Chapter 5: Something That Shouldn't Exist

Barangkali Risa sudah cukup muak berhubungan dengan kasus, mayat, darah, perintah atasan yang hanya duduk dan menyuruh-nyuruh, atau bahkan dengan hidupnya sampai-sampai ia menyiapkan rencana matang untuk kabur dari kantor dan singgah di suatu tempat seperti pinggir tebing atau semacamnya. Sayangnya, ia tak dapat melakukan itu karena ada mayat yang menunggu untuk dilihat. Harada telah memberikan laporan hasil otopsi dan menyatakan hal yang sangat mengganggu pikirannya sejak ia selesai membaca laporan tersebut.

Ia mengintip dari jendela kaca persegi yang menampakkan bagian dalam ruang otopsi untuk memastikan bahwa ada orang di dalam sana sehingga ia tak perlu kembali lagi ke kantor utama untuk melapor. Matanya menangkap bayangan hitam bergerak di sudut sana dan sayup-sayup dentingan bunyi alat-alat logam saling beradu. Risa menghela napas lega saat mengetahui ada manusia hidup di dalam sana.

Segera saja ia mendorong pintu besi itu. Sensasi dingin langsung dapat ia rasakan menempel di ujung jarinya. Bau disinfektan yang tajam dicampur dengan bau anyir darah segera menyeruak dengan kejam ke dalam hidung. Risa tak mau menyebutkan aroma pembusukan alami dari mayat-mayat itu meskipun sebagian besar mayat masih disimpan di dalam freezer.

Sungguh, ia tak mau membahasnya.

Saat ini, ia berdiri di depan dua mayat yang diletakkan di meja otopsi berbeda. Di samping kirinya, mayat yang ia temukan di pinggir jalan dua minggu yang lalu sementara di bagian kanan terbaring mayat yang baru ditemukan di tempat parkir.

"Harada sudah memberitahumu?" orang yang tadi ia lihat dari luar pintu berjalan ke arahnya. Wanita itu tampak membenarkan posisi sarung tangan lateks yang ia kenakan.

"Sudah." Risa menjawab singkat dan mendekati mayat di sisi kirinya. "padahal aku sangat yakin orang ini juga korban pembunuhan berantai black mail." Ia memperhatikan mayat tersebut dari ujung kaki hingga kepala. Terdapat beberapa bekas sayatan dan jahitan di bagian tubuh mayat tersebut.

"Aku juga berpikir begitu sebelum aku menemukan ini." Rika mengintruksikan Risa untuk menjauh sementara dirinya yang berdiri paling dekat dengan mayat mulai melakukan tugasnya. Ia menggunakan peralatannya—yang Risa tak tahu apa itu—untuk membuka mulut mayat dan menahannya.

Risa menyipitkan mata, sedikit merasa aneh saat Rika mulai memasukkan tangannya ke dalam sana dan menarik benda yang seharusnya tak ada di dalam tubuh manusia. Ia tak bisa berkata-kata saat Rika menunjukkan padanya, sebuah botol dengan panjang kurang lebih dua puluh senti. Botol tersebut berwarna gelap kehijauan, terlihat seperti botol bekas minuman keras yang cukup tebal dan berat. Ia memegang botol tersebut dan memperkirakan beratnya sekitar satu kilogram.

Mengesampingkan botol tersebut, ia kembali fokus pada mayat dan penjelasan detail dari petugas otopsi tersebut.

"Jika benar-benar teliti, kita bisa melihat perbedaan yang ada di kedua mayat. Selain dari ciri khas pembunuh berantai Black Mail yang menghabisi korban dengan memutilasi, ia juga memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan orang lain."

"Aku—tidak tahu itu..?"

"Tentu karena kau hampir tak pernah datang kemari untuk memantau hasil otopsi sendiri, Watanabe. Aku menunggumu kau tahu itu, kan?" Rika mengambil senter kecil dari meja kerjanya. Disana terdapat beberapa jenis pisau berbeda, gunting, sesuatu seperti gergaji otomatis yang digunakan khusus untuk memotong tulang dan beberapa lainnya. Rika kemudian menarik tubuh Risa mendekat. "jadi... mari kita lihat."

Mengabaikan wajah Risa yang menunjukkan wajah ngeri, ia mulai menyalakan senter dan menyorot ke bagian mulut—tenggorokan mayat. Rika menunjuk bagian dari tenggorokan yang tampak dari luar itu dengan mata pisau.

"Botol itu dimasukkan ke dalam tenggorokan korban saat korban masih hidup. Kau lihat bagian ini? Karena botol itu terlalu besar untuk ukutan tenggorokan manusia, itu membuat bentuk tenggorokan menjadi tak normal. Ada lekukan kecil di langit-langit mulut, bagian belakang lidah karena si pelaku memaksa botol itu masuk dengan paksa." Rika menjelaskan. Ia mematikan senter dan meletakkan ke tempat semula.

Bola mata Risa mengikuti arah gerak Rika, wanita itu berjalan kembali ke ruangannya dan keluar kembali membawa tablet. Ia menunjukkan soft file dari laporan kasus yang dikerjakan oleh tim Risa kepadanya.

"Kemudian seperti yang kau nyatakan dalam laporanmu; terdapat banyak lebam di bagian punggung mayat. Terlalu banyak sampai aku tak bisa menentukan mana lebam akibat siksaan, mana lebam akibat post mortem. Dari sana, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang membunuh pria ini memiliki gaya membunuh yang berbeda dengan pembunuh berantai Black Mail. Orang ini memastikan korbannya merasakan siksaan yang luar biasa tanpa membuat kekacauan—darah."

"Sedangkan pelaku pembunuhan berantai Black Mail sangat berbeda dengan yang satu ini. Ia sangat brutal. Menggunakan manusia sebagai permainan, memutilasi bagian tubuh mereka seperti mereka memotong daging ayam dan tulang sapi. Ia menggunakan darah korban atau bagian tubuh korban sebagai identitas selain surat tanpa nama yang ditujukan kepada calon korbannya."

Rika kini mendekati mayat seorang pria yang ditemukan di tempat parkir gym. Tangannya yang dibalut sarung tangan latex memegang bagian kepala korban, sementara jari tangannya yang lain mengabsen bekas luka sayatan di leher yang nyaris memutus kepala korban.

"Dia menggorok manusia seperti ia menyembelih hewan." Risa merapatkan jari telunjuk dan jari tengah, kemudian menempelkannya pada telapak tangannya. Ia menggerakkan kedua jarinya itu seolah ia memotong sesuatu dengan pisau—ke depan, ke belakang. Gerakan berulang yang stagnan. "Black Mail menggunakan darah sebagai bukti kepemilikan, sedangkan yang lainnya menggunakan bekas-bekas penyiksaan yang nampak."

Risa mengangkat botol tadi, menimangnya dengan satu tangan. Bagaimana botol sebesar ini dimasukkan ke dalam tenggorokan manusia? Korban pasti begitu tersiksa karena tak bisa bernapas, merasakan tulang dan otot lehernya hancur.

Tapi sejenak kemudian ia merasakan tenggorokannya tercekat. Ditatapnya botol besar di tangannya dengan tatapan tajam. Jika saja ia sedang mencengkeram botol saus biasa bukan tidak mungkin botol tersebut akan pecah saking kuatnya cengkeraman Risa. Panas, amarah menyelimuti dada ketika ia mengingat kembali bagaimana kondisi tiap mayat yang ia temukan dan selidiki.

"Itu berarti ada dua pembunuh berotak sinting yang berkeliaran di luar sana." ia berbalik dan tanpa mengucapkan apapun langsung meninggalkan ruang post mortem.

"Kalian telah menemukan identitas dan latar belakang masing-masing korban?" ucap Risa begitu ia masuk ke dalam ruangan. Suara dinginnya yang lantang dan tegas membuat orang-orang yang tengah fokus dengan pekerjaan mereka terlonjak kaget. "termasuk korban pembunuhan pertama hingga yang terjadi baru-baru ini."

Akiho membungkuk untuk mengambil lembaran foto yang semula hendak ia tempelkan pada papan untuk melengkapi diagram. Ia menempelkan foto tersebut di papan pertama dengan bantuan pinset, di atas peta kota yang mengindikasikan tempat penemuan mayat. Papan di sampingnya berisi nama-nama korban. Penyidik berambut panjang itu menempelkan foto terakhir—korban yang ditemukan di tempat parkir sedikit lebih jauh dari korban-korban lainnya.

"Tunggu, orang itu tak berhubungan dengan Black Mail?" Ozeki bertanya.

"Bukankah aku sudah memberikan pembaruan dari hasil post mortem? Kau tak membacanya?" Harada menyahut lantang dari tempat duduknya, mengalihkan perhatiannya dari layar monitor. Selagi memasang wajah sengak ia berkata, "ha! Pantas saja kau tak kunjung naik pangkat!" Harada mengatakan hal itu dengan nada mengejek sukses membuat Ozeki naik darah.

Jika saja Risa tidak memelototi mereka berdua, mungkin akan terjadi perkelahian kecil di ruangan tersebut yang melibatkan kursi dan monitor komputer.

Risa mendekati papan tersebut, memperhatikan nama-nama korban dan tempat mereka ditemukan sebagai mayat. Termasuk latar belakang, keluarga, pekerjaan, golongan darah, atau bahkan kesamaan huruf dalam nama mereka guna mencari tahu keterkaitan masing-masing korban. Karena bisa jadi si pelaku sengaja menggunakan suatu pola untuk memilih korbannya? Atau mungkin menggunakan perumpamaan korbannya sebagai suatu tokoh dongeng?

Risa mendesah pelan, mengambil spidol hitam dan mulai menulis di papan.

Korban pertama, ditemukan di bekas pabrik cat di pinggir kota. Korban dimutilasi dan bagian tubuhnya disebar hingga radius 15km dari tubuh utama—kepala. Berhasil diidentifikasi sebagai Nishioka Shoji, 54 tahun, seorang kepala sekolah di sekolah swasta.

Korban kedua, jika dilihat dari kondisi mayat dan perkiraan waktu kematian, adalah pelajar SMA yang ditemukan di dalam mobil sewaan beberapa hari lalu. Adalah anak tunggal dari pimpinan perusahaan furnitur, Kou Matsubara.

Korban ketiga, ditemukan di green house dalam keadaan leher ditusuk dan digantung dengan katrol tajam. Seorang personel Angkatan laut aktif berpangkat Kaishichō Bernama Mamoru Yamasaki. Ia ditemukan masih menggunakan seragam dinas lapangan yang sangat bersih—tanpa noda darah.

Korban keempat, Yuuki Nakamura, seorang anggota dewan yang baru saja mencalonkan diri sebagai walikota. Ditemukan tewas dalam mobilnya yang terparkir di tempat parkir basement mall dengan kepala berlubang karena bekas tusukan linggis. Di dalam kepalanya yang berlubang, ditemukan sebuah kertas yang sekali lagi menunjukkan identitas pelaku.

Korban kelima, seorang atlet baseball SMA. Mayatnya dibuang di pembuangan sampah dan dimakan oleh anjing liar. Sulit diidentifikasi karena beberapa bagian tubuh benar-benar rusak sebelum akhirnya polisi menemukan barang-barang milik korban dan mencocokkan DNA yang tertinggal di sana.

Korban keenam.. pria yang ditemukan di tempat parkir itu. Tunggu tidak. Risa menghentikan torehan tinta pada papan, menggunakan telapak tangan, ia menghapus nama tersebut dari papan. Seharusnya korban keenam adalah Kobayashi Yui dan bukan pria itu. Tangannya berhenti untuk menulis di papan, sejenak merasa ragu.

"Tidak ada kesamaan dari masing-masing korban yang dapat menjadi petunjuk bagaimana pelaku menentukan korbannya. Satu-satunya bukti yang ditinggalkan adalah potongan tengkorak dan mobil itu. Tapi sampai sekarang mereka belum menyerahkan hasil tes laboratorium." Ozeki berkata. Ia menatap layar komputer dengan serius, ia tak ingin melewatkan e-mail dari pihak rumah sakit. Bisa saja ia teledor dan melewatkannya kan?

Risa mengetuk-ngetuk papan dengan spidol, menimbulkan suara cukup keras. Tangan kirinya mengasak rambutnya yang agak basah. Ia memutar layar monitor dan membuka peta digital. Memproyeksikan dan menyambungkan titik-titik dari lokasi-lokasi pembunuhan dengan garis merah. Garis khayal itu saling tumpang-tindih satu sama lain dan menjadi sebuah pola, sebuah bentuk yang tak jelas.

"Korban keenam itu, bukankah seharusnya korban keenam adalah orang yang berhasil kabur dengan mobil seperti yang ada di cctv?" Akiho bertanya. Ia mengaitkan jemarinya di atas meja sementara matanya menatap tajam ke layar monitor. Matanya melebar saat ia berdiri dari tempat duduk, menunjuk-nunjuk layar. "itu, itu! Pemilik mobil itu yang seharusnya menjadi korban malam itu."

"Itu—"

"Kobayashi Yui." Risa melanjutkan kalimat Harada yang tak sempat ia selesaikan. Menyabet begitu cepat, tidak membiarkan Harada mengeluarkan napas melalui suara. Ia hanya mendengus kecil, begitu kecil suaranya sampai ia yakin tak ada yang mendengar keluhannya itu selain dirinya sendiri.

Setelah itu kosong. Hening. Tak ada lagi suara ketukan keyboard atau mouse yang menjadi bunyi keras di ruangan lengang tersebut. Masing-masing pasang mata manusia itu tertuju pada satu orang, dengan sorot mata terkejut dan bertanya-tanya—juga tatapan penuh empati yang berasal dari Ozeki. Juga, dengan perubahan wajah Risa yang begitu nampak jelas di sana. Ia tak pernah pandai berbohong, semua tahu itu. Karena sekarang ia tengah menyembunyikan emosi sendu di dalam wajahnya yang kaku.

Selalu begini.

Kenapa selalu begini tiap kali ia mendengar nama itu, ya? Rasanya seperti ribuan tangan mengaduk, mengoyak, menghancurkan organ dalam tubuhnya. Sakit, sakit yang menyesakkan. Satu-satunya rasa sakit yang selalu membuatnya merasa lemah tak berdaya.

Risa meletakkan spidol hitam di kotak alat tulis dengan sedikit melemparnya. Suaranya membuat tiga orang lainnya memalingkan pandangan mereka ke arah lain dengan canggung. Akiho—yang tak sengaja membuat Risa menyebutkan nama itu, memutar kursinya keluar jendela dan mengaitkan jari jemarinya di belakang kepala. Sedikit merasa takut, tapi mau bagaimana lagi. Itu kepentingan pekerjaan dan bukan salahnya jika Risa merasa terganggu, karena ya, tak seharusnya ia membawa urusan pribadi ke dalam urusan pekerjaan 'kan?

Ozeki menggeram keras, meremas kertas putih polos penuh coretan dan melemparnya ke sembarang arah. Suaranya terdengar ia telah berada di ujung. "Mengapa hanya korban ketiga yang memakai pakaian bersih? Jika memang ia sangat suka dengan darah, mengapa ia harus menyembunyikan darahnya dan memakaikan korban pakaian yang bersih? Aku tak mengerti."

"Benar juga. Hanya Kaishicho itu yang memakai pakaian yang sangat bersih." Harada menggumam. Mengetuk-ngetuk kepalanya. "seragam dinas itu masih baru. Mungkin saja ia menyembunyikan sidik jarinya dengan membiarkan korban memakai itu dan membuang pakaian aslinya."

"Tapi tidak ada benda lain selain itu yang ditemukan di sekitar green house." Ozeki berdecak sebal, ia bangkit berdiri dan mengambil jaket seragamnya yang tersampir di belakang kursi. Menatap Risa dengan tatapan lurus, meminta izin untuk pergi ke suatu tempat—tempat penyimpanan barang bukti.

Ia segera pergi setelah Risa memberikan anggukan kepala ringan kepadanya. Tak mau menunggu karena barangkali Risa akan berubah pikiran beberapa saat kemudian.

"Tentang Kobayashi.. tidakkah kau berpikir ia dalam bahaya sekarang? Kenapa kau tak memberinya perlindungan saksi padahal kau tahu ia telah menjadi calon korban?" Risa tak bergeming saat Harada mencecarnya dengan pertanyaa. Tubuhnya yang kecil membuatnya harus mengangkat kepalanya agar dapat beradu mata dengan Risa. "aku tidak tahu apa masalahmu dengannya tapi sungguh, aku baru tahu ternyata kau sejahat itu. Maksudku, kau memang sudah jahat, tapi seperti ini? Kau polisi, dia temanmu. Sudah tugasmu untuk melindungi.. tapi kau—"

Tangan Risa mengepal kuat saat Harada semakin lama semakin menaikkan nada bicaranya. Telinganya pekak karena suara nyaring anak kecil itu. Ucapannya, makna ucapannya membuatnya semakin marah. Hingga akhirnya ia berkata, "Bukan dia saja."

"—apa?"

"Bukan dia saja yang harus aku lindungi. Kota ini, negara ini, bukan tentang dia saja." Dengan itu, Risa segera melenggang pergi dari ruangan. Memang seharusnya keputusan paling benar ia kabur dari kantor saja siang itu agar kepalanya tak penuh dengan masalah yang tak jelas duduk perkaranya.

Tapi saat ia hendak mengambil minuman dari vending machine, ponselnya bergetar untuk yang ketujuh kali. Ia telah mengabaikan notifikasi itu sejak tadi, tapi tujuh kali? Oh, dia berharap siapapun yang menghubunginya memiliki alasan masuk akal karena telah membombardir ponselnya.

Ia meremas ponselnya saat melihat terdapat enam panggilan tak terjawab dan satu pesan.

"Kobayashi tak datang ke rumah sakit hari ini. Aku telah menghubungi Yuuka dan Akane tapi mereka masih sibuk dengan pekerjaan mereka, sedangkan Habu sedang sibuk mengurus bimbingan. Bisakah kau datang dan melihat untuk memastikan ia baik-baik saja?" –Koike Minami.

Sial, batinnya. Sial sekali.

Risa menarik, mendorong pagar kayu itu dengan satu tangan. Tidak terbuka. Ia berjinjit, mengintip ke dalam dan melirik kunci pagar. Grendel itu masih berada di sana dan tak bergeming sedikitpun. Ia mendesah pelan karena ia sama sekali tak memiliki akses apapun untuk masuk ke dalam sejak mereka berpisah. Mengesampingkan kekhawatiran bahwa orang itu mungkin akan melempar kepalanya dengan lampu meja ia memutuskan untuk melompat masuk.

Bahkan saat Risa mencoba untuk membuka pintu depan, pintu itu juga masih terkunci. Diketuknya pintu itu sebanyak tiga kali dan menunggu. Tiga menit berlalu, sang pemilik rumah masih tak menunjukkan tanda-tanda akan membukakan pintu dan Risa juga semakin tak sabar. Ia melirik ke samping dan berjalan mendekati jendela yang tirainya sedikit terbuka, ketika ia mengintip ke dalam Risa hanya menemukan lampu rumah yang masih menyala.

Rasa takut itu juga semakin merayap ke dalam hati. Dan ia berharap apa yang tak ada di pikirannya menjadi kenyataan.

Yang terjadi selanjutnya adalah Risa yang berubah menjadi sangat panik. Ia mendobrak pintu depan berkali-kali dengan sangat kuat. Rasanya bahunya akan lepas jika ia menabrakkan tubuhnya untuk yang kelima kali, tapi syukurlah, pintu itu terbuka sebelum ia hendak melakukan usaha yang kelima. Aroma lavender yang terjebak di dalam rumah langsung menyerbu indra penciumannya. Ia merangsek masuk, mencari-cari sang pemilik rumah di segala penjuru.

Rumah itu masih seperti saat ia terakhir kali menjejakkan kaki disana. Interior beraksen monokrom dengan cahaya lampu gantung yang menciptakan suasana dingin dan nyaman dipandang mata. Risa menyentuh salah satu meja, tidak ada debu yang menempel di jarinya sehingga tak mungkin Yui meninggalkan rumah.

Keringat menetes dari wajahnya saat ia membuka satu persatu ruangan di lantai atas dan tak menemukan siapapun di dalam sana. Apa perampokan? Risa berlari turun dari tangga dan berbelok ke dapur, sekali lagi, ia tak menemukan tanda kehidupan. Hanya ada kitchen set, toaster, coffe maker, beberapa stoples selai dan barang lain yang tertata rapi dan bersih. Tidak mungkin. Ini terlalu rapi untuk itu.

Ia tiba-tiba menghentikan langkahnya tepat di depan ruang kerja miliknya—dulu. Pintu kayu akasia itu berdiri kokoh, dengan ukiran di atas papan kayu yang tertempel bertuliskan office. Keraguan merasuk ke dalam hati namun perasaan bersalah dan khawatir jauh lebih mendominasi di dalam hatinya.

Kilasan-kilasan dari ingatan mengerikan di masa lalu muncul di dalam kepalanya, mempermainkan isi pikirannya. Sakurazaka Academy, Silver Lake, Sakurazaka Academy, Silver Lake. Jantungnya berpacu cepat. Menerka-nerka apa yang akan ia dapati apabila ia membuka pintu tersebut.

Akhirnya, dengan satu hembusan napas, Risa mendorong pintunya terbuka.

"A—Apa yang terjadi disini.."

Suara Risa terdengar samar saat ia membuka mulutnya. Dengan tatapan horror mengabsen ke seisi ruangan sebelum matanya berhenti pada satu orang yang ia kenal, berjongkok di tengah ruangan. Dengan darah yang menetes dari tangan ke lantai—membuat genangan darah kecil di sana. Membasahi sol sepatu dan pakaian.

Orang itu tersentak kaget. Dengan gerakan penuh perhatian dan kewaspadaan, ia menurunkan sesuatu—seseorang yang semula berada di pangkuannya. Risa nyaris tersedak saat melihat Yui tergeletak tak sadarkan diri di sana. Tangannya bergetar hebat saat ia menarik keluar pistol dari holster.

"Tunjukkan tanganmu, Yamasaki." Suara dingin Risa menggema di dalam ruangan. Sedikit getaran terdengar dari suaranya, menunjukkan bahwa ia tengah berusaha mengatasi keterkejutan dalam dirinya. Hembusan napas memburu terdengar dari orang di depannya, perlahan-lahan mengangkat kedua tangannya yang berlumuran darah.

Risa menggeram. Mengeratkan pegangannya pada pistol, setengah mati menahan keinginannya untuk menembak saat Ten perlahan berbalik menghadapnya. Tangan kanan wanita itu menjatuhkan sebilah pisau dengan darah melumuri permukaannya.

"Menjauh dari Kobayashi, keparat!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top