Chapter 9: Kobayashi Yui
KLANG
"Sial..."
Yui merintih pelan ketika tangannya tak sengaja menyentuh sudut meja yang tajam. Itu membuat luka yang ada di telapak tangannya seketika mengirimkan rasa sakit yang menusuk di sepanjang lengannya. Seperti kulit dan dagingnya dirobek secara tiba-tiba, membuatnya diam membeku selama beberapa detik dengan tangan bergetar hebat.
Ia bahkan sampai menjatuhkan pisau kecil yang ia pegang menggunakan tangan kanannya. Rekan sesama dokternya bahkan sampai ikut panik ketika Yui refleks berbalik memegangi pergelangan tangannya, merasakan denyutan menyakitkan di sana. Mungkin lukanya tanpa sengaja terbuka lagi karena ia dapat melihat rembesan darah dari balik sarung tangan latex yang ia kenakan.
Karena darah pasien yang tengah ia operasi sangat tidak mungkin masuk ke dalam celah sarung tangannya bukan?
Ia bernapas berat, berpikir bahwa ia akan mendapatkan beberapa jahitan beberapa jam lagi. Luka kecil seperti ini tidak akan membuatnya kehilangan berliter-liter darah. Mengabaikan perih di telapak tangan dan ucapan teman-temannya yang menyarankannya untuk beristirahat, Yui memutuskan untuk membungkuk dan mengambil pisau bedah yang sempat jatuh kemudian mengambil kembali posisinya.
"Ini seharusnya tidak akan menjadi buruk jika kau mau datang kepadaku dan segera menjahit kembali lukamu." Koike berucap dengan nada kesal saat ia mulai menusuk dan menarik benang medis untuk merapatkan kembali luka sobek di telapak tangan Yui.
Sesekali ia mencuri pandang pada wajah Kobayashi yang sedari tadi hanya diam dan menggumam-gumam tak jelas ketika ia memberinya wejangan panjang lebar tentang betapa pentingnya tanggung jawab atas diri sendiri sementara Yui hanya memberikan respon berupa senyuman dan dehaman ringan. Seolah apa yang ia rasakan saat ini bukanlah hal besar tak perlu dipermasalahkan.
Apabila boleh jujur, sebenarnya Koike sangat ingin melakukan kesalahan kecil pada jahitannya itu—seperti salah menusukkan jarum, misalnya? Atau mungkin menambah luka sobeknya dengan gunting atau pisau cutter agar Yui mau mendengarkannya sekali saja. Lagipula, sejak kapan ia menjadi tengil begini?
"Darah—maksudku, nyawa pasienku lebih baik dari apapun, Koike. Ada tanggung jawab besar yang dibebankan padaku ketika aku mengganti pakaianku dengan mantel operasi dan menyuntikkan anestasi pada mereka." Yui akhirnya menjawab. Menyadari Koike sepertinya sudah jengah dengan usahanya menggoda kesabaran dokter muda itu.
Yui menundukkan kepalanya, kemudian melanjutkan kata-katanya dengan nada yang lebih tegas dari sebelumnya. "Seperti malaikat pencabut nyawa masuk ke dalam tubuhku. Akulah yang bertanggung jawab atas kematian mereka. Membuat mereka hidup atau mati, itu adalah pilihanku."
"Dasar. Kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Itu tidak baik, tahu?"
Koike menyelesaikan pekerjaannya dan menggunting sisa benang yang menjulur dari telapak tangan Yui, dengan santai meletakkan peralatannya kembali pada bejana besi dan membawanya ke wastafel untuk dibersihkan. Mata Yui mengikuti pergerakan Koike ketika wanita itu menghilang dari balik tirai dan kemudian terdengar suara keran air disertai dentingan besi.
Yui mengambil selembar tisu dan membersihkan sisa-sisa darah dari telapak tangannya. Paling tidak lukanya itu sudah tidak terasa menyakitkan seperti tadi. Sungguh, itu adalah kecerobohan yang paling tidak diinginkan.
"Sudahkah kau mengecek kotak suratmu, Dokter?" Koike berucap dari luar. Membuat Yui yang tengah melamun sembari memperhatikan dinding kosong di sampingnya tersentak kaget.
Mengalihkan perhatiannya dari sosok transparan itu, Yui menjawab, "Tidak, belum. Ada apa dengan itu?"
"Risa mengirimkan parsel untukmu. Ia memintaku untuk tidak memberitahumu, tapi yah... aku hanya merasa kau harus tahu bahwa ia masih peduli padamu." Wanita dengan suara nyaring itu berjalan kembali ke tempatnya semula. "...apa yang kau lihat?"
Yui tidak menjawab langsung ketika ia mendengar pertanyaan Koike, melainkan mengeluarkan bisikan kecil yang hanya didengar olehnya sendiri. Tapi cukup keras untuk dapat didengar oleh Koike. "Karin..."
"Apa? Siapa?" Koike menghentikan langkahnya, melihat Kobayashi dengan tatapan penuh tanda tanya.
Yui berdeham, kemudian menggeleng cepat. Ia berdiri dari sisi tempat tidur dan mengenakan kembali mantel putih yang ia sampirkan di sandaran kursi. Usahanya untuk mengalihkan arah pembicaraan mungkin terendus oleh Koike karena dahi wanita itu berkerut ketika Yui menghadap wajahnya.
"Apa yang dikatakan Yamasaki saat ia keluar dari ruang rawat waktu itu?" ucapnya, memegang erat pergelangan tangan Koike.
"Memangnya ada apa dengannya?" wanita yang lebih pendek membalas. Ia mengambil selembar tisu dan mengeringkan kedua tangannya. "Akane langsung membawanya ke kantin begitu kami keluar dari ruanganmu. Aku juga tidak bisa ikut dengan mereka karena Habu memintaku untuk berbicara secara pribadi."
Dokter bedah itu kemudian melepaskan pegangannya dari pergelangan Koike dengan gerakan lemah. Pandangan matanya lurus ke bawah, pada lantai putih yang memantulkan bayangan buram dari dirinya. Mendadak ia takut, dan sangat khawatir. Apabila Ten mengetahui apa yang ia simpan di dalam tempat penyimpanannya, wanita muda itu mungkin akan langsung menjauh darinya—seperti yang orang lain lakukan padanya.
Di tengah lamunan Yui yang membuatnya terpisah dari dunia nyata, suatu tepukan keras pada bahunya membuat Yui terkejut. Ketika ia mengangkat kepalanya, ia menemukan Koike yang tengah menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
"Kupikir... kau harus kembali, Yui. Aku akan menemanimu jika kau takut. Aku akan ada bersamamu sampai kau berhasil melewati pengobatanmu dan pulang kembali bersama kami semua." Koike berucap lirih. Suaranya yang nyaring entah kenapa menjadi lebih dalam ketika ia mengatakan hal tersebut. Dan itu berarti wanita berambut pirang itu benar-benar serius dengan yang ia katakan.
Tapi Yui tidak takut dengan kesendirian. Ia sudah terbiasa mengalami hal seperti itu sepanjang hidupnya. Sejak teman-temannya meninggal dan menempuh jalan hidup masing-masing, ia sudah tidak lagi memikirkan orang lain akan mau repot-repot untuk ada di sisinya. Bahkan orang yang paling ia percaya dalam hidupnya saja meninggalkannya—Watanabe Risa.
Yui lebih takut dengan apa yang terjadi ketika pengobatan yang ia jalani gagal untuk kedua kalinya dan berhasil. Jika terapinya berhasil, maka Yui akan kehilangan semua ingatan yang tersimpan di dalam kepalanya. Dan jika gagal, ia mungkin akan mati.
"Minami. Aku..." ia tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Terutama jika sahabatnya ini mulai menyinggung sesuatu yang berkaitan dengan proses rehabilitasinya. Sesuatu yang justru membuat Yui begitu takut dan kehilangan kendali atas emosinya sendiri. "Aku tidak bisa. Masih ada sesuatu yang perlu aku selesaikan di sini. Karena aku tahu, aku tidak akan bisa kembali lagi setelah aku masuk kembali ke Silver Lake."
Kalau tidak salah apartemen Yamasaki berada beberapa blok dari kantor pos ini.
Yui melajukan mobilnya dengan kecepatan rendah. Selain karena membagi dua fokusnya dengan aplikasi peta yang ada di ponsel, ia juga harus berhati-hati karena cuaca malam itu sedang tidak bersahabat. Mulai dari pukul 6 sore, hujan deras telah mengguyur kota setelah beberapa minggu. Sedikit melegakan, karena musim panas benar-benar sukses membuat isi kepalanya mendidih.
Bangunan tinggi bersusun dengan jendela-jendela yang berada 200 meter di depan membuatnya menghela napas lega. Ia kini dapat meletakkan ponselnya dan sepenuhnya fokus dengan jalanan di depannya.
Wiper mobil berdecit tiap kali benda itu mengusap bagian bawah kaca, kemudian berayun ke atas. Lampu lalu lintas di depannya bersinar merah, membuatnya lantas mengerem kendaraannya serasa mengistirahatkan pergelangan tangan. Ia tak menyangka bahwa daerah di sekitar apartemen Yamasaki Ten termasuk daerah yang tidak ramai penduduk.
Tapi... siapa juga yang mau berkeliaran pada pukul sembilan malam. Kilatan cahaya terang membuat Yui refleks memejamkan matanya. Dan benar saja, suara guntur yang menggelegar disusul rintik air yang semakin deras membuatnya mendesah pelan. Apalagi di cuaca yang buruk ini.
Risa menghubunginya beberapa jam yang lalu. Inspektur itu memintanya untuk bertemu diluar urusan kasus di café milik Yuuka. Mungkin ia bisa mengangkat hal itu sebagai topik pembahasan.
Tentang mengenai apa yang dibicarakan Ten saat ia ada di rumahnya... jujur saja, Yui merasakan hawa tidak nyaman ketika juniornya itu menunjukkan lembaran surat itu. Tentang bagaimana Ten mengatakan dengan pasti bahwa benda itu berkaitan dengan Ozono Rei. Yui mendengus, gigi-giginya bergemeretak ketika rahangnya menegang. Kemarahan dan kesedihan yang luar biasa besar selalu muncul bersandingan dengan rasa takut kepada Rei dan teman-temannya—termasuk pada Tamura Hono yang telah berkhianat.
An eye for an eye, and a tooth for a tooth.
Napas Yui semakin memburu ketika ia meremas roda stir dengan genggamannya yang kuat. Sementara sorot mata elangnya menatap lurus ke jalanan di depannya, seolah orang yang dia benci ada di depan sana dan ia akan menggilasnya dengan roda mobilnya hingga rata. Aku akan memburu kalian semua karena telah mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku.
Halusinasinya tiba-tiba saja terputus, membawanya kembali ke dunia nyata. Suara keras dan hentakan yang berasal dari bagian belakang mobil membuatnya memutar tubuh, sebuah mobil telah menyeruduk mobilnya dengan kuat. Tabrakan itu cukup keras sehingga Yui memperkirakan bahwa impact yang dihasilkan cukup untuk menghancurkan bumpernya.
Pada awalnya ia tak berniat mempermasalahkan hal itu dan hendak meninggalkan lokasi kecelakaan. Toh, uang yang ia miliki lebih dari cukup untuk memperbaiki kerusakan mobilnya. Ia juga dapat membeli kendaraan baru jika ia mau. Namun hal yang tak disangka adalah, pengemudi mobil yang telah menabraknya justru membunyikan klakson dan memintanya untuk keluar juga.
"Jangan keluar. Berurusan dengan keledai akan membuatmu kehilangan waktu. Lagipula, dengan tempat sepi dan cuaca buruk begini... apakah kau seratus persen yakin bahwa tidak ada yang membuntutimu?"
Bisikan samar terdengar sangat dekat di telinganya. Yui dapat merasakan hembusan napas hangat dari wajah hingga leher. Itu berarti ada sesuatu yang sedang bersamanya sekarang, berada sangat dekat dengan dirinya.
Tak lama, sosok dari pemilik suara itu menampakkan dirinya. Ia berdiri di luar, jauh di dalam gang kosong yang diterangi oleh dua buah lampu LED. Sesosok perempuan tanpa kepala dengan darah mengucur keluar dari leher. Hantu itu membawa kepalanya sendiri di tangan kanan dan membiarkannya tergantung begitu saja dengan darah segar yang masih menetes-netes.
Apa yang diucapkan oleh makhluk transparan itu sempat membuat bulu kuduknya meremang. Dilihatnya sekali lagi mobil di belakangnya, sang pengemudi menyalakan dan mematikan lampu jauh mobilnya sehingga membuat mata Yui tidak dapat menangkap dengan jelas sosok di dalam. Siapa yang bisa menjamin bahwa orang tersebut bukanlah pembunuh yang sedang buron baru-baru ini.
Ia mendesah frustasi, memutuskan untuk meninggalkan persimpangan dan menjauh dari pengemudi gila itu. Aku akan menyimpan mobil ini di bengkel setelah menemui anak itu.
Baru saja ia melajukan mobilnya beberapa meter dari tempat semula, mobil lain di belakangnya terus membunyikan klakson dengan begitu keras dan bersahut-sahutan. Ia bahkan sengaja menabrak bumper belakang mobil Yui berulang kali tanpa mengurangi kecepatan sedikitpun. Jelas saja mobil yang kerap kali disebut oleh sang pemilik sebagai Hunter itu rusak parah di bagian belakang.
BRAK!
BEEP, BEEP!
"Brengsek," Yui meminggirkan mobilnya. Lantas dengan langkah cepat ia membuka pintu dan melihat bagian belakang mobilnya.
Dokter itu sontak saja mengerang frustasi ketika ia melihat lampu dan bumper belakangnya pecah dan hancur, serpihan-serpihannya berserakan di jalanan. Spoiler mobilnya terlepas di satu sisi dan terdapat patahan di ujungnya. Ia menoleh, menatap tajam pada pengemudi mobil di belakangnya.
Suara pintu mobil yang dibanting terdengar, Yui mendongak sembari merentangkan kedua tangannya. "Lihat apa yang kau lakukan pada mobilku? Aku baru saja membawanya ke tempat reparasi minggu lalu!"
"Kau menghalangi jalanku di lampu merah, mengerem mendadak di situasi jalanan yang licin begini? Dan kemudian kau berniat kabur bahkan setelah aku memperingatkanmu lebih dari tiga kali!"
"Yang sebenarnya terjadi adalah anda yang telah menabrak bumper belakang mobilku. Dan jujur saja aku tidak ingin memperpanjang masalah ini karena aku memiliki urusan mendesak, jadi—"
Namun usaha Yui untuk bernegoisasi dengan pria yang telah menghancurkan bumper dan lampu belakang mobilnya gagal karena si pelaku justru semakin mengamuk dengan memukul-mukul body mobilnya sembari berteriak seperti orang sinting.
"Tidak bisa begitu! Kerusakan yang kau alami jelas tidak sebanding dengan mobilku, Nona! Kau tetap harus membayar ganti rugi kepadaku atau aku akan melaporkan hal ini ke polisi untuk diusut lebih lanjut!"
Yui mengusap rambutnya yang basah karena tetesan air hujan. Raut wajahnya menunjukkan amarah yang perlahan-lahan telah menguasai kepalanya. Bahkan telinganya kini mulai memerah. Melaporkannya pada polisi dia bilang? Yui nyaris melepaskan tawa remeh saat itu juga. Memangnya siapa pria tua ini?
"Apakah kau mabuk?" Yui menyahut. Tak disangka ucapannya itu membuat pria gila itu berteriak marah. "Kalau begitu, aku akan membalas tuntutanmu itu dengan mudah, Pak."
"Kau-bocah tengik. Berani-beraninya kau membalik ucapanku!" Yui menajamkan matanya, ia segera mengambil dua langkah besar ke belakang karena pria itu mengayunkan pukulan mentah kepadanya.
Yui berhasil menghindar tiga kali berturut-turut karena pukulan pria itu tidak lebih cepat dari pergerakannya yang telah terlatih dan terencana. Ketika pria itu melakukan pukulan serampangan yang brutal, Yui dapat dengan mudah menghindar dari serangannya. Ia merasa tidak perlu melakukan perlawanan apapun untuk saat ini karena ia sendiri belum dilukai.
Orang ini...
Dadanya bergemuruh. Dari sekian banyak pengalamannya berdebat dengan orang, memang sudah paten bahwa ia tak dapat menang melawan orang gila yang mabuk. Apalagi ketika orang tersebut sudah terpojok dan hendak menyerangnya sebagai pembelaan diri. Orang-orang jenis ini yang paling membuatnya kesal setengah mati, sudah cukup ia bertemu dengan makhluk sejenis saat itu dan ia tak mau bertemu lagi setelahnya.
Tapi memang bukan Jepang jika kau tidak menemukan orang mabuk yang berkeliaran tengah malam.
Yui mengepalkan tangannya. Angin dingin berhembus, menusuk tubuh hingga menembus tulang, meskipun keadaan di dalam kepala dan dadanya benar-benar jauh panasnya. Ia melirik Karin—kini sosok itu berpindah di seberang jalan, dengan mata terbuka lebar. Ia seperti melihat sesuatu yang membuatnya panik.
Dan benar saja. Ketika Yui melihat ke depan, pria tadi telah menggenggam kunci inggris berukuran besar di tangannya. Ia tak sempat menghindar ketika pria gila itu mengayunkan senjata dan memukulnya.
CRACK
Ngilu dan nyeri menusuk mendera tulang tengkoraknya ketika besi tumpul itu dengan tidak sopan melukainya. Yui bergeming dari posisinya, dengan tangan terangkat untuk melindungi kepalanya. Darah mengalir turun, menelusup masuk ke dalam bibir.
Si pria sendiri tampak tidak merasa bersalah sedikitpun meskipun kunci inggris di tangannya berhasil melukai orang asing di depannya. Malahan ia seperti tak merasa cukup ketika melihat tetesan darah menyatu dengan genangan air di bawah kaki Yui. Ia mengangkat perkakas besar itu, berniat untuk menyerang sekali lagi di bawah pengaruh alkohol.
Karin berdiri di sana, memperhatikan bagaimana sorot mata Kobayashi berubah hanya dalam waktu sepersekian detik. Jikalau ia mau mengorek memori lama yang telah lama tenggelam jauh dalam kotak penyimpanan ingatan di dalam otaknya yang telah lama mati, Karin akan sadar bahwa ia pernah melihatnya di suatu waktu.
Yui mengangkat kepalanya dan menghindar ke samping. Kibasan besi mengenai udara di samping tubuhnya, perih mendera kepala tiap kali tetesan air menusuk kepala. Tidak mempedulikan luka sobek di tangannya yang baru saja dijahit, ia mencengkeram, menarik pakaian pria itu dengan tangan kiri sementara tangan kanannya mencengkeram rambutnya.
Lalu dengan menggunakan kekuatan penuh dari tangan kirinya, Yui menghempaskan kepala pria itu ke dinding semen bangunan yang ada di sampingnya sebanyak tiga kali. Tampak dinding bangunan itu retak dan pecahan-pecahan semennya rontok. "Kau telah membuat keputusan yang benar-benar ceroboh." Yui mendesis, ia benar-benar marah sekarang.
Ia menyeret paksa pria itu dan mendorongnya masuk ke dalam gang sempit di beberapa meter dari mobil mereka diparkir. Saat ia menjatuhkan pria itu, Yui segera mengambil pecahan kaca yang tercecer kemudian menodongkan benda tajam itu tepat didepan matanya. Menggunakan tangan kiri, Yui menekan leher dan menginjak ulu hatinya agar ia tidak banyak bergerak.
"Kau pandai bermain dengan tongkatmu. Dan asal kau tahu, aku juga pandai bermain dengan benda-benda tajam." Dingin dan perih terasa menyiksa ketika Yui mulai sedikit menggores lehernya, "Jika aku memberikan sedikit saja tekanan disini kau akan merasakan bagaimana darah membanjiri tenggorokanmu. Kau tidak akan bisa menggunakan mulut sampahmu itu untuk melecehkan orang lain lagi."
Yui terengah, menatap bola mata hitam dari orang lain di bawah tubuhnya. Rasa takut menguar, tampak begitu jelas dari tatapannya—Kobayashi menyunggingkan seringai lebar, menikmati siksaan demi siksaan yang ia berikan pada pria gila itu.
"ARGH!" pria itu mengeluarkan teriakan tertahan ketika Yui menginjak tubuhnya lebih kuat lagi sementara pecahan kaca digoreskan pada bagian lidahnya.
Pria itu berakhir tak sadarkan diri setelah Yui menginjak tubuhnya selama beberapa menit. Sepertinya karena shock dan kesulitan bernapas, selain itu efek samping dari alkohol nampaknya juga berperan besar dari alasan pria itu kehilangan kesadaran. Yui melempar pecahan kaca yang ia genggam jauh di atas atap.
Menatap dingin pada pria yang tergeletak tak berdaya di sana, memberikan satu tatapan terakhir sebelum menuntun dirinya sendiri untuk pergi dari tempat itu.
"Kobayashi Yui."
Yui menghentikan langkahnya saat ia berada beberapa meter dari bibir gang. Ia berbalik, menatap sosok berpakaian putih transparan yang berdiri di samping pria tadi. Karin menundukkan kepalanya, menatap sekilas sebelum kembali beradu pandang dengan Yui yang berada jauh di depannya.
"Kau sudah mengerti sekarang?"
Dokter itu berdiri di sana. Hening. Membiarkan dinginnya air hujan membasahi tiap inci dari tubuh dan pakaiannya, melelehkan darah yang sedikit demi sedikit mengucur dari jahitan yang ada di telapak tangan. Iris coklatnya melebar begitu ia mulai merasakan sakit dari luka yang ia dapatkan beberapa saat yang lalu.
"Apa maksudmu?" Yui berkata dengan suara patah-patah. Saat ia kembali mengabsen sekelilingnya dan berusaha mencari keberadaan dari hantu yang biasanya selalu ada dengannnya. Sayangnya, ia tak dapat menemukan sosok tersebut sekarang. "Hei, Fujiyoshi Karin!"
Apa yang baru saja terjadi? Kenapa ia tidak memperingatkanku dan malah menghilang seperti pengecut? Apa jangan-jangan Tuhan telah menariknya kembali dari bumi?
Ia kembali menahan teriakan penuh penderitaan saat sebuah visualisasi dari penglihatan asing muncul berkali-kali di dalam kepalanya. Tidak begitu jelas, bahkan menjurus ke arah abstrak. Yui hanya dapat melihat ayunan tangan yang terus berulang seperti menghantam sesuatu yang ada di bawah. Tiap kali orang di dalam penglihatannya mengayunkan tangan, nyeri di kepalanya menjadi semakin kuat.
"Tidak—Kepalaku—urgh," Yui mengerang pelan. Dengan mengambil langkah cepat, ia segera berlari ke mobilnya dan meninggalkan tempat itu. Ia tidak mau membiarkan luka itu lebih lama karena Koike pasti akan membunuhnya jika hal itu terjadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top