian mendorongnya menjauh. Tapi ia tidak mau pergi, ia tetap berada di sana, berusaha untuk menolong Kobayashi sebelum terlambat.

Tapi sial bagi mereka, sebab suara tembakan berikutnya meledak beberapa meter di belakangnya.

DOR

"Argh! Ten, menjauh dariku. Pecahan peluru ini bisa melukaimu-!" Yui berteriak. Merasakan peluru panas itu menghancurkan lengan kanannya, membuat anggota geraknya seketika lumpuh. Salah satu kaki dan tangannya telah dihancurkan oleh fragmen-fragmen peluru, membuatnya mati rasa seketika. Tapi, ia masih bisa bergerak menggunakan tangan dan kakinya yang lain. Sekali lagi, Yui mencoba berdiri. Meskipun tubuhnya nyaris terjerembab jatuh di atas tanah.

Dan ketika ia berhasil berdiri tegap dengan segenap tenaga yang tersisa, sekali lagi ia merasakan sesuatu yang panas melesat keluar dari dalam tubuhnya.

DOR

DOR

Dua tembakan lagi dilepaskan, menyasar tangan dan kakinya yang tersisa. Kobayashi menggemeretakkan giginya, tubuhnya terjatuh begitu saja di atas tanah yang basah oleh genangan darahnya sendiri. Ia tak mengerti mengapa ia ditembak sebanyak empat kali. Tak mungkin ia korban dari peluru nyasar yang dilontarkan kepadanya, iya kan? Ia juga tidak memberikan ancaman pada Ten, atau pada orang lain yang barangkali berada di sana tanpa ia ketahui.

Lantas, kenapa?

DOR

DOR

"AGH-"

Dua tembakan terakhir tepat mengenai leher dan dada kiri Kobayashi. Lengkap sudah, ia akan segera mati sekarang. Pada akhirnya ia tidak akan bisa pulang ke rumahnya lagi. Ini adalah ganjaran yang diberikan kepadanya. Merasakan kejamnya malaikat maut merenggut nyawanya perlahan-lahan seperti dirinya membunuh kedua orang tuanya. Persis seperti ia membunuh kekasih sahabatnya.

Meskipun bukan Yui yang melakukan tindakan biadab itu, tetap saja, ia tetap turut andil di dalamnya. Oleh sebab itu, sebagian kecil dari hatinya percaya bahwa ia pantas menerima balasannya sekarang. Huh, pastilah alternya itu sedang tertawa terbahak-bahak seperti orang gila, diam-diam menikmati lecutan perih yang dirasakan oleh Yui. Padahal, beberapa saat lagi ia juga turut mati bersama gelenyar darah dari tubuh Yui ini.

Yui tertawa getir, bersamaan dengan itu darah segera membuncah keluar dari lubang peluru di lehernya. Ia dapat melihat darahnya sendiri memercik keluar, dan Yui berusaha menahannya dengan membekap lubang peluru itu dengan telapak tangan-meskipun hal itu hampir percuma karena darah selalu berusaha mencari celah di antara jari-jarinya dan terus merembes keluar.

Ten terbelalak. Dengan gerakan patah-patah karena sakit luar biasa yang berasal dari bahu dan tangannya yang putus ia mendekati Kobayashi yang terkapar dengan napas yang berat. Darah membasahi wajah, rambut, tubuh-semuanya. Ia telah kehilangan banyak darah dari empat luka tembak yang melumpuhkan tangan dan kakinya. Sebagian sklera matanya tampak berubah warna menjadi merah, barangkali disebabkan oleh pendarahan dalam.

Akan tetapi semuanya sia-sia. Tubuhnya pun sepertinya sudah berada di ujung tanduk. Persendian kakinya berderak nyeri setiap kali Ten berusaha bergerak. Hingga akhirnya ia terpaksa menjatuhkan tubuhnya sendiri di samping tubuh Yui karena ia sudah tak mampu lagi.

Saat Ten menyeret tubuhnya mendekat, ia sampai harus menekan dada Kobayashi dan memastikan bahwa masih ada napas disana. "Ten. Kau selamat... ah, terima kasih. Terima kasih-ukh!" yang lebih muda menarik napas cepat dan menahannya. Hampir meneteskan air mata saat mendengar Yui menyebutkan namanya dengan suaranya yang begitu serak. Darah mengalir keluar dari sela-sela bibirnya.

Oh, astaga, apakah ini akhirnya?

Apa yang harus ia lakukan? Yui sudah berkali-kali menyelamatkan nyawanya dan ia hanya bisa berada di sana tanpa melakukan apapun sebagai balasan. Sekarang adalah saat-saat kritis dan ia masih saja berdiam diri dengan tangan gemetar seperti orang bodoh.

"Kobayashi, tidak... bertahanlah, aku mohon!"

Ten tersentak saat mendengar suara tarikan senjata dan puluhan sorot lampu senter yang seketika membuatakan matanya. Ketika ia mengangkat kepala dan menengok ke depan, ia menemukan banyak sekali personel bersenjata yang melingkari mereka, masing-masing menodongkan senjata ke arahnya. Siapa... siapa dari mereka yang menembak Kobayashi? Risa berdiri tak jauh dari mereka, mengangkat pistolnya dan hendak menembak lagi. "Kobayashi-tidak! Inspektur! Berhenti menembak!"

"Menyingkir dari sana, Ten. Biarkan aku menyelesaikan ini!" Risa menyahut dengan sengit. Pistol kembali terangkat dan jari telunjuk Risa sudah siap menarik pelatuk.

"Inspektur-!"

"Risa! Berhenti menembak!"

Akiho berteriak. Ia melesak ke depan, sepatu bootsnya menginjak kubangan lumpur dan nyaris membuat tubuhnya terjerembab ke depan. Beruntung, ia dapat segera meraih lengan Risa dan mengangkat tangannya ke atas. Moncong pistol pun berubah menghadap langit dan satu tembakan terakhir diloloskan ke atas.

DOR

Tepat satu detik setelah peluru terakhir dari magazine Risa diloloskan keluar dan membuat suara yang begitu keras untuk terakhir kalinya, suasana mengerikan segera menyerang dan menyelimuti puluhan orang yang berada di sana. Cahaya bulan yang menembus celah-celah pepohonan membuat mereka semua dapat melihat sisa-sisa pembantaian yang baunya dapat tercium meskipun ratusan meter jauhnya.

Buruk. Benar-benar buruk.

Beberapa orang petugas segera mengenakan masker atau penutup kain yang dililitkan untuk menyumbat hidung dan mulut mereka. Mereka juga mengusapkan minyak mint di dalam hidung dan fragmen kain yang akan digunakan sebagai masker darurat. Apa yang terjadi sekarang benar-benar kelewat mengerikan. Tak pernah mereka melihat TKP pembunuhan yang lebih buruk dari ini, dan mungkin saja insiden di lembah Gunung Kumotori akan masuk menjadi catatan yang akan dibicarakan oleh seluruh anggota kepolisian selama bertahun-tahun ke depan.

Sepetak tanah itu digenangi oleh darah dan serpihan-serpihan organ manusia. Pada satu sisi, tampak sebuah benda bulat menyerupai bola dengan sebatang kayu yang menempel. Tapi kemudian, ketika sorot lampu senter diarahkan ke benda tersebut, nampaklah sebuah kepala manusia yang hampir terbelah dua. Batang kayu yang menancap tadi ternyata adalah sebilah golok yang dibiarkan menembus kepala tersebut.

Salah seorang petugas terlihat ragu, tepat di depannya adalah genangan darah yang dimaksud. Ia harus menginjaknya jika ia ingin mengetahui lebih jelas siapa dua orang yang tergeletak tak bernyawa di sana. Tapi persetan, darah yang menempel dapat dibersihkan. Ia juga dapat membuang sepatu ini jika ada potongan daging atau tulang yang terselip di celah sol-dan semoga opsi kedua ini tidak benar-benar terjadi.

"Dia bukan Ozono Rei, Inspektur Watanabe. Yamasaki Ten tidak berbohong!" empat orang petugas turut berlari mendekat, lantas menyorotkan flashlight yang terpasang di ujung senapan mereka dari empat arah bersama-sama. "Ini kepala Ozono Rei."

Apa?

Risa tercekat.

Apa yang petugas itu katakan padanya? Ia tidak mungkin menembakkan peluru sembarangan. Ia seratus persen yakin bahwa tembakan itu mengenai targetnya-Ozono Rei!

Perlu waktu beberapa detik bagi Risa untuk memproses apa yang terjadi. Otaknya seakan dibekukan dan rasanya ia seperti berada di tempat hampa dengan dirinya seorang terjebak di dalamnya. Apa petugas itu berbohong? Tapi, jika mereka memang berbohong, seharusnya Risa dapat menemukan Yui di tempat itu juga karena Ten juga berada di sana. Faktanya, saat itu Risa tidak melihat Yui dan hanya melihat kepala Rei yang tercerai berai-sekitar tiga meter dari tempat Ten terkapar.

Jika itu Rei, maka...

Oh, tidak. Apa yang sudah aku lakukan?

"KOBA!"

Dilemparkannya senjata api yang ia genggam ke tanah dan tanpa menunggu lagi, Risa segera merangsek maju dengan sangat cepat. Ozeki dan Akiho turut mengikutinya sementara anggota pasukan khusus yang datang bersamanya segera mengamankan Ten dan membungkus jasad dan memungut sisa-sisa organ tubuh Rei dengan bodybag. Akiho berusaha menekan pendarahan hebat yang dihasilkan oleh banyaknya luka tusukan dan lubang peluru yang bersarang di tubuh Yui. Ia juga membebat jari-jari tangan kiri Yui yang terpotong dengan kain seadanya.

Suasana yang semula cukup gelap karena hanya diterangi dengan senter seadanya kini menjadi terang benderang. Di atas mereka, helikopter milik pasukan anti-teror sudah siap mengevakuasi para korban dan petugas yang terluka. Mereka perlu meminta bantuan pada ranger setempat untuk menerjunkan helikopter tambahan sebab satu unit milik pasukan anti-teror sedang dalam perjalanan kembali ke Tokyo membawa jasad ke-13 personel yang terbunuh.

Meski dengan penerangan yang mendukung dan bantuan dari beberapa medis dari pasukan anti-teror, semua tindakan itu sepertinya tidak akan mampu untuk menyelamatkan nyawa Kobayashi. Ozeki tahu itu. Kesadaran Kobayashi terus menurun dan ia mulai kehilangan respon saat ia berusaha memanggil namanya. Lagipula, sejak kapan? Sejak kapan Ozeki mau berusaha sekeras ini untuk menyelamatkan nyawa seorang pembunuh?

Apa mungkin karena ia sebenarnya tengah berusaha menyelamatkan seorang teman sekaligus sosok paling berharga bagi seorang wanita yang berlutut di depannya-komandannya sendiri, Watanabe Risa yang kini berteriak-teriak memanggil nama Yui hingga suaranya berubah menjadi lebih serak.

Risa tampak begitu hancur. Menyadari fakta bahwa tangannya sendiri lah yang membuat peluru-peluru panas itu bersarang dan menghancurkan tubuh Yui dari dalam, hanya karena ia ceroboh dan mengabaikan saran dari rekan satu timnya untuk tidak langsung menembak sebelum benar-benar memastikan targetnya. Ini salahnya. Ia pikir kemampuannya sebagai penembak terbaik di akademi dapat menaklukkan gelapnya hutan. Karena kesombongannya, ia sampai menembak Yui hingga delapan kali tembakan.

Ia meraih tangan Yui dan menggenggamnya sekuat tenaga. Disentuhkannya tangan dingin itu pada pipinya yang lebih hangat. Setidaknya sentuhan itu berhasil membuat perhatian Kobayashi yang semula hanya memandang langit gelap di atas sana beralih pada Risa yang tengah berusaha keras menahan keinginannya untuk tetap tegar.

Risa? Yui mencoba mengingat kembali wajah itu. Figur yang terpahat sempurna meskipun menyimpan banyak sekali luka yang disembunyikan dengan rapi di baliknya. Ia ingat Risa selalu menyembunyikan kesedihannya dengan baik dan berusaha untuk tetap professional kapan saja. Tapi saat itu, ia dapat melihat Risa yang sesungguhnya. Jangan menangisi aku. Aku tidak pantas ditangisi seperti itu, Ris.

Kapan ya ia terakhir kali melihat Risa seterpuruk dan semenyedihkan ini sebelumnya? Apakah beberapa hari dan beberapa tahun setelah kematian Karin? Atau... beberapa hari yang lalu? Yui tidak dapat memastikan. Semua memorinya terasa kacau dan saling tumpang tindih, saling menghapus satu sama lain. Sepertinya ia sudah benar-benar rusak sekarang, baik secara fisik dan psikis. Tapi... entah mengapa, mengetahui Risa ada di sisinya saat ini membuatnya merasa sedikit lebih baik.

Meskipun Yui sepenuhnya sadar dan tahu Risa sempat menjatuhkan sepucuk pistol di tangannya-Yui melihatnya sendiri, sepersekian detik sebelum tubuhnya tumbang di atas genangan darahnya sendiri.

Risa adalah orang yang telah menembaknya.

"...Risa." Yui membuka mulutnya. Bersamaan dengan itu, darah yang tadinya ia tahan agar tetap berada di dalam mulutnya kini tumpah keluar. Membuatnya semakin kesulitan untuk bernapas. Dadanya diserang oleh nyeri dan panas yang membakar.

Rasanya seperti bongkahan bola besi panas yang dibakar hingga hangus, dijejalkan begitu saja ke dalam paru-parunya untuk melelehkan seluruh organ dalamnya, membuatnya mati perlahan-lahan dengan cara yang amat sangat menyakitkan. Telinganya hampir sama sekali tidak berfungsi. Sebab sejak tadi ia hanya dapat mendengar suara mendengung yang begitu keras, disertai dengan bisikan-bisikan acak yang mungkin berasal dari orang-orang di sekitarnya.

Tak berbeda jauh dengan tangan dan kakinya. Semula ia masih dapat merasakan perihnya luka yang disebabkan oleh peluru yang menembus alat geraknya, kini ia tak lagi dapat merasakan keberadaan tangan dan kakinya itu. Rasanya ia seperti dilumpuhkan perlahan-lahan, dimulai dari bawah kaki dan... semakin naik ke atas.

Ah... sudah dekat, ya? pikir Yui. Ia memutar matanya ke samping, menemukan Karin mulai mendekatinya. Sosok tersebut berhenti di tengah-tengah keramaian petugas yang mengevakuasi jasad Rei dan membawa Ten untuk dirawat. Tidak ada yang tahu Karin berdiri di sana. Bahkan orang-orang itu dengan mudah menembus tubuhnya yang transparan.

Karin tidak lagi menampakkan sosoknya yang mengerikan-sebuah sosok hantu tanpa kepala dengan darah yang melumuri leher dan pakaian. Seluruh anggota tubuhnya lengkap. Mulai dari kepala dan tangannya, tidak ada yang kurang. Seragam putih yang ia kenakan pun terlihat begitu bersih tanpa adanya noda darah yang sebelumnya selalu ada di sana. Sosok tersebut menganggukkan kepala, kemudian tersenyum hangat kepadanya.

"Sudah selesai, Kobayashi. Terima kasih banyak." Sosok tersebut berucap seraya tersenyum tipis, lantas melayang mendekatinya. Sekarang, Yui dapat melihatnya berdiri di belakang tubuh Risa, memperhatikan wanita itu lebih dekat sekaligus menunggu Yui dengan sabar. "Aku akan menunggumu. The Elites harus tetap bersama, iya kan?"

Bersama katanya? Tapi aku tidak ingin bersama jika keadaannya seperti ini. Aku ingin kita semua... hidup. Seperti dulu.

Erangan kecil terdengar dari bibir Yui yang terbuka. Darah segera merembes keluar, membasahi rahang dan lehernya yang turut mengeluarkan darah sama banyaknya. Yui sampai harus memiringkan kepalanya agar darah yang sedemikian banyak tidak menyumbat tenggorokannya lagi.

"Yui, astaga. Maaf, maafkan aku. Aku mohon, jangan... jangan tutup matamu, ya? Tolong bertahanlah sedikit lagi. Kau akan baik-baik saja, aku janji, aku akan terus ada disini dan menemanimu hingga kau merasa lebih baik-" suara Risa mendadak menghilang di tengah jalan. Ia tak kuat menatap mata Yui lebih lama lagi. Risa terbatuk perlahan, memejamkan matanya rapat-rapat dan membuat tetesan air mata jatuh dari kedua matanya. "kau tahu, aku sudah membuat banyak rencana menyenangkan yang dapat kita lakukan esok hari, saat semuanya sudah selesai. Kau bilang kita akan kembali seperti dulu lagi, bukan? Kita akan pulang ke rumah kita sendiri dan menjalani hidup seperti yang kita inginkan. Aku-Aku mencintaimu, Yui. Dan aku tahu kau juga mencintaiku, iya kan? Jadi-Jadi-tolong, jangan tinggalkan aku lagi. Tolong, jangan pergi lagi!"

Aku juga mencintaimu, Risa. Selalu seperti itu dan tidak akan pernah berubah.

"Aku tidak peduli jika kau memang seorang pembunuh, aku sungguh tidak peduli. Yang aku inginkan hanya hidup bersamamu, menggantikan waktu di mana kita saling berpisah satu sama lain. Aku tidak peduli sehancur apa dirimu, Yui. Sebab aku bersumpah akan memperbaikimu. Karena itu, Yui... beri aku kesempatan untuk memulai lagi. Aku mohon, bertahanlah untukku, Yui!"

Yui menarik napasnya, untuk yang terakhir kalinya barangkali. Jadi ia tak ingin melewatkan rasa oksigen memenuhi paru-parunya yang rusak. Meskipun itu sia-sia karena napasnya seketika tercekat di tengah jalan. Pandangannya perlahan-lahan menghitam dan sosok Risa yang ada di depannya semakin tidak terlihat jelas. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, ia berusaha keras untuk mengeluarkan suaranya-ia ingin mengatakan sesuatu pada Risa. Ia ingin Risa mengetahui bahwa perasaannya masih tidak berubah, tak peduli seberapa banyak luka yang wanita itu torehkan pada hatinya.

Namun, hanya geraman-geraman tak jelas saja yang dihasilkan oleh pita suaranya. Itu tidak sebanding dengan rasa sakit luar biasa yang segera menyerangnya tepat setelah itu. Tubuhnya menegang, genggamannya pada jemari Risa menjadi semakin kuat.

Yui tahu ia akan segera pergi dan itu hanya menunggu waktu beberapa detik saja. Ia tidak mau pergi, ia tidak ingin dibawa pergi-ia tidak ingin mati. Tapi apa daya? Kini tubuhnya sudah sepenuhnya mati rasa. Ia tahu Risa tengah berusaha menepuk-nepuk wajahnya dan membuatnya tetap sadar, Yui melihatnya.

Tapi... Yui sudah tidak dapat lagi merasakan sentuhannya.

Ada yang mengatakan bahwa hal terakhir yang kita lihat pada detik-detik kematian adalah kilas balik dari kehidupan kita sendiri. Dan itulah yang Yui rasakan sekarang. Yang ada di kepalanya tak lain dan tak bukan adalah perjalanan hidupnya sendiri. Dimulai dari masa kecilnya yang ia habiskan di panti asuhan. Di tempat itu ia merasakan sakit dan kerasnya kehidupan di usia yang terlampau muda.

Kemudian tumbuh besar hingga menjadi remaja yang didambakan oleh semua orang di lingkungan Keluarga Kobayashi, mencetak berbagai prestasi hebat hingga berkesempatan untuk menjadi salah satu siswi terbaik dari yang paling baik di Sakurazaka Academy. Di masa inilah ia mengenal cinta sebagai bentuk emosi yang paling egois dari yang pernah dimiliki manusia, hubungan dan ikatan bersama setiap anggota The Elites, termasuk mengetahui fakta dari masa lalunya-bahwa ia sebenarnya adalah anak yang tidak diinginkan dengan potensi menjadi monster karena gangguan psikologisnya.

Berlanjut hingga ia tumbuh dewasa. Berusaha menerima perasaan duka dan kehilangan diakibatkan oleh kematian Seki Yumiko dan Fujiyoshi Karin. Sejak hari itu, ia bersumpah untuk mendedikasikan hidupnya sebagai pelayan masyarakat. Yui rela menghabiskan masa mudanya untuk menjalani pendidikan dokter selama bertahun-tahun, meskipun ia juga harus tetap melakukan rehabilitasi yang begitu menyiksa.

Hingga sampai hari ini, saat di mana perjalanan hidupnya selesai.

Namun, ia tak yakin. Apakah ia hanya takut akan dosa-dosa yang pernah ia lakukan di masa lampau sehingga ingatan-ingatan tersebut datang kembali kepadanya. Atau memang pernyataan itu memang benar adanya. 27 tahun rasanya terlalu cepat baginya untuk mati. Perjalanannya masih panjang, masih ada banyak hal yang belum sempat ia lakukan. Tapi apa yang ia bisa lakukan untuk menghindari kematian?

Tidak ada.

Risa... setelah ini, aku harap kau mendapatkan hidup yang lebih baik. Meskipun aku tidak ada di sisimu saat itu, percayalah aku akan selalu memperhatikanmu dan mengharapkan kebahagiaanmu.

Yui menyelesaikan kalimatnya dalam hati. Kalimat yang seharusnya ia ucapkan secara langsung pada Risa. Ia percaya, jika memang mereka masih ditakdirkan untuk bersama, mungkin mereka akan diberi kesempatan untuk bertemu lagi dengan keadaan yang lebih baik. Di garis waktu yang lain, atau mungkin... di kehidupan selanjutnya, apabila Tuhan sudi menghendaki sebuah harapan kecil dari seorang pembunuh sepertinya. Ia tersenyum tipis, sementara matanya yang sudah mati menangis. Cengkeraman tangannya berangsur-angsur terlepas dan akhirnya jatuh begitu saja di atas tanah.

Selesai sudah.

Akiho menghembuskan napasnya yang sejak tadi ia tahan. Ia menundukkan kepalanya sedalam mungkin, menyampaikan belasungkawa yang sangat dalam pada Risa. Darah di kedua tangannya menetes turun membasahi seragamnya. Memberikan tanda bahwa Yui sudah tidak bisa lagi diselamatkan.

Malam itu, hujan turun semakin deras. Lebih dari cukup untuk mendeskripsikan tangisan Risa dan retakan emosi yang harus ia alami saat itu. Ia berteriak memanggil namanya, berharap wanita yang ada di pelukannya akan menjawab panggilan putus asanya itu. Risa dapat mendengar suara Yui menggema di dalam kepalanya dan ketika ia melihat ke bawah, berharap ia akan menemukan tanda-tanda kehidupan, Risa hanya menemukan mata tersebut menatap lurus ke atas-sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

"A-Apa yang kalian lakukan? Kenapa hanya berdiri dan diam saja seperti itu? D-Dia masih hidup, dia masih bisa diselamatkan. Kenapa kalian tidak mau membantuku?" Risa menggeram, melihat rekan-rekannya tak lagi melakukan apapun selain menundukkan kepala seperti patung. Suasana seketika berubah menjadi begitu sepi. Tak ada lagi suara-suara manusia dan hanya ada suara isak tangis Risa dan rintik air hujan yang mengisi keheningan malam.

Suara derak sepatu terdengar, dan Risa menemukan Ozeki mendekatinya. Wanita itu menggelengkan kepala sekaligus menunjukkan ekspresi sedih dari kedua matanya yang memerah, sontak saja itu membuat Risa terkejut setengah mati. Tunggu, tidak-!

"Koba-tidak... hei, jangan bermain-main denganku. Kau tahu ini tidak lucu, bukan?" ah, sial. Risa memaksa dirinya sendiri untuk tersenyum dan berbicara dengan nada berisi candaan. Sebab siapa tahu jika wanita yang ada di pangkuannya ini sebenarnya hanya bercanda saja. Tapi tak dipungkiri seberapa kuat keinginannya untuk percaya dengan angan yang ia buat, itu tetap tidak cukup kuat untuk menahan deraian air mata yang membasahi wajahnya. "aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Maaf, maafkan aku... tolong, buka matamu dan lihat aku, Koba. Aku ada disini, sayang, aku datang padamu dan kembali lagi sepenuhnya kepadamu seperti yang aku janjikan. Tapi, kenapa...?"

Risa melepaskan tangannya dari salah satu luka tembak yang menembus tubuh Yui. Saat ia mengangkat tangannya, nampaklah darah merah yang benar-benar melumuri seluruh telapak tangannya. Ia tercekat, tangisannya semakin menjadi-jadi. Dipeluknya tubuh tak bernyawa Yui yang penuh luka dengan erat, tak peduli semua darah itu akan mengotori wajah dan pakaiannya. Tak sedikit pun memiliki keinginan untuk melepaskannya begitu saja.

"Kobayashi... please." Ia berusaha memanggilnya sekali lagi. Kendati Yui tidak akan bisa mendengarnya atau menjawab panggilannya. Yui sudah cukup kuat untuk menunda kematiannya selama beberapa hari, atau mungkin beberapa jam. Ia memaksa dirinya sendiri untuk menyelesaikan apa yang telah mereka mulai sepuluh tahun yang lalu, seorang diri. Meskipun ia telah disiksa sedemikian sadis, ia masih mampu bertahan untuk menyelamatkan dan menghabisi Rei sendirian.

Sekarang adalah saat bagi Yui untuk beristirahat dengan tenang dan The Elites juga sudah benar-benar merampungkan tugas mereka-menghentikan Ozono Rei melakukan pembunuhannya pada orang-orang yang tidak berdosa.

Dengan demikian, bukankah seharusnya Risa merasa lega karena seluruh beban hidup yang telah ia bawa selama sepuluh tahun telah menghilang selama satu malam? Mungkin setelah ini juga Risa akan mendapatkan kenaikan pangkat serta bintang kehormatan dari National Police Agency dan seharusnya ia bangga, 'kan? Sepertinya tidak semudah itu. Sebab, apa gunanya jika semua itu harus dibayarkan dengan nyawa dari orang-orang yang sangat ia sayangi? Takdir memang sudah digariskan, tapi mengapa miliknya terlihat begitu kacau dan tidak adil?

"Risa, Yui... dia sudah pergi, kawan. Tabahkan hatimu. Kau harus bisa melepaskannya." Ozeki berjalan mendekat. Berusaha menarik Risa menjauh dari jasad Kobayashi mengingat beberapa orang anggota sudah bersiap dengan kantung jenazah untuk mengevakuasi tubuh Kobayashi yang sudah tak bernyawa di tangannya.

"Lepaskan, Ozeki!" bentak Risa. Suaranya yang begitu keras seketika membuat seluruh anggota yang berada di sana terkejut setengah mati. Bahkan ada beberapa dari mereka yang segera menurunkan kedua tangan, turut menunduk dan menatap kosong pada boots mereka yang menapak di atas tanah basah.

Ozeki melanjutkan. Berusaha keras agar suaranya tidak tenggelam oleh suara mesin helicopter sekaligus suara pepohonan lebat yang ditiup angin. "Risa... cuaca akan semakin buruk dalam beberapa jam dan entah mengapa angin menjadi lebih kencang sekarang. Helikopter itu tidak bisa menunggu lebih lama."

"Aku tahu, aku tahu..." Risa yang terus berusaha menjawab di sela-sela tangisan membuat Ozeki tak tega untuk menekannya lagi. "beri aku waktu. Lima menit. Hanya lima menit. Itu tidak akan melukai siapapun."

Ia masih perlu waktu untuk menenangkan diri. Sekali lagi memperhatikan wajah wanita yang paling ia cintai untuk yang terakhir kali. Dengan berat hati, Risa menurunkan tubuh Yui setelah memeluknya selama beberapa menit.

Dari yang Risa ketahui, mata adalah pintu keluar masuknya jiwa. Dan saat orang tersebut meninggal dunia, matanya sudah kehilangan cahaya miliknya. Begitu pula dengan mata Yui sekarang-Risa masih ingat betapa cantik dan indah warna cokelat muda irisnya di bawah cahaya. Dan sorot mata itulah yang telah membuat Risa jatuh cinta sejak pandangan pertama.

Bagaimana aku akan meminta maaf? Jari-jarinya menyentuh wajah dingin Yui sejenak. Lantas mengusapnya lembut untuk membersihkan noda darah yang menempel disana. Barangkali ini adalah saat-saat terakhir Risa dapat melihat wajahnya sedemikian dekat, jadi ia mengambil waktu lebih lama untuk mengenang wajahnya-termasuk segala memori indah yang pernah mereka lalui bersama. Kobayashi Yui, Kobayashi... Yui.

"Aku akan selalu mencintaimu," bisik Risa. Dilepaskannya cincin berdarah dari jari manis tangan kiri Yui. Hatinya hancur berserak begitu menyadari tiga dari lima jari tangan kirinya hampir sepenuhnya terpotong. Termasuk jari manisnya yang hanya menyisakan setengah bagiannya saja. Digenggamnya cincin itu kuat-kuat seraya menitikkan air mata penyesalan sebelum akhirnya Risa menutup mata Yui dengan ibu jarinya. "Du bist die Liebe meines Lebens. Sampai kita bertemu lagi, Yui."

Menyelesaikan ucapan terakhir dan benar-benar meneguhkan hatinya yang remuk redam, Risa meletakkan tubuh Yui di atas tanah, secara tidak langsung memberikan kode pada rekan-rekannya untuk segera melakukan tugasnya. Tangannya yang masih menggenggam cincin emas berlumur darah milik Yui pun terangkat dan ia menekan dadanya kuat-kuat. Tiap kali ia menarik napas, dadanya terasa seperti dihantam oleh tenaga tak kasat mata, cukup membuat napasnya tersendat-sendat seperti ia sedang sekarat.

Risa mengusap air matanya. Meskipun dengan segala perselisihan yang membuat mereka berdua saling berjauhan satu sama lain, rupanya Yui masih memiliki hati untuk menyimpan cincin yang pernah mengikat hubungan mereka berdua. Bahkan ia masih memakainya hingga saat-saat terakhir hidupnya. Ah, mengingat semua kenangan itu kembali membuat Risa terisak. Ia mengangkat cincin itu mendekati wajahnya, kemudian menciumnya.

Rekan satu timnya sesekali memandang ke arahnya, turut merasakan kesedihan yang dialami oleh komandan mereka. Hanya saja, untuk saat ini mereka tidak bisa melakukan apapun selain membiarkan Risa menghabiskan waktunya sendirian. Itu cukup untuk menghargai perasaannya yang sedang tidak stabil. Dan karena kondisi Risa yang tidak memungkinkan, Ozeki mengambil alih komando.

Risa memperhatikan noda darah milik Yui yang melumuri kedua tangannya hingga ke lengan. Saat ia menurunkan tangannya, membiarkannya menggantung lemah di sisi tubuhnya dan mengangkat wajah, ia menemukan tubuh Yui tengah dimasukkan ke dalam kantung jenazah. Realita kembali menghantam seisi kepalanya seperti sebuah meriam. Hatinya yang masih tak menerima kematian Yui sekali lagi dipaksa untuk menghadap kenyataan yang sudah menunggu di depan mata.

Ia benar-benar merasakan kehancuran yang paling besar dalam hidupnya sekarang. Bahkan kekuatan untuk membuatnya bangkit berdiri dan bergabung dengan petugas-petugas lainnya pun tidak ada. Risa hanya dapat terduduk di sana, di atas tanah basah berwarna merah dengan hati yang berdenyut-denyut nyeri dan air mata yang tak henti-hentinya mengalir-dengan tatapannya yang kosong tertuju pada kantung jenazah berwarna hitam yang mulai dimasukkan ke dalam helikopter.

Risa masih tidak bisa menerima fakta bahwa setelah ini ia tidak akan bisa bertemu dengan Yui lagi. Ia juga tidak akan bisa mengatakan betapa ia menyayangi dan mencintainya, pun ia tidak akan bisa lagi mendengar suara lembut Yui yang memanggil namanya hanya untuk memarahinya karena terlalu sibuk bekerja.

Risa juga masih dapat merasakan pelukan hangat Yui yang masih bersarang pada tubuhnya-siapa sangka pelukan itu sebenarnya adalah tanda dari sebuah perpisahan? Mulai detik ini, Risa akan benar-benar menghabiskan hidupnya seorang diri karena Yui sudah benar-benar tidak ada lagi di sisinya.

Hari ini, 14 Oktober, pukul 03.45 dini hari, Kobayashi Yui menghembuskan napas terakhirnya. Kematiannya turut menandai berakhirnya kasus pembunuhan berantai Black Mail dan headhunter, sekaligus menutup sejarah kelam yang berkaitan dengan nama Sakurazaka Academy setelah sepuluh tahun lamanya.

Dendam berlarut-larut selama sepuluh tahun akhirnya dapat terselesaikan, bersama dengan puluhan jiwa-jiwa tidak berdosa yang turut menjadi korban di dalamnya.

Semuanya sudah benar-benar berakhir.

















Du bist die Liebe meines Lebens: you're the love of my life.

Entahlah, ngga ada yang tahu kenapa Risa sengaja ngucapin itu pakai bahasa Jerman. Mungkin dia malu didenger anak buahnya kali ya?

But, shit... Kobayashi 🥲

Oiya, baca chapter ini sambil dengerin lagu yang kukasih di paling atas rasanya enak banget loh (Aquilo - Sorry). Retak jadi lima ini hatiku hahaha...

Aku ngga bisa ngasih komentar apa-apa, jadi ya sudahlah (padahal lagi sibuk narik ingus). Btw, Unnatural masih belum selesai. Masih sisa epilog, jadi tunggu beberapa hari lagi ya! Semangat semuanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top