Chapter 4: Your Eye Tells

Ten melihat jam tangannya untuk yang kelima kali dalam beberapa menit terakhir. Ia telah berada di tempat parkir rumah sakit selama dua jam dan tak bergerak dari tempatnya. Sesekali ia mengambil kentang goreng dari tempat duduk kosong di sampingnya seraya memperhatikan dengan seksama tiap orang yang keluar dari pintu transparan lobi rumah sakit. Rasanya seperti seorang polisi yang sedang mengintai, hanya saja ia tak memiliki donat.

Seharusnya ia menetap di kantor karena urusan lembur dan menyelesaikan setumpuk pekerjaan yang diletakkan atasannya secara semena-mena di atas meja kerjanya-yang menjadi salah satu alasan ia ingin kembali berkuliah dan mencari pekerjaan lagi, ia mengatakannya seolah itu adalah hal yang mudah baginya-sebenarnya ia tak masalah apabila harus tinggal di kantor selama beberapa jam. Tapi sejak melihat pembunuhan kemarin dan surat yang diterimanya... ia merasa sangat tak aman jika berada sendirian di tempat yang luas.

Kobayashi Yui, 27 tahun. Dari yang ia ketahui, wanita bermata satu itu adalah seorang dokter bedah yang telah bertugas di Rumah Sakit Miyahama selama tiga tahun terakhir. Bayangan masa lalunya di mana ia membantu Hikaru untuk mengungsikan Akane membuatnya merasa harus berhati-hati ketika berada di dekatnya.

Karena selama ia mengenal, melihat sosok Kobayashi Yui di sekolah ia tak pernah melihat sedikitpun perilaku mengerikan dari gadis itu. Kecuali... kecuali saat ia di bawa dari ruang musik dan satu hari sebelum pembunuhan. Dahi Ten berkerut. Tiba-tiba dirinya teringat dengan sosok Yui yang tergeletak di lantai dengan entah darah milik siapa di jaket hitamnya.

Argh.. mengapa aku selalu terlibat dengan orang-orang menyeramkan dalam hidupku?

Ia tak mengerti akan beberapa hal yang membuat masa remajanya begitu hancur berantakan. Bagaimana orang-orang itu, orang-orang seperti Rei dan teman-temannya, The Elites, bahkan Hikaru menyembunyikan identitas asli mereka di depan semua orang. Menciptakan sebuah barrier yang begitu sempurna dan hidup selayaknya manusia normal.

"Setiap malam aku selalu berpikir, mungkin kau akan menganggapku aneh karena ini tapi biarlah. Tapi aku selalu berpikir, apakah Tuhan akan mengampuni dosaku dan membiarkanku hidup untuk satu hari lagi?" Hikaru tiba-tiba berucap, di tengah-tengah semilir pendingin ruangan dan ketukan yang berasal dari jam dinding besar.

Sontak itu mengejutkannya, mengirimkan ribuan sengatan listrik di tubuhnya. Ketika ia mengangkat kepalanya, iris coklat Ten bertemu dengan milik Hikaru. Ia tak dapat menjawab, bibirnya ia biarkan terbuka karena ia mendadak kehabisan kata-kata.

"..kenapa kau mengatakan hal seperti itu?" akhirnya ia dapat berkata. Meskipun hanya jawaban singkat karena ia harus berusaha keras memaksa pita suaranya bekerja. Hikaru menunduk, mematahkan kontak mata. Ten lantas beringsut dari tempatnya duduk dan mendekati Hikaru. "Hikaru?"

Tapi ia tak mendapatkan respon yang baik seperti yang ia harapkan sebelumnya. Karena yang ia dapatkan hanyalah tatapan kosong Hikaru yang mengarah pada dinding di depannya. Ia melihat tangan Hikaru yang diletakkan di atas meja, di sentuhnya tangan tersebut, membawanya dalam genggamannya yang erat.

Tapi Hikaru segera menarik kembali tangannya. Bahkan dengan agak kasar menjauhkan tangan Ten darinya. Tentu saja tindakannya itu membuat Ten merasa hancur, seolah jantungnya diremas dan ditusuk oleh belati tajam. Ia menatap wajah samping Hikaru, berusaha mencari-cari alasan ia mengusir Ten disana.

Tapi ia tak dapat menemukan hal lain selain kekosongan.

"Tanganku terlalu kotor untukmu." Ucap Hikaru seraya mengangkat kedua pergelangan tangannya, Ten dapat melihat kedua tangan itu bergetar saat Hikaru mulai mengepalkannya. "aku tidak bisa membersihkannya, bagaimanapun juga. Jadi, tolong, jangan menyentuh tanganku seperti itu lagi."

Ten tersentak. Otaknya memainkan segalanya seperti sebuah rekaman video. Segalanya begitu jelas, tak ada sedikitpun memori yang terlupa. Seharusnya aku tahu arti dibalik ucapannya itu. Seharusnya aku tahu lebih awal. Sekali lagi hatinya mencelus, dipenuhi rasa bersalah kepada Hikaru. Seharusnya ia menyadari lebih awal, bukannya mengira ia orang yang religius hanya karena gadis kecil itu selalu mengaitkan Tuhan.

Ia mengerang frustasi. Mengusap-usap tengkuknya yang tak gatal, diliriknya sekali lagi pintu lobi di sana. Punggungnya refleks menegak ketika ia melihat orang yang ia tunggu selama berjam-jam ke belakang berdiri disana sembari mengobrol dengan rekannya. Ten memperhatikannya dengan seksama sembari memikirkan skenario yang cocok.

Pertama; menggunakan cara seperti yang dilakukan Hikaru. Yaitu membuntutinya dengan memberikan jarak kurang lebih sepuluh meter. Dan baru mendatangi Yui saat ia tiba di tempat tinggalnya. Kedua; turun dari mobil dan memperkenalkan dirinya, kemudian memberitahu maksud dan tujuannya.

Ia sebenarnya lebih memilih opsi pertama karena ia tak perlu repot-repot memilih alasan dan topik basa-basi yang pas. Tapi itu akan membuatnya nampak seperti penculik yang mencurigakan. Lagipula mengingat cidera di kedua tangan Yui berasal dari latihan tinju... tidak jadi.

Jadi ia menunggu Yui selesai dengan urusannya dan berjalan ke pelataran parkir. Saat itulah Ten keluar dari mobil dan mendekati Yui, dengan senyuman ramah di bibirnya. Ten membungkuk sejenak dan berkata, "Halo..?"

Bodoh sekali, astaga! Perkenalan diri macam apa itu? Argh.. bagaimana caraku merobek wajahku ini, brengsek.. memalukan sekali.

"Ada apa, Yamazaki?" Yui menjawab. Sebenarnya ia juga ingin tertawa-ia bahkan sudah berusaha untuk menahan senyuman dan itu membuat otot wajahnya sedikit sakit-karena kecanggungan anak itu. Ia sebenarnya sangat lelah sekarang dan ia tak ingin menghabiskan waktunya lebih lama untuk berdiri di pelataran parkir. "jika kau ingin membicarakan sesuatu, mungkin kita harus berhenti di suatu tempat."

"Y-Ya, tentu." Ten menjawab cepat, "..di mana?"

Rasa-rasanya ia ingin menampar wajahnya sendiri sekarang. Wanita jangkung di depannya ini sangat lucu dan naif. "Kau membawa mobilmu sendiri? Jika ya, ikuti aku." Yui berjalan melewati Ten ke arah mobilnya yang kebetulan terparkir di samping mobil milik Ten. "mobil yang bagus, Yamazaki. Kau suka warna merah rupanya."

Yui masuk ke dalam mobil, menyalakan mesinnya dan membawa kuda besi itu keluar dari pelataran parkir dengan mobil Ten mengekor di belakangnya. Kira-kira atas alasan apa anak itu tiba-tiba datang kepadanya dan meminta bertemu. Padahal mereka sama sekali tak pernah berinteraksi secara intens. Ya, mereka memang satu sekolah. Ten mungkin mengenal Yui dengan baik dari rumor-rumor yang beredar, dan Yui hanya mengenal Ten sebagai anak yang dihajar Risa di cafetaria.

Tapi.. sepertinya ia pernah bertemu dengannya sebelumnya selain dari pesta penyambutan Yuuka dua hari yang lalu. Tapi.. benarkah itu? Mengingat banyaknya terapi dan pengobatan yang ia lakukan dalam beberapa tahun terakhir mungkin saja dugaannya itu salah. Ia tersenyum kecil, mengintip mobil Ten dari kaca spion. 

Singkatnya, mereka tiba di depan rumah Yui. Pintu garasi berbunyi keras saat mesinnya bergerak menggulung ke atas, hanya keras di awal karena selanjutnya hanya terdengar deru halus saja. Yui memarkirkan mobilnya di dalam garasi sebelum dirinya keluar dan menemui Ten yang telah menunggu di depan pagar.

Yui membuka kunci pagar kemudian mengulurkan tangan ke arah pintu depan, memberikan isyarat pada Ten untuk masuk terlebih dahulu sementara ia menutup kembali pagarnya. Dari pagar depan ke pintu utama, mereka harus melewati jalan setapak yang kanan kirinya terdapat beberapa tanaman hijau. Menurut Ten, sangat kontras dengan rumah Kobayashi yang beraksen hitam.

Bahkan saat Yui membuka pintu dan mempersilahkannya duduk, Ten langsung disambut dengan ruang tamu yang terlihat megah-sayangnya bercat hitam pekat. Dipadankan dengan cahaya lampu gantung yang menerangi ruangan tempatnya berada. Memang memberikan kesan elegan dan mewah, tapi bagi Ten yang terbiasa dengan tempat terang tentu saja itu akan sedikit membuatnya merinding.

Ia melihat sekelilingnya, pada lukisan-lukisan dan foto keluarga yang terpampang gagah di dinding, termasuk foto Yui dengan Watanabe Risa. Sesuatu dalam otaknya berdenting, memantik rasa penasaran yang sejak kemarin ia simpan dalam-dalam. Kemana Watanabe Risa? Mengapa mereka berdua tampak begitu jauh kemarin?

"Kau tinggal sendiri di rumah sebesar ini?" Ten bertanya. Ia berjalan kecil dan berhenti di jajaran buku yang berada di dekat tangga menuju lantai dua. Matanya menelisik tajam pada setiap judul buku yang disimpan rapi di sana. Dari sekian banyak judul buku, tak satupun ia temukan buku yang berhubungan dengan profesi Yui sebagai seorang dokter. "kau memiliki koleksi buku yang bagus disana. Biografi tentang pembunuh-pembunuh itu juga bagus, kau bisa mempelajari sebagian kecil dari mereka." Ten berjalan kembali ke ruang utama dan bertemu dengan Yui. Wanita itu telah melepaskan mantel tebalnya dan menggulung kemeja coklatnya hingga ke siku.

"Aku membaca beberapa dari buku itu di ruang kerja Morita. Jadi aku merasa familiar." Ten melanjutkan. Ia mengambil tempat duduk berseberangan dengan Yui. "tanganmu.."

Ten baru saja hendak berdiri lagi dan membantu Yui dengan barang bawaannya. Balutan perban di kedua tangan Yui membuatnya merasa nyeri sendiri. Ia telah melihat sendiri bengkak di tangannya jadi kemarin jadi ia tak bisa membayangkan betapa sakit rasanya. "Tidak apa-apa. Ini bukan cidera serius."

Yui meletakkan beberapa makanan kecil di atas meja, termasuk teko besar transparan yang dapat membuat kopi secara otomatis-Ten menyebutnya teko ajaib karena ia tak mengerti cara kerjanya-cairan hitam di dalamnya menggugah Ten untuk segera menyicipinya.

"Aku tinggal sendiri disini sejak beberapa bulan terakhir. Karena suatu hal, kami memutuskan untuk tinggal secara terpisah untuk sementara waktu." Yui menyandarkan punggungnya pada kursinya yang nyaman. Helaan napas keluar dari bibir bersamaan dengan dirinya meletakkan tangannya di atas paha. "kau datang kemari untuk bertemu dengannya? Jika memang begitu, sayang sekali aku tidak dapat memenuhi keinginanmu itu."

Ten memberikan senyum kikuk, "Tidak-maksudku, aku hanya bertanya saja karena kemarin kalian terlihat sangat canggung. Senior Moriya mengatakan kalian adalah pasangan yang serasi jadi kupikir pasti ada sesuatu yang terjadi jika kalian sampai berpisah seperti itu."

Saat Ten selesai mengucapkan salah satu hal yang ada di pikirannya, Yui tampak seperti tersedak air liurnya sendiri. Ia meletakkan cangkir miliknya di atas meja dan mengetuk-ngetuk batang tenggorokannya sembari menggeram-geram kecil. Ten lantas berdiri dari kursinya dan memberikan air putih kepada Yui, jemari mereka bersentuhan dan Ten dapat merasakan tekstur kasar dari kain perban.

"Kami bahkan tidak menikah?"

"M-Maafkan aku, Kobayashi." Tukasnya. Ia menundukkan kepalanya selama beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Sebenarnya aku hanya ingin bertemu denganmu untuk membicarakan kasus pembunuhan yang terjadi baru-baru ini."

Yui menaikkan satu alis mengartikan ia tak mengerti. Lagipula, mengapa anak ini tiba-tiba datang dan membicarakan hal tersebut? Apakah Risa memerintahkannya untuk mengawasi Yui? Tapi jika dilihat lagi, Risa bukanlah orang yang akan mempercayai orang baru begitu saja. Terutama jika melihat dari perilaku Ten yang terlihat tidak kompeten.

Tapi Yui tidak terburu-buru. Ia akan mencari tahu lebih lanjut. "Kenapa?" balasnya.

Ia menyadari bahwa Ten terlihat semakin gugup. Ditandai oleh posisi duduknya yang berubah secara berulang-ulang dan caranya memainkan kesepuluh jarinya. Saat Ten mengangkat wajahnya dan membuat mata mereka bertemu, ia bahkan tidak berani menatap mata Yui secara langsung.

Tapi Ten kemudian menegakkan tubuhnya, meraih sesuatu ia sembunyikan di dalam saku jaketnya. Nampaknya Ten kesulitan mengambil benda tersebut karena ia sampai merogoh saku miliknya lebih dalam. Setelah beberapa saat, akhirnya benda tersebut dikeluarkan dan diletakkan di atas meja. Yui memperhatikannya sekilas, itu sebuah kertas yang dimasukkan ke dalam plastik transparan.

"Ini-"

DING DONG

Suara keras menggema di seluruh rumah. Sebuah denting bel yang dibunyikan dua kali membuat mereka sama-sama terkejut. "Aku akan keluar sebentar." Ucap Yui lalu berdiri berjalan menuju pintu depan. Ia berdiri di depan intercom sejenak seperti sedang berbicara kepada orang yang berada di luar pagar rumahnya.

Ten sebenarnya tidak ingin menguping tapi ia tak dapat menyalahkan telinganya apabila ia mendengar beberapa potong pembicaraan sang Dokter. Suara klik menandakan pintu terbuka dan tertutup, menyisakan Ten seorang diri di rumah besar itu. Tanpa basa-basi wanita itu bangkit dan berjalan cepat mendekati laci-laci dan rak besar yang ada di sana. Menggeledah beberapa hal yang sempat membuatnya merasa aneh tadi.

Cidera Kobayashi tidak ia dapatkan dari latihan tinju. Ketika tangan mereka bersentuhan, Ten dapat merasakan tekstur aneh dari kulitnya yang tak tertutup perban. Seperti ada suatu goresan memanjang yang berjumlah banyak dan sedikit basah. Ten melihat jemarinya, ia sengaja tidak memegang apapun agar apapun yang menempel di tangannya tak hilang.

Ada noda darah disana. Telapak tangan Kobayashi berdarah. Tidak mungkin ia mendapatkan luka seperti itu hanya dari tinju bukan?

Katakan saja Ten anak bawang yang sok tahu. Membaca catatan, kliping, buku-buku peninggalan Hikaru membuatnya mengerti akan hal-hal yang tak ia ketahui sebelumnya tentang kepribadian sahabat kecilnya itu. Hampir seluruh catatannya berisi bagaimana ia memahami latar belakang seseorang dari perilaku yang mereka tampakkan diluar. Tindakan Kobayashi begitu tahu Risa dipanggil karena suatu pembunuhan membuat Ten merasa ada yang janggal-termasuk alasan mereka berpisah, dan alasan Risa menolak menyelidiki surat yang diterima Ten.

Ia telah membuka beberapa laci dan mengobrak-abrik sebagian besar tempat penyimpanan barang di sana, dengan cepat pula ia mengembalikannya dan ia tak menemukan apapun. Sedikit kecewa, ia berbalik dan mencoba berpikir jernih. Ia kembali ke tempat duduknya dan berdiam diri menunggu Yui kembali.

"Dia selalu mengantarkan paketnya terlambat, astaga." Yui masuk ke dalam dengan beberapa keluhan. Ia membawa kantung plastik kecil berwarna gelap bersamanya dan meletakkan benda itu di meja dapur sebelum kembali bersama Ten. "kau bisa lanjutkan, Yamazaki."

"I-Itu.. Yamasaki."

"Lanjutkan, Yamasaki."

Yui sedikit tersenyum saat Ten mulai berbicara, "Beberapa minggu yang lalu, aku mendapatkan ketukan di pintu apartemen. Dan saat aku melihat siapa yang ada di luar, aku tak menemukan apapun selain amplop coklat besar. Di dalamnya terdapat dua benda, surat ini," Ten menggeser surat tersebut ke hadapan Yui, "dan sepotong jari."

Ia dapat mendengar Yui menggumam, wajahnya sendiri secara jelas menunjukkan ekspresi ngeri, jijik, bingung yang bercampur aduk menjadi satu. Sebenarnya ia agak ragu untuk mencari tahu sendiri isi surat tersebut, tapi pada akhirnya rasa penasarannya lebih besar. Dahinya lantas berkerut saat penulis surat secara gambling menyebutkan nama terang; Ten Yamasaki.

"Kenapa kau memberitahuku ini?" Yui berbisik. Perlahan mengalihkan perhatiannya dari surat kepada Ten sendiri.

"Yang ada di pikiranku saat mendapat surat itu adalah mereka. Ozono Rei, Endo Hikari, Takemoto Yui, Inoue Rina, Kosaka Marino karena Hikaru sendiri yang mengatakan bahwa mereka orang berbahaya yang juga membunuh Fujiyoshi dan Seki. Jadi aku datang ke penjara untuk memastikannya sendiri, di sana aku bertemu dengan Risa. Saat aku menunjukkannya ia tak percaya dan menunjukkan kepadaku bahwa para pembunuh itu masih berada di sel mereka."

Yui mendengarkan dengan serius tiap kata yang dilontarkan Ten. Suasana di antara mereka seketika berubah bersamaan dengan waktu yang terus bergulir. Ten berdeham, memperhatikan lekat-lekat raut wajah Kobayashi. Ia menduga bahwa ia akan mendapatkan sesuatu yang ia inginkan-alasan kecurigannya pada Kobayashi-tapi yang ia temukan adalah sorot mata ketakutan yang tersembunyi dibalik pertahanan baja.

"Dan kemarin," Ten berkata lagi, "aku menyelidiki ulang tulisan pada surat itu, mencocokannya dengan tulisan tangan milik Ozono Rei. Dan tulisan itu memilik 90% kecocokan."

Yui menggelengkan kepalanya. Ia tak pernah ingin mendengar nama orang-orang itu lagi seumur hidup karena pengaruh besar yang mereka buat dalam hidupnya. Membunuh kedua sahabatnya, membuat matanya cacat, memberinya trauma berat yang berkepanjangan, membuat-

"Jadi?" Yui menyahut. Suaranya agak meninggi daripada suaranya beberapa saat yang lalu.

"Aku tahu TKP pembunuhan kemarin adalah tempatmu berlatih. Dan kau mengatakan pada orang-orang bahwa kau cidera karena berlatih di malam sebelumnya-yang mana malam dimana pembunuhan itu terjadi sehingga besar kemungkinan kau juga berada di lokasi sebelum atau sesudah terjadinya pembunuhan."

Ten berdiri dari tempat duduknya dan berjalan mendekati Yui. Dari dekat, ia dapat mendengar hembusan napas berat dari lawan bicaranya itu.

"Jika itu memang benar, lantas kita berdua jelas dalam bahaya."

Sepeninggal Yamasaki, Yui lebih memilih untuk mengunci diri di ruang kerjanya. Duduk dalam keheningan meskipun sejak tadi ia berusaha mengabaikan suara mendengung dari telinganya yang sangat mengganggu. Biasanya selalu seperti ini saat ia kelewat lelah, jadi ia tak perlu khawatir bukan?

Ia membanting kepalanya sendiri di atas meja. Membuat tumpukan kertas yang ada disana berantakan.

"Kau takkan melukai dirimu sendiri kan?" sebuah suara muncul dari sudut ruangan. Sesosok manusia dengan pakaian putih berdasi abu-abu berdiri di balik kegelapan dengan bentuknya yang sempurna. "kenapa kau lemah begini? Apakah luka di kedua tanganmu tak cukup?"

Ditambah dengan suara mendengung di telinganya yang semakin keras, suara dari sosok tersebut pastilah memantik kemarahan dari dalam diri Yui. Ia mengepalkan tangannya dan menggebrak meja dengan sangat keras.

"Kau-" Yui membentak, matanya menyorot tajam dengan nyalang. "apa yang terjadi pada malam itu. Kau pasti tahu apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu."

Sosok tersebut memindahkan perhatiannya pada foto besar yang terpajang di dinding. Memandangi potret dirinya sendiri sembari mengulum bibir. Tentu sikap pasifnya membuat Yui semakin emosi. Ia berdiri, mendekati sosok tersebut dan hendak menarik pakaian yang ia kenakan.

Tapi nyatanya ia tak dapat menangkap apapun. Kosong, tentu saja. Ia hanya meraih ruang kosong di hadapannya. Namun setidaknya, dua entitas yang berbeda itu dapat bertatap-tatapan.

"Kau seharusnya sudah mati malam itu." Sosok itu berkata dengan suara kecil.

"Aku sudah tahu itu, dan kau meminta balas budi dari upaya penyelamatan bodohmu? Kau meminta tumbal?"

"Tidak, bukan saat kau melihat kepalaku jatuh." Sosok itu menyahut lantang. Ia berjalan mendekati Yui. "dia mendapatkanmu setelah beberapa blok jauhnya, dia membunuhmu. Tapi, sesuatu dari dalam dirimu muncul dan melawan. Kau pikir berasal darimana luka di tanganmu itu?"

Yui terbelalak tidak percaya. Ia melangkah mundur seraya meremas kepalanya sendiri. Sosok tersebut tak mau menunggu jawaban Yui dan terus melanjutkan, "Kau jelas tak bisa mengingat dengan baik kejadian di malam itu, terutama wajahnya. Tapi si pembunuh ingat dengan jelas wajahmu."

Ditatapnya kedua telapak tangannya yang dibalut perban. Dengan kasar ia membuka gulungan perban tersebut, tak peduli rasa perih dan nyeri yang ia timbulkan sendiri. Tak lama berselang ia dapat melihat sendiri luka yang selama ini ada disana. Luka sayatan benda tajam yang cukup dalam serta bengkak di sana-sini. Dadanya bergemuruh, kepalanya dipenuhi asumsi gila yang membuatkan merasa gelisah sendiri. Darah menetes di lantai, bersamaan dengan tubuhnya yang ambruk.

Sementara sosok tadi hanya melihat dan tak mau repot-repot melakukan apapun. Toh, sebesar apapun keinginannya untuk membantu, ia tetap tak dapat melakukan apapun. Jadi ia hanya melihat bagaimana seorang Kobayashi Yui tersiksa disana, menahan segala bentuk rasa sakit yang menghajar kepalanya secara mendadak.

Dia-Dia tidak boleh kembali. Tidak boleh!

"Argh-" satu persatu ingatan yang tidak seharusnya ada di dalam kepalanya muncul dan membuatnya semakin menderita. Memori bagaimana ia pembunuh itu menariknya keluar, memukulnya dan menginjak kedua tangannya. Dan bagaimana Yui melawan dengan menahan golok besar yang hendak menembus rongga dadanya.

Bagaimana ia menyeringai lebar seolah menemukan sesuatu yang membuatnya kelewat senang.

"Jangan biarkan dia mendapatkamu."

Sialan. Setelah bertahun-tahun menjalani terapi dan obat-obatan.. setelah bertahun-tahun berjuang.. ia menggeram, menggunakan punggung tangan untuk mengusap darah dari wajahnya.

Yui mencoba untuk menopang dirinya sendiri, memaksa berdiri meskipun dengan tubuh yang sepenuhnya lemas. "Sebenarnya.. sebenarnya kau itu siapa..?" ia mengeluarkan erangan tertahan begitu ia mencoba mengangkat kepalanya. Ini sangat menyakitkan.

Matanya yang berkunang-kunang menangkap sosok berbaju putih itu berlutut di hadapannya. Sosok itu memposisikan wajahnya sedemikian rupa agar Yui dapat melihat wajahnya dengan jelas.

"Fujiyoshi Karin." Ia akhirnya berbicara dengan suara berbisik. Sedetik kemudian, Yui dapat merasakan sentuhan samar di wajahnya. Satu sentuhan halus yang berhasil membuatnya merinding setengah mati. "matamu, memberitahu."
















"Your eye tells."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top