Chapter 6: Can You Do Me A Favor, Sugai?

Pada akhirnya ia ditempatkan sendiri di ruangan sempit itu setelah ditahan selama semalam penuh. Menunggu selama kurang lebih satu jam dengan kedua tangan di borgol rapat, duduk seorang diri di tengah-tengah ruangan dengan satu buah lampu temaram sebagai penerangan utama. Ruangan itu memiliki cat berwarna putih bersih, dengan jendela kaca besar persegi panjang yang sangat gelap. Ten berpikir, kiranya ada berapa orang yang mengawasinya dari balik kaca tersebut?

Ia mengerang kecil. Bahunya tak sengaja menyentuh tulang pipinya yang membengkak. Sontak saja gestur kecil itu mengirimkan sengatan rasa sakit yang berdenyut-denyut selama beberapa saat. Pukulan Risa benar-benar tak main-main

Sebelumnya ia mengira bahwa mungkin lebih baik menunggu di ruang interogasi ketimbang meringkuk di dalam sel yang dingin. Mereka tidak menyediakan alas ataupun kardus di sel tahanan sehingga Ten harus menghabiskan malam dengan pantat dan punggung bagian bawah yang nyeri.

Tapi rupanya berada di sel jauh lebih baik daripada di ruang interogasi. Perasaan was-was dan tak nyaman seolah ribuan pasang mata merah menatapnya dari segala sudut-bahkan dari sudut yang tersembunyi sekalipun-membuatnya gelisah luar biasa. Insting bertahan hidupnya secara otomatis muncul ketika berada di ruangan sempit dan kosong itu. Bahkan ketika ia mencoba mengingat, menyusun kembali kepingan memori tentang insiden semalam yang ia rasakan hanya sakit kepala.

Berada dalam kekosongan, kehampaan, dan kesunyian telah membuat dirinya dalam keadaan yang memprihatinkan. Mungkin inilah yang dirasakan oleh manusia yang diletakkan dalam ruangan putih dalam waktu lama, seperti yang ia baca dalam sebuah artikel, tentang percobaan paling tak manusiawi dalam hidup manusia. Dalam beberapa jam saja ia sudah seperti ini, ia tak ingin membayangkan bagaimana jadinya apabila ia dikunci disini dalam kurun waktu lebih dari tiga hari.

Pintu baja di hadapannya mengeluarkan suara keras sebelum gagang pintu diputar dan didorong terbuka, menunjukkan seorang wanita tinggi dengan pakaian yang masih sama seperti yang ia lihat semalam. Risa duduk di seberangnya, hanya terpisah dengan meja panjang. Kedua tangannya mengepal di atas meja itu, sewaktu-waktu ia bisa saja melompat dan melayangkan pukulan mentah di wajah Ten meskipun itu melanggar kode etik kepolisian.

"Sebelumnya aku memberitahu bahwa tak ada siapapun yang berada di sini selain kita berdua. Pun dengan ruangan di luar sana, di balik kaca hitam itu. Percakapan tidak direkam atas perrmintaan seseorang. Jadi aku ingin mulutmu itu mengatakan apapun hal yang akan aku tanyakan." Suara dingin Risa memecah keheningan. Menusuk langsung ke dalam relung hatinya, membuatnya bergidik sesaat. "aku tidak suka bermain-main. Terutama setelah melihat apa yang kau lakukan."

Ten perlahan mengangkat wajah, memberanikan diri menatap wajah sengak Inspektur Watanabe Risa. Dari yang ia ingat, dirinya sama sekali tak bersalah. Dan oleh karena itu, ia harus berani membela dirinya dan melawan, benar?

Risa meletakkan sebuah foto di atas meja. Ten menarik foto tersebut dan memegangnya dengan kedua tangan. Itu adalah tangkapan layar dari cctv rumah sakit, menunjukkan dirinya yang berdiri di depan Yui.

"Kau bertemu dengan di rumah sakit tempat Kobayashi bertugas sore itu, beberapa jam sebelum insiden. Kenapa?" Risa bertanya. Ia menarik napas dan berusaha untuk tetap tenang kendati dadanya terus bergemuruh tak karuan.

Ten terdiam sejenak. Berusaha menyusun kalimat yang tepat agar tak menimbulkan keambiguan yang justru akan membawanya ke dalam masalah. Membasahi bibir, ia menjawab, "Ingatkah kau jika aku adalah calon korban pembunuh Black Mail? Dan Yui adalah calon korban yang gagal ia dapatkan malam itu? Aku datang kepadanya untuk mengonfirmasi sesuatu."

Risa menaikkan satu alis, sedikit meragukan ucapan Ten. "Darimana kau tahu bahwa Yui ada di TKP saat itu? Kau menguntitnya?"

Wanita yang lebih muda tersentak, lantas menggelengkan kepala dengan cepat. Surai-surai hitamnya sempat menutupi matanya sebelum ia mengibaskan ke samping dengan punggung tangan. "Saat di pesta penyambutan Senior Sugai, Kobayashi mengatakan bahwa ia mendapatkan cidera saat bertinju di malam sebelumnya. Kemudian saat dan setelah kau dipanggil atas kasus pembunuhan, ia menunjukkan gelagat aneh."

"Lalu?"

"Jadi aku menemuinya di rumah sakit, dia membawaku ke rumahnya dan kami berbicara di sana. Aku menyadari beberapa hal yang aneh. Pertama; saat tangan kami bersentuhan, aku merasakan banyak sekali luka memanjang dan darah menempel di tanganku setelah itu. Kedua; ia tak memiliki buku-buku yang berkaitan dengan profesinya. Ketiga; ia menyimpan banyak sekali obat-obatan sejenis Duloxetine dan Fluoxetine."

"Kau menduga Yui adalah pelaku pembunuhan karena ia berada di bawah pengaruh obat-obatan?" Risa bertanya dengan nada agak tinggi. Bentakan Risa membuat Ten terhenyak ke belakang, alisnya bertaut naik dan membuat wajahnya seolah agak memelas. "atau kau mengira ia yang membunuh Morita dan dia juga lah yang mengirimkan surat dengan sepotong jari itu di kotak suratmu? Dan karena itulah kau datang kepadanya untuk membunuhnya sendiri sebagai bentuk balas dendam, itu benar?"

Risa terus menyerang. Tak memberikan kesempatan bagi Ten untuk berbicara. Tiap kali Ten hendak mengeluarkan suara, Risa langsung memotong ucapannya yang baru diucapkan sepatah-dua patah kata.

"Kenapa kau tak kunjung mati meskipun kau mendapat surat itu? Oh.. atau mungkin saja kau sendiri yang membuatnya. Kau datang menemui Kobayashi, karena malam kau tahu ia melihat wajahmu dan kau khawatir-khawatir ia akan melaporkanmu sehingga kau datang untuk membunuhnya sendiri. Bantah aku jika kau berani! Kau tahu seberapa besar kebencianku dengan psikopat seperti itu!"

BRAK

Ten menendang meja yang menengahi mereka berdua dengan satu kakinya, melemparkan meja itu hingga menabrak dinding. Risa tentu saja telah melompat dari tempat duduknya dan memberikan jarak antara dirinya dengan Ten yang tengah berdiri di sana dengan wajah memerah dan napas memburu. Pistol diacungkan, siap untuk melontarkan timah panas yang kapan saja dapat meledakkan isi kepala Ten.

Suasana tegang perlahan menyelimuti dua orang yang sedang dalam suasana panas itu. Risa sama sekali tak menduga bahwa Ten akan melakukan tindakan seperti itu secara tiba-tiba. Beruntung, ia cepat menjauh karena jika tidak, bukan tak mungkin lututnya akan membengkak karena terbentur. Dilihatnya Ten berjalan mendekat, tanpa rasa takut sedikitpun menempatkan wajahnya tepat di moncong pistol milik Risa.

"Aku datang ke rumahnya dan menemukan dia tepat saat dia akan menusuk matanya sendiri. Aku berhasil menahannya tapi dia tetap melawan dan terus melukai dirinya sendiri sampai aku harus membuatnya tak sadarkan diri dengan cara kasar. Sungguh, jika aku tak datang malam itu mungkin ia telah benar-benar mati!"

Kali ini Ten yang berteriak tepat di depan wajah Risa. Ia dapat menangkap sedikit perubahan ekspresi di wajah tersebut, Ten dapat membacanya dengan mudah. Perasaan kaget, sedih, dan menyesal tergambar jelas disana. Melihatnya membuat dadanya turut terasa sesak. Mengetahui jika Risa nyaris kehilangan orang yang sangat berharga dalam hidupnya-seperti dirinya.

"Aku tak menyangkal bahwa aku sempat mencurigainya.. tapi saat aku datang kembali dan melihat ia nyaris membunuh dirinya sendiri, semua tuduhanku pergi entah kemana." kenapa kau justru tak ada disana saat ia membutuhkan seseorang? "aku ingin melindunginya saat tak ada orang lain ada di sisinya. Aku merasakan apa yang ia rasakan.. aku mengalami itu semua. Sama seperti kalian.."

Mulut Risa membeku. Pita suaranya menolah untuk mengeluarkan suara, sekalipun dengan bibirnya yang tetap mengatup meski ia berusaha untuk membukanya. Sekujur tubuhnya mendingin. Penyesalan dan perasaan bersalah yang terus menghantuinya kembali muncul. Perasaan yang selalu ia bawa sejak kematian tragis Fujiyoshi Karin, kini bertambah karena ia juga turut andil dalam kondisi Kobayashi.

Perlahan ia menurunkan pistol dan menyimpannya kembali. Kemudian dengan gerakan pelan dan hati-hati, ia membuka kunci borgol dan melepaskan kukungannya dari kedua pergelangan tangan Ten.

"Aku akan mengantarmu ke rumah sakit. Temui dia dan sampaikan salamku kepadanya." Ucap Risa. Kali ini nada bicaranya sedikit bersahabat. "jari dan surat yang kau bawa, berikan itu kepadaku besok." Wanita itu berbalik keluar dari ruang interogasi, meninggalkan Ten yang mengejar dengan langkah panjang di belakangya.

"Kenapa kau tidak menemuinya sendiri?" Ten menyahut dengan nada ringan saat posisi mereka telah sejajar. "aku tak tahu apa yang terjadi di antara kalian hingga kalian berpisah, tapi Kobayashi nampaknya masih berharap kau kembali kepadanya. Ia masih memasang foto kalian berdua dan merawatnya dengan baik."

Napas Risa tercekat, tertahan di tenggorokan saat mendengar ucapan polos dari lawan bicaranya. Risa tahu itu! Risa sangat tahu tentang hal itu karena ia juga melihat foto tersebut saat mendobrak masuk ke dalam rumah! Ia juga sebenarnya tak ingin meninggalkan Yui. Meskipun sampai mati pun ia takkan mau meninggalkannya.

Tidakkah perpisahan yang tak diinginkan itu sangat menyakitkan? Ketika kau terpaksa untuk meninggalkan orang yang kau cintai karena suatu keadaan yang begitu mendesak. Ia tak pernah melupakan apa yang dikatakan orang-orang dari Silver Lake, takkan bisa melupakan Yui yang memohon kepadanya untuk tetap ada untuknya.

Tapi... ini tidak berjalan baik untuk kita, sepertinya.

Risa meloloskan napasnya. Kemudian mendorong pintu ganda menuju pelataran parkir kantor polisi, tak menggubris sapaan dari petugas yang berjaga malam di dalam kantor.

"Kau tahu? Kita mungkin memiliki beberapa kesamaan, Yamasaki." Risa berkata tiba-tiba. Membuat Ten langsung menengok padanya. Mendapati dirinya meletakkan tangan pada permukaan halus mobilnya.

Apa maksudnya?

Yuuka berlari mendekati Risa saat sosok tinggi itu berada di ujung koridor. Ia jelas menuntut penjelasan atas apa yang terjadi. Teman-temannya yang lain juga menunggu disana. Habu, Akane, Fuyuka, semuanya menunggu dengan wajah gelisah. Risa menarik napas, ia tak tahu darimana akan memulai.

Koike keluar dari dalam ruangan. Dengan mantel putih yang sedikit lusuh, berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang sedikit menunjukkan kelegaan. Itu mengirimkan sedikit rasa hangat kepada orang-orang yang berkumpul disana karena mereka akan mendapatkan berita baik.

"Dia baik-baik saja meskipun harus mendapatkan transfusi darah dan beberapa jahitan. Sekarang ia sepenuhnya sadar, tapi aku tak ingin ia terganggu dengan suara ramai sehingga aku hanya akan mengizinkan satu atau dua orang untuk menemaninya sejenak." Ucap Koike. "dia sama sekali tak merasakan sakit saat aku menjahit lukanya. Aku tak tahu jika kesehariannya berhadapan dengan pisau bedah dan memotong kulit membuat responsnya terhadap rasa sakit menghilang."

Risa menghela napas, menggunakan tangan untuk mengusap wajahnya yang berkeringat. Ia lantas menoleh pada Ten, memintanya untuk masuk sementara dirinya berbicara dengan Yuuka secara pribadi. Sempat bertemu pandang dengan Akane yang masih tak mengerti, ia memutuskan untuk membawanya masuk juga.

Sementara Koike berbicara dengan Habu, Risa menggiring Yuuka untuk sedikit menjauh. Ke tempat yang lebih sepi dan tak banyak orang berkeliaran. Jadi Risa memutuskan untuk membawa Yuuka ke tangga darurat, menutup pintu dan berdiri di titian tangga.

Ia menghembuskan napas panjang dan melepaskan beban di dadanya yang sejak tadi membuatnya kesulitan bernapas. Yuuka mendekat ke sampingnya, mengambil jarak tak terlalu jauh agar ia dapat mengusap punggung Risa dengan lembut. Kendati ia telah tak sabar untuk mendengar, ia memutuskan untuk menahan ego karena ia tahu Risa juga sedang dalam keadaan tak baik.

Beberapa menit berlalu dan tak ada yang membuka pembicaraan diantara mereka. Yuuka masih tetap sabar, memberinya pijatan kecil di bagian leher dan itu sukses membuatnya menjadi lebih rileks.

"Ini semua salahku." Risa menunduk. Membenamkan wajahnya pada kedua tangannya yang terlipat di atas pegangan tangga. "aku membuat keputusan yang salah. Dan aku sangat menyesalinya sekarang."

"Keputusan seperti?"

"Meninggalkannya hingga membuatku seperti ini. Aku membiarkan keegosianku menelan diriku bulat-bulat, membiarkan perasaan bersalah dari masa lalu menghantuiku sehingga semuanya menjadi sangat kacau." Risa mengerang pelan di akhir kalimat, kini tangan kanannya meremas mantel Yuuka.

Yuuka sendiri tampak setengah tak mengerti dengan apa yang dikatakan Risa, pada awalnya. Tapi setelah memutar otak dan mencerna ulang kalimat terakhir dari sahabatnya, sepertinya ia mulai paham titik permasalahannya.

"Kematian Karin?" ucap Yuuka dengan cepat. "jadi-jadi semua ini.. karena itu?" wanita berambut panjang itu mendesah pelan, mengusak surai hitamnya ke belakang dengan sedikit perasaan kesal yang tak dapat dijelaskan. Tidak, perasaan itu tidak ditujukan kepada mendiang Fujiyoshi, melainkan kepada bayi besar sialan yang berdiri di sampingnya.

Risa tak menanggapi ucapan Yuuka. Ia hanya mendesah pelan sembari terus menerus menggumam tak jelas dibalik mulutnya yang tertutup oleh lipatan mantel.

Ada banyak sekali yang ia lewatkan selama ia dipenjara. Salah satunya adalah tentang hubungan Risa dan Yui yang tampak tak baik. Tapi, yang benar saja, semua hal itu hanya karena disebabkan oleh penyesalan Risa atas kematian Fujiyoshi? Tidak, bukan berarti Yuuka tak menyesali kematian dua temannya juga.

"Aku terlalu terobsesi dengan pekerjaanku menangkap pembunuh," Risa berucap dengan suara kecil. Membuat Yuuka harus beringsut lebih dekat dengannya. "sehingga aku mengabaikan perasaannya."

Oke, begini. Saatnya Yuuka menggunakan kemampuan analisanya untuk menyimpulkan keadaan. Mungkin disini Risa tenggelam dalam penyesalan dan rasa bersalahnya terhadap Fujiyoshi Karin sehingga ia secara tak sadar membuat dirinya bertanggung jawab atas itu dan menggunakan pekerjaannya sebagai bentuk penebusan dosa. Kemudian karena ia terlalu fokus dengan pekerjaan dan membuatnya mengabaikan presensi Kobayashi Yui dalam hidupnya karena ia selalu dibayangi oleh Fujiyoshi Karin.

Apa yang telah rusak? Apa saja yang telah hancur berantakan selama ia tak ada?

Yuuka mengeluarkan gelakan kecil. Mungkin lebih ke bentuk sindiran kepada Risa. "Benar kata Hono. Kau itu memang kepala panci. Panci yang pantatnya hangus karena terlalu sering digunakan tanpa dibersihkan.."

"Jangan sebut nama itu di depan wajahku, sialan."

"..bisa dibilang pantat panci yang hangus itu adalah manifestasi dirimu. Bentuk dari otakmu." Ia melirik ke sisi kirinya. Risa kini telah menatapnya dengan tatapan tajam seperti dirinya yang biasa. Sepertinya ia sempat terpancing emosi, tapi Yuuka tak gentar sedikitpun. "kau harus memperbaiki semuanya, Risa. Kau memulainya, kau juga lah yang harus mengakhirinya. Hei, kau beruntung aku tidak berkeinginan untuk mendorongmu jatuh ke lantai dasar sekarang."

"Aku ingin. Tapi aku tidak bisa." Cengkeraman Risa pada lengannya berangsur-angsur melemah. Jemari kuat wanita itu kini hanya menyentuh kain mantelnya saja, tidak menyakiti kulitnya seperti tadi. "...karena bagaimanapun juga aku harus menjauh darinya."

Yuuka yang sedari tadi mencoba untuk menahan kesadaran dan emosinya di udara seketika kehilangan kendali atas dirinya. Digenggamnya lengan kanan Risa dengan satu tangan, kemudian ia mendorong tubuhnya dengan kuat. Risa tersentak kaget, mengetahui telapak kakinya hanya menapak di ujung anak tangga dan tubuhnya condong ke belakang. Bulu kuduknya bergidik saat ia menoleh ke belakang, ke bawah. Ia akan mengalami cidera parah apabila Yuuka memutuskan untuk menjatuhkannya saat itu juga. Terbentur anak tangga hingga yang paling parah, leher patah. Ia mencengkeram tangan Yuuka, berharap ia tak melepaskan genggaman pada pergelangan tangannya.

"Apa maksudmu?" Yuuka berucap dengan suara dalam, meremas kuat pergelangan tangan Risa hingga sang pemiliknya meringis kecil. "aku akan menjatuhkanmu-"

"SILVER LAKE!"

"Silver Lake? Risa, jika kau bermain-main, aku bersumpah-" Yuuka menarik kembali tubuh Risa sehingga wanita itu kini bersandingan dengannya. "tunggu dulu. Bukankah itu fasilitas rehabilitasi?"

"Jika kau benar-benar ingin tahu tentang apa yang terjadi, kau harus mencari catatan medis Yui dari repositori mereka. Karena apa yang akan aku jelaskan kepadamu mungkin akan sangat memusingkan." Risa menepuk-nepuk pergelangan tangannya yang sedikit sakit. Saat ia melipat ujung mantel, ia dapat melihat cap tangan Yuuka disana.

"Daripada itu, Yuuka, ada beberapa hal yang ingin kau lakukan untukku."

"Halo, Kobayashi Yui?" Akane sedikit memajukan tubuhnya tepat di depan wajah Yui untuk melihat apakah jiwa wanita itu masih berada di dalam tubuhnya. Karena sejak lima menit mereka berada disana, tak sekalipun Yui membuka mulutnya hanya untuk sekedar mengucapkan satu patah kata.

Ia hanya menatap Akane, Ten, dan Koike bergantian dengan tatapan kuyu. Yui lalu menengok ke bawah, pada kedua tangannya yang dibebat oleh gulungan perban yang cukup tebal mulai dari telapak tangan hingga ke pergelangan tangan. Sesuatu berwarna coklat merembes melewati gulungan kain tersebut, membuatnya bertanya-tanya tentang seberapa parah luka yang ia dapatkan.

"Tidak apa-apa, kau baik-baik saja sekarang. Luka-lukamu telah diatasi dengan baik oleh rekan sejawatmu." Akane melanjutkan, melemparkan senyum simpul pada Koike yang berdiri dekat di samping Yui. Ia agak lega karena Yui telah mulai menunjukkan respon. "ada apa denganmu? Apa yang terjadi?"

Yui memejamkan matanya sesaat. Berusaha untuk mengumpulkan kembali memori-memori samar yang ada di dalam otaknya. Fujiyoshi. Nama itu menjadi satu-satunya hal yang terlintas di kepalanya saat itu juga. Ia tersentak, menoleh ke setiap sudut ruangan dengan wajah tegang untuk mencari sosok tersebut. Tindakannya yang seperti itu membuat teman-temannya terkejut-Koike bahkan langsung menahan bahunya agar tak bergerak lebih banyak.

"Hei, tenang!" Koike berteriak. Ia menampar kecil wajah Yui yang masih terlihat panik. Dokter itu baru melepaskan pegangannya pada kepala Yui setelah ia menjadi agak tenang.

Tapi tiga orang lain disana tak tahu bahwa alasan Yui menghentikan usahanya untuk mencari di sekeliling ruangan adalah karena ia telah menemukan sesuatu yang ia cari. Sosok transparan yang familiar itu tengah berdiri diam di depan pintu toilet, seperti mengawasi. Sepertinya ia baru saja menampakkan diri karena Yui yakin tak ada apapun di pintu itu sebelumnya.

Oh, jadi kau benar-benar mengawasi, ya?

"Inspektur... Watanabe menitipkan salamnya untukmu." Ten memberanikan diri untuk berkata. Dengan sedikit berhati-hati menyebutkan nama Risa di depan Yui.

Yui memiringkan kepalanya, seperti berpikir. Ia memberikan jeda beberapa detik sebelum menjawab. "Risa? Well... itu sudah lama sekali sejak terakhir kali aku mendengar tentangnya."

"Dia membawamu kemari dan menitipkanmu kepada Koike sebelum pergi entah kemana bersama anak ini." Akane melirik Ten dua kali, karena untuk memastikan lebam yang entah sejak kapan bersarang di tulang pipi anak itu. Padahal ia yakin sebelumnya bekas itu tak ada disana. "dia memukulmu?" ia berucap, dengan nada tinggi.

Buru-buru Ten menutupi bekas lebam itu dengan telapak tangan. Menekan-nekannya dengan jari dan berpura-pura tak merasakan sakit seraya menjawab, "Dia memukulku sedikit. Tapi ini tidak sakit! Lihat?"

Yui menggeram kecil, membuat Akane yang baru saja akan menanyai Ten dengan beribu pertanyaan menunda keinginannya. "Maaf, aku... sedikit bingung dengan apa yang telah terjadi." Akhirnya ia berkata. "berapa lama aku tertidur? Kenapa aku tak mengingat apapun? Ah.." ia menjatuhkan pandangannya pada Ten, "sepertinya mataku menjadi agak berat sekarang. Bisakah kalian memberiku waktu untuk beristirahat lagi sebelum aku keluar dari tempat ini?"

Tatapan Kobayashi yang melekat kepadanya selama beberapa saat membuat sekujur tubuh si Yamasaki itu dingin. Bagaimana tidak, netra coklat muda yang hanya satu itu menatapnya lurus tanpa berkedip sedikitpun. Bahkan ketika Koike berbicara kepadanya dan menjelaskan beberapa hal yang harus ia lakukan selama menjalani perawatan ringan, Yui masih tak meloloskan Ten dari pandangannya.

Ia mencoba menerka-nerka arti dibalik sorot mata tersebut. Sebuah tatapan datar, tajam, marah, dendam? Entahlah, Ten masih saja tak dapat menyimpulkan. Keahliannya membaca orang lain nampaknya tak berlaku bagi Kobayashi yang terlalu misterius dan itu diluar kemampuannya.

Tapi, satu hal yang Ten yakin adalah, ia merasa sangat familiar dengan hal itu. Seperti ia pernah menemukannya pada orang lain, di lingkaran waktu yang berbeda dan di titik yang berbeda pula.

Tepukan pada punggungnya-yang berasal dari Akane-membuat Ten terlonjak kaget. Akane memberikan satu gestur fisik, mengajak yang lebih muda untuk keluar bersamanya. Bagus. Setelah ini giliran Senior Moriya yang akan menginterogasiku. Saat ia memutar tubuhnya dan hendak menutup pintu, sekali lagi, Kobayashi memberinya kejutan.

Dia melemparkan senyuman miring.

Eh?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top