Epilogue: Take Me Back To The Night We Met
Hari berganti dengan hari yang lain. Dan bulan berganti dengan bulan yang berbeda setiap tahunnya. Pun dengan tahun masehi yang semakin tua usianya. Orang-orang datang dan pergi dengan berbagai faktor dan alasan yang berbeda. Tidak peduli ada berapa banyak kematian setiap detiknya dan seberapa besar duka yang dialami oleh banyak orang, bumi hanya akan berhenti berputar di sudut pandang mereka. Di luar itu, kehidupan akan terus berjalan sebagaimana mestinya.
Hari ini, Watanabe Risa duduk termenung di dalam mobil dengan pandangan lurus menghadap banyaknya mobil yang keluar masuk tempat parkir dan ratusan siswi yang berlalu-lalang mengenakan seragam putih bersih. Ia hanya mengenakan kemeja putih polos yang dilapisi dengan blazer hitam, membuatnya semakin terlihat lebih muda dari usianya yang baru saja menginjak 34 tahun tepat satu minggu yang lalu.
Tangannya tampak berdiam, tidak melakukan gerakan apapun dan diletakkan di atas paha. Kopi panas yang masih mengepulkan asap dan juga sepotong roti matcha yang aromanya menggelitik hidung tampak sama sekali tidak menarik perhatiannya.
Sudah lima tahun berlalu sejak insiden mematikan di Gunung Kumotori. Dari insiden tersebut, orang-orang yang tidak mengerti lebih banyak melihat sisi terang yang Risa dapatkan dari kasus tersebut. Sebab, tepat setelah kasus dinyatakan selesai, Risa langsung dipanggil untuk menghadap petinggi kepolisian dan diberitahukan bahwa ia harus mengikuti upacara kenaikan pangkat dan penganugerahan bintang emas atas keberhasilannya. Hari itu, ternyata tidak hanya dirinya seorang yang akan mendapatkan kenaikan pangkat. Ozeki, Akiho, Harada, dan beberapa personel lain juga mendapatkan kenaikan pangkat atas jasa mereka.
Tepat pada hari upacara dilaksanakan, semua orang menyadari bahwa Risa menghadirinya dengan raut wajah penuh kesedihan. Bahkan ketika pangkat yang bersandar di kedua bahu kokohnya diturunkan dan digantikan dengan yang baru serta bintang emas disisipkan di dadanya, ia tetap tidak mengubah ekspresi tersebut barang sedikit saja. Selama satu hari penuh, ia nyaris menyerupai mayat hidup yang berdiri dan berjalan-jalan di sekitar lapangan utama headquarter NPA.
Mungkin hanya ada segelintir orang yang tahu bahwa ada kisah pilu di balik hingar bingar upacara tersebut. Inspektur Watanabe Risa, kehilangan orang-orang yang paling berharga dalam hidupnya hanya dalam waktu satu malam saja.
Malam itu, ia telah melepaskan tembakan salah sasaran yang akhirnya membunuh Kobayashi Yui—mantan tunangannya sendiri yang kebetulan merupakan pelaku dari kasus pembunuhan Headhunter. Kobayashi tidak bisa bertahan dari delapan luka tembak dan belasan tusukan pisau di tubuhnya, ia mengalami pendarahannya yang terlalu parah sehingga ia akhirnya tewas di dalam pelukan Risa.
Saat tim gabungan dan pasukan anti-teror tiba kembali ke headquarter NPA, Risa yang kala itu masih lemas karena kematian Kobayashi, kembali dibuat terkejut setengah mati dengan kabar yang diberikan oleh salah seorang personel. Ia menyampaikan pada Risa bahwa sahabatnya, Sugai Yuuka dinyatakan hilang setelah Koike Minami melaporkan pada polisi bahwa ia tidak kembali untuk membeli sesuatu di malam sebelumnya.
Polisi berhasil menemukan keberadaannya dengan melacak sinyal GPS dari ponsel milik Yuuka. Namun, ketika mereka tiba di lokasi, mereka hanya menemukan mobilnya yang tidak terkunci. Ketika di geledah, mereka menemukan amplop surat yang dibubuhi tanda tangan, sebuah ponsel dan beberapa barang lain diletakkan begitu saja di kursi penumpang. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Yuuka ketika mereka menemukan mobil tersebut.
Di sekitar TKP juga tidak ditemukan adanya tanda-tanda kejahatan. Dengan asumsi, Yuuka dipaksa berhenti oleh komplotan perampok hingga berakhir pada penculikan. Namun mengingat barang-barang berharga seperti ponsel dan dompet yang masih ada dan tidak tersentuh, polisi langsung mencoret kemungkinan tersebut.
Awalnya, mereka berniat memasukkan Yuuka ke daftar orang hilang. Namun, salah seorang petugas yang sepertinya memiliki intuisi yang cukup tajam menyarankan untuk melakukan pencarian di laut. Hal itu diperkuat dengan jejak kaki yang mengarah ke laut ditemukan di sekitar tebing serta sepasang sepatu yang diletakkan di bibir tebing, kebetulan mereka mencocokkan sol sepatu dengan jejak yang ada dan hasilnya seratus persen cocok.
Mereka melakukan pencarian selama beberapa hari dan akhirnya menemukan jasadnya di kedalaman laut. Saat ditemukan, Yuuka masih memakai tas ransel yang diisi dengan batu pemberat yang membuat tubuhnya tenggelam dengan sangat cepat dan tidak memiliki kesempatan untuk menyelamatkan diri. Ketika otopsi dilakukan, tim forensik sama sekali tidak menemukan adanya kekerasan yang menjadi sebab kematiannya.
Sehingga kemudian kematian Sugai Yuuka disimpulkan sebagai bunuh diri—ini selaras dengan amplop bertanda tangan yang diduga berisi suicide letter dan ponsel dengan GPS aktif. Seakan-akan Yuuka memang menginginkan keberadaannya ditemukan dengan meletakkan barang-barang miliknya di dekat tempatnya melakukan bunuh diri.
Saat itu, Risa tidak bisa ikut menghadiri penyelidikan dan pencarian jasad Yuuka karena ia harus mengurus perkembangan kasus Black Mail dan menghadiri pemakaman Kobayashi Yui. Pihak forensik sempat menahan surat dan ponsel tersebut untuk kepentingan penyelidikan dan baru memberikannya pada Risa setelah satu minggu sejak mayat Yuuka ditemukan. Dan hingga saat hari ini, Risa masih belum memiliki keberanian untuk membuka amplop tersebut dan membaca isi suratnya.
Berbeda dengan Sugai Yuuka yang baru dapat dimakamkan setelah dua minggu sejak ia bunuh diri, Kobayashi dimakamkan tepat satu hari setelah insiden penembakan, dan Risa, sebagai satu-satunya wali yang berhak bertanggung jawab atas dirinya, menolak keras dilakukannya otopsi. Ia juga meminta agar prosedur pemakaman dilakukan secara tertutup, dengan menghormati Kobayashi sebagaimana kodratnya sebagai manusia kendati ia tetap berstatus tersangka sampai pada waktu ia meninggal dunia.
Mengenai Kobayashi Yui, ia memang terlibat langsung sebagai pelaku utama dalam kasus pembunuhan Headhunter. Beberapa bukti seperti air liur, helaian rambut, dan beberapa jejak sepatu yang sama persis dengan sepatu miliknya yang ia simpan dengan rapi di rumahnya. Dua malam sebelum seluruh tim gabungan pergi untuk melakukan pencarian di Gunung Kumotori, Ozeki sempat menggeledah rumah Kobayashi karena Tamura Hono melaporkan bahwa Yamasaki Ten berencana untuk melakukan pembunuhan terhadapnya. Dan memang benar, sidik jari Yamasaki Ten ditemukan di seluruh penjuru. Pada dinding, meja, dan benda-benda keramik atau kaca yang pecah.
Penggeledahan dan penyelidikan tersebut didokumentasikan dalam bentuk video oleh Sersan Onuma Akiho. Ketika video tersebut dilihat lagi, memang ada beberapa tempat yang masih belum sempat dicek dan diselidiki sehingga penggeledahan kedua dilakukan—dan kali ini, Risa ikut ke bergabung.
Dalam penggeledahan dan penyelidikan kedua, mereka berhasil menemukan ruangan bawah tanah yang berisi bukti-bukti kuat berupa palu dan beberapa senjata tajam yang berlumur darah kering hingga puluhan lembar foto korban. Risa juga menemukan beberapa kaset rekaman dan ia membawanya benda itu bersamanya.
Dengan ditemukannya semua bukti tersebut, Kobayashi Yui benar-benar disahkan sebagai pelaku tunggal dari kasus pembunuhan tersebut. Dan karena yang bersangkutan sudah meninggal dunia, maka kasus pembunuhan Headhunter yang dipimpin oleh Inspektur Watanabe Risa akhirnya dinyatakan selesai.
Satu bulan setelahnya, Risa yang saat itu tengah mengambil cuti tiba-tiba dihubungi oleh rekan kerjanya. Menyampaikan bahwa tim jagawana yang tengah melakukan pemetaan untuk jalur pendakian baru, menemukan jasad Tamura Hono di bawah jurang. Mereka berhasil mengidentifikasi jasad yang hampir sepenuhnya membusuk sebagai Hono dan menemukan sidik jari Yamasaki Ten setelah proses otopsi yang melibatkan dokter ahli patologi forensik dilakukan.
Tentu saja ia tidak pecaya akan hal itu. Hono mungkin tidak menghubunginya lagi sejak insiden Gunung Kumotori, dan satu-satunya alasan yang masuk akal adalah; ia sudah kembali ke Inggris tanpa menghubunginya—seperti yang dulu pernah ia lakukan. Oleh sebab itu, Risa diminta untuk datang melihat jasadnya di rumah sakit milik NPA untuk memastikan sendiri jasadnya yang sudah dibersihkan itu sebelum di repatriasi ke negara asalnya—mengingat Hono berkewarganegaraan Inggris.
Tentu itu hal yang sangat sulit bagi Risa. Ia baru saja menghadiri dan melihat sendiri proses pemakaman kedua temannya dari awal hingga selesai, dan kini ia harus melakukannya lagi. Tapi pada akhirnya, ia tetap segera berangkat untuk melakukan tugasnya. Ketika ia datang, rekannya tersebut sudah menunggu di kantor. Risa kemudian diantar untuk memasuki ruangan yang biasanya digunakan untuk otopsi. Mayat Hono diletakkan pada salah satu brankar, ditutupi dengan kain berwarna putih.
Tugas Risa hanya membuka kain tersebut dan melihat sendiri bagaimana wajahnya. Dan benar saja, ketika Risa menyibak kain yang menutupi kepala... ia langsung mengenali wajah wanita dengan salah satu alis terbelah dua sebagai bekas sayatan yang ia dapatkan belasan tahun yang lalu. Setelah Risa memastikan bahwa memang benar tubuh tidak bernyawa yang terbaring di atas brankar itu memang benar sahabatnya, maka prosedur selanjutnya dapat dilakukan tanpa ada sesuatu yang menjadi penghalang lagi.
Kala itu, Risa menjadi satu dari delapan orang dari NPA yang mengawal keberangkatan jenazah Hono. Ia mengantarkan sahabatnya itu hingga ke Bandara Internasional Haneda dan bahkan setelah pesawat yang membawa peti jenazahnya take-off, Risa masih betah singgah di bandara dan baru pulang ketika jam menunjukkan pukul 11 malam. Hingga kini, ia sering sekali mampir ke bandara Haneda hanya untuk mengenang kembali keberangkatan peti jenazah sahabatnya—Tamura Hono.
Dengan demikian, hanya dalam waktu satu bulan, Risa telah mengantarkan kepergian ketiga sahabatnya. Dan kini, ia benar-benar telah ditinggalkan seorang diri. The Elites yang berjumlah enam orang, kini hanya tersisa satu orang.
Insiden itu meninggalkan trauma berat dan luka yang cukup dalam bagi Risa. Ia sempat jatuh tak sadarkan diri ketika bertugas dan harus menginap di rumah sakit selama satu minggu penuh. Setiap malam, ia selalu mengigau, menangis, memanggil-manggil nama Kobayashi Yui dan juga teman-temannya yang lain.
Risa bahkan baru berani kembali ke rumahnya sendiri—tempat ia pernah tinggal dengan Yui—satu tahun setelahnya. Selama itu, ia menumpang tinggal di apartemen Akiho mengingat ia masih ketakutan dan trauma jika ia ditinggalkan seorang diri di tempat yang luas dan kosong. Saat Risa membuka pintu rumah yang engselnya mulai mengeluarkan bunyi, ia menemukan rumahnya sudah dalam kondisi sangat bersih.
Ia kemudian membereskan beberapa barang peninggalan Yui seperti pakaian, sepatu, dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan pekerjaan, lalu memasukkannya ke dalam kotak khusus dan menyimpannya di basement rumah.
Risa masih menyimpan beberapa benda yang menurutnya berharga, seperti foto mereka berdua yang terpajang di ruang tengah serta foto keenam anggota The Elites, kaset rekaman milik Yui, laptop, dan buku harian yang kini ia simpan di ruang kerja. Cincin dengan noda darah milik Yui pun ia kaitkan dengan rantai dan Risa mengenakannya sebagai kalung.
Berbicara tentang Yamasaki Ten. Ia adalah satu-satunya korban selamat dari insiden mematikan di Gunung Kumotori. Karena ia satu-satunya saksi mata dan terjerat dengan tindak pidana percobaan pembunuhan, ia akhirnya diproses secara hukum dan berkali-kali diinterogasi oleh aparat polisi.
Kali ini, Risa mendampingi dan mengawasi jalannya penyelidikan terhadapnya. Selain karena Risa masih memiliki kaitan dengan kasus tersebut, tujuannya ikut mengawasi juga untuk mengindari adanya pemeriksaan yang tidak perlu dilakukan polisi—seperti kekerasan dan paksaan. Tapi justru, yang terjadi di ruang interogasi adalah sebaliknya. Pernah suatu ketika Risa harus turun langsung dalam proses interogasi karena Ten tiba-tiba bersikap agresif kepada petugas. Dan secara ajaib, Ten tidak menyerang Risa ketika ia melakukan interogasi.
Berkali-kali Ten mengalami halusinasi. Ia seringkali ditemukan sedang berbicara pada seseorang dengan normal, padahal ia hanya seorang diri di sel tahanan. Dalam pengakuannya, ia melakukan pembunuhan berencana pada Kobayashi Yui dan pembunuhan terhadap Tamura Hono dengan dasar dan perintah dari sosok tak kasat mata yang selalu ia sebut sebagai Run atau Hikaru.
Hasil rekam medis menunjukkan bahwa Ten memiliki gangguan psikosis akut sehingga disimpulkan bahwa semua tindak kejahatan yang dilakukan olehnya terjadi karena halusinasi berat yang ia derita.
Hingga detik ini, Ten ditempatkan di dalam sel khusus di Fasilitas Rehabilitasi Silver Lake, hingga waktu yang tidak ditentukan. Kemungkinan besar ia akan terus berada di dalam sana seumur hidupnya mengingat gangguan kejiwaan yang dialaminya menjadi semakin parah dari waktu ke waktu—ia semakin sering menangis tiba-tiba, berbicara dan tertawa dengan orang-orang yang sebenarnya sudah mati, hingga berteriak-teriak marah di bangsal tempatnya dirawat.
Ia juga sering sekali menyerang dokter atau perawat yang datang. Dan Risa juga pernah menjadi korbannya ketika ia menjenguk juniornya ini. Ten mencekik dan menggigit tangannya karena ia mengira Risa sebagai Ozono Rei.
Kemarin pun, Risa baru saja kembali dari Silver Lake untuk menjenguk Ten. Tapi wanita itu batal masuk ke dalam bangsal karena ia melihat Ten sepertinya tengah terlibat dalam konversasi yang sangat serius bersama teman-temannya.
Korban yang selamat dalam kasus pembobolan penjara yang dilakukan oleh Rei juga sudah kembali aktif berdinas setelah mengalami koma selama tujuh bulan diakibatkan oleh trauma kepala berat. Moriya Rena mendapatkan kenaikan pangkat setelah dipindahtugaskan di lembaga pemasyarakatan lain di mana ia mendapatkan perlakuan yang lebih baik dari sebelumnya. Dua tahun lalu Risa bertemu langsung dengannya dan memberinya ucapan selamat karena berhasil bertahan hidup dari predator gila itu.
Lalu... Koike Minami. Tetangga samping rumahnya yang juga merupakan sahabat dekat Yui. Risa tidak banyak mendengar informasi mengenai wanita itu sejak ia kembali menjadi saksi kunci dalam pencarian hilangnya Sugai Yuuka. Kabarnya, ia menjual rumahnya di Tokyo dan memutuskan untuk bekerja di tanah kelahirannya—Hyogo.
Kelihatannya Tokyo telah meninggalkan memori buruk baginya sejak kematian Habu Mizuho dalam ledakan beberapa tahun yang lalu. Ia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama dengannya sehingga sangat sulit baginya untuk memisahkan semua kenangan itu dari kota terkutuk ini. Dan berencana tidak akan kembali dalam waktu yang sangat lama.
Lagipula, semua orang yang masih hidup dari insiden Sakurazaka Academy Massacre dan Pembantaian Gunung Kumotori tentunya memiliki alasan kuat untuk pergi meninggalkan Tokyo untuk pindah ke kota lain demi menghapus kenangan-kenangan buruk dan memulai kehidupan baru yang lebih baik.
Bunyi notifikasi dari pesan singkat yang masuk ke dalam ponsel membuat Risa tersadar dari lamunan. Diambilnya ponsel yang tergeletak di kursi penumpang, layarnya yang menyala menunjukkan nama si pengirim pesan singkat tersebut. Setelah selesai dengan urusanmu di akademi, segera kembali ke kantor. Kami membutuhkan bantuanmu. Huh? Dasar Ozeki.
Risa memusatkan atensi pada gelas kopi yang ada di atas dashboard. Tidak ada lagi uap yang keluar dari gelas tersebut sehingga Risa dapat memastikan bahwa kopi yang ia beli sudah dingin. Ia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kanannya, waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi.
Upacara penerimaan siswi baru akan dimulai pada pukul 9 tepat dan Risa harus datang sebelum jam itu. Buru-buru ia meraih gelas kopi dan meminum habis isinya, lalu memakan rotinya dengan cepat. Setelah ini, ia berencana untuk berkeliling terlebih dahulu di lingkungan akademi untuk bernostalgia.
Ia juga membenahi riasan tipis yang menghiasi wajahnya—sebenarnya itu dilakukan untuk menyamarkan kantung mata—juga rambutnya dengan bantuan rear-view. Barulah setelah lima menit, ia beranjak keluar mobil seraya memasukkan ponsel ke dalam saku blazer dan merapikan pakaiannya sekali lagi.
Semenjak dibangun kembali, bangunan Sakurazaka Academy entah mengapa menjadi lebih besar, megah dan luas dari sebelumnya—bahkan bangunan ikoniknya, The Great Bell Tower juga dibangun kembali dengan versi yang lebih besar dan terlihat indah. Lucunya, mereka tetap mengadopsi bentuk bangunan khas Yunani sebagai ciri khas. Tampak dari pilar-pilar besar yang terlihat gagah sekaligus memamerkan kemegahan yang dimiliki oleh akademi ini.
Kepala Sekolah yang menjabat sekarang mengatakan padanya bahwa ada penambahan seragam harian yang khusus dipakai pada hari Kamis hingga Jumat. Yaitu seragam putih dengan kemeja biru tua, juga dasi menyerupai pita yang dipakai secara menyilang—seragam ini nyaris seperti pasukan Angkatan Laut, entah mengapa.
Susunan bangunan yang baru sebenarnya juga tidak terlalu banyak berubah. Main Hall masih ditempatkan di bagian depan dan menjadi hal pertama yang dilihat ketika memasuki gerbang utama Sakurazaka Academy. Dulu ia pernah membuat keributan di main hall dengan memancing perkelahian besar antara dirinya dengan Hono dan Yuuka. Di main hall ini juga, kerap kali menunggu di resepsionis hanya untuk bertemu dengan Yui—meskipun waktu itu Yuuka adalah orang yang selalu bersamanya, paling tidak mereka dapat berjalan bersama-sama menuju area parkir mobil.
Risa kemudian berjalan menyusuri koridor luas yang menghubungkan ke area tengah dan berjalan menuju gedung tingkat tiga. Disini, ia pernah berkelahi mati-matian dengan Karin dan berakhir dengan ia yang digantung oleh gadis itu dengan dasi. Di tempat ini juga Risa melihat sendiri Karin dibunuh di depan matanya. Ada banyak sekali kenangan yang ada di wilayah ini sampai Risa ingin sekali menuliskannya ke dalam sebuah buku.
Di tengah perjalanannya, kaki Risa mendadak berhenti tepat di depan ruangan dengan pintu berplakat emas bertuliskan Student Council. Sebuah gelegak nyeri mulai menggerayangi bagian terkecil hatinya yang telah lama mati. Di samping nostalgia yang ia rasakan, turut pula duka dan kesedihan yang luar biasa besar. Perlahan, Risa mendorong pintu itu dengan ujung tangan dan masuk ke dalam begitu pintu terbuka.
Ruagan itu kosong—tentu saja, karena anggota Dewan Pelajar sedang sibuk menyelesaikan urusan lapangan—beberapa susunan meja masih banyak yang tak berubah. Salah satunya dengan meja dan kursi yang disusun berbentuk huruf U, dengan dua bendera—bendera Jepang dan Sakurazaka Academy—yang berada di belakang tempat duduk The President. Mungkin hanya dengan susunan seperti itu yang bisa membuat ruangan ini lebih luas mengingat dindingnya sudah sepenuhnya ditutupi oleh lemari arsip atau perabotan lain.
Risa berjalan pelan ke tengah ruangan, di tengah-tengah meja berbentuk U tersebut. Napasnya semakin berat ketika kepalanya mulai merekonstruksi kembali peristiwa apa saja yang pernah ia alami di tempat ini sebelumnya. Ia bisa melihat semuanya dengan begitu nyata. Yuuka yang duduk di tempatnya dengan tangan memegang bolpoin, Karin dan Seki yang sama-sama sibuk dengan laptopnya, Hono yang berdiri di depan lemari arsip dengan pandangan serius dan Yui yang berdiri membawa tumpukan berkas yang akan dibawa entah ke mana.
"Risa, bisakah kau berhenti melamun dan mulai mengambil beberapa berkas yang ada di meja depan sana untukku?"
Ia tersentak. Refleks memutar tubuh begitu mendengar suara lembut Yuuka memintanya melakukan sesuatu. Yuuka benar-benar ada di sana, menatapnya dengan sorot mata teduhnya, sama seperti yang selalu ia lakukan ketika mereka masih aktif sebagai anggota Dewan Pelajar yang normal. Risa menutup matanya. Kepalanya menunduk dalam selama beberapa detik hingga akhirnya ia menggeleng pelan. Maaf, aku tidak bisa membantumu lagi.
Setitik air mata meluncur turun di pipinya, semakin lama menjadi semakin banyak seiring dengan tangisan kecilnya yang berubah menjadi isakan. Buru-buru ia mengusapnya dengan punggung tangan, menenangkan dirinya dan membuka mata. Hanya untuk menemukan bahwa tidak ada orang lain selain dirinya sendiri di ruangan itu. Ia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan.
Mengambil pandangan terakhir pada kursi The President yang kosong selama beberapa detik, Risa akhirnya memutuskan untuk berbalik meninggalkan ruangan itu untuk menuju ke tempat lain.
Tempat selanjutnya adalah tempat terakhir—area hutan buatan di bagian belakang akademi yang ternyata dibatasi oleh dinding beton yang sangat tinggi dengan satu pagar besar yang hanya dapat dibuka oleh penjaga keamanan. Beruntung Risa langsung diizinkan masuk begitu ia menunjukkan lencana bintang emas miliknya.
Di hutan buatan inilah lubang pembuangan mayat berada, dan Risa pernah hampir dibakar sampai mati di tempat itu. Uniknya, hanya tempat itu lah yang tidak disentuh oleh pihak manajemen akademi. Tidak ada tanda-tanda pemugaran atau pembersihan berarti di hutan tersebut, justru tempat itu seperti diasingkan dan tidak pernah dianggap menjadi bagian dari wilayah Sakurazaka Academy.
Bekas lubang pembuangan mayat pun hanya ditimbun oleh penutup seperti besi yang dibuat seperti pintu—akan terlihat familiar dengan rumah yang juga memiliki pintu basement di luar ruangan, umumnya banyak ditemui di luar negeri—yang digrendel oleh rantai besi tebal dan tiga pengunci yang masih baru. Sepertinya gembok-gembok ini rutin diganti setiap kali mereka sudah berkarat.
Di tempat ini Risa melakukan kesalahan fatal pertamanya. Sebuah kesalahan yang seharusnya tidak mungkin terjadi jika malam itu mereka berpikir jernih dengan kepala dingin. Sekarang lihat, kebodohan mereka waktu itu telah membuat hidupnya hancur berantakan sekarang. Ia kehilangan banyak orang dan harus melanjutkan hidup dengan kenangan mengerikan yang membuatnya trauma.
Haa... tempat ini memberiku perasaan aneh. Lebih baik aku segera pergi dari sini.
Upacara penerimaan akan dilakukan di auditorium utama. Ketika Risa lewat di depannya, tampak beberapa siswi senior yang bertugas sebagai colour guard. Mereka mengenakan seragam kebanggaan Sakurazaka Academy yang masih tetap sama seperti dulu—seragam putih, kemeja abu-abu, serta dasi abu-abu pula—disana juga tampak beberapa orang anggota student council yang turut mengawasi, memantau, dan membantu jalannya persiapan tersebut.
Dulu aku pertama kali bertemu dengan Yui dan Yuuka di auditorium saat upacara penerimaan siswi baru. Mereka sepertinya tidak mengubah tradisi ini meskipun sudah hampir 20 tahun berlalu. Senang sekali melihatnya.
Ia tidak memiliki banyak waktu untuk menyapa para siswi tersebut—kendati beberapa dari mereka tampak mencoba untuk berbicara dengannya—jadi ia segera masuk ke dalam auditorium dan langsung bertemu dengan beberapa orang tenaga pendidik yang bertugas. Mereka sempat mengobrol selama beberapa menit mengenai teknis pelaksanaan upacara hingga akhirnya bunyi bel terdengar menggema dari luar—itu adalah suara dari The Great Bell Tower yang memberikan tanda bahwa upacara penerimaan akan segera dilakukan.
Upacara dilaksanakan sebagaimana mestinya. Colour guard memimpin para siswi tingkat satu memasuki auditorium melalui pintu utama yang terbuka lebar. Kemudian merapikan barisan mereka—yang hanya memakan waktu kurang dari lima detik—sebelum para colour guard berjalan kembali ke bagian paling depan barisan, dengan membawa tongkat bendera Sakurazaka Academy.
Risa melihat semua itu dengan perasaan gembira. Ia tidak tahu mengapa, tapi ketika ia melihat junior-juniornya, ia merasa kesedihan yang ia alami selama bertahun-tahun dapat menghilang untuk sementara dan ia dapat menikmati upacara tersebut dengan baik. Setelah ini, Risa, sebagai tamu terhormat, diberikan kesempatan untuk memberi sambutan pertama setelah headmaster.
Jadi setelah headmaster selesai menyampaikan pidatonya, ia menyebutkan nama Watanabe Risa sebagai tamu terhormat dan juga sebagai alumni Sakurazaka Academy tahun ajaran 2021-2022. Mendengar namanya dipanggil, Risa segera berdiri dari tempat duduknya dan membungkukkan tubuh untuk memberikan hormat kepada semua orang yang ada di auditorium.
Dua orang colour guard yang berjaga di barisan belakang, berjalan mendekatinya. Mereka berdua mendampingi Risa, berjalan di tengah-tengah barisan siswi berseragam putih tersebut diiringi oleh tepuk tangan meriah yang menggema di seluruh auditorium. Sesekali ia menoleh ke samping kanan dan kiri, menatap acak pada salah seorang siswi yang berdiri dengan posisi siap di barisannya. Ia juga mendengar dan tahu bahwa ada yang berbisik dan mengenalinya sebagai perwira polisi yang sering muncul dalam konferensi pers resmi di tv. Risa tertawa kecil mendengar hal itu.
Ternyata wajahku mudah dikenali juga, ya.
Setelah sampai di bagian depan auditorium, Risa berhenti sejenak untuk menganggukkan kepala pada dua orang colour guard sebelum kembali meniti tangga untuk naik ke atas panggung. Ia membungkuk, memberikan hormat pada headmaster sebelum beliau mempersilakan Risa berdiri di belakang podium dan mengambil tempat di belakangnya. Bahkan pria berusia lima puluh tahunan itu masih bertepuk tangan saat ia berjalan ke belakang, dan itu membuat Risa merasa... sangat bahagia karena kedatangannya disambut dengan baik di Sakurazaka Academy.
Ia menghembuskan napas sejenak. Kemudian menatap lurus pada lambang singa merah Sakurazaka Academy yang terpajang dengan indahnya di dinding bagian atas auditorium, hingga akhirnya Risa memindahkan perhatiannya pada ratusan siswi yang kini sedang memperhatikannya—menunggu beberapa kalimat yang akan Risa sampaikan.
"Selamat pagi dan selamat datang aku sampaikan pada anggota baru dari keluarga besar Sakurazaka Academy. Aku Mayor Watanabe Risa, dan aku adalah kepala yayasan yang menaungi akademi ini."
"Waktumu 15 menit dari sekarang,"
Pintu baja itu didorong terbuka. Risa lantas mengangguk dan melangkah masuk ke dalamnya. Disana, ia langsung dihadapkan dengan Yamasaki Ten yang tengah berbincang dengan seseorang—atau mungkin beberapa orang yang Risa tidak bisa lihat—di atas tempat tidur.
Kepalanya sesekali menengok ke beberapa arah, seakan ada banyak sekali orang yang sedang mengajaknya berbicara disana. Sesekali tangannya terangkan, membuat gestur seperti sedang menyentuh tangan atau merangkul bahu orang tak kasat mata di sekitarnya.
Jujur saja, Risa ingin berbalik badan dan segera keluar meninggalkan tempat itu sekarang juga.
"Ten?" Risa perlahan-lahan merendahkan tubuhnya hingga ia duduk berjongkok di depan Ten yang berada di atas tempat tidur. Jelas sekali Risa tengah menahan air mata agar tidak tumpah saat itu. "bagaimana... kabarmu?"
Ten tersentak. Ia menoleh dan terkejut saat menemukan Risa sedang berlutut di depannya. Buru-buru ia berdiri dari posisinya duduk dan langsung berjalan menuju pintu, berusaha membukanya. "Inspektur! Kau lama sekali, sih? Tamura bilang ia sudah menemukan jejak Rei dan ia sedang dalam perjalanan mengejarnya! Kita juga harus menyusul mereka, ayo!" Ten terus berusaha membuka pintu baja yang tersebut. Tapi ia tetap tidak bisa membukanya hingga menabrakkan tubuhnya dan membuat suara yang cukup keras, ia tampak tidak sabaran. "kenapa diam saja disana! Mereka memerlukan bantuan kita, Inspektur!"
Oh, Tuhan. Risa menggigit bibir bawahnya, melihat kondisi Ten yang semakin buruk dari hari ke hari membuatnya semakin putus asa. Ia sudah tahu, jika begini juniornya tidak akan memiliki kesempatan lagi untuk keluar dari bangsal tertutup ini sepanjang hidupnya.
Mungkin karena kesal melihat Risa yang hanya duduk dan menatapnya tanpa melakukan apapun untuk membantunya, Ten meninggalkan pintu dan mendekati Risa. Ia memaksa Risa berdiri dan menarik mantelnya. "Kenapa kau begitu lambat, Inspektur! Bagaimana—Bagaimana jika mereka semua mati sebelum kita datang!"
"Ten!" Risa mengibaskan cengkeraman tangan Ten dari mantelnya. Kemudian ia menahan tangan kiri Ten dengan erat. Sepasang mata coklatnya memandang lurus pada manik cokelat gelap milik Ten. "berapa kali aku mengatakan ini padamu, mereka semua sudah mati."
"BOHONG!" teriak Ten. "jika mereka sudah mati, lantas mengapa mereka ada di belakangmu, Inspektur? Argh! Mengapa tidak ada dari kalian yang percaya dengan apa yang aku katakan!"
Di belakangku? Risa refleks memutar tubuhnya ke belakang. Jelas saja ia tidak menemukan siapapun berdiri di sana dan hanya menemukan tembok bercat kosong bercat abu-abu gelap. Ia kemudian kembali berbalik pada Ten, dan betapa terkejutnya ia karena begitu ia berbalik ke depan, Ten tiba-tiba sudah berdiri di depannya dengan jarak yang sangat dekat.
Ten mencekik lehernya. Dengan kekuatan yang sama sekali tidak ia perhitungkan sebelumnya.
Risa yang sangat terkejut, menggeram, berteriak keras sebagai akibat tekanan nyeri yang tangan Ten berikan pada batang tenggorokannya. Ia tidak ingin melukai Ten dengan menendang atau memukul wajahnya. Jadi ia hanya bisa melepaskan diri dengan bergulat hingga Ten kehabisan tenaga dan melepaskan Risa dengan sendirinya—dan Risa bersyukur ia masih memiliki stamina yang baik.
Ten hampir saja menyerang Risa untuk yang kedua kali jika saja beberapa orang perawat tidak masuk ke dalam bangsalnya untuk menjemput Risa mengingat jam besuknya sudah habis. Untung bagi Risa, dan siang bagi Ten—mungkin. Sebelum benar-benar meninggalkannya, Risa sempat menyampaikan salam perpisahan dan berjanji jika ia akan datang lagi untuk menjenguknya dalam beberapa hari.
Kini, Ten kembali ditinggal seorang diri di bangsalnya. Yeah, tidak sepenuhnya sendiri karena ia terus ditemani oleh Hikaru sejak hari pertamanya di Silver Lake.
Ia sangat kesal, sekaligus marah. Tidak ada dari mereka yang percaya dengan apa yang ia katakan. Ia sangat marah karena Hikaru, seorang teman yang selama ini menemaninya di dalam dinginnya bangsal rawat dianggap sebagai entitas yang tidak pernah ada di tempat ini. Tidak hanya Hikaru, tetapi juga Tamura, Kobayashi, Sugai dan banyak lainnya—mereka semua nyata! Sangat nyata! Ten bahkan bisa menyentuh mereka dan berbicara pada mereka selayaknya ia berbicara dengan manusia normal!
Sudah berkali-kali pula Ten berusaha menunjukkan keberadaan teman-temannya ini dan setiap kali hal itu terjadi, mereka segera mencengkeram tangan dan kakinya kemudian menyuntikkan cairan aneh yang selalu membuatnya mengantuk dalam sekejap.
Semuanya selalu terjadi seperti itu dan Ten sudah hafal betul bagaimana urutannya.
Ten menarik napas panjang. Memasukkan tangannya pada celah di bawah tempat tidur dan mengambil silet lipat tipis dari dalam sana. Ia sendiri yang menyelipkan silet lipat itu di balik tempat tidurnya setelah mencurinya diam-diam dari seorang perawat yang pingsan setelah ia serang dua hari lalu. Dan kali ini, ia akan menggunakan benda favoritnya itu.
Well, sebenarnya bukan favoritnya, melainkan benda kesukaan Hikaru. Tapi benda yang Hikaru sukai, juga harus disukai olehnya, maka silet tersebut kini menjadi benda yang ia sukai juga. Dan saat ini epertinya Hikaru juga akan menyukai apa yang ia lakukan, sebab gadis itu kini sedang duduk di depannya dan memperhatikan pisau silet tersebut lamat-lamat.
Perlu sedikit usaha untuk menyelipkan silet di antara celah-celah bed dan membuat benda itu dapat berdiri tegak di tengah-tengahnya. Ia perlu menjepitnya dengan besi-besi kerangka dan baru benar-benar mendapatkan posisi yang tepat setelah beberapa menit setelahnya--Ten hanya memiliki satu tangan mengingat Kobayashi telah memotong lengannya.
Perlahan, ia mengguratkan pisau silet tersebut pada pergelangan tangan kirinya—tepat pada luka irisan sama yang hampir mengering—dan membiarkan darah mengucur keluar dari sayatan silet tersebut hingga menetes-netes di atas lantai marmer berwarna putih. Ia sengaja membiarkan pisau siletnya tetap berada di dalam dagingnya karena ia hendak memainkannya sejenak.
Ke depan dan ke belakang. Lalu samping kiri dan samping kanan.
Mata Ten terpejam. Irisannya pada pergelangan tangan yang sebelumnya tidak terlalu dalam, kembali ia tambahkan. Ia menarik dan menusukkan silet tersebut pada irisan yang pertama, kemudian menekan siletnya lebih dalam lagi—lebih dalam, dan sangat dalam hingga hampir semua bagian silet tenggelam masuk ke dalam dagingnya. Kemudian, setelah cukup dalam, ia menarik siletnya ke bawah dengan gerakan yang sangat cepat dan tanpa jeda. Membuat irisan dalam itu menjadi memanjang dan berhasil memutuskan pembuluh arterinya dalam sekejap.
Darah muncrat keluar dan Ten tidak melakukan usaha apapun untuk menutupi atau menghalau kucuran darah tersebut. Entah mengapa semua hal itu mengirimkan perasaan aneh padanya, membuatnya luar biasa candu. Ia menundukkan kepala, melihat irisan menganga dan kucuran darah yang sangat banyak dari pergelangan tangannya. Tanpa basa-basi, ia kembali mengiris-iris pergelangan tangannya lagi.
Perih, nyeri, ngilu, semuanya bergabung menjadi satu dan menciptakan kesenangan tidak terhingga yang membuat Ten terasa berada di atas awan.
Benar-benar nikmat.
Darah mengalir semakin banyak dari sayatan dalam di pergelangan tangannya. Dan Ten sudah tidak bisa lagi merasakan perih dan ngilu dari luka yang ia buat sendiri. Akhirnya, ia menengadahkan kepalanya pada tempat tidurnya. Lehernya yang kelewat lemas membuat kepalanya jatuh ke samping, dan akhirnya membuat tubuhnya turut tergeletak tepat di atas merahnya darah di antara lantai keramik yang putih bersih.
Pandangannya berubah menjadi hitam pekat dan saat itu Ten memejamkan matanya rapat-rapat. Tubuhnya seakan ditarik, diterbangkan ke atas dan melayang-layang di ruang hampa yang kosong. Saat itu, Ten mengira bahwa dirinya sudah benar-benar mati. Sebagai akibat dari luka sayatan dalam dari silet yang ia torehkan di pergelangan tangan kirinya. Sejenak ia tidak dapat mendengar suara apapun dan melihat apapun selain kegelapan total.
Namun, tiba-tiba...
PLAK
"Hei, dasar bayi besar! Aku tahu kau ini memang masih dalam masa pertumbuhan dan masih membutuhkan lebih banyak tidur, tapi kau tidak bisa melakukannya sekarang! Semuanya sudah menunggumu!"
Tepukan sekaligus teriakan yang cukup keras pada kedua pipinya sontak membuat Ten membuka matanya. Ia merasa sangat kesal, dan ingin menghardik siapa pun orang yang membangunkannya dengan tidak sopan seperti itu. Padahal, ini adalah jam istirahat siang dan semua suster serta dokter di tempat rehabilitasi itu tahu jika jam siang adalah jam khusus di mana semua pasien tidak boleh diganggu hingga sore.
Akan tetapi, begitu Ten membuka mata dan melihat siapa orang yang menampar pipinya, mulutnya yang siap menyemprotkan berbagai kalimat kasar seketika bungkam. Ia benar-benar kehilangan kata-kata dan hanya bisa menatap gadis di depannya ini dengan mulu ternganga. Gadis ini memakai seragam putih Sakurazaka Academy. Dengan dasi abu-abu serta kemeja abu-abu yang bersih dan rapi. Wajahnya pun juga tidak berubah. Masih sama seperti dulu, seperti yang terakhir kali Ten ingat.
Baik panjang rambutnya, aroma parfum yang selalu ia pakai, hingga senyumannya yang begitu cerah. Ten barangkali terlalu merindukan gadis ini sehingga ia masih mengingat semuanya dengan baik. Dia adalah Morita Hikaru, dengan sosoknya yang begitu nyata sehingga Ten merasa ia sedang berada di dalam khayalan.
Perlahan, tangan kanannya terangkat. Diusapnya lengan Hikaru, kemudian wajahnya. Ten dapat merasakan tubuhnya dan tangannya tidak menyentuh udara kosong seperti yang biasa terjadi kepadanya. "H—Hikaru? Ini benar-benar kau?" matanya yang sudah berkaca-kaca akhirnya menumpahkan semua emosinya. Bibirnya bergetar, bahkan suaranya terdengar serak ketika ia mencoba berbicara lagi. "Apa yang sebenarnya terjadi? Di mana aku?"
Hikaru terbelalak kaget. Sama sekali tidak paham dengan apa yang Ten ucapkan. Ia ingin menjawab, tapi Ten tiba-tiba bangkit dari posisinya yang bersandar pada pohon dan melompat ke arahnya—memeluknya dengan sangat erat hingga ia hampir kesulitan bernapas. Ten berteriak, menangis tersedu-sedu di bahunya
"Kau ini kenapa, Ten?" Hikaru mencoba bertanya ketika tangisan Ten mulai mereda. Tapi tetap saja, Ten tidak menjawab pertanyaannya melainkan terus mengeratkan pelukannya pada tubuh Hikaru yang lebih kecil. "Kau sakit? Astaga, rupanya pukulan Senior Watanabe benar-benar merusak sirkuit otakmu."
"Ada apa?" mendengar suara dari belakang tubuhnya, Hikaru mendongak. Akane berdiri di belakangnya, dengan satu tangan menyentuh lehernya. Sepertinya ia tengah mengusap keringat yang ada di sana dengan selembar tisu. Dahinya berkerut melihat Ten terisak-isak seperti bocah lima tahun dengan lengannya melingkar di pinggang si Junior—Hikaru. Akane menghela napas, mengambil satu pack tisu dari dalam saku blazer dan memberikannya pada Hikaru. "berikan ini padanya. Blazermu sampai basah karena air mata anak itu."
"Terima kasih, Senior." Hikaru menerima pemberian Akane. Sekali lagi ia menepuk punggung Ten, sekaligus mengusap lembut rambutnya. Mencoba untuk menenangkannya sekaligus meminta gadis itu melepaskan pelukannya.
Kali ini Hikaru berhasil. Ten melepaskan pelukannya meskipun ia masih harus mengusap air mata yang membasahi wajahnya. Hikaru memberikan tisu tersebut padanya dan Ten segera mengambil beberapa lembar untuk membersihkan wajah. Penasaran dengan apa yang terjadi, Akane memutuskan untuk duduk di samping Hikaru. Di bawah rimbunnya pohon besar di halaman akademi. Teman-temannya yang lain mungkin tidak keberatan jika ia meninggalkan mereka sejenak.
Apa yang terjadi? Otak Ten masih saja berusaha berpikir keras untuk menyusun kembali semua memorinya secara runtut. Ia tak mengerti secara ajaib ia terbangun di halaman Sakurazaka Academy, berhadapan langsung dengan main hall. Dengan Hikaru duduk di depannya—dan sekarang seniornya, Moriya Akane yang tampak sangat muda juga turut bergabung bersama mereka.
Ia mengangkat kepalanya tinggi-tinggi agar dapat mendapatkan pandangan lebih baik. Setelah memperhatikan semuanya, suasana akademi terlihat lebih sepi dari yang ia ingat. Tidak ada mobil-mobil yang diparkir dan hanya ada beberapa orang siswi yang berkumpul di area main hall. Mereka tampak sibuk mengobrol sekaligus menyiapkan sesuatu, terlihat tidak terganggu dengan suasana yang terlampau sepi dan aneh ini.
Setelah memastikan kembali, Ten benar-benar yakin bahwa ia berada di akademi tempatnya dulu mengenyam pendidikan sekolah tinggi. Bangunannya benar-benar miri—satu main hall dengan lambang dua ekor singa merah yang memegang perisai, juga beberapa bendera-bendera besar berjejer di depannya. Tiga bangunan terpisah untuk masing-masing tingkatan kelas, satu auditorium besar dan beberapa lapangan outdoor.
Ten tidak tahu ia sedang bermimpi atau bagaimana. Tapi ia benar-benar telah dilemparkan kembali ke Sakurazaka Academy.
Kembali pada dua orang gadis yang duduk di depannya yang sepertinya menunggu Ten untuk berbicara. Mereka sama-sama memandang Ten dengan tatapan sulit, seperti sama-sama bingung dengan masalah yang berbeda. "Kalian... baik-baik saja?" Ten bertanya dengan sangat hati-hati. Ia sadar betul bahwa ia sedang berbicara dengan orang yang seharusnya tidak ada, dan ia harus tetap menjaga cara bicaranya.
Akane memiringkan kepala, lantas menjawab cepat. "Tentu saja kami baik-baik saja. Apa sih yang kau pikirkan? Benar kan, Hikaru?" ia menoleh pada Hikaru untuk meminta jawabannya dan gadis itu menganggukkan kepala.
"Tapi, kalian seharusnya sudah mati! Kalian sudah mati dibunuh bertahun-tahun yang lalu. Lantas... mengapa kalian bisa berada disini, mengapa aku juga berada disini? Siapa kalian ini?" Ten masih terus menekan mereka berdua, memaksanya untuk memberitahu apa yang terjadi kepadanya. Tanpa sadar suara pecah dan ia kembali berderai air mata.
Mungkin beberapa siswi yang ada di main hall mendengar suara Ten yang terlampau keras sehingga mengira telah terjadi keributan yang tidak diinginkan. Mereka pun turut berjalan mendekati area tempat Ten berada. Dan lagi-lagi, jantung Ten seakan dicabut paksa dari rongga dada. Ia yakin bahwa ia mengenal semua siswi yang mendekatinya sekarang dan jujur saja, Ten mulai merasa takut setengah mati.
Sugai Yuuka, Fujiyoshi Karin, Seki Yumiko, Tamura Hono, Kobayashi Yui, Habu Mizuho, Inoue Rina, Matsuda Rina, serta belasan siswi lain yang tidak begitu ia kenal. Ten langsung sadar, mereka adalah jiwa-jiwa yang tertinggal dari korban pembunuhan beberapa tahun yang lalu—peristiwa traumatis yang membuat Ten harus tinggal seumur hidup di rumah sakit jiwa dengan bayangan-bayangan mengerikan yang terus menghantuinya.
Mereka semua sama-sama mengenakan seragam yang sama dengan Hikaru, juga Akane. Anggota The Elites pun juga masih mengenakan balok emas di bagian dada kiri. Wujud mereka juga seperti manusia biasa pada umumnya. Tidak ada luka menghiasi wajah mereka, anggota tubuh mereka pun lengkap tanpa ada kekurangan. Bahkan sekarang, Yui mendapatkan kembali kedua matanya—ia menjadi normal sekarang. Tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan adanya kesulitan membelenggu hati dan jiwa, semuanya terlihat senang dan juga bahagia.
Namun, di antara mereka semua, Ten tidak menemukan satu orang lagi yang biasanya selalu mencolok dengan wajahnya yang sangar dan tubuh tegap tingginya. Orang itu tidak ada di antara anggota The Elites, jadi Ten segera bertanya, "Inspektur... Watanabe. Di mana dia sekarang?"
Tak ayal, pertanyaan yang pada dasarnya dilontarkan tanpa maksud apapun—hanya berdasarkan rasa penasaran itu sukses membuat para anggota The Elites tersentak kaget. Saking kagetnya, mereka akhirnya tidak sesegera mungkin menjawab pertanyaan tersebut hingga terjadi sebuah keheningan yang canggung. Hikaru mengambil satu langkah lebih dekat pada Ten, kemudian merangkulnya agar ia perasaan tidak nyaman tidak menguliti sahabatnya hidup-hidup.
Barulah beberapa menit kemudian, Fujiyoshi Karin berani untuk membalas Ten. Akan tetapi, ia lebih dulu mencecarnya dengan beberapa pertanyaan singkat. "Apakah kau masih ingat denganku? Dengan kami semua?"
Ten mengangguk pelan. Dengan sedikit keraguan di dalam hati, ia menjawab, "Ya... aku masih mengingat beberapa dari kalian dengan jelas. Terutama The Elites, Senior Moriya, Hikaru, dan Inoue. Karena itu aku merasa janggal karena ada satu orang lagi yang tidak bersama kalian, dari yang aku ingat, The Elites memiliki enam orang anggota dan hanya lima dari kalian yang ada disini sekarang."
"Ternyata ingatannya masih berfungsi dengan baik." Akane menyahut.
Yui mengusap tengkuknya. Wajahnya tiba-tiba menggelap, menunjukkan kesedihan yang tadi tidak ada di sana. Dan kini, kesedihan itu seakan menyelimuti seluruh wajahnya. "Dia... tidak ada. Maksudku, dia memang seharusnya tidak ada disini bersama kita semua."
"Apa? Apa maksudmu? Memangnya tempat apa ini dan untuk apa kalian semua berkumpul di sini? A—Aku... aku ingin kembali. Aku tidak ingin disini... tolong, bawa aku kembali."
"Kenapa?" Yui menjawab. Ia menyentuh bahu Ten dengan lembut, kemudian menatapnya dalam. "Tidak ada yang akan menyakitimu lagi disini. Kau akan aman bersama kami, Yamasaki. Lagipula... kami tahu kau sudah menghabiskan tahun-tahun terakhirmu dengan penuh siksaan. Dan sekarang, semuanya akan berakhir. Kau bisa hidup seperti sedia kala, tanpa harus takut untuk dihantui... dan dilukai lagi."
Lagi-lagi air mata Ten menetes. Ucapan Kobayashi membuatnya tersentuh hingga membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tidak melompat padanya dan memeluknya begitu erat. Kala itu, ia tidak bisa melakukan hal seperti ini pada Kobayashi. Dan sekarang, keinginannya yang sempat tertunda itu dapat terlaksana.
"Kau masih ingat denganku, Ten?" Yui kembali berbicara meskipun wajahnya ditenggelamkan pada bahu Ten. Dan Ten sendiri semakin bergetar hatinya karena tahu Yui sudah memanggilnya dengan nama kecil. "maaf aku tidak bisa mengantarkanmu kembali waktu itu. Ini semua gara-gara Si Sialan Watanabe yang menembak mati diriku."
"Tapi tetap saja, setelah apa yang ia lakukan kepadamu, kau masih mencintai Inspektur Watanabe, bukan?"
"Ya, dan tidak! Maksudku, jika tidak, aku akan terus menghantuinya, dasar bodoh." Yui melepaskan pelukannya dan menjawab dengan cepat. Jelas sekali ia terlihat sedih—sekaligus kesal—ketika ia menyebutkan nama Risa dan apa yang terjadi kepadanya sebelum ia berakhir di tempat ini.
"Ah... bahkan vice-president Kobayashi Yui yang terkenal tegas dan disiplin itu dipeluk oleh Yamasaki. Aku jadi penasaran apa yang sudah terjadi di antara kalian berdua." Hono menyela, berbicara dengan suara agak keras sekaligus menekankan unsur candaan di dalamnya. Ia kemudian beralih pada Ten, mengangkat kedua tangannya. "tidak berniat memberiku satu pelukan hangat juga, Junior?"
Tepat setelah itu, sebuah tamparan yang cukup keras mendarat tepat di punggung Hono, membuat gadis itu tersentak setengah mati dan langsung menengok ke samping—pada Seki yang masih mengangkat tangannya, siap untuk memukul Hono untuk yang kedua kali. Tentu saja Hono langsung ciut nyalinya. Tatapan tajam kekasihnya itu hampir menyerupai macan tutul betina yang sedang kelaparan.
"Jangan lakukan itu, idiot. Kau membuat Yamasaki takut!" bentak Seki.
"Ayolah, aku hanya ingin disukai oleh Juniorku sendiri, Yumiko..." Hono menyahut dengan pelan. Matanya tampak berbinar seperti anak anjing, membuat Seki tidak sampai hati untuk memukulnya lagi dan segera menurunkan tangannya. Melihat keributan dua seniornya, Ten akhirnya juga melakukan hal yang sama pada Hono—ia memeluknya, sedikit lebih lama.
Ia melakukan itu karena ada sebuah ingatan tentang gadis ini yang muncul. Tentang peristiwa yang membuat Hono tewas di kaki gunung Kumotori kala itu. Ten memeluknya seperti ini sebagai permintaan maaf, dan entah mengapa ia merasa Hono telah menerima permintaan maafnya secara tidak langsung. Yang dipeluk pun tampak begitu kegirangan. Hono sampai mengepalkan tangan kanannya pada Seki, seperti ia telah memenangkan suatu pertandingan kecil dan membuat kekasihnya itu menghela napas berat atas tindakannya yang kekanak-kanakan.
Yuuka tertawa kecil melihat hal itu. Ia kemudian berjalan mendekat, kemudian berhenti di antara Akane dan Yui. "Benar apa yang dikatakan Yui. Risa tidak ada disini karena memang garis takdirnya masih belum mengizinkannya. Berbeda denganmu."
Ten melepaskan pelukannya dan menatap lurus pada wajah hangat Yuuka. Senyuman dan tatapannya terlihat teduh dan membuatnya nyaman. Kali ini ingatan lain tentangnya muncul, menunjukkan bahwa gadis di depannya ini tewas dengan menenggelamkan dirinya ke dalam laut. Tapi disini, wujudnya sangat berbeda. Yuuka terlihat sangat berwibawa, dengan gesturnya yang elegan ketika ia berjalan dan berbicara.
Ten lupa bahwa dulu sekali, Yuuka memegang jabatan The President of The Student Council sekaligus memimpin The Elites. Kemudian perhatian Ten jatuh pada wajah rupawan Yuuka. Sama sekali tidak ada bekas luka yang terpahat secara permanen di sana seperti yang ia ingat. Sejenak ia merasa asing karena selama ini ia selalu melihat wajah Yuuka yang dipenuhi bekas luka sayatan di bagian dahi dan rahang bawah, berbeda dengan sosoknya sekarang. Tapi, Sugai Yuuka tetaplah Sugai Yuuka. Sosok gadis dengan kepribadian hangat dan dewasa yang selalu ia dambakan sebagai seorang kakak.
Ten mengulang kembali ucapan Yuuka di dalam benak. Berusaha untuk memahami poin yang gadis itu sampaikan. Hingga akhirnya, ia bertanya sekali lagi, "Apakah itu berarti... aku sudah mati?"
"Kurang lebih begitu." Yui menyahut cepat. Ia menyela Yuuka yang baru saja hendak mengeluarkan vokalnya. Kalimatnya mungkin terlalu frontal untuk diucapkan, dan itu membuat Yuuka menatapnya tajam selama sepersekian detik. "oh, maksudku, masih belum. Tapi, hey, Yuuka! Bagaimana pun juga, dia juga akan mati beberapa saat lagi. Jadi anggap saja aku tidak salah bicara tadi."
"Aku jadi penasaran mengapa dulu aku justru memilihmu untuk menjabat sebagai vice-president. Cara bicaramu terlalu kasar."
"Tunggu dulu. Apa kau baru saja menghinaku? Sugai—"
"Oke, cukup sudah kalian berdua," Melihat kedua orang temannya seperti akan saling berteriak satu sama lain membuat Akane akhirnya jengah juga. Ia akhirnya melangkah cepat dan menarik blazer Yuuka, membawa gadis itu untuk berdiri di dekatnya saja. Lebih baik daripada membiarkan Yuuka berada dekat dengan Yui dan membiarkan mereka membuat tempat itu seperti arena tinju. "kau tahu kita tidak memiliki banyak waktu. Berhenti berdebat seperti anak kecil, mengerti?"
Akane kemudian melirik Hikaru, seperti memberikan isyarat padanya. Entah apa yang dimaksud olehnya karena selanjutnya Akane dan senior-seniornya pergi meninggalkannya bersama dengan Hikaru di bawah pohon. Awalnya, Hikaru terlihat gugup dan kehilangan kata-kata karena hal itu–begitu juga dengan Ten–sehingga pada akhirnya mereka hanya saling menatap tanpa mengucapkan kalimat apapun dan berakhir menertawakan kecanggungan masing-masing.
"Kupikir semuanya sudah selesai, Ten. Maafkan aku karena telah membuatmu menunggu sangat lama. Aku tahu semua itu terlalu berat bagimu... tapi, lihatlah, pada akhirnya kau berhasil melewati semuanya." Akhirnya Hikaru juga menitikkan air mata. Ia menggenggam tangan Ten dan menahannya dengan miliknya. Semuanya tampak sangat sulit dan Ten perlahan-lahan mulai mengerti dengan apa yang terjadi padanya sekarang. "aku sangat merindukanmu, Ten."
"Ya... Hikaru. Aku juga sangat merindukanmu."
"Bagaimana jika kita pulang?" Hikaru bertanya. Ia memandang Ten lekat-lekat ketika ia melanjutkan kalimatnya. Seperti ia meminta sebuah keyakinan dari si Yamasaki itu. "tapi, jika kau sudah memutuskan untuk ikut bersamaku–bersama kami semua, kau tidak akan bisa kembali lagi ke duniamu."
"Jika bersamamu, aku akan selalu siap dengan apapun yang menungguku di depan sana nanti."
"Itu benar-benar terdengar seperti kalimat yang kau ucapkan, Ten. Bagaimana jika kita pergi sekarang?"
Tidak perlu waktu lama bagi Ten untuk mengangguk. Ia menerima uluran tangan Hikaru dan bangkit berdiri dengan gerakan lambat—karena masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Terutama saat ia Sugai Yuuka kembali berjalan mendekatinya dan mulai merapikan ikatan dasi abu-abu di kerah kemeja Ten. Tidak hanya itu, Yuuka juga melakukan hal yang sama pada blazer putih yang ia Ten kenakan.
Hati Ten terasa hangat dibuatnya. Perilaku kecil Yuuka yang penuh perhatian membuatnya merasa dicintai, nyaris seperti seorang kakak yang mengayomi adiknya sendiri. Selama bertahun-tahun ia tidak berkesempatan untuk merasakan kehangatan seperti itu dan sekarang... ia mendapatkannya. Ini adalah hidup yang selalu Ten dambakan. Dikelilingi oleh kehangatan manusia dan orang-orang baik yang selalu mendukung serta melindunginya.
Hikaru menyentuh tangannya, membuat Ten terkejut. Tetapi kali ini, ia tidak merasakan setitik saja rasa takut saat Hikaru tersenyum padanya. Ten bahkan membalas dengan senyuman yang sama saat Hikaru menuntunnya untuk berjalan menuju gerbang utama Sakurazaka Academy, di mana kelima anggota The Elites dan senior-seniornya yang lain menunggu.
Ten melihat semuanya dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan, tetapi paling tidak air matanya sudah dapat mewakili perasaan yang menghangatkan hatinya saat ini. Senior-seniornya tampak tersenyum satu sama lain. Karin yang tertawa lepas bersama dengan Yui karena menertawakan Seki dan Hono yang sedang saling berdebat sengit sementara Akane dan Yuuka terus berusaha menengahi mereka. Juga dengan senior-senior lain yang tidak pernah ia temui sebelumnya.
Dan ketika Ten dan Hikaru bergabung dengan mereka, perlahan-lahan mereka semua menghilang seperti asap putih yang menyatu dengan cahaya, bersama dengan iringan bunyi bel raksasa yang menggema dari The Great Bell Tower untuk menemani perjalanan panjang yang baru. Menuju kehidupan selanjutnya, di dunia dimana tidak akan ada yang menyakiti mereka lagi.
Unnatural Series
The Worst Thing You Might Want To Forget
End.
Ending Song:
The Night We Met - Lord Huron
I'm Alive - Taylor
Author Notes:
Akhirnya perjalanan The Elites dan teman-temannya di Unnatural sudah selesai! Dimulai dari 14 Oktober 2020 sampai 4 Juli 2022 (yes, satu hari setelah rebranding). Hanya dalam waktu kurang dari dua tahun, dua seri dengan topik yang cukup berat ini diselesaikan dengan baik. Dan aku mau menyampaikan banyak-banyak terima kasih buat Buddies atau non-Buddies yang membaca dwilogi ini hehe
Semua komentar, feedback, view, kudos, dan vote yang kalian berikan bener-bener ngasih aku energi buat nulis ini! Aku juga makasih banget sama yang buat fanart Unnatural. Kaget banget ternyata ada yang buat loh (mana bagus banget lagi ueueue). Mungkin nanti bakal aku cantumin di thread Twitter kalau udah dapat izin ke orangnya! Akun Twitterku: @/___MARK1999. Silakan dicek kalau threadnya udah ada
Jujur, Dwilogi Unnatural ini BERAT BANGET nulisnya. Karena butuh riset mendalam karena ada banyak hal yang berkaitan dengan psikologi dan forensik. Ngga bisa asal tulis karena bisa jadi false information buat pembaca juga. That's why, makasih juga sama senior yang udah mau jadi temen diskusi (debat) topik-topik bahasan berat yang kek gini (trims juga buat buku DSM-5)
Dan dari fiksi penggemar ini juga mungkin kita bisa lebih memahami kalau gangguan psikologi ada banyak macamnya dan itu sama sekali bukan masalah sepele. Mereka itu seperti tinta hitam yang ditetesin di atas kain putih. Semakin lama dan semakin banyak tinta itu ditetesin, cairan tinta akan menyebar di seluruh serat-serat kain dan membuat noda tinta hitam semakin lebar dan akhirnya mengubah kain putih itu menjadi hitam sepenuhnya. Selain itu pentingnya menggunakan akal pikiran sebelum memutuskan suatu tindakan juga menjadi hal yang harus digarisbawahi karena apa yang kita lakukan hari ini pasti bakalan ada balasannya juga. Entah dalam waktu dekat, beberapa bulan, atau beberapa tahun ke depan.
Jangan lupa selalu menghargai siapapun yang sedang ada bersama kalian detik ini. Siapa saja. Orang tua, teman, sahabat, kolega, para ayang, atau mungkin peliharaan. Karena kita ngga tahu apakah kita masih diberi kesempatan untuk menulis kenangan bersama mereka di esok hari.
Be kind, be nice, be respectful to the others.
Oh ya, kalau ada yang mau tanya, boleh langsung komentar ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top